Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Jagawana (bicara | kontrib)
k Bersambung: {{rapikan}}
Quoth nevermore (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
{{rapikan}}
<!--Tulisan Anda tidak sesuai standar penulisan di Wikipedia, harap tidak menghapus tag "rapikan" sebelum Anda menulisnya dengan rapi dan sesuai gaya penulisan di Wikipedia, lihat contoh di artikel-artikel lainnya -->
<center> '''Bagian Pertama Dari Dua Tulisan''' </center>
----
 
Baris 7:
 
 
'''Daerah Istimewa Yogyakarta''' termasuk salah satu propinsi tertua yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat. Propinsi ini juga memiliki status istimewa, atau dengan bahasa saat ini otonomi khusus, bila dibandingkan dengan propinsi lainnya. Status otsus ini bukanlah turun begitu saja dari langit dan bukan pula, sepanjang tercatat oleh sejarah resmi, hasil dari upaya untuk meredam gejolak '''separatisme'''. Status ini boleh dikatakan merupakan sebuah “warisan” dari zaman sebelum kemerdekaan yang kemudian diakui oleh para ''founding fathers'' yang duduk dalam '''BPUPKI''' dan '''PPKI'''.
 
'''Status keistimewaan''' bagi Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dapat dirunut jauh sekali ke belakang sebelum proklamasi Negara Indonesia. Pada tahun 1749, setelah menderita sakit parah yang berkepanjangan, Raja Mataram kesembilan, '''Susuhunan Paku Buwono II''', menandatangani sebuah perjanjian pendek yang pada intinya ''“menitipkan”'' Kerajaan Mataram kepada VOC yang diwakili oleh ''Gubernur'' dan ''Direktur Jawa'' (lihat naskah di wikisource). Dengan demikian Kerajaan Mataram yang sejak tahun 1677 digerogoti Kompeni bukan lagi sebagai negara berdaulat penuh melainkan hanya semacam kerajaan protektorat dari VOC. Namun, perjanjian tersebut hanya di atas kertas belaka dan baru dilaksanakan sepenuhnya setelah kedatangan ''Gubernur Jenderal Perancis'' '''Daendels''' serta ''Letnan Gubernur Jenderal Inggris'' '''Sir Thomas Stamford Raffles'''.
 
Dengan status semacam '''protektorat''' itulah '''[[Kesultanan Yogyakarta]]''' (mulai 1812) dan juga '''[[Kadipaten Paku Alaman]]''' (mulai 1813/1829?) diberi hak oleh pemerintah penjajahan Inggris untuk memerintah daerahnya sendiri dengan pengawasan teramat ketat dari gubermen di '''''Buitenzorg/Batavia'''''. Keadaan ini diteruskan oleh Pemerintah '''''Nederlands Indië''''' yang menerima kekuasaan dari Inggris pada 1816 dengan sebutan '''''Zelfbestuurende Lanschappen'''''. Status inilah yang dapat dipandang sebagai asal-usul status istimewa atau otonomi khusus bagi Yogyakarta dalam ketatanegaraan Indonesia. Perlu dicatat bahwa daerah yang tidak memiliki status '''''zelfbestuur''''' hanyalah daerah administratif belaka yang tidak memiliki otonomi sedikitpun dan dikendalikan sepenuhnya oleh Batavia.
 
Predikat sebagai '''“Zelfbestuur”''' bagi dua monarki di Yogyakarta pada waktu itu tidak membawa permasalahan yang berarti karena Hindia Belanda maupun Nederland sama-sama berbentuk monarki. Tidak aneh dalam tata negara sebuah kerajaan kesatuan memiliki beberapa '''kerajaan vassal''' di bawahnya. Status ini tidak dihapus pada 1942 oleh '''Tentara Angkatan Darat XVI Jepang''' di Jawa, melainkan kedudukannya hanya dialihkan menjadi bagian dari Kekaisaran Jepang dan Asia Timur Raya dengan sebutan '''Koti/Kooti'''. Bahkan pada tahun 1943 '''Hamengkubuwono IX''' Yogyakarta Koo pernah mengajukan sebuah konsep Kemaharajaan Jawa kepada ''Dai Nippon'' di Betawi. Dalam sidang kedua '''''Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai''''' 10-15 Juli 1945 disepakati bahwa kooti akan menjadi daerah (bukan negara!) yang memiliki '''“otonomi khusus”''' atau dalam bahasa saat itu '''“status istimewa”'''.
 
