Suku Jawa: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
JayaGood (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: mengosongkan halaman [ * ]
Baris 117:
== Stratifikasi sosial ==
Masyarakat Jawa juga terkenal akan pembagian golongan-golongan sosialnya. Pakar [[antropologi]] [[Amerika Serikat|Amerika]] yang ternama, [[Clifford Geertz]], pada tahun 1960-an membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok: kaum [[santri]], [[abangan]], dan [[priyayi]]. Menurutnya kaum santri adalah penganut agama [[Islam]] yang taat, kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau penganut Kejawen, sedangkan kaum Priyayi adalah kaum bangsawan. Tetapi dewasa ini pendapat Geertz banyak ditentang karena ia mencampur golongan sosial dengan golongan kepercayaan. Kategorisasi sosial ini juga sulit diterapkan dalam menggolongkan orang-orang luar, misalkan orang Indonesia lainnya dan suku bangsa non-[[pribumi]] seperti orang keturunan [[Bangsa Arab|Arab]], [[Tionghoa]], dan [[India]].
 
==Perempuan Jawa==
Perempuan Jawa adalah wajah ketertindasan. Ia tidak memiliki posisi yang sejajar dengan laki-laki. Sebaliknya, ia menjadi korban dominasi laki-laki. Di sini ada persekongkolan kultural kekuasaan yang menguatkan posisi dan peran tradisional perempuan.[1] Perempuan atau wanita sejak lama selalu dilekati dengan sifat-sifat nrimo, pasrah, lembah manah, setia, atau halus. Pembakuan sifat ini menjadi cenderung ideologis karena muncul dalam konstruksi sosial yang acapkali meminggirkan perempuan. Inferioritas sering menjadi momok bagi perempuan, karena dioperasionalkan melalui mekanisme sosial, kultural, dan kekuasaan. Sambungan “keapesan” perempuan terus mendapati fragmen-fragmen yang tragis. Babad Tanah Jawi pun secara eksplisit membenarkan nasib apes perempuan.
 
Padahal secara Jawa dhosok (akronim), wanita berarti wanita ditata (tata-titi, tatas-titis, tatag-tutug) dan wani tapa (tapa-, tapak-, telapak). Sesungguhnya di bawah telapak kaki wanita itu merupakan eksistensi sesensi surga. Konvergensi antara tata-tapa, dzikir, imanen transender dan aksi kontemlasi itulah, maka predikat kesurgaan sangat lekat dengan wanita. Bagi orang Jawa, wanita digambarkan sebagai orang yang harus dihormati oleh anaknya karena surga terletak di bawah kaki ibu (Purwadi, 2005 : 560). Setidaknya ada empat term di masyarakat Jawa yang biasa digunakan untuk menyebut perempuan, yaitu :
;Wadon
Berasal dari bahasa Kawi, “Wadu” yang artinya kawula atau abdi. Secara istilah bisa diartikan bahwa perempuan dititahkan di dunia ini sebagai abdi laki-laki.
;Wanita
Kata “wanita” tebentuk dari dua kata dalam bahasa Jawa (kerata basa), yakni Wani yang berarti berani dan Tata yang berarti teratur. Kerata basa ini mengandung dua pengertian yang berbeda. Pertama, Wani ditata yang berarti berani (mau) diatur dan yang. Kedua, Wani nata yang artinya berani mengatur. Kedua pengertian ini mengindikasikan bahwa perempuan juga perlu pendidikan yang tinggi agar bisa memerankan dengan baik peran-peran ini.
;Estri
Berasal dari bahasa Kawi, “Estren” yang berarti panjurung (pendorong). Seperti pepatah yang terkenal, “Selalu ada wanita yang hebat di belakang laki-laki yang hebat.”
;Putri
Dalam peradaban tradisional Jawa, kata ini sering dijelaskan sebagai akronim dari kata-kata Putus tri perkawis, yang mengarah kepada purna karya perempuan dalam kedudukannya sebagai putri. Perempuan dituntut untuk selalu merealisasikan tiga kewajiban perempuan (tri perkawis). Dan yang dimaksud dengan tiga kewajiban itu adalah kedudukannya sebagai wadon, wanita, maupun estri.
 
