Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Den Mazze (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Den Mazze (bicara | kontrib)
Baris 5:
'''Daerah Istimewa Yogyakarta''' (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Negara Republik Indonesia setelah [[Jawa Timur]], yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari jaman sebelum kemerdekaan. [[Kesultanan Yogyakarta]] dan juga [[Kadipaten Paku Alaman]], sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/''Dependent state''” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari [[VOC]] , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), [[Hindia Belanda]] (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai ''Zelfbestuurende Lanschappen'' dan oleh Jepang disebut dengan ''Koti/Kooti''. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh ''The Founding Fathers'' Bangsa Indonesia yang duduk dalam [[Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia|BPUPKI]] dan [[Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia|PPKI]] sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara<ref name="bah">Saafrudin Bahar et. al. (ed), 1993</ref>.
 
==Periode I: 1945 - 1946 ==
===Pada Mulanya...===
Tanggal 18<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref><ref>Achiel Suyanto, 2007</ref> atau 19<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref> Agustus 1945, Sultan [[Hamengku Buwono IX]] (HB IX) dan Sri Paduka [[Paku Alam VIII]] (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada [[Soekarno]]-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua [[BPUPKI]]) dan Penguasa [[Jepang]] ''Nampoo-Gun Sikikan Kakka'' dan ''Jawa Saiko Sikikan'' beserta stafnya.<ref Keesokannya diname="pjs">PJ JakartaSuwarno, terjadi1994</ref>. pembicaraanPada dalam[[19 sidang PPKIAgustus]] membahas kedudukan[[1945]] ''Yogyakarta Kooti''. Sebenarnya kedudukan ''KootiHookookai'' sendirimengadakan sudahsidang dijamindan dalammengambil UUD,keputusan namunyang belumpada diaturintinya denganbersyukur rinci.<ref>Pembagianpada daerah IndonesiaTuhan atas daerahlahirnya besarNegara dan kecilIndonesia, denganakan bentukmengikuti susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undangtiap-undang,tiap dengan memandanglangkah dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negaraperintahnya, dan hak-hakmemohon asal-usulkepada dalamTuhan daerah-daerahagar yangIndonesia bersifatkokoh istimewa.dan (Pasalabadi<ref 18name="joy">Joyokusumo, UUD 1945)2007</ref>.
 
===Sebuah Jalan Tengah===
Dalam sidang itu BPH Puruboyo, wakil dari ''Yogyakarta Kooti'', meminta pada pemerintah pusat supaya ''Kooti'' dijadikan otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh [[Soekarno]] karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Koti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan. Ketua panitia kecil perancang susunan daerah dan kementerian negara, [[Oto Iskandardinata]], mengemukakan bahwa soal ''Kooti'' memang sangat sulit dipecahkan sehingga panitia kecil tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden.{{fact|date=September 2007}} Akhirnya dengan dukungan [[Mohammad Hatta]], Suroso, Suryohamijoyo, dan Supomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi empat Ko Jawa. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September setelah ia mengetahui sikap resmi dari para penguasa monarki.
Di Jakarta pada [[19 Agustus]] [[1945]] terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan ''Kooti''<ref name="bah">Saafrudin Bahar et. al. (ed), 1993</ref>. Sebenarnya kedudukan ''Kooti'' sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci<ref>Pasal 18 UUD Indonesia yang pertama yang disahkan sehari sebelumnya berbunyi: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan ''hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa''.”</ref>. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari ''Yogyakarta Kooti'', meminta pada pemerintah pusat supaya ''Kooti'' dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh [[Soekarno]] karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada ''Kooti'', sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
 
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , [[Oto Iskandardinata]], dalam sidang itu menanggapi bahwa soal ''Kooti'' memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada ''beleid'' Presiden. Akhirnya dengan dukungan [[Mohammad Hatta]], Suroso, Suryohamijoyo, dan [[Soepomo]], kedudukan ''Kooti'' ditetapkan ''status quo'' sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta [[Kesultanan Yogyakarta]] dan [[Kadipaten Paku Alaman]]<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref>.Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>.
Pada tanggal 1 September, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan ''Yogyakarta Kooti Hookookai''. Pada hari yang sama juga dibentuk [[Badan Keamanan Rakyat]] (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan Hamengku Buwono IX mengadakan pembicaraan dengan [[Paku Alam VIII]] (PA VIII) dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan {{ke wikisource|Amanat 5 September 1945}}. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan ''Nederlandsch Indische'' setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung resiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja
Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
 
===Sabda Raja===
Pada saat itu wilayah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta meliputi:
Pada tanggal [[1 September]] [[1945]], Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan ''Yogyakarta Kooti Hookookai''. Pada hari yang sama juga dibentuk [[Badan Keamanan Rakyat]] (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan Hamengku BuwonoHB IX mengadakan pembicaraan dengan [[PakuSri AlamPaduka VIII]] (PA VIII) dan [[Ki Hajar Dewantoro]] serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan {{ke wikisource|Amanat 5 September 1945}}. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam [[Republik Indonesia]]. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku AlamSri Paduka PA VIII pada hari yang sama.<ref Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki diname="soe">Soedarisman NusantaraP, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan ''Nederlandsch Indische'' setelah kekalahan Jepang1984</ref>. Dekrit semacam itu mengandung resiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja
 
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan ''Nederland Indie'' setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung resiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, '''Raja Kerajaan Luwu''' akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
 
===Pemerintahan dan Wilayah===
Pada saat ituberintegrasi wilayah kekuasaan KasultananKesultanan Yogyakarta meliputi<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref>:
#Kabupaten [[Kota Yogyakarta]] dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
#Kabupaten [[Sleman]] dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
#Kabupaten [[Bantul]] dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
#Kabupaten Gunungkidul[[Gunung Kidul]] dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
#Kabupaten Kulonprogo[[Kulon Progo]] dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
 
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref>:
#Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
#Kabupaten [[Adikarto]] dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
 
Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan daerahhanya administratifwilayah biasaadministratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>. Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950.

===Monarki dan Demokrasi===
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja [[Komite Nasional Indonesia]] Daerah Yogyakarta pada [[29 Oktober]] [[1945]] dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan {{ke wikisource|Amanat 30 Oktober 1945}}) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada Badan PekerjaBP KNI Daerah Yogyakarta<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref><ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu dekrit. Selain itu dekrit tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbolwakil persetujuandari seluruh rakyat. Yogyakarta<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>.
 
PadaSeiring saatdengan ituberjalannya terdapatwaktu<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref><ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>, berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (''Kooti Zimukyoku'') sebagai wakil pemerintah Pusat, ''Paniradya'' (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta. Tumpang tindih itu menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada [[16 Februari]] [[1946]] dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat ''kalurahan'' (sebutan pemerintah desa saat itu).
 
===Merancang Masa Depan===
SementaraUntuk itumerumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan yang tajam antara BP KNID, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah biasa seperti daerah lain, dengan kedua rajapenguasa monarki, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah istimewa. Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh Bab tersebut adalah:<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>:
#Kedudukan Yogyakarta
#Kekuasaan Pemerintahan