Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 5:
Pada tahun 1749, setelah menderita sakit parah yang berkepanjangan, Raja Mataram kesembilan, Susuhunan Paku Buwono II, menandatangani sebuah perjanjian yang menyerahkan secara sementara Kerajaan Mataram kepada VOC yang diwakili oleh Gubernur dan Direktur Jawa. Dengan demikian Kerajaan Mataram bukan lagi negara berdaulat penuh, melainkan semacam kerajaan protektorat dari VOC. Namun perjanjian tersebut hanya di atas kertas dan baru dilaksanakan sepenuhnya setelah kedatangan Gubernur Jenderal Daendels serta Letnan Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stamford Raffles.
Dengan status protektorat itulah [[Kesultanan Yogyakarta]] (mulai 1812) dan juga [[Kadipaten Paku Alaman]] (mulai 1813
Predikat sebagai ''Zelfbestuur'' bagi dua monarki di Yogyakarta pada waktu itu tidak membawa permasalahan yang berarti karena Hindia Belanda maupun Belanda sama-sama berbentuk monarki. Status ini tidak dihapus pada 1942 oleh Tentara Angkatan Darat XVI Jepang di Jawa, melainkan dialihkan menjadi bagian dari Kekaisaran Jepang dan Asia Timur Raya dengan sebutan Kooti. Pada tahun 1943 Hamengkubuwono IX Yogyakarta Koo mengajukan sebuah konsep Kemaharajaan Jawa kepada Dai Nippon di Jakarta. Dalam sidang kedua ''Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai'' 10-15 Juli 1945 disepakati bahwa kooti akan menjadi daerah yang memiliki otonomi khusus atau status istimewa.
Baris 59:
Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang tersebut diatur kedudukan Daerah Istimewa.
{{cquote|Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa, dengan undang-undang pembentukan yang termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa yang setingkat dengan
{{cquote|Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota Dewan Pemerintah Daerah. (Pasal 18 ayat (5) dan (6) UU No 22/1948)}}
{{cquote|Dasar pemerintahan di daerah istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah biasa; kekuasaan ada ditangan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Yang berbeda ialah tentang angkatan Kepala Daerahnya
{{cquote|Yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2)
Walaupun demikian, pemerintah pusat belum mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Setelah serangan umum 1 Maret 1949, Yogyakarta dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Baru setelah KMB ditandatangani, Pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia (Yogyakarta) mengeluarkan beberapa UU dan Perpu untuk membentuk
== 1950-1965 ==
{{cquote|Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan
Pemerintah [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] secara legal formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950 (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sangat singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948.
Baris 86:
{{cquote|Pembentukan Daerah Swatantra, demikian pula Daerah Istimewa termaksud dalam pasal 2 ayat (2), termasuk perubahan wilayahnya kemudian, diatur dengan Undang-undang. (Pasal 3 UU No 1/1957)}}
{{cquote|Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih mengusai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh: a. Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I
{{cquote|
{{cquote|Kepala Daerah Istimewa tidak dipilih oleh dan dari anggota DPRD melainkan diangkat oleh Pemerintah Pusat
Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang pengaturan pemerintahan di Yogyakarta dengan UU 22/1948. Selanjutnya, demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tertanggal 24 September 1952, daerah-daerah ''enclave Imogiri, Kota Gede, dan Ngawen'' dilepaskan dari
Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian terhadap UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa juga tidak banyak berbeda.
Baris 99:
== 1965-1998 ==
Pada tahun 1965 Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah
{{cquote|Pada saat berlakunya UU ini, maka: a. Daerah tingkat I dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU No 1 tahun 1957 serta Daerah Istimewa Aceh berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 adalah
{{cquote|Sifat istimewa suatu daerah berlaku terus hingga dihapuskan. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang, pada saat berlakunya UU ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
{{cquote|Daerah-daerah swapraja yang de facto maupun de jure dinyatakan hapus. (Pasal 88 ayat (3) UU No 18/1965)}}
Baris 109:
{{cquote|Daerah yang bersifat istimewa disebut Daerah Istimewa. Karena itu, maka sebutan Daerah Yogyakarta dan sebutan Daerah Istimewa Aceh berlaku terus hingga dihapuskan atau diganti dengan peraturan-peraturan perundangan yang sah. Pada saatnya diharap bahwa status atau sifat istimewa bagi Yogyakarta dan Aceh akan hapus. (Penjelasan pasal 1 dan 2 UU No 18/1965)}}
Kebijakan ini juga diteruskan oleh Pemerintah Pusat dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah (LN 1974 No 38; TLN 3037). Di sini
{{cquote|Pada saat berlakunya UU ini: Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut UU ini dengan sebutan Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya. (Pasal 91 sub b UU No 5/1974)}}
Baris 117:
Setelah berhenti dari Wakil Presiden pada 1978 Hamengkubuwono IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Keadaan ini tidak berlangsung lama karena pada 1988 Sultan terakhir dari Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat mangkat di Amerika Serikat dan dimakamkan di Pemakaman Raja-raja Mataram Imogiri. Sebuah dedikasi yang cukup tinggi kepada Bangsa dan Negara Indonesia diberikan, dengan motto Tahta Untuk Rakyat. Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Ngayogyakarta terlama antara 1939-1988.
