Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Borgx (bicara | kontrib)
k {{rapikan}}
Jagawana (bicara | kontrib)
k Bersambung: {{rapikan}}
Baris 156:
 
 
 
== Bersambung ==
 
[[Sejarah Keistimewaan dan Pemerintahan Prop DIY Bagian 2]]
==The Last Emperor==
<center>'''Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1965-1998'''</center>
 
Pada tahun 1965 Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini '''Yogyakarta''' dijadikan sebuah '''Propinsi''' (sebelumnya adalah '''Daerah Istimewa Setingkat Propinsi'''). Dalam UU ini pula seluruh '''swapraja''' yang masih ada baik secara ''de facto'' maupun ''de jure'' yang menjadi bagian dari suatu daerah lain yang lebih besar dihapuskan. Dengan demikian Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh Pusat. UU yang dibuat dalam pengaruh '''komunisme''' ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik bagi '''Aceh''' maupun Yogyakarta kelak dikemudian hari. Ini untuk mewujudkan tujuan komunis sama rata sama rasa. Kejadian ini mengingatkan pada penghapusan ''Daerah Istimewa Surakarta'' (1946) maupun penghancuran Kekaisaran Rusia (1917) oleh komunis.
 
 
----
<center>''Pada saat berlakunya UU ini, maka: a. Daerah tingkat I dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU No 1 tahun 1957 serta Daerah Istimewa Aceh berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 adalah “Propinsi” termaksud dalam pasal 2 ayat (1) sub a UU ini''. (Pasal 88 ayat (1) sub a UU No 18/1965)</center>
----
 
 
 
----
<center>''Sifat istimewa suatu daerah ……….., berlaku terus hingga dihapuskan. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang, pada saat berlakunya UU ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5)''. (Pasal 88 ayat (2) sub a dan b UU No 18/1965)</center>
----
 
 
 
----
<center>''Daerah-daerah swapraja yang defacto maupun de jure ………. dinyatakan hapus. …….''. (Pasal 88 ayat (3) UU No 18/1965)</center>
----
 
 
 
----
<center>''……………. maka Daerah yang bersifat istimewa …… disebut Daerah Istimewa. Karena itu, maka sebutan Daerah Yogyakarta …….dan sebutan Daerah Istimewa Aceh …….. berlaku terus hingga dihapuskan atau diganti dengan peraturan-peraturan perundangan yang sah ………………………………………………Pada saatnya diharap bahwa status atau sifat istimewa bagi Yogyakarta dan Aceh akan hapus''. (Penjelasan pasal 1 dan 2 UU No 18/1965)</center>
----
 
 
 
Kebijakan ini juga '''diteruskan''' oleh Pemerintah Pusat dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah (LN 1974 No 38; TLN 3037). Di sini '''Propinsi D.I. Yogyakarta''' diatur secara khusus di aturan peralihan.
 
 
 
----
<center>''Pada saat berlakunya UU ini: ……………… b. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut UU ini dengan sebutan Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya …..…… ''(Pasal 91 sub b UU No 5/1974)</center>
----
 
 
 
 
Dengan UU ini '''susunan''' dan '''tata pemerintahan DIY''' praktis menjadi sama dan '''tidak ada perbedaan''' dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Perbedaan yang ada hanyalah pada '''Kepala''' Daerah Istimewa dan '''Wakil Kepala''' Daerah Istimewa, beberapa urusan '''Agraria''' yang nantinya pada 1982 juga disamakan dengan daerah lain, dan beberapa pegawai Pemda yang merangkap menjadi ''Abdi Dalem Keprajan''.
 
Setelah berhenti dari Wakil Presiden pada 1978 Hamengkubuwono IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Keadaan ini tidak berlangsung lama karena pada 1988 Sultan terakhir dari Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat '''mangkat''' di Amerika Serikat dan dimakamkan di Pemakaman Raja-raja Mataram Imogiri. Sebuah dedikasi yang cukup tinggi kepada Bangsa dan Negara Indonesia diberikan, dengan motto '''Tahta Untuk Rakyat'''. Hamengku Buwono IX tercatat sebagai '''Gubernur terlama''' yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Ngayogyakarta terlama antara 1939-1988.
 