Sementara itu di Yogyakarta sendiri terjadi beberapa perubahan kecil namun cukup signifikan. '''Pertama''', sejak 1942 '''[[Hamengku Buwono IX]]''' secara pelan namun pasti mengambil kekuasaan yang ada di tangan '''''Pepatih Dalem''''' (''Chief of Administrative Officer'', berfungsi semacam kepala pemerintahan sehari-hari) dengan cara memindahkan kantor Pepatih Dalem dari '''''nDalem Kepatihan''''' (Istana Perdana Menteri) ke '''''Karaton''''' (Kraton/Istana Kerajaan) Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Hal ini menyebabkan pihak '''''Kooti Zimukyoku''''' jika ingin berhubungan dengan ''Pepatih Dalem'' harus dengan izin Sultan. Dengan demikian Hamengku Buwono IX dapat mengetahui seluruh kegiatan pemerintahan sehari-hari yang diselenggarakan oleh Pepatih Dalem bersama-sama ''Koti Zimukyoku Tyookan''. '''Kedua''', ketika ''Pepatih Dalem'' '''KPHH Danurejo VIII''' diberhentikan dengan hormat atas permohonan sendiri pada 14 Juli 1945, Sultan [[Hamengku Buwono IX]] (HB IX) tidak mengangkat ''Pepatih Dalem'' untuk menggantikannya. Sultan HB IX lebih memilih untuk mengambil alih seluruh kekuasaan pemerintahan sehari-hari yang sebelumnya ada di tangan Pepatih Dalem. Untuk membantu melaksanakan kekuasaan tersebut Sultan HB IX membentuk beberapa Departemen Pemerintahan modern yang disebut dengan '''Paniradya''' yang dikepalai oleh '''Paniradyapati'''. Pembaruan pemerintahan ini diumumkan pada 1 Agustus 1945.
 
== Pada Mulanya … ==
<center> '''Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1945-1946''' </center>
 
'''Yogyakarta''' sore hari tanggal 18 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya kedua beliau sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirim ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua [[BPUPKI]]) dan ''Nampoo-Gun Sikikan Kakka'' dan ''Jawa Saiko Sikikan'' beserta stafnya. Keesokannya tanggal 19 di Jakarta terjadi pembicaraan yang hangat dalam sidang PPKI membahas kedudukan ''Kooti''. Sebenarnya kedudukan ''Kooti'' sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci.
 
 
Baris 30:
 
 
Dalam sidang itu '''BPH Puruboyo''', wakil dari ''Yogyakarta Kooti'' meminta pada pemerintah pusat supaya ''Kooti'' dijadikan 100% ''zelf-standig'' dan perhubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh '''[[Soekarno]]''' karena itu bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan yang sudah diserahkan Jepang kepada Koti sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan kegoncangan. Ketua panitia kecil perancang susunan daerah dan kementerian negara, '''[[Oto Iskandardinata]]''', mengemukakan bahwa soal ''Kooti'' memang sangat sulit dipecahkan sehingga panitia kecil tidak membahasnya lebih lanjut dan diserahkan kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan '''[[Hatta]]''', '''Suroso''', '''Suryohamijoyo''', dan '''Supomo''' kedudukan Kooti ditetapkan '''status quo''' sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Akhirnya '''[[Soekarno]]''' pada hari itu mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi empat Ko Jawa. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September setelah tahu sikap resmi dari para penguasa monarki.
 
Hari pertama bulan September '''Komite Nasional Indonesia Daerah''' (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan ''Yogyakarta Kooti Hookookai''. Pada hari yang sama juga dibentuk '''BKR''' (Badan Keamanan Rakyat). Usai terbentuknya KNID dan BKR '''Sultan [[Hamengku Buwono IX]]''', mengadakan pembicaraan dengan '''[[Paku Alam VIII]]''' ('''PA VIII''') dan '''Ki Hajar Dewantoro''' serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan '''Amanat 5 September 1945'''. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan ''Nederlandsch Indische'' setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung resiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, '''Raja
Kerajaan Luwu''' akhirnya terpaksa meninggalkan istananya pergi bergerilya melawan '''Sekutu'''danSekutudan '''NICA''' untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
 
Pada saat itu wilayah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta meliputi:
#''Kabupaten Kota Yogyakarta'' dengan bupatinya '''KRT Hardjodiningrat''',
#''Kabupaten Sleman'' dengan bupatinya '''KRT Pringgodiningrat''',
#''Kabupaten Bantul'' dengan bupatinya '''KRT Joyodiningrat''',
#''Kabupaten Gunungkidul'' dengan bupatinya '''KRT Suryodiningrat''',
# (e) Kabupaten Kulonprogo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
 
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:
#(a) ''Kabupaten Kota Paku Alaman'' dengan bupatinya '''KRT Brotodiningrat''',
#(b) ''Kabupaten Adikarto'' dengan bupatinya '''KRT Suryaningprang'''.
 
Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya daerah administratif belaka. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan '''Bupati Pamong Praja'''. Mereka juga mengepalai ''birokrasi kerajaan'' yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950. Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya '''Badan Pekerja [[Komite Nasional Indonesia]] Daerah Yogyakarta''' pada 29 Oktober 1945 dengan ketua '''Moch Saleh''' dan wakil ketua '''S. Joyodiningrat''' dan '''Ki Bagus Hadikusumo''', maka sehari sesudahnya, semufakat dengan Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta, HB IX dan PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan '''Amanat 30 Oktober 1945''') yang isinya menyerahkan kekuasaan Legeslatif pada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai ''reunifikasi'' dua kerajaan yang terpisah lebih dari 100 tahun. Semenjak saat itu dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat.
 
