Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1:
{{rapikan}}
<!--Tulisan Anda tidak sesuai standar penulisan di Wikipedia, harap tidak menghapus tag "rapikan" sebelum Anda menulisnya dengan rapi dan sesuai gaya penulisan di Wikipedia, lihat contoh di artikel-artikel lainnya -->
'''Daerah Istimewa Yogyakarta''' termasuk salah satu provinsi tertua yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari jaman sebelum kemerdekaan yang kemudian diakui oleh [[Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia|BPUPKI]] dan [[Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia|PPKI]].
== 1749 - 1945 ==
Pada tahun [[1749]], setelah menderita sakit parah yang berkepanjangan, Raja Mataram kesembilan, Susuhunan Paku Buwono II, menandatangani sebuah perjanjian yang menyerahkan
Dengan status protektorat itulah [[Kesultanan Yogyakarta]] (mulai [[1812]]) dan juga [[Kadipaten Paku Alaman]] (mulai [[1813]]) diberi hak oleh pemerintah penjajahan Inggris untuk memerintah daerahnya sendiri dengan pengawasan ketat dari gubermen di Buitenzorg Batavia. Keadaan ini diteruskan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang menerima kekuasaan dari Inggris pada [[1816]] dengan sebutan ''Zelfbestuurende Lanschappen''.
Predikat sebagai ''Zelfbestuur'' bagi dua monarki di Yogyakarta pada waktu itu tidak membawa
Sementara itu di Yogyakarta, sejak 1942 [[Hamengku Buwono IX]] secara pelan
== 1945 - 1946 ==
Tanggal 18 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua [[BPUPKI]]) dan ''Nampoo-Gun Sikikan Kakka'' dan ''Jawa Saiko Sikikan'' beserta stafnya. Keesokannya di Jakarta, terjadi pembicaraan dalam sidang PPKI membahas kedudukan ''Kooti''. Sebenarnya kedudukan ''Kooti'' sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci.<ref>Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. (Pasal 18 UUD 1945)</ref>
Dalam sidang itu BPH Puruboyo, wakil dari ''Yogyakarta Kooti'', meminta pada pemerintah pusat supaya ''Kooti'' dijadikan otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh [[Soekarno]] karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Koti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan. Ketua panitia kecil perancang susunan daerah dan kementerian negara, [[Oto Iskandardinata]], mengemukakan bahwa soal ''Kooti'' memang sangat sulit dipecahkan sehingga panitia kecil tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan [[Mohammad Hatta]], Suroso, Suryohamijoyo, dan Supomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi empat Ko Jawa. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September setelah ia mengetahui sikap resmi dari para penguasa monarki.
Pada tanggal 1 September, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan ''Yogyakarta Kooti Hookookai''. Pada hari yang sama juga dibentuk
Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
Baris 48:
== 1946 - 1950 ==
Sebagai realisasi keputusan sidang paripurna KNID tanggal [[24 April]] [[1946]], pada 18 Mei 1946 diumumkan Maklumat No. 18 yang mengatur Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintahan [[Daerah Istimewa Yogyakarta]]. Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan. Maklumat ini menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di Yogyakarta sampai ditetapkannya Undang-undang yang mengatur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei. Selain itu juga nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan. Dalam maklumat tersebut ditetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh DPRD (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif dipangku secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah (HB IX dan PA VIII, Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya. Pemerintahan yang dianut adalah ''collegial bestuur'' atau direktorial karena badan eksekutif tidak berada di tangan satu orang melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu adalah untuk persatuan dan menampung kepentingan dari berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada DPRD. Namun demikian kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan pada Presiden.
Baris 54:
Reorganisasi pemerintahan daerah pun segera dijalankan. Sultan Hamengku Buwono IX menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Adipati Paku Alam VIII menjadi Wakil Kepala Daerah Istimewa. Walaupun pada prakteknya, PA VIII sering melaksanakan tugas Kepala Daerah saat HB IX menjadi Menteri Negara Indonesia maupun RIS sejak 1946-1951. Pegawai-pegawai Daerah yang terdiri dari berbagai birokrasi yang berbeda (birokrasi pemerintahan monarki dan birokrasi bentukan KNID) disatukan dalam Jawatan (Dinas) Daerah. DPRD-DPRD segera dibentuk pada tiap tingkatan pemerintahan. Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing-masing tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian otonomi belum diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.