Dengan wafatnya Hamengku Buwono IX Pemerintah Pusat '''tidak''' mengangkat Gubernur Definitif melainkan lebih memilih untuk '''menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII''', Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai '''Pelaksana Tugas Gubernur/Kepala Daerah Istimewa'''. Pada dekade 1990-an pernah muncul sebuah isu yang konon dilontarkan oleh Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah waktu itu untuk '''menghapus''' Propinsi D. I. Yogyakarta dan menggabungkan bekas wilayahnya ke Propinsi/Daerah Tingkat I Jawa Tengah.
 
Pada saat gelombang reformasi menerpa Indonesia, Yogyakarta merupakan salah satu wilayah teraman di Indonesia. Tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum pengunduran diri Presiden saat itu, Soeharto, Sultan [[Hamengku Buwono X]] bersama-sama dengan [[Paku Alam VIII]] mengeluarkan sebuah '''maklumat''' yang pada pokoknya berisi ''ajakan kepada masyarakat untukmendukung gerakan reformasi damai, mengajak ABRI (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan kesatauan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan Bangsa''. Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat yang konon sampai melebihi jumlah seratus ribu orang dalam acara yang disebut Pisowanan Hageng. Pengeluaran maklumat ini bukanlah tanpa resiko. Apabila gerakan reformasi gagal dan terjadi set back dengan penggunaan kekuasaan militer seperti terjadi tahun 1966 maupun ''tragedi Tiananmen'' di Beijing, Tiongkok, maka dapat saja kedua tokoh tersebut dipenjara dengan tuduhan '''subversi maupun makar''' dan Propinsi D.I. Yogyakarta '''dihapuskan'''.
 
Pisowanan Hageng 20 Mei 1998 mungkin merupakan pengabdian besar terakhir dari Sri Paduka Paku Alam VIII. Beberapa bulan setelahnya Paku Alam VIII menderita sakit. Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, Penjabat jabatan Gubernur/Kepala Daerah Istimewa, Pangeran terakhir Kadipaten Paku Alaman '''mangkat''' pada tahun yang sama. Beliau tercatat sebagai '''wakil Gubernur terlama''' (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).
 
== Kemana Biduk Kan Berlayar ==
<center> '''Daerah Istimewa Yogyakarta mulai tahun 1998''' </center>
 
'''Mangkatnya''' [[Paku Alam VIII]] juga menyeret segudang '''masalah''' bagi Pemerintahan Propinsi DIY terutama masalah '''kepemimpinan'''. Terjadi '''tarik ulur''' dan perdebatan yang sangat melelahkan antara Pemerintah Pusat, DPRD Propinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Semuanya memiliki pemikiran dan membentuk kubu masing-masing. '''Permasalahan utama''' adalah ''apakah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sepeninggal Paku Alam VIII dari Pewaris Tahta atau terbuka untuk siapa saja; apakah akan dipilih oleh DPRD atau diangkat secara langsung (tanpa pemilihan) oleh Presiden Indonesia; serta masa jabatan Gubernur seumur hidup, seperti mendiang Sultan HB IX dan PA VIII, atau selama masa jabatan tertentu sesuai dengan peraturan (selama 5 tahun)''.
 
Keadaan ini sebenarnya '''disebabkan''' UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY saat dijabat oleh Sultan HB IX dan PA VIII, dan tidak mengatur masalah '''suksesinya'''. Akhirnya, atas '''desakan rakyat''', Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003. Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi Paku Alam IX tidak berjalan mulus maka HB X '''tidak''' didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999 [[Paku Alam IX]] ditahtakan namun beliau belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.
 