Pembaruan pemerintahan di Monarki Yogyakarta terus berlangsung. Pada saat itu terdapat beberapa birokrasi pemerintahan yang saling tumpang tindih (''over lapping'') antara bekas '''Kantor Komisariat Tinggi''' (''Kooti Zimukyoku'''), sebagai wakil pemerintah Pusat, Departemen Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan '''Badan Eksekutif''' bentukan KNID Yogyakarta. Tumpang tindih itu tidak hanya berebut kekuasaan belaka tetapi menghasilkan benturan yang cukup keras di kalangan masyarakat yang menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu pada 16 Februari 1946 dikeluarkan '''Maklumat No. 11''' yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui '''Maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17''', monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat desa.
 
Sementara itu BP KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan '''RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta'''. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan yang teramat tajam antara BP KNID yang menghendaki Yogyakarta adalah daerah biasa seperti daerah yang lain dengan kedua ''Sri Paduka'' yang menghendaki Yogyakarta merupakan daerah istimewa. Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh Bab tersebut adalah: I. Kedudukan Yogyakarta; II. Kekuasaan Pemerintahan; III. Kedudukan kedua Sri Paduka; IV. Parlemen Lokal (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan); V. Pemilihan Parlemen; VI. Keuangan; VII. Dewan Pertimbangan; VIII. Perubahan; IX. Aturan Peralihan; dan X Aturan Tambahan.
 
== Menyandingkan Demokrasi Dengan Monarki==
<center>'''Daerah istimewa Yogyakarta tahun 1946-1950''' </center>
 
Sebagai realisasi keputusan sidang paripurna KNID tanggal 24 April 1946, maka pada 18 Mei 1946 diumumkan Maklumat No. 18 yang mengatur '''Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintahan [[Daerah Istimewa Yogyakarta]]'''. Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai '''digunakan secara resmi''' dalam urusan pemerintahan, menegaskan persatuan dua daerah kerajaan untuk menjadi sebuah daerah istimewa dari Negara Indonesia. Maklumat ini menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di Yogyakarta sampai ditetapkannya Undang-undang yang mengatur Daerah Istimewa Yogyakarta.
 
'''Perbedaan pendapat''' antara KNID dengan Monarki tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei. Selain itu juga nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung yaitu Bab I tentang Kedudukan DIY; Bab VI tentang Keuangan; dan Bab VII tentang Dewan Pertimbangan. Dalam maklumat tersebut ditetapkan '''kekuasaan legeslatif''' dipegang oleh '''DPRD''' (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. '''Kekuasaan eksekutif''' dipangku secara bersama-sama oleh '''Dewan Pemerintah Daerah''' dan '''Kepala Daerah''' (Kedua Sri Paduka [HB IX dan PA VIII], Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya. Pemerintahan yang dianut adalah '''''collegial bestuur''''' atau direktorial karena badan eksekutif tidak berada ditangan satu orang melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu ialah untuk persatuan dan menampung sekian banyak kepentingan dari berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada DPRD. Namun demikian '''kedua Sri Paduka''' tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan pada '''Presiden'''.
 
'''Reorganisasi pemerintahan''' daerah pun segera dijalankan. Sultan Hamengku Buwono IX menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Adipati Paku Alam VIII menjadi Wakil Kepala Daerah Istimewa. Walaupun pada prakteknya, PA VIII sering menjadi melaksanakan tugas Kepala Daerah saat HB IX menjadi Menteri Negara Indonesia maupun RIS sejak 1946-1951. Pegawai-pegawai Daerah yang terdiri dari berbagai birokrasi yang berbeda (birokrasi pemerintahan monarki dan birokrasi bentukan KNID) disatukan dalam Jawatan (Dinas) Daerah. DPRD-DPRD segera dibentuk pada tiap tingkatan pemerintahan. Mungkin ini adalah '''parlemen lokal''' yang '''pertama kali''' dibentuk dalam Negara Indonesia. Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing-masing tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian untuk otonomi belum diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.
 
Pada 1947 dikeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte-Kota Yogyakarta yang diusulkan oleh '''Dewan Kota Yogyakarta'''. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta '''di keluarkan''' dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari HB IX. Sebagai penyelesaian maka pada 22 Juli 1947 '''Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo''' diangkat menjadi Walikota Haminte-Kota Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX, menggantikan '''M. Enoch''' yang turut pergi mengungsi bersama Presiden karena terjadi '''Agresi Militer Belanda I'''.
 
