Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1:
{{rapikan}}
<!--Tulisan Anda tidak sesuai standar penulisan di Wikipedia, harap tidak menghapus tag "rapikan" sebelum Anda menulisnya dengan rapi dan sesuai gaya penulisan di Wikipedia, lihat contoh di artikel-artikel lainnya -->
'''Daerah Istimewa Yogyakarta''' termasuk salah satu provinsi tertua yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari jaman sebelum kemerdekaan yang kemudian diakui oleh BPUPKI dan PPKI.
Pada tahun 1749, setelah menderita sakit parah yang berkepanjangan, Raja Mataram kesembilan, Susuhunan Paku Buwono II, menandatangani sebuah perjanjian yang menyerahkan secara sementara Kerajaan Mataram kepada VOC yang diwakili oleh Gubernur dan Direktur Jawa. Dengan demikian Kerajaan Mataram bukan lagi negara berdaulat penuh, melainkan semacam kerajaan protektorat dari VOC. Namun perjanjian tersebut hanya di atas kertas dan baru dilaksanakan sepenuhnya setelah kedatangan Gubernur Jenderal Daendels serta Letnan Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stamford Raffles.
Dengan status protektorat itulah [[Kesultanan Yogyakarta]] (mulai 1812) dan juga [[Kadipaten Paku Alaman]] (mulai 1813/1829?) diberi hak oleh pemerintah penjajahan Inggris untuk memerintah daerahnya sendiri dengan pengawasan ketat dari gubermen di Buitenzorg Batavia. Keadaan ini diteruskan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang menerima kekuasaan dari Inggris pada 1816 dengan sebutan ''Zelfbestuurende Lanschappen''. Perlu dicatat bahwa daerah yang tidak memiliki status ''zelfbestuur'' adalah daerah administratif yang tidak memiliki otonomi dan dikendalikan sepenuhnya oleh Batavia.
Predikat sebagai ''Zelfbestuur'' bagi dua monarki di Yogyakarta pada waktu itu tidak membawa permasalahan yang berarti karena Hindia Belanda maupun Belanda sama-sama berbentuk monarki. Status ini tidak dihapus pada 1942 oleh Tentara Angkatan Darat XVI Jepang di Jawa, melainkan dialihkan menjadi bagian dari Kekaisaran Jepang dan Asia Timur Raya dengan sebutan Kooti. Pada tahun 1943 Hamengkubuwono IX Yogyakarta Koo mengajukan sebuah konsep Kemaharajaan Jawa kepada Dai Nippon di Jakarta. Dalam sidang kedua ''Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai'' 10-15 Juli 1945 disepakati bahwa kooti akan menjadi daerah yang memiliki otonomi khusus atau status istimewa.
Sementara itu di Yogyakarta, sejak 1942 [[Hamengku Buwono IX]] secara pelan namun pasti mengambil kekuasaan yang ada di tangan ''Pepatih Dalem'' (berfungsi sebagai kepala pemerintahan sehari-hari) dengan cara memindahkan kantor Pepatih Dalem dari ''nDalem Kepatihan'' (Istana Perdana Menteri) ke Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Hal ini menyebabkan pihak ''Kooti Zimukyoku'' jika ingin berhubungan dengan ''Pepatih Dalem'' harus dengan izin Sultan. Dengan demikian Hamengku Buwono IX dapat mengetahui seluruh kegiatan pemerintahan sehari-hari yang diselenggarakan oleh Pepatih Dalem bersama-sama ''Koti Zimukyoku Tyookan''. Ketika ''Pepatih Dalem'' KPHH Danurejo VIII diberhentikan dengan hormat atas permohonan sendiri pada 14 Juli 1945, Sultan Hamengku Buwono IX tidak mengangkat ''Pepatih Dalem'' untuk menggantikannya. Sultan HB IX lebih memilih untuk mengambil alih seluruh kekuasaan pemerintahan sehari-hari yang sebelumnya ada di tangan Pepatih Dalem. Untuk membantu melaksanakan kekuasaan tersebut Sultan HB IX membentuk beberapa Departemen Pemerintahan yang disebut dengan Paniradya yang dikepalai oleh Paniradyapati. Pembaruan pemerintahan ini diumumkan pada 1 Agustus 1945.
== 1945-1946 ==
Sore hari tanggal 18 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua [[BPUPKI]]) dan ''Nampoo-Gun Sikikan Kakka'' dan ''Jawa Saiko Sikikan'' beserta stafnya. Keesokannya di Jakarta, terjadi pembicaraan dalam sidang PPKI membahas kedudukan ''Kooti''. Sebenarnya kedudukan ''Kooti'' sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci.