Untuk menanggulangi masalah tersebut maka Pemerintah Pusat dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN 1999 No 60; TLN 3839), dalam aturan peralihan beserta penjelasannya mengatur masalah '''suksesi''' bagi '''kepemimpinan''' di Propinsi '''DIY'''. Sedangkan masalah '''birokrasi''' dan '''tata pemerintahan''' Propinsi DIY adalah '''sama''' dengan propinsi-propinsi lainnya.
 
 
 
----
<center>''Keistimewaan untuk Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Propinsi Istimewa Aceh dan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan atas UU ini''. (Pasal 122 UU No 22/1999)</center>
----
 
 
 
----
<center>''……………Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaanya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai UU ini''. (Penjelasan Pasal 122 UU No 22/1999)</center>
----
 
 
 
Pada tahun 2000 '''MPR RI''' melakukan '''perubahan kedua''' UUD 1945. Pada perubahan ini '''status daerah istimewa''' diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.
 
 
 
----
<center>''Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang''. (Pasal 18B ayat (1) UUD 1945)</center>
----
 
 
 
 
PemProp DIY maupun DPRD DIY pernah '''mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta''' untuk menjalankan aturan pasal 18B konstitusi. Namun usul tesebut tidak mendapat respon yang positif bila dibandingkan dengan '''Prop NAD''' dan '''Prop Papua''' yang telah menerima otonomi khusus masing-masing dengan ''UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam'' (LN 2001 No.114; TLN 4134) dan ''UU No 21/2001tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua'' (LN 2001 No 135; TLN 4151).
 
Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir di tahun 2003, kejadian di tahun 1998 '''terulang''' kembali. Semua berkat rumusan pasal yang '''multi tafsir'''. Masyarakatpun terbelah menjadi setidaknya dua kubu. '''DPRD''' Prop DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999. Namun '''kebanyakan''' masyarakat menghendaki HB X dan PA IX ditetapkan ('''ditunjuk bukan melalui pemilihan!''') menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Banyak tokoh yang mulai angkat bicara baik melalui dialog umum maupun media massa. Semua kembali pada pro dan kontra mengenai status istimewa dan isi keistimewaan Yogyakarta.
 
Sekali lagi HB X dan PA IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008, setelah sebagian besar masyarakat termasuk pegawai pemda mengajukan tuntutan kepada DPRD Propinsi DIY. Masalah menjadi mereda sebentar. Tahun 2004 masalah keistimewaan kembali '''bergolak'''. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004 No 125; TLN 4437), status keistimewaan Propinsi DIY diisyaratkan akan '''diatur secara khusus'''. Namun sebelum UU yang mengatur status keistimewaan Propinsi DIY diterbitkan, maka '''seluruh pelaksanaan pemerintahan''' mengacu pada UU tersebut. Sama seperti daerah propinsi yang lain, kecuali Aceh dan Papua, Pemerintahan Propinsi DIY dibagi menjadi Dinas, Badan, Kantor, Rumah Sakit, serta Sekretariat PemProp dan DPRD.
 
 
 
 
----
<center>Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. ………….. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang……… (Pasal 2 ayat (1) dan (8) UU No 32/2004)</center>
----
 
 
 
----
<center>''Ketentuan dalam UU ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarata sepanjang tidak diataur secara khusus dalam UU tersendiri. Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada UU ini. (Pasal 226 ayat (1) dan (2) UU No 32/2004)''</center>
----
 
 
 
----
<center>''Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus adalah daerah yang diberi otonomi khusus, sedangkan daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta''. (Penjelasan Pasal 2 ayat (8) UU No 32/2004)</center>
----
 
 
 
----
<center>''Yang dimaksud dengan UU tersendiri adalah UU Nomor 34 tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta, UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, jo UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, UU Nomor 21 Tahun 2001tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua''. (Penjelasan pasal 226 ayat (1) UU No 32/2004)</center>
----
 
 
 
