#Aturan Tambahan
==Periode II:1946 - 1950 ==
===Sebuah Daerah Istimewa===
Sebagai realisasi keputusan sidang paripurna KNID tanggal [[24 April]] [[1946]], pada 18 Mei 1946 diumumkan Maklumat No. 18 yang mengatur Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintahan [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] (lihat {{ke wikisource|Maklumat Yogyakarta No. 18}}. Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan. Maklumat ini menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di Yogyakarta sampai ditetapkannya Undang-undang yang mengatur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sambil menunggu UU yang mengatur susunan Daerah yang bersifat Istimewa sebagaimana pasal 18 UUD, maka Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada [[18 Mei]] [[1946]] mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif (lihat {{ke wikisource|Maklumat Yogyakarta No. 18}})<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref><ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan sidang KNI Daerah Yogyakarta pada [[24 April]] [[1946]]<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Setelah menyetujui rencana maklumat itu, KNID membubarkan diri dan digantikan oleh Dewan Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana maklumat. Dalam sidangnya yang pertama DPR DIY mengesahkan rencana maklumat No 18 yang sebelumnya telah disetujui dalam sidang KNI Daerah Yogyakarta tersebut<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>.
Dalam maklumat ini secara resmi nama [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] digunakan menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman dalam sebuah Daerah Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya ada sebuah Parlemen lokal untuk DIY dan Ibu Kota Yogyakarta (gabungan Kabupaten Kota Kasultanan dan Kabupaten Kota Paku Alaman) bukan dua buah (satu untuk Kesultanan dan satunya untuk Paku Alaman)<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>. Tidak dipungkiri juga terdapat perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref><ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>yang tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei 1946. Selain itu juga nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>.
Perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei. Selain itu juga nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan. Dalam maklumat tersebut ditetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh DPRD (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif dipangku secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah (HB IX dan PA VIII, Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya. Pemerintahan yang dianut adalah ''collegial bestuur'' atau direktorial karena badan eksekutif tidak berada di tangan satu orang melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu adalah untuk persatuan dan menampung kepentingan dari berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada DPRD. Namun demikian kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan pada Presiden. ▼
===Pemegang Kekuasaan===
Reorganisasi pemerintahan daerah pun segera dijalankan. Sultan Hamengku Buwono IX menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Adipati Paku Alam VIII menjadi Wakil Kepala Daerah Istimewa. Walaupun pada prakteknya, PA VIII sering melaksanakan tugas Kepala Daerah saat HB IX menjadi Menteri Negara Indonesia maupun RIS sejak 1946-1951. Pegawai-pegawai Daerah yang terdiri dari berbagai birokrasi yang berbeda (birokrasi pemerintahan monarki dan birokrasi bentukan KNID) disatukan dalam Jawatan (Dinas) Daerah. DPRD-DPRD segera dibentuk pada tiap tingkatan pemerintahan. Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing-masing tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian otonomi belum diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.
▲PerbedaanMaklumat pendapat antara KNID dengan Monarki tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 danNo. 18 Mei. Selain itu juga nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan. Dalam maklumat tersebut ditetapkanmenetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh [[DPRD ]] (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif dipangku secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah ( Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya. Pemerintahan yang dianut adalah ''collegial bestuur'' atau direktorialdirektorium karena badan eksekutif tidak berada di tangan satu orang melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu adalah untuk persatuan dan menampung kepentingan dari berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada DPRD. Namun demikian kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan pada Presiden (lihat naskah lengkap{{ke wikisource|Maklumat Yogyakarta No. 18}}).
Maklumat ini kemudian menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di Yogyakarta sampai ditetapkannya UU yang mengatur DIY. DPRD-DPRD dan Dewan Pemerintah segera dibentuk pada tiap tingkatan pemerintahan. Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing-masing tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian otonomi belum diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.