Dalam kehidupan perempuan Jawa juga sering kita dengar istilah masak, macak, manak yang artinya pandai memasak, pandai berdandan atau bersolek, dan bisa memberi keturunan. Meski terlihat sederhana istilah tersebut, tapi sebenarnya ketiga kata tersebut memiliki makna yang sangat dalam.
;Masak
Wanita atau perempuan Jawa tidak sekadar bisa membuat/ mengolah makanan, melainkan juga memberi nutrisi dalam rumah tangga sehingga akan tercipta keluarga yang sehat. Dalam memasak pula seorang wanita harus memiliki kemampuan meracik, menyatukan, dan mengkombinasikan berbagai macam bahan makan menjadi satu sehingga menjadi sebuah makanan. Ini adalah wujud kasih sayang istri kepada seluruh anggota keluarga.
;Macak
Macak adalah berdandan, bersolek atau berhias. Jangan dimaknai hanya sebagai aktivitas mempercantik diri, sebab di dalamnya juga terkandung makna menghias atau memperindah bangunan rumah tangga. Selain mempercantik fisik, perempuan juga dituntut sanggup mempercantik batinnya agar memiliki sifat yang lemah lembut, ikhlas, penyayang, sabar dan mau bekerja keras.
;Manak
Manak artinya melahirkan anak atau memberikan keturunan. Tidak hanya sekedar proses bekerja sama dengan suami dalam membuat anak, mengandung dan melahirkan seorang buah hati sebagai keturunan. Akan tetapi juga termasuk mengurus, mendidik, dan membentuk karakteristik seorang anak hingga menjadi manusia seutuhnya.
 
Selain itu juga ada konsep perempuan Jawa yang tertuang dalam Serat Candrarini (Budi Santoso, 1992 : 24) yang diringkas ke dalam sembilan butir, yaitu :
*setia kepada lelaki,
*rela dimadu,
*mencintai suami,
*terampil dalam pekerjaan wanita,
*pandai berdandan dan merawat diri,
*sederhana,
*pandai melayani kehendak lelaki,
*menaruh perhatian kepada mertua, dan
*gemar membaca buku-buku yang berisi nasehat.
 
Digambarkan pula tentang ketergantungan perempuan dan dilema yang dihadapinya antara tradisi yang mengikat dengan era kemajuan yang menuntut transformasi dalam kehidupan perempuan Jawa.
 
Karena perempuan dalam kajian teks sastra memang mempunyai sejarah pinggiran yang terkadang melahirkan kutukan-kutukan atau istilah-istilah yang kurang baik. Adanya permasalahan perempuan dalam kepustakaan Jawa memang kerap menjadi dilema jika disangkutkan dengan wacana – wacana mutakhir sekarang ini. Nasib perempuan terkadang seperti ditundukkan atau menurut dengan otoritas lelaki, kosmologi-maskulin, atau jejaring kekuasaan.
 
Linus Suryadi A. G. (1995) membuat tafsir kritis terhadap studi A. Sudewa (1991) mengenai Serat Panitisastra: Tradisi, Resepsi, dan Transformasi, dengan berpendapat bahwa perempuan dalam Serat Panitisastra dan padsa masa sastra Jawa Madya menjadi obyek fungsional yang selalu dibayangi oleh konvensi rasial dan religi yang paternalistik. Pemahaman itu merupakan dampak atas mekanisme dari kekuasaan yang mengacu pada keraton. Sastra Jawa memang didominasi oleh para pujangga keraton yang tidak bisa melepaskan diri dari kekuasaan yang paternalistik, yakni keraton dan kolonial. Serat Panitisastra merupakan tanda proses perubahan literer di Surakarta pada masa pergantian dari abad XVIII ke abad XIX. Gubahan Serat Panitisastra mengacu pada sastra Jawa kuno yang berjudul Nitisastra (Poerbatjaraka. Kepustakaan Jawa, 1952 : 160-161).
 