 
Hal ini menyebabkan pertentangan semakin mencuat dan muncul ke permukaan. Banyak karangan artikel di surat kabar lokal maupun berbentuk buku yang berisi '''pro dan kontra''' terhadap '''keistimewaan'''. Masalahpun semakin melebar dengan pertanyaan keistimewaan apa yang dimiliki DIY. Sebagian besar masyarakat, dalam sebuah jajak pendapat surat kabar, berpendapat keistimewaan terletak pada kepemimpinan DIY di tangan dinasti Hamengku Buwono dan Paku Alam. Di tengah pro dan kontra masyarakat pada 7 April 2007 '''Sultan''' mengeluarkan pernyataan lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya ke-61 yang pada intinya '''tidak bersedia''' lagi menjabat sebagai Gubernur DIY setelah masa jabatannya selesai tahun 2008. Sontak masyarakat DIY terkejut. Di harian lokal hampir setiap hari menyorot dan membicarakan masalah keistimewaan. Pro dan kontra semakin sengit. Akhirnya Pemerintah Pusat '''berjanji''' untuk menyelesaikan UU yang mengatur keistimewaan sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2008.
 
 
 
==Daftar Pustaka==
P.J. Suwarno. (1994) Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: sebuah tinjauan historis. Yogyakarta: Kanisius
 
Saafroedin Bahar (ed). (1992) Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua. Jakarta: SetNeg RI
 
Soedarisman Poerwokoesoemo. (1984) Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
 
Berbagai peraturan tentang Pemerintahan Daerah (UU 22/1948; UU 1/1957; PenPres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974; UU 22/1999; dan UU 32/2004)
 
Berbagai peraturan tentang pembentukan DIY, kabupaten dan kota dalam lingkungannya (UU 3/1950; UU 15/1950; UU 16/1950; UU 19/1950; PP 31/1950; PP 32/1950; UU 18/1951; UU Drt 5/1957; UU 14/1958)
 
Berbagai surat kabar lokal dan nasional
 
Berbagai sumber yang tidak dapat disebutkan satu persatu karena banyaknya
 
 
 
==Lihat Pula==
[[Daerah Istimewa Yogyakarta]]
 
[[Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat]]
 
[[Kadipaten Paku Alaman]]
 
 
 
 
==Badai Pasti Berlalu==
<center> '''Sebuah Diskusi Keistimewaan Bagi Yogyakarta''' </center>
 
'''Masalah''' Keistimewaan Yogyakarta sebenarnya telah ada sejak '''sidang BPUPKI'''. Sebenarnya hal itu tidak hanya menyangkut Yogyakarta saja melainkan juga seluruh Kooti-kooti di To Indo. Ini '''bermula''' dari bentuk negara Indonesia yang akan didirikan. Untuk menentukan bentuk negara Indonesia yang merdeka maka badan tersebut melakukan pemungutan suara setelah terjadi perdebatan yang alot. Hasil dari voting para founding fathers adalah 55 suara memilih bentuk republik, 6 suara memilih bentuk kerajaan, dan 2 suara bentuk lain-lain, serta 1 suara abstain. Selain itu dalam panitia kecil perancang undang-undang dasar di lakukan penungutan suara dengan hasil memilih bentuk negara kesatuan. Dengan demikian negara Indonesia tidak akan memiliki vassal dalam wiilayahnya. Akhirnya diputuskan Kooti hanya menjadi suatu daerah dan '''bukan''' suatu Negara (State).
 
Situasi yang lebih '''memanas''' timbul pada sidang PPKI tanggal 19 Agustus ketika merumuskan kedudukan dan bentuk pemerintah daerah di Indonesia. Walau pada akhirnya kedudukan dan status Kooti dipertahankan seperti sediakala sambil menunggu UU pemerintahan daerah. Banyak '''usaha''' untuk '''menghapuskan Status Keistimewaan Yogyakarta'''. Diantaranya adalah ketika pengeluaran maklumat 18/1946 dimana dalam rancangan BP Dewan Daerah Yogyakarta hanya disebut sebagai Daerah Yogyakarta bukan Daerah Istimewa Yogyakarta.
 
