Kuma-kuma
Kuma-kuma | |
---|---|
Bunga kuma-kuma dengan tangkai putik berwarna merah | |
Klasifikasi ilmiah | |
Kerajaan: | |
Divisi: | |
Kelas: | |
Ordo: | |
Famili: | |
Genus: | |
Spesies: | C. sativus
|
Nama binomial | |
Crocus sativus |
Kuma-kuma atau safron (saffron) adalah nama untuk rempah-rempah dari bunga Crocus sativus ("bunga pacar"), sekaligus nama umum untuk tanaman Crocus sativus dari marga crocus famili Iridaceae.
Bunga kuma-kuma memiliki tiga kepala putik (stigma) yang terletak distal terhadap daun buah. Bagian tangkai putik, yang menghubungkan stigma dengan bagian bunga paling dalam, sering dikeringkan dan disebut safron yang dipakai sebagai bumbu masakan dan bahan pewarna.
Tanaman kuma-kuma berasal dari Asia Barat Daya,[1][2] dan safron bertahan sebagai komoditas rempah menurut timbangan berat yang termahal di dunia selama beberapa dekade.[1][3] Tanaman ini pertama kali dibudidayakan di sekitar Yunani.[4]
Safron memiliki rasa khas sedikit pahit dan berbau harum seperti iodoform atau rumput kering yang disebabkan zat kimia bernama picrocrocin dan safranal.[5][6] Safron mengandung crocin, salah satu bahan pewarna karotenoid yang membuat makanan menjadi kuning keemasan. Warna kuning terang safron menjadikannya sebagai rempah-rempah yang paling banyak dicari orang di dunia. Dalam pengobatan tradisional, safron digunakan sebagai obat berbagai macam penyakit.
Dalam bahasa Melayu, safron disebut koma-koma dan merupakan bumbu yang membuat nasi briyani (nasi beryani) menjadi berwarna kuning. Dalam bahasa Arab, safron ini disebut Za'faran (زَعْفَرَان), yang berasal dari kata aṣfar (أَصْفَر) yang berarti "kuning". Dalam bahasa Inggris ditulis sebagai saffron, diambil dari bahasa Perancis Kuna safran yang berasal dari bahasa Latin safranum.
Deskripsi
Morfologi kuma-kuma | |
→ Kepala putik (stigma) (ujung pistil) | |
→ Benang sari | |
→ Daun mahkota | |
→ Subang |
Kuma-kuma hasil domestikasi C. sativus adalah tumbuhan tahunan (perenial) yang berbunga di musim gugur. Tanaman ini tidak tumbuh di alam bebas dan merupakan mutan poliploidi yang steril dari Crocus cartwrightianus asal Mediterania timur yang berbunga di musim gugur.[7] Penelitian botani mengungkap C. cartwrightianus berasal dari pulau Kreta, dan bukan dari Asia Tengah seperti yang dulu diperkirakan orang.[6] Kuma-kuma penghasil safron merupakan hasil seleksi buatan oleh pembudidaya yang menginginkan tangkai putik (stigma) yang panjang. Bunga kuma-kuma yang berwarna ungu tidak menghasilkan biji karena steril, dan reproduksi tanaman bergantung pada bantuan manusia. Setelah tanaman selesai berbunga, subang harus digali dan dipisah-pisahkan untuk musim tanam berikutnya. Subang juga hanya bertahan semusim dan membelah diri menjadi hingga 10 anak subang untuk kemudian tumbuh menjadi tanaman baru.[7] Subang berbentuk globular (seperti bawang), berdiameter 4,5 cm, dan diselubungi serat yang saling bersilangan di bagian luar.