Pada [[1947]], dikeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte-Kota Yogyakarta yang diusulkan oleh Dewan Kota Yogyakarta. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta dikeluarkan dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari HB IX. Sebagai penyelesaian, maka pada 22 Juli 1947 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo diangkat menjadi Walikota Haminte-Kota Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX, menggantikan M. Enoch yang turut pergi mengungsi bersama Presiden karena terjadi [[Agresi Militer Belanda I]].
Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang tersebut diatur kedudukan Daerah Istimewa.<ref>Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa, dengan undang-undang pembentukan yang termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa yang setingkat dengan Provinsi, Kabupaten, atau Desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri. (Pasal 1 ayat (2) UU No 22/1948)</ref><ref>Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota Dewan Pemerintah Daerah. (Pasal 18 ayat (5) dan (6) UU No 22/1948)</ref><ref>Dasar pemerintahan di daerah istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah biasa; kekuasaan ada ditangan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Yang berbeda ialah tentang angkatan Kepala Daerahnya. Juga yang mengenai angkatan Wakil Kepala Daerah, jikalau ada dua daerah istimewa dibentuk menjadi satu menurut Undang-undang Pokok ini, maka perlulah diadakan Wakil Kepala Daerah dari keturunan Raja dari salah satu daerah yang digabungkan tadi. Tingkatan daerah istimewa sama dengan tingkatan daerah biasa. Hasil penyelidikan itu akan menentukan apakah Daerah Istimewa itu masuk tingkat Provinsi, Kabupaten, atau Desa. Djikalau masuk tingkatan Kabupaten, maka Daerah Istimewa ini masuk ke dalam lingkungan Provinsi biasa. (Penjelasan umum UU No 22/1948 sub 29 dan 30)</ref><ref>Yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan “Zelfbestuurende landschappen”. Karena daerah-daerah itu menjadi bagian pula dari Negara Republik Indonesia maka daerah-daerah istimewa itu diatur pula dan cara pemerintahannyapun diatur sama dengan lain-lain daerah, berdasarkan kedaulatan rakyat. Ke-istimewaan peraturan untuk daerah istimewa hanya mengenai Kepala Daerahnya ditentukan bahwa Kepala (Wakil Kepala) Daerah Istimewa diangkat oleh Pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu. Sesudah berlakunya undang-undang pokok ini maka daerah-daerah istimewa dulu dapat dibentuk menjadi daerah biasa otonom atau daerah istimewa otonom; lain kemungkinan tidak ada. (Penjelasan pasal 1 UU No 22/1948)</ref>
Baris 65:
Pembagian Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan UU No. 15 Tahun 1950 (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950 (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No. 32 Tahun 1950 (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut Daerah Istimewa Yogyakarta dibagi menjadi kabupaten-kabupaten [[Bantul]] (beribukota Bantul), [[Sleman]] (beribukota Sleman), Gunungkidul (beribukota Wonosari), [[Kulon Progo]] (beribukota Sentolo), Adikarto (beribukota [[Wates]]), dan Kota Besar Yogyakarta. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan oleh UU Nomor 18 Tahun 1951 (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU Pokok tentang Pemerintah Daerah (UU 22/1948).
Pada tahun [[1951]], diselenggarakan Pemilu untuk memilih anggota DPRD. Komposisi DPRD didominasi dari [[Majelis Syuro Muslimin Indonesia|Masyumi]] (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya.{{fact|date=September 2007}} Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP. Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja (HB IX dan PA VIII). Namun kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan kepada Presiden.
Sekalipun DIY telah berintegrasi dengan Indonesia, tetapi birokrasi pemerintahan monarki tidak dihapuskan begitu saja, mengingat dari 1945 sampai 1950 birokrasi ini menjadi tulang punggung birokrasi DIY. Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari Kanayakan yang memerintah Nagari Dalem (dahulu dikepalai oleh ''Pepatih Dalem''). Sedikit demi sedikit birokrasi ini dipisahkan dari birokrasi monarki (Keraton). Pada dasarnya kedua birokrasi ini dipimpin oleh Sultan HB IX. Namun karena sedang menjabat sebagai menteri, beliau tidak dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian Kepatihan dipimpin oleh PA VIII sedangkan bagian Keraton yang disebut Parentah Hageng Karaton dipimpin oleh GP Hangabehi.