Ketika UU pemerintahan daerah lahir (UU 22/1948) keistimewaannya secara '''eksplisit''' hanya menyangkut '''Kepemimpinan Daerah'''. Kepemimpinan ditentukan berasal dari penguasa (baca Raja) yang berkuasa dan memenuhi syarat kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan terhadap RI. Demikian pula dengan UU 1/1957 dan PenPres 6/1959 secara eksplisit ditentukan sama seperti UU sebelumnya. Secara '''implisit''' suksesi kepemimpinan juga diatur. Karena penguasa menganut sistem monarki maka tidak bisa tidak suksesi kepemimpinan daerah istimewa juga ditentukan dengan '''sistem dinasti'''.
 
Kegoncangan timbul ketika disahkannya UU 18/1965 yang hanya mengatur kepemimpinan DIY tanpa mengatur suksesinya. Bahkan diisyaratkan dengan jelas keistimewaannya akan '''dihapuskan'''. Hal ini dapat dipahami karena parlemen dan juga presiden waktu itu sangat dipengaruhi paham '''komunis'''. Walau tidak setegas UU sebelumnya, UU 5/1974 juga mengandung kelemahan yang sama. Kepemimpinan hanya diatur sebatas HB IX dan PA VIII saja '''tanpa''' memperhitungkan suksesinya.
 
Problem muncul ketika HB IX mangkat. Siapa pengganti beliau sebagai Sultan maupun kedudukan Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Akhirnya P. Mangkubumi tahtakan sebagai Hamengku Buwono X sebagai Sultan (Keraton) Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun pemerintah pusat tidak mengangkatnya langsung sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa menggantikan mendiang ayahnya, melainkan menunjuk PA VIII sebagai PLT Gubernur DIY.
 
Masalah menjadi semakin runyam ketika PA VIII juga wafat. DPRD DIY ''“ngotot”'' dilakukan pemilihan, sedangkan sebagian masyarakat ''kukuh'' pada pendapat HB X-lah yang berhak menjadi Gubernur. Hal ini juga terjadi di tahun 2003 ketika masa jabatan HB X sebagai gubernur habis. Keadaan ini sebenarnya dipicu oleh suatu '''“kekosongan hukum”'''. UU No. 22/1948 yang menjadi dasar UU No. 3/1950 mengenai pembentukan DIY, yang juga mengatur siapa yang berhak Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Gubernur /Wakil Kepala Daerah Istimewa, secara implisit juga mengenai suksesinya, '''telah lama dicabut'''. Sedangkan UU penggantinya '''tidak mengatur secara tegas'''. UU 22/1999 yang menjadi dasar hukum saat itu pun sangatlah '''multi tafsir'''. Pendukung Sultan mengatakan Gubernur harus diangkat. Sedangkan kelompok kontra, atas nama demokrasi dan reformasi menghendaki pemilihan gubernur dari DPRD. Perang di media massa pun berkobar.Masyarakat terpecah dan hampir terjadi bentrokan yang meluas. Walau HB X dan PA IX diangkat menjadi gubernur dan wakil gubernur, masalah tidak menjadi selesai melainkan menjadi '''bom waktu''' yang kapan saja siap meledak.
 
'''Sikap Pusat''' yang mendahulukan Aceh dan Papua dapat dipahami. Namun rakyat Yogyakarta lagi-lagi dibuat '''kecewa''' lebih dari lima tahun menunggu penyelesaian RUU Keistimewaan tanpa kepastian. Apakah harus ada gerakan '''separatisme''' untuk menarik perhatian Pusat. Bukankah Yogyakarta hanya '''meminta penegasan''' dari Pusat apakah '''keistimewaan''' yang selama ini ada (kepemimpinan dari dinasti) tetap '''dipertahankan''' atau sama sekali '''dihapuskan''' dan dijadikan Propinsi Yogyakarta atau malahan '''digabung''' dengan Propinsi Jawa Tengah. Penerbitan UU 32/2004 sebenarnya telah memangkas habis keistimewaan DIY walau dengan bahasa yang amat halus. Keistimewaan sama seperti UU 22/1999 namun UU 22/1999 sendiri dicabut dengan UU 32/2004. Dengan kata lain Propinsi DIY disamakan dengan seluruh daerah di Indonesia tanpa urusan perkecualian.
 
