Teungku Chik di Tiro

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan
Revisi sejak 7 Agustus 2021 14.22 oleh 182.3.6.30 (bicara)

Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman (Tiro, Pidie, 1 Januari 1836 – Aneuk Galong, Aceh Besar, 31 Januari 1891) adalah seorang pahlawan nasional dari Pedir.

Muhammad Saman Tiro
Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman
Nama asalMuhammad Saman
Lahir1 Januari 1836
Kesultanan Aceh Tiro, Pidie, Kesultanan Aceh Darussalam
Meninggal31 Januari 1891(1891-01-31) (umur 55)
Kesultanan Aceh Aneuk Galong, Aceh Besar, Kesultanan Aceh Darussalam
Sebab meninggalMeninggal karena diracun oleh Belanda
Tempat pemakamanMeureu,Indrapuri, Aceh Besar
5°24′52.3″N 95°28′29.2″E / 5.414528°N 95.474778°E / 5.414528; 95.474778
Dikenal atasUlama
Pahlawan Kemerdekaan Aceh
Lawan politikBelanda Hindia Belanda
Anak1.Fatimah
2.Muhammad Amin,
3.Mahyiddin,
4.Ubaidillah,
5.Muhammad Ali Zainal Abidin, dan
6.Teungku Lambada.
Orang tuaTeungku Sjech Abdullah
Siti Aisyah
KerabatTeungku Chik Dayah Tjut di Tiro (Paman)
KeluargaTeungku Ma'at Ditirio (Cucu)
Hasan Tiro Cicit
PenghormatanPahlawan Kemerdekaan Aceh

Riwayat

 
Gerbang masuk makam Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman.

Teungku Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada 1 Januari 1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.

Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabil.[1]

Memimpin perjuangan

 
Kubur Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman

Dengan perang sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota Banda Aceh dengan mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie stelsel) yaitu membuat benteng yang mengelilingi wilayah yang masih dikuasainya.

Teungku Chik di Tiro adalah tokoh yang kembali menggairahkan Perang Aceh pada tahun 1881 setelah menurunnya kegiatan penyerangan terhadap Belanda.[2] Selama ia memimpin peperangan terjadi 4 kali pergantian gubernur Belanda yaitu Abraham Pruijs van der Hoeven (1881-1883), Philip Franz Laging Tobias (1883-1884), Henry Demmeni (1884-1886) dan Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891)

Belanda akhirnya memakai siasat lain dengan cara meracunnya. Muhammad Saman akhirnya meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.[3]

Lain-lain

Salah satu cucunya adalah Hasan di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka.[4]

Lihat pula

Referensi

Pranala luar