Baris 86:
Setelah berhenti dari Wakil Presiden pada 1978, Hamengkubuwono IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Keadaan ini tidak berlangsung lama karena pada 1988 ia meninggal. Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Ngayogyakarta terlama antara 1939-1988. Dengan wafatnya Hamengku Buwono IX Pemerintah Pusat tidak mengangkat Gubernur Definitif melainkan menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Pelaksana Tugas Gubernur/Kepala Daerah Istimewa.
Pada saat terjadi berbagai kerusuhan tahun 1998, Yogyakarta merupakan salah satu wilayah teraman di Indonesia.{{fact|date=September 2007}} Tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum pengunduran diri Presiden Soeharto, Sultan [[Hamengku Buwono X]] bersama-sama dengan [[Paku Alam VIII]] mengeluarkan sebuah maklumat yang pada pokoknya berisi "ajakan kepada masyarakat untuk mendukung gerakan reformasi damai, mengajak ABRI (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan kesatauan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan Bangsa". Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara yang disebut Pisowanan Hageng.
Beberapa bulan setelahnya Paku Alam VIII menderita sakit dan meninggal pada tahun yang sama. Ia tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).
Baris 94:
# apakah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sepeninggal Paku Alam VIII berasal dari Pewaris Tahta atau terbuka untuk siapa saja
# apakah dipilih oleh DPRD atau diangkat secara langsung (tanpa pemilihan) oleh Presiden Indonesia
# apakah masa jabatan Gubernur seumur hidup, seperti Sultan HB IX dan PA VIII, atau selama masa jabatan tertentu (selama 5 tahun).{{fact|date=September 2007}}
Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat oleh Sultan HB IX dan PA VIII, dan tidak mengatur masalah suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003. Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi Paku Alam IX tidak berjalan mulus, maka HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999 [[Paku Alam IX]] naik tahta, namun beliau belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.
Baris 106:
Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir di tahun 2003, kejadian di tahun 1998 terulang kembali. DPRD Prov DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat menghendaki agar HB X dan PA IX ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Sekali lagi HB X dan PA IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008. Tahun 2004, masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004 No 125; TLN 4437), status keistimewaan Provinsi DIY diisyaratkan akan diatur secara khusus. Namun sebelum UU yang mengatur status keistimewaan Provinsi DIY diterbitkan, seluruh pelaksanaan pemerintahan mengacu pada UU tersebut. Sama seperti daerah provinsi yang lain, kecuali Aceh dan Papua, Pemerintahan Provinsi DIY dibagi menjadi Dinas, Badan, Kantor, Rumah Sakit, serta Sekretariat PemProv dan DPRD.<ref>Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. (Pasal 2 ayat (1) dan (8) UU No 32/2004)</ref><ref>Ketentuan dalam UU ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarata sepanjang tidak diataur secara khusus dalam UU tersendiri. Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada UU ini. (Pasal 226 ayat (1) dan (2) UU No 32/2004)</ref><ref>Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus adalah daerah yang diberi otonomi khusus, sedangkan daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. (Penjelasan Pasal 2 ayat (8) UU No 32/2004)</ref><ref>Yang dimaksud dengan UU tersendiri adalah UU Nomor 34 tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta, UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, jo UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. (Penjelasan pasal 226 ayat (1) UU No 32/2004)</ref>
Masalah semakin melebar dengan pertanyaan keistimewaan DIY. Sebagian besar masyarakat, dalam sebuah jajak pendapat surat kabar, berpendapat keistimewaan terletak pada kepemimpinan DIY di tangan dinasti Hamengku Buwono dan Paku Alam.{{fact|date=September 2007}} Di tengah pro dan kontra masyarakat, pada 7 April 2007, Sultan mengeluarkan pernyataan lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya yang ke-61, yang pada intinya tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur DIY setelah masa jabatannya selesai tahun 2008. Akhirnya Pemerintah Pusat berjanji untuk menyelesaikan UU yang mengatur keistimewaan sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2008.
== Daftar pustaka ==
|