Keluarnya '''UU Pemerintahan Aceh''' sebagai hasil '''Perjanjian Helsinki''' antara '''RI dan GAM''' semakin mengobarkan pertentangan. Seorang '''tokoh''' di Yogyakarta berpendapat apakah keistimewaan hanya gubernur adalah sultan, atau hal yang lain yang menyejahterakan rakyat, sebab HB IX bertekad '''tahta untuk rakyat''' dan HB X bertekad '''tahta untuk kesejahteraan sosial'''. '''Klimaks''' pertentangan ini adalah pernyataan HB X tentang ketidak sediaan menjadi Gubernur. Tentu saja pernyataan ini mendapat '''reaksi keras''' dari sebagian rakyat dan kepala desa yang harus ditentramkan oleh Sultan sendiri.
 
Dengan melihat '''Otsus''' di Papua maupun Aceh sebenarnya tidak begitu sulit untuk mengatur Keistimewaan DIY. Di Papua terdapat '''MRP''' sebagai representasi masyarakat adat setempat. Dan di Aceh terdapat '''Dewan Ulama''' dan '''Wali Nanggroe''' sebagai penjaga adat dan syariat. Di Aceh sebenarnya dapat dikatakan memakai '''satu negara dua sistem'''. Indonesia dengan Pancasilanya dan Aceh selain Pancasila juga menggunakan ''"kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya"''. Sistem ini hampir sama dengan '''Hongkong''' maupun '''Macau'''yang menggunakan ''demokrasi liberal'' sedangkan negara induknya '''Tiongkok''' menggunakan sistem ''Sosialis-Komunis''. Jika satu negara dua sistem (''Pancasila dan Syariat Islam'') itu bisa diterapkan di Aceh lalu mengapa tidak di Yogyakarta dengan menerapkan satu negara dua sistem. '''Indonesia''' dengan bentuk ''Republik'' dan '''Yogyakarta''' dengan bentuk ''Monarki Konstitusional''. Hal ini memiliki dasar dalam persidangan BPUPKI dimana ada suara yang menghendaki bentuk kerajaan.
 
Mengenai bentuk '''monarki konstitusional''' dapat mencontoh '''[[Jepang]]''', '''[[Thailand]]''', ataupun '''[[Inggris]]'''. Di Jepang Kaisar hanyalah simbol persatuan dan sama sekali tidak memiliki dan dilarang turut campur dalam kekuasaan pemerintahan. Kaisar hanya memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan yang bersifat administratif seperti mengumunkan peraturan perundangan, melantik pejabat, dan tindakan lain yang diperintahkan konstitusi (lihat '''konstitusi Jepang Chapter I Article 1-8'''). Di Inggris Ratu (Queen), selain tindakan administratif, masih memiliki kekuasaan melalui anggota Majelis Tinggi ('''House of Lord''') dalam Parlemen. Sedangkan di Thailand Raja memiliki hak-hak istimewa seperti '''veto'''.
 
Akhirnya '''Dep Dagri''' menunjuk '''JIP UGM''' untuk membuat '''Naskah Akademik''' RUU Keistimewaan Yogyakarta. Naskah ini juga belum memenuhi harapan semua pihak. Sementara itu '''Dewan Perwakilan Daerah''' juga menurunkan timnya untuk persiapan mengajukan amandeman UU 3/1950 yang dipimpin oleh '''Subardi''' anggota DPD asal DIY sesuai hak konstitusional DPD. Untuk sementara versi RUU baik dari Dep Dagri maupun DPD telah selesai disusun akhir Agustus 2007 untuk kemudian diajukan ke DPR. Kini rakyat Yogyakarta menunggu '''“Goodwill, itikad yang baik, dari Pusat (Presiden dan DPR RI)”'''.
 
'''Semoga'''.
 
 
 
<center>
'''Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Propinsi.''' (Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No 3 Tahun 1950)
</center>