{{cquote|Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. (Pasal 18 UUD 1945)}}
Dalam sidang itu BPH Puruboyo, wakil dari ''Yogyakarta Kooti'', meminta pada pemerintah pusat supaya ''Kooti'' dijadikan otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh [[Soekarno]] karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Koti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan. Ketua panitia kecil perancang susunan daerah dan kementerian negara, [[Oto Iskandardinata]], mengemukakan bahwa soal ''Kooti'' memang sangat sulit dipecahkan sehingga panitia kecil tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan [[Hatta]], Suroso, Suryohamijoyo, dan Supomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi empat Ko Jawa. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September setelah ia mengetahui sikap resmi dari para penguasa monarki.
Pada tanggal 1 September, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan ''Yogyakarta Kooti Hookookai''. Pada hari yang sama juga dibentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan Hamengku Buwono IX mengadakan pembicaraan dengan [[Paku Alam VIII]] (PA VIII) dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan ''Nederlandsch Indische'' setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung resiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja
Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
Pada saat itu wilayah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta meliputi:
#
#
#
#
#
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:
#
#
Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan
Sementara itu BP KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan yang
#Kedudukan Yogyakarta #Kekuasaan Pemerintahan #Kedudukan kedua #Parlemen Lokal (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) #Pemilihan Parlemen #Keuangan #Dewan Pertimbangan #Perubahan #Aturan Peralihan #Aturan Tambahan
== 1946-1950 ==
Sebagai realisasi keputusan sidang paripurna KNID tanggal 24 April 1946, pada 18 Mei 1946 diumumkan Maklumat No. 18 yang mengatur Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintahan [[Daerah Istimewa Yogyakarta]]. Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan. Maklumat ini menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di Yogyakarta sampai ditetapkannya Undang-undang yang mengatur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei. Selain itu juga nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan. Dalam maklumat tersebut ditetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh DPRD (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif dipangku secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah (HB IX dan PA VIII, Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya. Pemerintahan yang dianut adalah ''collegial bestuur'' atau direktorial karena badan eksekutif tidak berada di tangan satu orang melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu adalah untuk persatuan dan menampung kepentingan dari berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada DPRD. Namun demikian kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan pada Presiden.
Reorganisasi pemerintahan daerah pun segera dijalankan. Sultan Hamengku Buwono IX menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Adipati Paku Alam VIII menjadi Wakil Kepala Daerah Istimewa. Walaupun pada prakteknya, PA VIII sering melaksanakan tugas Kepala Daerah saat HB IX menjadi Menteri Negara Indonesia maupun RIS sejak 1946-1951. Pegawai-pegawai Daerah yang terdiri dari berbagai birokrasi yang berbeda (birokrasi pemerintahan monarki dan birokrasi bentukan KNID) disatukan dalam Jawatan (Dinas) Daerah. DPRD-DPRD segera dibentuk pada tiap tingkatan pemerintahan. Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing-masing tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian otonomi belum diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.
Pada 1947, dikeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte-Kota Yogyakarta yang diusulkan oleh Dewan Kota Yogyakarta. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta dikeluarkan dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari HB IX. Sebagai penyelesaian, maka pada 22 Juli 1947 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo diangkat menjadi Walikota Haminte-Kota Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX, menggantikan M. Enoch yang turut pergi mengungsi bersama Presiden karena terjadi Agresi Militer Belanda I.
Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang tersebut diatur kedudukan Daerah Istimewa.