Kisah perempuan yang terdapat dalam Serat Panitisastra akan sangat berbeda dengan kisah dalam Babad Tutur. Babad Tutur hadir dengan wacana yang berbeda dalam membahas mengenai masalah perempuan. Babad ini kemungkinan ditulis pada akhir abad XVIII ketika masa kekuasaan Mangkunegoro I. Ada dugaan kalau penulisan Babad Tutur dilakukan oleh carik perempuan. Peran perempuan itu membuktikan ada alur yang berbeda dari tradisi kesusastraan Jawa yang yang selama ini didominasi oleh lelaki. Kehadiran Babad Tutur pun seakan mengusung sebuah gugatan terhadap nasib perempuan yang mengacu pada masa lalu dan seterotipe perempuan Jawa. Babad Tutur mengisahkan tentang peran perempuan dalam restrukturisasi kebudayaan Jawa oleh Mangkunegoro I. Perempuan pada saat itu mendapatkan perubahan nasib dalam peran dan harga diri dengan munculnya prajurit estri yang dijuluki Ladrang Mangungkung dan Jayengasta serta memiliki peran dalam setiap pertempuran (Zainuddin Fananie, Pandangan Dunia KGPAA Hamengkoenagoro I dalam Babad Tutur, 1994 : 202-204) sebagaimana yang dijelaskan dalam buku tersebut :
 
“Pangeran Dipati sering memberikan pelajaran pada para prajurit estri dengan menunggang kuda melontarkan senjata. Para prajurit menerimanya di atas punggung kuda.”
 
Pada fragmen lain :
 
“Pangeran Dipati mengajar menari para prajurit estri yang diriringi gamelan yang ditabuh oleh para perempuan.”
 
Harkat dan martabat perempuan dalam Babad Tutur menjadi suatu sisi terang untuk merevisi sisi gelap yang terdapat dalam Serat Panitisastra. “Dan wanita Jawa tidak perlu menjadi maskulin untuk mendapatkan kekuasaan tetapi justru ia harus memanfaatkan kefeminimitasnya.”
 
===Perempuan Jawa, Konco Wingking atau Sigaraning Nyawa===
Masyarakat Indonesia dikenal dengan sistemnya yang patriarkis meskipun sebenarnya terdapat variasi corak patriarki antar budaya. Salah satu masyarakat yang dikenal dengan kebudayaannya yang patriarkis adalah Jawa. Menurut Indrawati (2002), masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang memiliki pembatasan-pembatasan tertentu dalam relasi gender yang memperlihatkan kedudukan dan peran laki-laki yang lebih dominan dibanding perempuan. Hal ini didukung oleh Handayani dan Novianto (2004) yang menyatakan bahwa dalam budaya Jawa yang cenderung paternalistik, laki-laki memiliki kedudukan yang istimewa.
 
Indrawati menambahkan bahwa perempuan Jawa diharapkan dapat menjadi seorang pribadi yang selalu tunduk dan patuh pada kekuasaan laki-laki, yang pada masa dulu terlihat dalam sistem kekuasaan kerajaan Jawa (keraton). Hal ini senada dengan pendapat Widyastuti (2005) yang mengutip Kusujiarti, perempuan Jawa lebih banyak menjadi sasaran ideologi gender yang hegemonik yang menimbulkan subordinasi terhadap perempuan.
 
Istilah wanita itu sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti wani ditata (berani ditata). Pengertian ini telah mencirikan adanya tuntutan kepasifan pada perempuan Jawa. Selain itu istilah putra mahkota (bukan putri mahkota), kawin paksa, dan babakan pingitan yang diberlakukan kepada perempuan yang akan menikah, ditangkap Widyastuti (2005) sebagai persoalan gender yang dihadapi perempuan Jawa.
 