Pada tahun 1948 Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang tersebut diatur kedudukan Daerah Istimewa.
Baris 92:
 
 
Walaupun demikian pemerintah pusat belum mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi '''Agresi Militer Belanda II''' pada 19 Desember 1948. Pasca serangan umum 1 Maret 1949 Yogyakarta di jadikan '''Daerah Militer Istimewa''' dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Baru setelah KMB ditandatangani, Pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia (Yogyakarta) mengeluarkan beberapa UU dan Perpu untuk membentuk Propinsi di Pulau Jawa dan Sumatera.
 
==Tahta Untuk Rakyat==
<center>'''Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1950-1965'''</center>
 
 
Baris 106:
 
 
'''Pemerintah [[Daerah Istimewa Yogyakarta]]''' secara '''legal formal''' dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950 (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 (BN 1950 No. 48). Kedua tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah '''sangat singkat''' (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. '''Status keistimewaan''' Yogyakarta '''tidak diatur''' lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948.
 
'''Pembagian''' Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi '''kabupaten-kabupaten dan kota''' yang berotonomi diatur dengan UU No. 15 Tahun 1950 (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950 (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No. 32 Tahun 1950 (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut Daerah Istimewa Yogyakarta dibagi menjadi kabupaten-kabupaten ''[[Bantul]]'' (beribukota di ''Bantul''); ''[[Sleman]]'' (beribukota di ''Sleman''), ''Gunung-kidul'' (beribukota di ''Wonosari''), ''[[Kulon Progo]]'' (beribukota di ''Sentolo'') dan ''Adikarto'' (beribukota di ''[[Wates]]''); serta sebuah ''Kota Besar Yogyakarta''. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota di Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota di Sentolo menjadi Kabupaten ''Kulon Progo'' dengan ibu kota ''Wates''. Penggabungan kedua daerah ini berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 1951 (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU Pokok tentang Pemerintah Daerah (UU 22/1948).
 
Pada tahun 1951 diselenggarakan '''Pemilu''' untuk memilih anggota '''DPRD'''. Komposisi DPRD didominasi dari '''Masyumi''' 18 kursi dari total 40 kursi DPRD, sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya. Tercatat dua '''parpol lokal''' yang mengikuti pemilu ini yaitu '''PPDI''' dan '''SSPP'''. Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh '''kedua Sri Paduka''' (HB IX dan PA VIII). Namun kedua Sri Paduka tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan kepada '''Presiden'''. Dalam sistem yang dianut terdapat dua macam birokrasi yang boleh jadi saling over lapping. Dewan Pemerintah sebagai organ daerah dan Kepala Daerah sebagai organ pemerintah pusat.
 
Tahun 1951 ini pun tercatat sebagai '''awal pengembangan dan penataan birokrasi''' di DIY. Sekalipun DIY telah berintegrasi dengan Indonesia, tetapi birokrasi pemerintahan monarki tidak dihapuskan begitu saja mengingat selama 1945 sampai 1950 birokrasi ini menjadi tulang punggung birokrasi DIY. Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari '''Kanayakan''' yang memerintah '''Nagari Dalem''' (dahulu dikepalai oleh ''Pepatih Dalem''). Sedikit demi sedikit birokrasi ini dipisahkan dari birokrasi monarki (Karaton). Pada dasarnya kedua birokrasi ini dipimpin oleh Sultan HB IX. Namun karena sedang menjabat sebagai menteri beliau tidak dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian di '''Kepatihan''' di pimpin oleh PA VIII sedangkan bagian di Karaton yang disebut '''Parentah Hageng Karaton''' di pimpin oleh '''GP Hangabehi'''.
 
Proses '''pemisahan''' antara '''negara''' (Nagari Dalem) dan '''istana''' (Karaton Dalem) tidak mulus begitu saja. Terdapat keberatan-keberatan yang datang baik dari kalangan istana maupun partai politik yang duduk di parlemen lokal. Permasalahan yang timbul antara lain masalah status kepegawaian antara pegawai kerajaan (Abdi Dalem) dengan pegawai pemda yang baru (bukan dari Abdi Dalem). Walaupun demikian setelah memakan waktu yang sangat lama akhirnya '''Pemerintahan Nagari Dalem''' berubah menjadi '''Pemerintahan Daerah Istimewa''' dan '''Karaton''' (Kraton) Dalem tetap dikelola oleh Dinasti Hamengku Buwono.
 
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan UU No 1/1957 tentang pemerintah daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUD Sementara.
Baris 144:
 
 
Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang pengaturan pemerintahan di Yogyakarta dengan UU 22/1948. Selanjutnya, demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan '''mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta''' Nomor 6/1952 tertanggal 24 September 1952, daerah-daerah ''enclave Imogiri, Kota Gede, dan Ngawen'' dilepaskan dari Propinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan '''enclave-enclave''' ini berdasarkan UU Drt No. 5 Tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No. 14 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1562).
 
Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian terhadap UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa juga tidak banyak berbeda.
Baris 159:
 
==The Last Emperor==
<center>'''Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1965-1998'''</center>
 
Pada tahun 1965 Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini '''Yogyakarta''' dijadikan sebuah '''Propinsi''' (sebelumnya adalah '''Daerah Istimewa Setingkat Propinsi'''). Dalam UU ini pula seluruh '''swapraja''' yang masih ada baik secara ''de facto'' maupun ''de jure'' yang menjadi bagian dari suatu daerah lain yang lebih besar dihapuskan. Dengan demikian Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh Pusat. UU yang dibuat dalam pengaruh '''komunisme''' ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik bagi '''Aceh''' maupun Yogyakarta kelak dikemudian hari. Ini untuk mewujudkan tujuan komunis sama rata sama rasa. Kejadian ini mengingatkan pada penghapusan ''Daerah Istimewa Surakarta'' (1946) maupun penghancuran Kekaisaran Rusia (1917) oleh komunis.
 
 
Baris 188:
 
 
Kebijakan ini juga '''diteruskan''' oleh Pemerintah Pusat dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah (LN 1974 No 38; TLN 3037). Di sini '''Propinsi D.I. Yogyakarta''' diatur secara khusus di aturan peralihan.
 
 
Baris 199:
 
 
Dengan UU ini '''susunan''' dan '''tata pemerintahan DIY''' praktis menjadi sama dan '''tidak ada perbedaan''' dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Perbedaan yang ada hanyalah pada '''Kepala''' Daerah Istimewa dan '''Wakil Kepala''' Daerah Istimewa, beberapa urusan '''Agraria''' yang nantinya pada 1982 juga disamakan dengan daerah lain, dan beberapa pegawai Pemda yang merangkap menjadi ''Abdi Dalem Keprajan''.
 
Setelah berhenti dari Wakil Presiden pada 1978 Hamengkubuwono IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Keadaan ini tidak berlangsung lama karena pada 1988 Sultan terakhir dari Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat '''mangkat''' di Amerika Serikat dan dimakamkan di Pemakaman Raja-raja Mataram Imogiri. Sebuah dedikasi yang cukup tinggi kepada Bangsa dan Negara Indonesia diberikan, dengan motto '''Tahta Untuk Rakyat'''. Hamengku Buwono IX tercatat sebagai '''Gubernur terlama''' yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Ngayogyakarta terlama antara 1939-1988.
 
Dengan wafatnya Hamengku Buwono IX Pemerintah Pusat '''tidak''' mengangkat Gubernur Definitif melainkan lebih memilih untuk '''menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII''', Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai '''Pelaksana Tugas Gubernur/Kepala Daerah Istimewa'''. Pada dekade 1990-an pernah muncul sebuah isu yang konon dilontarkan oleh Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah waktu itu untuk '''menghapus''' Propinsi D. I. Yogyakarta dan menggabungkan bekas wilayahnya ke Propinsi/Daerah Tingkat I Jawa Tengah.
 
Pada saat gelombang reformasi menerpa Indonesia, Yogyakarta merupakan salah satu wilayah teraman di Indonesia. Tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum pengunduran diri Presiden saat itu, Soeharto, Sultan [[Hamengku Buwono X]] bersama-sama dengan [[Paku Alam VIII]] mengeluarkan sebuah '''maklumat''' yang pada pokoknya berisi ''ajakan kepada masyarakat untukmendukung gerakan reformasi damai, mengajak ABRI (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan kesatauan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan Bangsa''. Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat yang konon sampai melebihi jumlah seratus ribu orang dalam acara yang disebut Pisowanan Hageng. Pengeluaran maklumat ini bukanlah tanpa resiko. Apabila gerakan reformasi gagal dan terjadi set back dengan penggunaan kekuasaan militer seperti terjadi tahun 1966 maupun ''tragedi Tiananmen'' di Beijing, Tiongkok, maka dapat saja kedua tokoh tersebut dipenjara dengan tuduhan '''subversi maupun makar''' dan Propinsi D.I. Yogyakarta '''dihapuskan'''.
 
Pisowanan Hageng 20 Mei 1998 mungkin merupakan pengabdian besar terakhir dari Sri Paduka Paku Alam VIII. Beberapa bulan setelahnya Paku Alam VIII menderita sakit. Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, Penjabat jabatan Gubernur/Kepala Daerah Istimewa, Pangeran terakhir Kadipaten Paku Alaman '''mangkat''' pada tahun yang sama. Beliau tercatat sebagai '''wakil Gubernur terlama''' (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).
 
== Kemana Biduk Kan Berlayar ==
<center> '''Daerah Istimewa Yogyakarta mulai tahun 1998''' </center>
 
'''Mangkatnya''' [[Paku Alam VIII]] juga menyeret segudang '''masalah''' bagi Pemerintahan Propinsi DIY terutama masalah '''kepemimpinan'''. Terjadi '''tarik ulur''' dan perdebatan yang sangat melelahkan antara Pemerintah Pusat, DPRD Propinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Semuanya memiliki pemikiran dan membentuk kubu masing-masing. '''Permasalahan utama''' adalah ''apakah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sepeninggal Paku Alam VIII dari Pewaris Tahta atau terbuka untuk siapa saja; apakah akan dipilih oleh DPRD atau diangkat secara langsung (tanpa pemilihan) oleh Presiden Indonesia; serta masa jabatan Gubernur seumur hidup, seperti mendiang Sultan HB IX dan PA VIII, atau selama masa jabatan tertentu sesuai dengan peraturan (selama 5 tahun)''.
 