{{cquote|Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa, dengan undang-undang pembentukan yang termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa yang setingkat dengan Propinsi, Kabupaten, atau Desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri. (Pasal 1 ayat (2) UU No 22/1948)}}
{{cquote|Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota Dewan Pemerintah Daerah. (Pasal 18 ayat (5) dan (6) UU No 22/1948)}}
{{cquote|Dasar pemerintahan di daerah istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah biasa; kekuasaan ada ditangan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Yang berbeda ialah tentang angkatan Kepala Daerahnya, …. Juga … yang mengenai angkatan Wakil Kepala Daerah. … jikalau ada dua daerah istimewa dibentuk menjadi satu menurut Undang-undang Pokok ini, maka perlulah diadakan Wakil Kepala Daerah dari keturunan Raja dari salah satu daerah yang digabungkan tadi. Tingkatan daerah istimewa sama dengan tingkatan daerah biasa. … . Hasil penyelidikan itu akan menentukan apakah Daerah Istimewa itu masuk tingkat Propinsi, Kabupaten, atau Desa. Djikalau masuk tingkatan Kabupaten, maka Daerah Istimewa ini masuk ke dalam lingkungan Propinsi biasa. (Penjelasan umum UU No 22/1948 sub 29 dan 30)}}
{{cquote|Yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) … ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan “Zelfbestuurende landschappen”. Karena daerah-daerah itu menjadi bagian pula dari Negara Republik Indonesia … maka daerah-daerah istimewa itu diatur pula … dan cara pemerintahannyapun … diatur sama dengan lain-lain daerah, berdasarkan kedaulatan rakyat. Ke-istimewaan peraturan untuk daerah istimewa … hanya mengenai Kepala Daerahnya … ditentukan bahwa Kepala (Wakil Kepala) Daerah Istimewa diangkat oleh Pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu … … … Sesudah berlakunya undang-undang pokok ini maka daerah-daerah istimewa dulu dapat dibentuk menjadi daerah biasa otonom atau daerah istimewa otonom; lain kemungkinan tidak ada. (Penjelasan pasal 1 UU No 22/1948)}}
Walaupun demikian, pemerintah pusat belum mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Setelah serangan umum 1 Maret 1949, Yogyakarta dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Baru setelah KMB ditandatangani, Pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia (Yogyakarta) mengeluarkan beberapa UU dan Perpu untuk membentuk Propinsi di Pulau Jawa dan Sumatera.
== 1950-1965 ==
{{cquote|Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Propinsi. (Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No 3 Tahun 1950)}}
Pemerintah [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] secara legal formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950 (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sangat singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948.
Pembagian Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan UU No. 15 Tahun 1950 (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950 (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No. 32 Tahun 1950 (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut Daerah Istimewa Yogyakarta dibagi menjadi kabupaten-kabupaten ''[[Bantul]]'' (beribukota di ''Bantul''); ''[[Sleman]]'' (beribukota di ''Sleman''), ''Gunung-kidul'' (beribukota di ''Wonosari''), ''[[Kulon Progo]]'' (beribukota di ''Sentolo'') dan ''Adikarto'' (beribukota di ''[[Wates]]''); serta sebuah ''Kota Besar Yogyakarta''. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota di Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota di Sentolo menjadi Kabupaten ''Kulon Progo'' dengan ibu kota ''Wates''. Penggabungan kedua daerah ini berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 1951 (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU Pokok tentang Pemerintah Daerah (UU 22/1948).
Baris 118 ⟶ 84:
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan UU No 1/1957 tentang pemerintah daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUD Sementara.
{{cquote|Pembentukan Daerah Swatantra, demikian pula Daerah Istimewa termaksud dalam pasal 2 ayat (2), termasuk perubahan wilayahnya kemudian, diatur dengan Undang-undang. (Pasal 3 UU No 1/1957)}}
{{cquote|Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih mengusai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh: a. Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I; …. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat calon yang diajukan oleh DPRD, seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang yang mengangkat/memberhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1). Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota Dewan Pemerintah Daerah. (Pasal 25 ayat (1), (2), dan (3) UU no 1/1957)}}
{{cquote|Propinsi/Daerah Istimewa setingkat Propinsi dan Kabupaten/Daerah Istimewa setingkat Kabupaten yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU RI No 22 tahun 1948 tidak perlu dibentuk lagi sebagai Daerah Swatantra … akan tetapi … sejak berlakunya UU ini berturut-turut menjadi Daerah Tingkat ke I/Daerah Istimewa Tingkat I dan Daerah Tingkat ke II/Daerah Istimewa Tingkat II termaksud dalam UU ini. (Pasal 73 ayat (1) UU No 1/1957)}}
{{cquote|Kepala Daerah Istimewa tidak dipilih oleh dan dari anggota DPRD melainkan diangkat oleh Pemerintah Pusat ………. Jadi keistimewaannya dari suatu Daerah Istimewa masih tetap terletak dalam kedudukan Kepala Daerahnya. ………………….. karena Kepala Daerah Istimewa ini diangkat oleh penguasa Pemerintah Pusat yang berwajib maka: a. ia tidak dapat ditumbangkan oleh DPRD, sedangkan: b. mengenai gaji dan segala emolumenten … ditetapkan ... oleh Pemerintah Pusat. (Penjelasan Umum Ad 4 UU No 1/1957)}}
Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang pengaturan pemerintahan di Yogyakarta dengan UU 22/1948. Selanjutnya, demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tertanggal 24 September 1952, daerah-daerah ''enclave Imogiri, Kota Gede, dan Ngawen'' dilepaskan dari Propinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan enclave-enclave ini berdasarkan UU Drt No. 5 Tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No. 14 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1562).