Setelah mengalami periode estivasi di musim panas, dari subang muncul sekitar 5–11 helai daun hijau ramping yang tumbuh ke atas. Panjang helai daun bisa mencapai 40 cm. Di musim gugur keluar kuncup bunga berwarna ungu. Kuma-kuma baru berbunga di bulan Oktober setelah sebagian besar tumbuhan berbunga sudah menghasilkan biji. Bunga berwarna cemerlang, mulai dari warna ungu terang hingga ungu bernuasa merah jambu.[8] Sewaktu berbunga, tinggi tanaman rata-rata adalah 30 cm.[9] Dari dalam bunga keluar tiga tangkai putik yang di ujungnya terdapat kepala putik berwarna merah tua berukuran panjang 25–30 mm..[7]
Budidaya
Kuma-kuma tumbuh subur di iklim yang mirip dengan Maquis shrubland di Mediterania atau kaparal di Amerika Utara, dengan angin musim panas yang kering berhembus melewati tanah kering atau semi kering. Walaupun demikian, tanaman bisa bertahan dalam musim dingin yang membeku, tahan terhadap embun beku sampai kira-kira −10 °C atau tertutup salju untuk sementara waktu.[7][10]
Bila tidak ditanam di wilayah beriklim basah seperti di Kashmir (tempat dengan rata-rata curah hujan per tahun 1.000–1.500 mm), kuma-kuma perlu dibuatkan irigasi. Penanaman kuma-kuma di wilayah yang kurang curah hujan seperti di Yunani (curah hujan per tahun 500 mm) dan Spanyol (400 mm) menggunakan sistem irigasi.
Kuma-kuma paling sesuai ditanam di daerah yang memiliki banyak hujan di musim semi namun relatif kering di musim panas. Selain itu, hujan yang turun sebelum musim berbunga bisa menambah panen kuma-kuma. Sebaliknya, hujan atau cuaca dingin selama masa berbunga meningkatkan kemungkinan tanaman terserang penyakit dan mengurangi hasil panen. Cuaca yang terus-menerus panas atau lembap juga mengurangi hasil panen,[11] begitu pula hewan pengganggu, seperti: kelinci, tikus, dan burung. Parasit seperti nematoda, penyakit karat daun, dan kebusukan subang juga merupakan ancaman bagi tanaman ini.
Hasil panen safron per ha[*] | |
Negara | Hasil panen (kg/hektare) |
Spanyol | 6–29 |
Italia | 10–16 |
Yunani | 4–7 |
India | 2–7 |
Maroko | 2.0–2.5 |
Sumber: Deo 2003, hlm. 3 | |
[*]—Berat basah hasil panen bukan safron berat kering. |
Tanaman tumbuh subur di tempat yang banyak terkena sinar matahari, dan tidak tumbuh dengan baik di tempat yang teduh. Kuma-kuma sebaiknya ditanam di tanah yang memiliki kemiringan sehingga bisa banyak mendapat sinar matahari. Di belahan bumi utara, waktu penanaman yang terbaik di bulan Juni. Subang ditanam di dalam tanah sekitar 7–15 cm. Selain iklim, kedalaman dan jarak sewaktu menanam subang sangat berpengaruh pada hasil panen. Subang yang ditanam lebih dalam menghasilkan safron kualitas tinggi, tapi bunga dan anak subang yang dihasilkan lebih sedikit. Petani Italia meningkatkan produksi tangkai putik dengan menanam subang sedalam 15 cm dalam deretan yang terpisah 2–3 cm. Bila ingin meningkatkan subang dan produksi bunga, subang ditanam dengan kedalaman 8–10 cm. Petani Yunani, Moroko, dan Spanyol juga masing-masing memiliki teori sendiri tentang kedalaman subang sewaktu ditanam yang disesuaikan dengan iklim setempat.[11]
Kuma-kuma tumbuh subur di tanah yang gembur, cukup mendapat air, dan tanah berkapur dengan kandungan bahan organik tinggi. Tanaman biasanya ditanam di atas bedengan dengan selokan kecil di sekelilingnya untuk saluran drainase. Kandungan organik tanah biasanya bisa ditingkatkan dengan penambahan sekitar 20–30 ton pupuk kandang per hektare. Setelah itu, subang bisa langsung ditanam tanpa pemupukan lebih lanjut.[12]