Keadaan ini sebenarnya '''disebabkan''' UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY saat dijabat oleh Sultan HB IX dan PA VIII, dan tidak mengatur masalah '''suksesinya'''. Akhirnya, atas '''desakan rakyat''', Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003. Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi Paku Alam IX tidak berjalan mulus maka HB X '''tidak''' didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999 [[Paku Alam IX]] ditahtakan namun beliau belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.
 
Untuk menanggulangi masalah tersebut maka Pemerintah Pusat dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN 1999 No 60; TLN 3839), dalam aturan peralihan beserta penjelasannya mengatur masalah '''suksesi''' bagi '''kepemimpinan''' di Propinsi '''DIY'''. Sedangkan masalah '''birokrasi''' dan '''tata pemerintahan''' Propinsi DIY adalah '''sama''' dengan propinsi-propinsi lainnya.
 
 
Baris 232:
 
 
Pada tahun 2000 '''MPR RI''' melakukan '''perubahan kedua''' UUD 1945. Pada perubahan ini '''status daerah istimewa''' diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.
 
 
Baris 243:
 
 
PemProp DIY maupun DPRD DIY pernah '''mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta''' untuk menjalankan aturan pasal 18B konstitusi. Namun usul tesebut tidak mendapat respon yang positif bila dibandingkan dengan '''Prop NAD''' dan '''Prop Papua''' yang telah menerima otonomi khusus masing-masing dengan ''UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam'' (LN 2001 No.114; TLN 4134) dan ''UU No 21/2001tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua'' (LN 2001 No 135; TLN 4151).
 
Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir di tahun 2003, kejadian di tahun 1998 '''terulang''' kembali. Semua berkat rumusan pasal yang '''multi tafsir'''. Masyarakatpun terbelah menjadi setidaknya dua kubu. '''DPRD''' Prop DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999. Namun '''kebanyakan''' masyarakat menghendaki HB X dan PA IX ditetapkan ('''ditunjuk bukan melalui pemilihan!''') menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Banyak tokoh yang mulai angkat bicara baik melalui dialog umum maupun media massa. Semua kembali pada pro dan kontra mengenai status istimewa dan isi keistimewaan Yogyakarta.
 
Sekali lagi HB X dan PA IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008, setelah sebagian besar masyarakat termasuk pegawai pemda mengajukan tuntutan kepada DPRD Propinsi DIY. Masalah menjadi mereda sebentar. Tahun 2004 masalah keistimewaan kembali '''bergolak'''. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004 No 125; TLN 4437), status keistimewaan Propinsi DIY diisyaratkan akan '''diatur secara khusus'''. Namun sebelum UU yang mengatur status keistimewaan Propinsi DIY diterbitkan, maka '''seluruh pelaksanaan pemerintahan''' mengacu pada UU tersebut. Sama seperti daerah propinsi yang lain, kecuali Aceh dan Papua, Pemerintahan Propinsi DIY dibagi menjadi Dinas, Badan, Kantor, Rumah Sakit, serta Sekretariat PemProp dan DPRD.
 
 
Baris 277:
 
 
Hal ini menyebabkan pertentangan semakin mencuat dan muncul ke permukaan. Banyak karangan artikel di surat kabar lokal maupun berbentuk buku yang berisi '''pro dan kontra''' terhadap '''keistimewaan'''. Masalahpun semakin melebar dengan pertanyaan keistimewaan apa yang dimiliki DIY. Sebagian besar masyarakat, dalam sebuah jajak pendapat surat kabar, berpendapat keistimewaan terletak pada kepemimpinan DIY di tangan dinasti Hamengku Buwono dan Paku Alam. Di tengah pro dan kontra masyarakat pada 7 April 2007 '''Sultan''' mengeluarkan pernyataan lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya ke-61 yang pada intinya '''tidak bersedia''' lagi menjabat sebagai Gubernur DIY setelah masa jabatannya selesai tahun 2008. Sontak masyarakat DIY terkejut. Di harian lokal hampir setiap hari menyorot dan membicarakan masalah keistimewaan. Pro dan kontra semakin sengit. Akhirnya Pemerintah Pusat '''berjanji''' untuk menyelesaikan UU yang mengatur keistimewaan sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2008.
 