Mulai dari awal pemilihan pasangan hidup, laki-laki Jawa biasanya disarankan untuk tidak memilih perempuan yang memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Selanjutnya dalam perkawinan, istilah kanca wingking, yakni bahwa perempuan adalah teman di dapur akan mewarnai kehidupan perkawinan pasutri Jawa. Konsep swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka pun turut) juga menggambarkan posisi perempuan Jawa yang lemah sebagai seorang istri (Handayani dan Novianto, 2004).
 
Selain itu bagi masyarakat Jawa, perempuan sejati adalah perempuan yang tetap tampak lembut dan berperan dengan baik di rumah sebagai ibu maupun istri, di dapur maupun di tempat tidur. Masyarakat Jawa berharap perempuannya bersikap dan berperilaku halus, rela menderita, dan setia. Ia diharapkan dapat menerima segala sesuatu bahkan yang terpahit sekalipun.
 
Berkaitan dengan prinsip hormat, sedapat mungkin perempuan Jawa tidak tampil dalam sektor publik karena secara normatif perempuan tidak boleh melebihi suami. Kalaupun kemungkinan untuk tampil tersedia, perempuan Jawa diharapkan tidak menggunakan kesempatan itu jika dapat mengganggu harmoni kehidupan keluarga. Dalam konteks ini, istri tidak boleh mempermalukan suami. Istri harus selalu menghormati dan menghargai suami, menempatkan suami begitu tinggi, dan memenuhi segala kebutuhan suami.
 
Namun demikian, ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa sistem bilateral, dan bukan paternalistik, yang justru tampak dalam praktik hidup sehari-hari pada masyarakat Jawa. Sebagian orang menganggap perempuan Jawa memiliki kekuasaan yang tinggi mengingat sumbangannya yang umumnya cukup besar dalam ekonomi keluarga yang dicapai melalui partisipasi aktif mereka dalam kegiatan produktif (Widyastuti, 2005). Handayani & Novianto (2004) juga menyebutkan fungsi istri sebagai manajer rumah tangga justru membuat posisi kontrol perempuan Jawa menjadi lebih kuat.
 
Selain itu adanya konsep istri sebagai sigaraning nyawa, bukan sekedar konco wingking juga memberikan gambaran posisi yang sejajar dan lebih egaliter terhadap perempuan Jawa (Handayani & Novianto, 2004). Istilah konco wingking pun tidak selalu lebih rendah, tergantung bagaimana perempuan Jawa memaknainya. Sama seperti sutradara yang bekerja di belakang layar dan tidak pernah terlihat dalam filmnya tetapi dapat menentukan jalannya film.
 
Selain itu Handayani & Novianto juga berpendapat bahwa perempuan Jawa bukannya tidak memiliki otoritas pribadi. Hanya saja ia harus mencari cara agar kehendaknya terpenuhi tanpa mengacaukan harmoni dengan keluar dari tatanan budaya. Oleh karena itu pengabdian total perempuan Jawa merupakan strategi diplomasi untuk mempunyai otoritas dan mendapatkan apa yang menjadi harapannya. Jadi secara struktur formal, mereka terlihat tidak berpengaruh. Namun secara informal, pengaruh mereka sangat besar. Bahkan lama kelamaan suami yang akan tergantung kepada istrinya terutama secara emosional. Pada posisi inilah, perempuan Jawa akan banyak menentukan keputusan-keputusan dunia publik melalui suaminya.
 
Selain itu, Indrawati (2002) berpendapat saat ini memang telah terjadi pergeseran kedudukan dan relasi gender masyarakat Jawa. Menurutnya, modernisasi, emansipasi perempuan, dan masuknya pengaruh budaya Barat, telah menggeser pola relasi gender mengarah kepada persamaan derajat dan kedudukan. Sedikit banyak diperkirakan pergeseran pola relasi gender ini dapat pula mempengaruhi kehidupan perkawinan masyarakat Jawa meskipun belum ada penelitian empiris mengenai hal ini.
 
== Seni ==