Setelah masa dorman sepanjang musim panas, helai daun yang ramping keluar dari subang dan kuncup bunga mulai tampak di awal musim gugur. Bunga mulai mekar sekitar pertengahan musim gugur. Pemetikan bunga harus dilakukan segera setelah bunga mekar di waktu fajar menyingsing, karena bunga cepat menjadi layu.[13]
Selanjutnya, kuma-kuma terus berbunga selama 1—2 minggu[14] Sekitar 150 kuntum bunga bisa menghasilkan 1 gram safron kering. Berdasarkan perhitungan ini, 1 kilogram bunga diperlukan untuk menghasilkan 12 gram safron kering (72 gram sewaktu baru dipanen). Sekuntum bunga yang baru dipetik rata-rata menghasilkan 0,03 gram safron segar, atau 0,007 gram safron kering.[12]
Senyawa kimia
Pembentukan crocin | |
Reaksi esterifikasi crocetin dengan gentiobiosa. | |
— β-D-gentiobiosa | |
— Crocetin |
Picrocrocin dan safranal | |
Struktur kimia picrocrocin.[15] | |
— Gugus safranal | |
— Turunan β-D-glukopiranosa |
Safron mengandung lebih dari 150 senyawa volatil (mudah menguap) penghasil aroma ditambah berbagai senyawa aktif nonvolatil (tidak mudah menguap),[16] dan banyak di antaranya merupakan karotenoid, termasuk zeaksantin, likopena, dan berbagai α- dan β-karoten. Warna kuning oranye keemasan pada safron berasal dari α-crocin yang merupakan ester trans-crocetin di-(β-D-gentiobiosyl) (nama sistematik (IUPAC): 8,8-diapo-8,8-carotenoic acid). Sedangkan crocin yang menjadi sumber aroma safron adalah ester digentiobiosa dari crocetin.[16]
Crocin adalah serangkaian karotenoid yang bersifat hidrofilik (menarik air), dan bisa terdiri dari ester poliena dari crocetin yang monoglikosil atau diglikosil.[16] Crocetin sebaliknya merupakan poliena terkonjugasi asam dikarboksilat yang bersifat hidrofobik (tidak suka air) sehingga larut dalam minyak.
Hasil esterifikasi crocetin dengan dua gentiobiosa yang larut dalam air (karbohidrat) adalah α-crocin yang larut dalam air. Lebih dari 10% berat kering safron adalah α-crocin yang merupakan pigmen karotenoid, sehingga safron sangat ideal sebagai pewarna untuk berbagai masakan nasi,[4] seperti nasi briyani dan paella.
Komposisi kimia safron | |
Komponen | % berat kering |
karbohidrat | 12.0–15.0 |
air | 9.0–14.0 |
polipeptida | 11.0–13.0 |
selulosa | 4.0–7.0 |
lipid | 3.0–8.0 |
mineral | 1.0–1.5 |
Lain-lain non nitrogen |
40.0 |
Sumber: Dharmananda 2005 |
Analisis proksimat pada safron | |
Komponen | % berat kering |
Komponen larut air | 53.0 |
→ Gom | 10.0 |
→ Pentosan | 8.0 |
→ Pektin | 6.0 |
→ Pati | 6.0 |
→ α–Crocin | 2.0 |
→ Lainnya Karotenoid | 1.0 |
Lipid | 12.0 |
→ Minyak nonvolatil | 6.0 |
→ Minyak volatil | 1.0 |
Protein | 12.0 |
Bahan non-organik ("abu") | 6.0 |
→ abu larut HCl | 0.5 |
Air | 10.0 |
Serat (kasar) | 5.0 |
Sumber: Goyns 1999, hlm. 46 |
Rasa safron berasal dari picrocrocin glukosida yang pahit. Picrocrocin (formula kimia: C16H26O7; nama sistematik: 4-(β-D-glucopyranosyloxy)-2,6,6- trimethylcyclohex-1-ene-1-carboxaldehyde) adalah ikatan sub-unsur aldehida yang disebut safranal (nama sistematik: 2,6,6-trimethylcyclohexa-1,3-dien-1- carboxaldehyde) dengan karbohidrat. Picrocrocin bersifat insektisida dan pestisida, dan kadarnya bisa mencapai 4% dari berat kering safron. Picrocrocin tepatnya merupakan pecahan dari karotenoid zeaksantin dan merupakan glukosida dari terpena aldehida yang dikandung safranal.
