Konten dihapus Konten ditambahkan
Wagino Bot (bicara | kontrib)
welcome
 
Frenky33 (bicara | kontrib)
 
Baris 40:
 
|}
 
== Hasan Al-Bashrī (21 H – 110 H) ==
 
Pada masa itu keharuman dan kebesaran nama Khalifah Umar bin Khattab ra semakin terpancar setelah berhasi menaklukan Kekaisaran Dinasiti Sasaniah dari Persia dan membebaskan Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari Kekaisaran Romawi Byzantium.
Madinah Al-Munawarah yang merupakan Ibukota Kekhalifahan Islam semakin tumbuh dengan pesat menarik umat muslim untuk menetap atau sekedar berziarah dan menuntut ilmu. Namun tidaklah demikian dengan Yasar atau Pirouz dan istrinya, Khairah. Kedatangannya ke Kota Madinah adalah dikarenakan perbudakan yang menimpa mereka. Namun karena kemuliaan Islam dan kemuliaan para penganutnyalah, mereka yang semula adalah budak dari Ummu Salamah mendapatkan kemerdekaan dan dapat hidup setara dengan umat muslim lainnya.
Keberkahaan kota Madinah semakin dirasakan oleh keluarga Yasar, ketika pada tahun 21 H di kota suci tersebut lahirlah anak mereka yang bernama Abu Sa'id al-Hasan ibn Abil-Hasan Yasar al-Bashri. Ia lahir dua tahun sebelum berahirnya masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattâb.
Hasan merupakan sebuah nama yang sangat istimewa. Hal ini karena nama itu merupakan juga nama dari cucu pertama Nabi Muhammad saw. Karenanya Hasan bin Yasar pun menjadkan nama yang diberikan orang tuanya tersebut sebagai motivasi untuk belajar agar kelak menjadi orang yang shaleh dan berilmu. Ia ingin membuktikan bahwa anak seorang mantan budak pun dapat memiliki kedudukan yang mulia baik di mata Allah maupun di mata manusia jika memiliki ilmu yang tinggi. Semagat dan motivasi belajarnya yang tinggi menjadikan dirinya sebagai murid utama dari beberapa Sahabat Nabi terkemuka seperti Utsman bin Affan, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Talib, Abu Musa Al-Asy'ari, Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah and Abdullah bin Umar.
Seiring berjalannya waktu, maka dengan ilmu yang didapatkannya dari para Sahabat Nabi tersebut, di kalangan masyarakat Madinah pada waktu itu, ia termasuk salah satu tabi’in yang paling ‘alim. Karenaya, ketika ia pindah ke kota Bashrah, dan mengajar di sana, karena ketinggian ilmunya pula ia lalu dijuluki sebagai Syaikh al-Bashrah (Guru Besar dari Bashrah).
Selain ketinggian ilmunya ia juga dikenal sebagai pribadi yang zuhud karenanya Al-Ghazali memujinya bahwa ia adalah orang yang perkataannya mirip dengan para Nabi, dan cara hidupnya mendekati para sahabat. Kezuhudan Hasan al-Bashri digambarkan seperti gambaran kehidupan Rasulullah saw yang diceritakan oleh Umar bin Khattab ra., Umar berkata: “Aku menemui Rasulullah saw., aku melihat beliau sedang berbaring di atas sehelai tikar. Antara diri beliau dan tikar itu tidak ada apa-apa. Bekas tikar itu tampak jelas di tubuh beliau. Beliau bertelekan kepada bantal yang isinya sabut kurma. Kemudian aku layangkan pandanganku ke sekitar kamar. Tidak ada barang berharga yang meyita perhatian…” (H.R. Bukhori – Muslim).
Tentunya Hasan Al-Bashri tidak dikenal sebagai seorang sufi. Tapi setidaknya ada tiga alasan kenapa beliau termasuk kaum sufi. Pertama, ia mengarang sebuah kitab berjudul Ri’ayat Huqūq Allâh (menjaga hak-hak Allah) yang dipandang sebagai kitab pertama tentang tasawuf.
Kedua, kaum ‘arif sendiri melacak silsilah tarikat mereka sampai ke Hasan Al-Bashrī, kemudian darinya ke Imam ‘Ali bin Abi Thlib ra. Dan Ketiga, beberap kisah seputar Hasan Al-Bashrī menunjukan bahwa ia adalah anggota sekelompok orang yang kemudian hari dikenal sebagai kaum sufi.