Dengan wafatnya Hamengku Buwono IX Pemerintah Pusat tidak mengangkat Gubernur Definitif melainkan lebih memilih untuk menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Pelaksana Tugas Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Pada dekade 1990-an pernah muncul sebuah isu yang konon dilontarkan oleh Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah waktu itu untuk menghapus
Pada saat gelombang reformasi menerpa Indonesia, Yogyakarta merupakan salah satu wilayah teraman di Indonesia. Tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum pengunduran diri Presiden saat itu, Soeharto, Sultan [[Hamengku Buwono X]] bersama-sama dengan [[Paku Alam VIII]] mengeluarkan sebuah maklumat yang pada pokoknya berisi ''ajakan kepada masyarakat untukmendukung gerakan reformasi damai, mengajak ABRI (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan kesatauan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan Bangsa''. Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat yang konon sampai melebihi jumlah seratus ribu orang dalam acara yang disebut Pisowanan Hageng. Pengeluaran maklumat ini bukanlah tanpa resiko. Apabila gerakan reformasi gagal dan terjadi set back dengan penggunaan kekuasaan militer seperti terjadi tahun 1966 maupun ''tragedi Tiananmen'' di Beijing, Tiongkok, maka dapat saja kedua tokoh tersebut dipenjara dengan tuduhan subversi maupun makar dan
Pisowanan Hageng 20 Mei 1998 mungkin merupakan pengabdian besar terakhir dari Sri Paduka Paku Alam VIII. Beberapa bulan setelahnya Paku Alam VIII menderita sakit. Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, Penjabat jabatan Gubernur/Kepala Daerah Istimewa, Pangeran terakhir Kadipaten Paku Alaman mangkat pada tahun yang sama. Beliau tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).
== 1998-sekarang ==
Mangkatnya [[Paku Alam VIII]]
# # apakah # Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
Untuk menanggulangi masalah tersebut
{{cquote|Keistimewaan untuk
{{cquote|Pengakuan keistimewaan
Pada tahun 2000 MPR RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini status daerah istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.
Baris 138 ⟶ 141:
{{cquote|Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. (Pasal 18B ayat (1) UUD 1945)}}
PemProp DIY maupun DPRD DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk menjalankan aturan pasal 18B konstitusi. Namun usul tesebut tidak mendapat respon yang positif bila dibandingkan dengan Prop NAD dan Prop Papua yang telah menerima otonomi khusus masing-masing dengan ''UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir di tahun 2003, kejadian di tahun 1998 terulang kembali. Semua berkat rumusan pasal yang multi tafsir. Masyarakatpun terbelah menjadi setidaknya dua kubu. DPRD Prop DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat menghendaki HB X dan PA IX ditetapkan (ditunjuk bukan melalui pemilihan!) menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Banyak tokoh yang mulai angkat bicara baik melalui dialog umum maupun media massa. Semua kembali pada pro dan kontra mengenai status istimewa dan isi keistimewaan Yogyakarta.
Sekali lagi HB X dan PA IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008, setelah sebagian besar masyarakat termasuk pegawai pemda mengajukan tuntutan kepada DPRD
{{cquote|Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. (Pasal 2 ayat (1) dan (8) UU No 32/2004)}}
Baris 150 ⟶ 153:
{{cquote|Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus adalah daerah yang diberi otonomi khusus, sedangkan daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. (Penjelasan Pasal 2 ayat (8) UU No 32/2004)}}
{{cquote|Yang dimaksud dengan UU tersendiri adalah UU Nomor 34 tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta, UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, jo UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Hal ini menyebabkan pertentangan semakin mencuat dan muncul ke permukaan. Banyak karangan artikel di surat kabar lokal maupun berbentuk buku yang berisi pro dan kontra terhadap keistimewaan. Masalahpun semakin melebar dengan pertanyaan keistimewaan apa yang dimiliki DIY. Sebagian besar masyarakat, dalam sebuah jajak pendapat surat kabar, berpendapat keistimewaan terletak pada kepemimpinan DIY di tangan dinasti Hamengku Buwono dan Paku Alam. Di tengah pro dan kontra masyarakat pada 7 April 2007 Sultan mengeluarkan pernyataan lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya ke-61 yang pada intinya tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur DIY setelah masa jabatannya selesai tahun 2008. Sontak masyarakat DIY terkejut. Di harian lokal hampir setiap hari menyorot dan membicarakan masalah keistimewaan. Pro dan kontra semakin sengit. Akhirnya Pemerintah Pusat berjanji untuk menyelesaikan UU yang mengatur keistimewaan sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2008.
|