Ketika safron hasil panen dikeringkan, udara panas dan reaksi enzimatis memecah picrocrocin menjadi D-glukosa dan satu molekul bebas safranal.[15] Aroma khas safron berasal dari safranal yang termasuk golongan minyak atsiri.[5][17] Safranal tidak begitu pahit dibandingkan picrocrocin, dan kadarnya pada beberapa sampel bisa mencapai 70% dari komponen volatil safron kering.[18] Senyawa kedua yang menyebabkan safron berbau harum seperti "safron atau rumput kering" adalah 2-hydroxy-4,4,6-trimethyl-2,5-cyclohexadien-1-one,[19] yang menghasilkan aroma yang dominan walaupun kadarnya lebih sedikit dari safranal.[19] Safron kering sangat sensitif terhadap tingkat pH yang turun naik, dan lekas terurai akibat sinar dan zat pengoksidasi, walaupun agak lebih tahan terhadap panas. Sebab itu, safron harus disimpan di dalam wadah tertutup rapat untuk menghindari kontak dengan oksigen.
Sejarah
Safron sudah dibudidayakan lebih dari 3.000 tahun yang lalu. Tanaman safron yang dibudidayakan orang sekarang ini berasal dari spesies Crocus cartwrightianus yang berasal dari alam bebas. Spesies C. sativus yang muncul di akhir zaman perunggu di pulau Kreta adalah mutan steril dari C. cartwrightianus, akibat seleksi yang dilakukan petani dengan hanya menanam tanaman safron yang memiliki tangkai putik yang panjang.[20] Safron pertama kali dicatat dalam naskah botani asal abad ke-7 SM yang dikumpulkan atas perintah Ashurbanipal. Sejak itu selama 4.000, safron terus disebut-sebut orang sebagai obat yang bisa mengobati lebih dari 90 jenis penyakit.[21]
Mediterania
Penggunaan safron dalam ilmu pengobatan sudah digambarkan pada fresko di istana orang Minoa asal tahun 1500–1600 SM.[21][22]
Selanjutnya, safron disebut-sebut dalam legenda Yunani tentang pelayaran ke Kilikia. Para petualang pergi untuk menemukan safron paling berharga di dunia.[10] Legenda lain tentang Crocus dan Smilax mengisahkan Crocus yang disihir menjadi tanaman kuma-kuma penghasil safron.[23] Safron banyak digunakan orang Mediterania pada zaman kuno, termasuk pedagang minyak wangi di Mesir, dokter di Gaza, orang kota di Rhodes,[24] dan wanita penghibur (hetaerae) di Yunani sebagai bahan campuran parfum, obat salep,[25] potpuri, maskara, sesajen, dan obat tradisional.[25]
Di Mesir, Cleopatra mencampurkan safron ke dalam air mandi agar lebih bergairah dalam bercinta.[26] Ahli pengobatan tradisional di Mesir menggunakan safron sebagai obat untuk semua penyakit gastrointestinal.[27] Safron juga digunakan sebagai pewarna kain di kota-kota Timur Tengah seperti Sidon dan Tyre.[28] Bangsa Romawi begitu senang dengan safron sampai perlu membawanya ke selatan Gallia sewaktu membuka koloni dan ditanam secara besar-besaran di sana hingga saat kejatuhan Roma. Beberapa pendapat yang bertentangan mengatakan Safron baru dikenal kembali di Perancis di abad ke-8 atau pada zaman Kepausan Avignon [29]
Asia
Orang zaman purba asal 50.000 tahun yang lalu sudah menggunakan pigmen pewarna dari safron untuk menggambar binatang buas di tempat yang sekarang dikenal sebagai Irak.[23][30] Orang Sumeria juga menggunakan safron yang tumbuh liar untuk pengobatan tradisional.[31] Safron sudah menjadi komoditas perdagangan dalam kebudayaan orang Minoa sekitar 2.000 tahun SM. Safron juga disebut dalam Kitab Kidung Agung[32]
Di abad ke-10 SM, orang Persia kuno sudah membudidayakan safron Persia (Crocus sativus 'Hausknechtii') di Derbena, Isfahan, dan Khorasan untuk digunakan sebagai bahan pewarna kain, parfum, obat, dan sejenis sabun[33] Selain itu, benang safron dicampur ke dalam tenunan [23] untuk dijadikan barang persembahan untuk dewa.