 
Baris 309:
 
==Badai Pasti Berlalu==
<center> '''Sebuah Diskusi Keistimewaan Bagi Yogyakarta''' </center>
 
'''Masalah''' Keistimewaan Yogyakarta sebenarnya telah ada sejak '''sidang BPUPKI'''. Sebenarnya hal itu tidak hanya menyangkut Yogyakarta saja melainkan juga seluruh Kooti-kooti di To Indo. Ini '''bermula''' dari bentuk negara Indonesia yang akan didirikan. Untuk menentukan bentuk negara Indonesia yang merdeka maka badan tersebut melakukan pemungutan suara setelah terjadi perdebatan yang alot. Hasil dari voting para founding fathers adalah 55 suara memilih bentuk republik, 6 suara memilih bentuk kerajaan, dan 2 suara bentuk lain-lain, serta 1 suara abstain. Selain itu dalam panitia kecil perancang undang-undang dasar di lakukan penungutan suara dengan hasil memilih bentuk negara kesatuan. Dengan demikian negara Indonesia tidak akan memiliki vassal dalam wiilayahnya. Akhirnya diputuskan Kooti hanya menjadi suatu daerah dan '''bukan''' suatu Negara (State).
 
Situasi yang lebih '''memanas''' timbul pada sidang PPKI tanggal 19 Agustus ketika merumuskan kedudukan dan bentuk pemerintah daerah di Indonesia. Walau pada akhirnya kedudukan dan status Kooti dipertahankan seperti sediakala sambil menunggu UU pemerintahan daerah. Banyak '''usaha''' untuk '''menghapuskan Status Keistimewaan Yogyakarta'''. Diantaranya adalah ketika pengeluaran maklumat 18/1946 dimana dalam rancangan BP Dewan Daerah Yogyakarta hanya disebut sebagai Daerah Yogyakarta bukan Daerah Istimewa Yogyakarta.
 
Ketika UU pemerintahan daerah lahir (UU 22/1948) keistimewaannya secara '''eksplisit''' hanya menyangkut '''Kepemimpinan Daerah'''. Kepemimpinan ditentukan berasal dari penguasa (baca Raja) yang berkuasa dan memenuhi syarat kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan terhadap RI. Demikian pula dengan UU 1/1957 dan PenPres 6/1959 secara eksplisit ditentukan sama seperti UU sebelumnya. Secara '''implisit''' suksesi kepemimpinan juga diatur. Karena penguasa menganut sistem monarki maka tidak bisa tidak suksesi kepemimpinan daerah istimewa juga ditentukan dengan '''sistem dinasti'''.
 
Kegoncangan timbul ketika disahkannya UU 18/1965 yang hanya mengatur kepemimpinan DIY tanpa mengatur suksesinya. Bahkan diisyaratkan dengan jelas keistimewaannya akan '''dihapuskan'''. Hal ini dapat dipahami karena parlemen dan juga presiden waktu itu sangat dipengaruhi paham '''komunis'''. Walau tidak setegas UU sebelumnya, UU 5/1974 juga mengandung kelemahan yang sama. Kepemimpinan hanya diatur sebatas HB IX dan PA VIII saja '''tanpa''' memperhitungkan suksesinya.
 
Problem muncul ketika HB IX mangkat. Siapa pengganti beliau sebagai Sultan maupun kedudukan Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Akhirnya P. Mangkubumi tahtakan sebagai Hamengku Buwono X sebagai Sultan (Keraton) Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun pemerintah pusat tidak mengangkatnya langsung sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa menggantikan mendiang ayahnya, melainkan menunjuk PA VIII sebagai PLT Gubernur DIY.
 
Masalah menjadi semakin runyam ketika PA VIII juga wafat. DPRD DIY ''“ngotot”'' dilakukan pemilihan, sedangkan sebagian masyarakat ''kukuh'' pada pendapat HB X-lah yang berhak menjadi Gubernur. Hal ini juga terjadi di tahun 2003 ketika masa jabatan HB X sebagai gubernur habis. Keadaan ini sebenarnya dipicu oleh suatu '''“kekosongan hukum”'''. UU No. 22/1948 yang menjadi dasar UU No. 3/1950 mengenai pembentukan DIY, yang juga mengatur siapa yang berhak Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Gubernur /Wakil Kepala Daerah Istimewa, secara implisit juga mengenai suksesinya, '''telah lama dicabut'''. Sedangkan UU penggantinya '''tidak mengatur secara tegas'''. UU 22/1999 yang menjadi dasar hukum saat itu pun sangatlah '''multi tafsir'''. Pendukung Sultan mengatakan Gubernur harus diangkat. Sedangkan kelompok kontra, atas nama demokrasi dan reformasi menghendaki pemilihan gubernur dari DPRD. Perang di media massa pun berkobar.Masyarakat terpecah dan hampir terjadi bentrokan yang meluas. Walau HB X dan PA IX diangkat menjadi gubernur dan wakil gubernur, masalah tidak menjadi selesai melainkan menjadi '''bom waktu''' yang kapan saja siap meledak.
 