Baris 148 ⟶ 96:
Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian terhadap UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa juga tidak banyak berbeda.
{{cquote|Kepala Daerah Istimewadiangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan pada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam daerah itu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Untuk Daerah Istimewa dapat diadakan seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa, yang diangkat dan diberhentikan dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) pasal ini. (Pasal 6 ayat (1) dan (2) PenPres No 6/1959)}}
== 1965-1998 ==
Pada tahun 1965 Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah Propinsi (sebelumnya adalah Daerah Istimewa Setingkat Propinsi). Dalam UU ini pula seluruh swapraja yang masih ada baik secara ''de facto'' maupun ''de jure'' yang menjadi bagian dari suatu daerah lain yang lebih besar dihapuskan. Dengan demikian Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh Pusat. UU yang dibuat dalam pengaruh komunisme ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik bagi Aceh maupun Yogyakarta kelak dikemudian hari. Ini untuk mewujudkan tujuan komunis sama rata sama rasa. Kejadian ini mengingatkan pada penghapusan ''Daerah Istimewa Surakarta'' (1946) maupun penghancuran Kekaisaran Rusia (1917) oleh komunis.
{{cquote|Pada saat berlakunya UU ini, maka: a. Daerah tingkat I dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU No 1 tahun 1957 serta Daerah Istimewa Aceh berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 adalah “Propinsi” termaksud dalam pasal 2 ayat (1) sub a UU ini. (Pasal 88 ayat (1) sub a UU No 18/1965)}}
{{cquote|Sifat istimewa suatu daerah berlaku terus hingga dihapuskan. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang, pada saat berlakunya UU ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5). (Pasal 88 ayat (2) sub a dan b UU No 18/1965)}}
{{cquote|Daerah-daerah swapraja yang de facto maupun de jure dinyatakan hapus. (Pasal 88 ayat (3) UU No 18/1965)}}
{{cquote|Daerah yang bersifat istimewa disebut Daerah Istimewa. Karena itu, maka sebutan Daerah Yogyakarta dan sebutan Daerah Istimewa Aceh berlaku terus hingga dihapuskan atau diganti dengan peraturan-peraturan perundangan yang sah. Pada saatnya diharap bahwa status atau sifat istimewa bagi Yogyakarta dan Aceh akan hapus. (Penjelasan pasal 1 dan 2 UU No 18/1965)}}
Kebijakan ini juga diteruskan oleh Pemerintah Pusat dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah (LN 1974 No 38; TLN 3037). Di sini Propinsi D.I. Yogyakarta diatur secara khusus di aturan peralihan.
{{cquote|Pada saat berlakunya UU ini: Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut UU ini dengan sebutan Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya. (Pasal 91 sub b UU No 5/1974)}}
Dengan UU ini susunan dan tata pemerintahan DIY praktis menjadi sama dan tidak ada perbedaan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Perbedaan yang ada hanyalah pada Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, beberapa urusan Agraria yang nantinya pada 1982 juga disamakan dengan daerah lain, dan beberapa pegawai Pemda yang merangkap menjadi ''Abdi Dalem Keprajan''.
Baris 209 ⟶ 123:
Pisowanan Hageng 20 Mei 1998 mungkin merupakan pengabdian besar terakhir dari Sri Paduka Paku Alam VIII. Beberapa bulan setelahnya Paku Alam VIII menderita sakit. Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, Penjabat jabatan Gubernur/Kepala Daerah Istimewa, Pangeran terakhir Kadipaten Paku Alaman mangkat pada tahun yang sama. Beliau tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).
== 1998-sekarang ==
Mangkatnya [[Paku Alam VIII]] juga menyeret segudang masalah bagi Pemerintahan Propinsi DIY terutama masalah kepemimpinan. Terjadi tarik ulur dan perdebatan yang sangat melelahkan antara Pemerintah Pusat, DPRD Propinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Semuanya memiliki pemikiran dan membentuk kubu masing-masing. Permasalahan utama adalah ''apakah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sepeninggal Paku Alam VIII dari Pewaris Tahta atau terbuka untuk siapa saja; apakah akan dipilih oleh DPRD atau diangkat secara langsung (tanpa pemilihan) oleh Presiden Indonesia; serta masa jabatan Gubernur seumur hidup, seperti mendiang Sultan HB IX dan PA VIII, atau selama masa jabatan tertentu sesuai dengan peraturan (selama 5 tahun)''.