Pada [[1947]], dikeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte-Kota Yogyakarta yang diusulkan oleh Dewan Kota Yogyakarta. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta dikeluarkan dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari HB IX. Sebagai penyelesaian, maka pada 22 Juli 1947 Mr. [[Soedarisman Poerwokoesoemo]] diangkat menjadi Walikota Haminte-Kota Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX, menggantikan M. Enoch yang turut pergi mengungsi bersama Presiden karena terjadi [[Agresi Militer Belanda I]]. ▼
===Pemda Kota Yogyakarta===
Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang tersebut diatur kedudukan Daerah Istimewa.<ref>Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa, dengan undang-undang pembentukan yang termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa yang setingkat dengan Provinsi, Kabupaten, atau Desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri. (Pasal 1 ayat (2) UU No 22/1948)</ref><ref>Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota Dewan Pemerintah Daerah. (Pasal 18 ayat (5) dan (6) UU No 22/1948)</ref><ref>Dasar pemerintahan di daerah istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah biasa; kekuasaan ada ditangan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Yang berbeda ialah tentang angkatan Kepala Daerahnya. Juga yang mengenai angkatan Wakil Kepala Daerah, jikalau ada dua daerah istimewa dibentuk menjadi satu menurut Undang-undang Pokok ini, maka perlulah diadakan Wakil Kepala Daerah dari keturunan Raja dari salah satu daerah yang digabungkan tadi. Tingkatan daerah istimewa sama dengan tingkatan daerah biasa. Hasil penyelidikan itu akan menentukan apakah Daerah Istimewa itu masuk tingkat Provinsi, Kabupaten, atau Desa. Djikalau masuk tingkatan Kabupaten, maka Daerah Istimewa ini masuk ke dalam lingkungan Provinsi biasa. (Penjelasan umum UU No 22/1948 sub 29 dan 30)</ref><ref>Yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan “Zelfbestuurende landschappen”. Karena daerah-daerah itu menjadi bagian pula dari Negara Republik Indonesia maka daerah-daerah istimewa itu diatur pula dan cara pemerintahannyapun diatur sama dengan lain-lain daerah, berdasarkan kedaulatan rakyat. Ke-istimewaan peraturan untuk daerah istimewa hanya mengenai Kepala Daerahnya ditentukan bahwa Kepala (Wakil Kepala) Daerah Istimewa diangkat oleh Pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu. Sesudah berlakunya undang-undang pokok ini maka daerah-daerah istimewa dulu dapat dibentuk menjadi daerah biasa otonom atau daerah istimewa otonom; lain kemungkinan tidak ada. (Penjelasan pasal 1 UU No 22/1948)</ref> ▼
▲Pada [[1947 ]], dikeluarkanPemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan ''Haminte ''-Kota Yogyakarta yangatas diusulkan olehusulan Dewan Kota Yogyakarta . Ini tidak mengherankan sebab sejak [[5 Januari]] [[1946]] Yogyakarta menjadi Ibukota Indonesia. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta dikeluarkan dari Daerah Istimewa YogyakartaDIY dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari Sultan HB IX <ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>. Sebagai penyelesaian, maka pada 22 Juli 1947 Mr. [[Soedarisman Poerwokoesoemo]] diangkat menjadi Walikota ''Haminte ''-Kota Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX, menggantikan M. Enoch (Walikota Yogyakarta pertama) yang turut pergi mengungsi bersamamendampingi Presiden karena terjadi [[Agresi Militer Belanda I]] <ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>.
===Pengaturan Yang Tertunda===
Walaupun demikian, pemerintah pusat belum mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Setelah serangan umum 1 Maret 1949, Yogyakarta dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Baru setelah KMB ditandatangani, Pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia (Yogyakarta) mengeluarkan beberapa UU dan Perpu untuk membentuk Provinsi di Pulau Jawa dan Sumatera.
▲Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU Pokok No. 22 Tahun /1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undangUU tersebut diatur susunan dan kedudukan Daerah Istimewa . baik dalam diktum<ref>Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa, dengan undang-undang pembentukan yang termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa yang setingkat dengan Provinsi, Kabupaten, atau Desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri. '''(Pasal 1 ayat (2) UU No 22/1948) '''</ref><ref> '''(5)''' Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. '''(6)''' Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota Dewan Pemerintah Daerah. '''(Pasal 18 ayat (5) dan (6) UU No 22/1948) '''</ref> maupun penjelasannya<ref> DasarTentang dasar pemerintahan di daerah istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah biasa; kekuasaan ada ditangan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Yang berbeda ialah tentang angkatan Kepala Daerahnya. Juga yang mengenai angkatan Wakil Kepala Daerah, jikalau ada dua daerah istimewa dibentuk menjadi satu menurut Undang-undang Pokok ini, maka perlulah diadakan Wakil Kepala Daerah dari keturunan Raja dari salah satu daerah yang digabungkan tadi. Tingkatan daerah istimewa sama dengan tingkatan daerah biasa. Hasil penyelidikan itu akan menentukan apakah Daerah Istimewa itu masuk tingkat Provinsi, Kabupaten, atau Desa. Djikalau masuk tingkatan Kabupaten, maka Daerah Istimewa ini masuk ke dalam lingkungan Provinsi biasa. '''( Petikan Penjelasan umum UU No 22/1948 sub 29 dan 30) '''</ref><ref>Yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan “Zelfbestuurende''Zelfbestuurende landschappen”landschappen''. Karena daerah-daerah itu menjadi bagian pula dari Negara Republik Indonesia maka daerah-daerah istimewa itu diatur pula dan cara pemerintahannyapun diatur sama dengan lain-lain daerah, berdasarkan kedaulatan rakyat. Ke-istimewaan peraturan untuk daerah istimewa hanya mengenai Kepala Daerahnya ditentukan bahwa Kepala (Wakil Kepala) Daerah Istimewa diangkat oleh Pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu. Sesudah berlakunya undang-undang pokok ini maka daerah-daerah istimewa dulu dapat dibentuk menjadi daerah biasa otonom atau daerah istimewa otonom; lain kemungkinan tidak ada. '''( Petikan Penjelasan pasal 1 UU No 22/1948) '''</ref> . Walaupun demikian, pemerintah pusat belum sempat mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi [[Agresi Militer Belanda II]] pada [[19 Desember]] [[1948]] yang menghajar Ibukota Yogyakarta. Pemerintahan DIY-pun ikut menjadi lumpuh. Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII meletakkan jabatan sebagai Kepala Daerah Istimewa sebagai protes kepada Belanda<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Pasca Serangan Oemoem [[1 Maret]] [[1949]], Yogyakarta dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1950<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>.
== 1950 - 1965 ==
|