'''Sikap Pusat''' yang mendahulukan Aceh dan Papua dapat dipahami. Namun rakyat Yogyakarta lagi-lagi dibuat '''kecewa''' lebih dari lima tahun menunggu penyelesaian RUU Keistimewaan tanpa kepastian. Apakah harus ada gerakan '''separatisme''' untuk menarik perhatian Pusat. Bukankah Yogyakarta hanya '''meminta penegasan''' dari Pusat apakah '''keistimewaan''' yang selama ini ada (kepemimpinan dari dinasti) tetap '''dipertahankan''' atau sama sekali '''dihapuskan''' dan dijadikan Propinsi Yogyakarta atau malahan '''digabung''' dengan Propinsi Jawa Tengah. Penerbitan UU 32/2004 sebenarnya telah memangkas habis keistimewaan DIY walau dengan bahasa yang amat halus. Keistimewaan sama seperti UU 22/1999 namun UU 22/1999 sendiri dicabut dengan UU 32/2004. Dengan kata lain Propinsi DIY disamakan dengan seluruh daerah di Indonesia tanpa urusan perkecualian.
 
Keluarnya '''UU Pemerintahan Aceh''' sebagai hasil '''Perjanjian Helsinki''' antara '''RI dan GAM''' semakin mengobarkan pertentangan. Seorang '''tokoh''' di Yogyakarta berpendapat apakah keistimewaan hanya gubernur adalah sultan, atau hal yang lain yang menyejahterakan rakyat, sebab HB IX bertekad '''tahta untuk rakyat''' dan HB X bertekad '''tahta untuk kesejahteraan sosial'''. '''Klimaks''' pertentangan ini adalah pernyataan HB X tentang ketidak sediaan menjadi Gubernur. Tentu saja pernyataan ini mendapat '''reaksi keras''' dari sebagian rakyat dan kepala desa yang harus ditentramkan oleh Sultan sendiri.
 
Dengan melihat '''Otsus''' di Papua maupun Aceh sebenarnya tidak begitu sulit untuk mengatur Keistimewaan DIY. Di Papua terdapat '''MRP''' sebagai representasi masyarakat adat setempat. Dan di Aceh terdapat '''Dewan Ulama''' dan '''Wali Nanggroe''' sebagai penjaga adat dan syariat. Di Aceh sebenarnya dapat dikatakan memakai '''satu negara dua sistem'''. Indonesia dengan Pancasilanya dan Aceh selain Pancasila juga menggunakan ''"kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya"''. Sistem ini hampir sama dengan '''Hongkong''' maupun '''Macau'''yangMacauyang menggunakan ''demokrasi liberal'' sedangkan negara induknya '''Tiongkok''' menggunakan sistem ''Sosialis-Komunis''. Jika satu negara dua sistem (''Pancasila dan Syariat Islam'') itu bisa diterapkan di Aceh lalu mengapa tidak di Yogyakarta dengan menerapkan satu negara dua sistem. '''Indonesia''' dengan bentuk ''Republik'' dan '''Yogyakarta''' dengan bentuk ''Monarki Konstitusional''. Hal ini memiliki dasar dalam persidangan BPUPKI dimana ada suara yang menghendaki bentuk kerajaan.
 
Mengenai bentuk '''monarki konstitusional''' dapat mencontoh '''[[Jepang]]''', '''[[Thailand]]''', ataupun '''[[Inggris]]'''. Di Jepang Kaisar hanyalah simbol persatuan dan sama sekali tidak memiliki dan dilarang turut campur dalam kekuasaan pemerintahan. Kaisar hanya memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan yang bersifat administratif seperti mengumunkan peraturan perundangan, melantik pejabat, dan tindakan lain yang diperintahkan konstitusi (lihat '''konstitusi Jepang Chapter I Article 1-8'''). Di Inggris Ratu (Queen), selain tindakan administratif, masih memiliki kekuasaan melalui anggota Majelis Tinggi ('''House of Lord''') dalam Parlemen. Sedangkan di Thailand Raja memiliki hak-hak istimewa seperti '''veto'''.
 
Akhirnya '''Dep Dagri''' menunjuk '''JIP UGM''' untuk membuat '''Naskah Akademik''' RUU Keistimewaan Yogyakarta. Naskah ini juga belum memenuhi harapan semua pihak. Sementara itu '''Dewan Perwakilan Daerah''' juga menurunkan timnya untuk persiapan mengajukan amandeman UU 3/1950 yang dipimpin oleh '''Subardi''' anggota DPD asal DIY sesuai hak konstitusional DPD. Untuk sementara versi RUU baik dari Dep Dagri maupun DPD telah selesai disusun akhir Agustus 2007 untuk kemudian diajukan ke DPR. Kini rakyat Yogyakarta menunggu '''“Goodwill, itikad yang baik, dari Pusat (Presiden dan DPR RI)”'''.
 
'''Semoga'''.
 
 
 
<center>
'''Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Propinsi.''' (Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No 3 Tahun 1950)
</center>