Baris 218 ⟶ 130:
Untuk menanggulangi masalah tersebut maka Pemerintah Pusat dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN 1999 No 60; TLN 3839), dalam aturan peralihan beserta penjelasannya mengatur masalah suksesi bagi kepemimpinan di Propinsi DIY. Sedangkan masalah birokrasi dan tata pemerintahan Propinsi DIY adalah sama dengan propinsi-propinsi lainnya.
{{cquote|Keistimewaan untuk Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Propinsi Istimewa Aceh dan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan atas UU ini. (Pasal 122 UU No 22/1999)}}
{{cquote|Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaanya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai UU ini. (Penjelasan Pasal 122 UU No 22/1999)}}
Pada tahun 2000 MPR RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini status daerah istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.
{{cquote|Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. (Pasal 18B ayat (1) UUD 1945)}}
PemProp DIY maupun DPRD DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk menjalankan aturan pasal 18B konstitusi. Namun usul tesebut tidak mendapat respon yang positif bila dibandingkan dengan Prop NAD dan Prop Papua yang telah menerima otonomi khusus masing-masing dengan ''UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam'' (LN 2001 No.114; TLN 4134) dan ''UU No 21/2001tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua'' (LN 2001 No 135; TLN 4151).
Baris 249 ⟶ 144:
Sekali lagi HB X dan PA IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008, setelah sebagian besar masyarakat termasuk pegawai pemda mengajukan tuntutan kepada DPRD Propinsi DIY. Masalah menjadi mereda sebentar. Tahun 2004 masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004 No 125; TLN 4437), status keistimewaan Propinsi DIY diisyaratkan akan diatur secara khusus. Namun sebelum UU yang mengatur status keistimewaan Propinsi DIY diterbitkan, maka seluruh pelaksanaan pemerintahan mengacu pada UU tersebut. Sama seperti daerah propinsi yang lain, kecuali Aceh dan Papua, Pemerintahan Propinsi DIY dibagi menjadi Dinas, Badan, Kantor, Rumah Sakit, serta Sekretariat PemProp dan DPRD.
{{cquote|Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. (Pasal 2 ayat (1) dan (8) UU No 32/2004)}}
{{cquote|Ketentuan dalam UU ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarata sepanjang tidak diataur secara khusus dalam UU tersendiri. Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada UU ini. (Pasal 226 ayat (1) dan (2) UU No 32/2004)}}
{{cquote|Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus adalah daerah yang diberi otonomi khusus, sedangkan daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. (Penjelasan Pasal 2 ayat (8) UU No 32/2004)}}
{{cquote|Yang dimaksud dengan UU tersendiri adalah UU Nomor 34 tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta, UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, jo UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, UU Nomor 21 Tahun 2001tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua. (Penjelasan pasal 226 ayat (1) UU No 32/2004)}}
Hal ini menyebabkan pertentangan semakin mencuat dan muncul ke permukaan. Banyak karangan artikel di surat kabar lokal maupun berbentuk buku yang berisi pro dan kontra terhadap keistimewaan. Masalahpun semakin melebar dengan pertanyaan keistimewaan apa yang dimiliki DIY. Sebagian besar masyarakat, dalam sebuah jajak pendapat surat kabar, berpendapat keistimewaan terletak pada kepemimpinan DIY di tangan dinasti Hamengku Buwono dan Paku Alam. Di tengah pro dan kontra masyarakat pada 7 April 2007 Sultan mengeluarkan pernyataan lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya ke-61 yang pada intinya tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur DIY setelah masa jabatannya selesai tahun 2008. Sontak masyarakat DIY terkejut. Di harian lokal hampir setiap hari menyorot dan membicarakan masalah keistimewaan. Pro dan kontra semakin sengit. Akhirnya Pemerintah Pusat berjanji untuk menyelesaikan UU yang mengatur keistimewaan sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2008.
== Daftar pustaka ==
* P.J. Suwarno. (1994) Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: sebuah tinjauan historis. Yogyakarta: Kanisius
* Saafroedin Bahar (ed). (1992) Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua. Jakarta: SetNeg RI
* Soedarisman Poerwokoesoemo. (1984) Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
* Peraturan tentang Pemerintahan Daerah (UU 22/1948; UU 1/1957; PenPres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974; UU 22/1999; dan UU 32/2004)
* Peraturan tentang pembentukan DIY, kabupaten dan kota dalam lingkungannya (UU 3/1950; UU 15/1950; UU 16/1950; UU 19/1950; PP 31/1950; PP 32/1950; UU 18/1951; UU Drt 5/1957; UU 14/1958)
[[kategori:Yogyakarta]]
|