Safron juga disebarkan di atas tempat tidur atau dicampurkan ke dalam teh hangat sebagai obat gejala depresi. Alexander Agung mencampurkan safron dalam minuman, makanan, air mandi, dan bahkan sebagai obat untuk luka yang diderita akibat pertempuran. Pasukan yang dipimpinnya juga ikut-ikutan sebagai pengguna safron dan kebiasaan mencampur safron ke dalam air mandi ikut dibawa pulang ke Yunani.[34]
Beberapa teori memperkirakan saat orang Asia Selatan mulai mengenal safron, tapi diwarnai ketidakcocokan. Menurut catatan sejarah orang Kashmir dan orang Tiongkok, safron baru dikenal sejak 900–2.500 tahun yang lalu.[35][36][37] Sebaliknya sejarawan yang mempelajari naskah Persia kuno, safron mulai dikenal di Asia Selatan sekitar 500 SM,[4] berdasarkan bukti orang Persia sudah memindahkan subang ke taman dan kebun yang baru di sekitar zaman itu[38], serta invasi Persia dan kolonisasi Kashmir. Orang Fenisia memasarkan safron asal Kashmir sebagai bahan pewarna kain dan obat depresi.[25] Sejak itu, penggunaan safron pada makanan dan bahan pencelup kain menyebar ke seluruh Asia Selatan. Setelah wafatnya Siddharta Gautama, pendeta Buddha di India mulai memakai jubah yang diwarnai dengan safron.[39]
Catatan tentang Tiongkok yang ditulis seorang penulis Armenia Anania dari Shirak dari abad ke-7 mengisahkan "safron dalam jumlah tidak terbatas terdapat di sana, sampai-sampai kalau ada orang yang pergi berburu menunggang kuda putih, dan berpakaian putih sambil membawa alap-alap putih, orang itu sewaktu pulang akan berlumuran warna kuning."[1] Selain itu, safron juga disebut-sebut dalam naskah pengobatan kuno Tiongkok, termasuk di dalam farmacopeia 42 jilid berjudul Shennong Bencaojing (神農本草經 — "Shennong's Great Herbal", dikenal juga sebagai Pen Ts'ao atau Pun Tsao) terbitan 200-300 SM. Naskah ini disebut sebagai karya Kaisar Shennong dan mendokumentasikan 252 ramuan obat berdasarkan fitokimia untuk berbagai penyakit.[39][40][41]
Manuskrip yang ditulis di abad ke-3 justru mencatat Kashmir sebagai tempat asal safron. Ahli pengobatan Tiongkok bernama Wan Zhen menulis "Safron berasal dari Kashmir, orang menanamnya di sana untuk dipersembahkan kepada sang Buddha." Penggunaan safron pada zaman itu ditulis Wan Zhen, "Bunga layu setelah beberapa hari, dan lalu safron diambil. Safron disukai karena warnanya yang kuning dan bisa digunakan untuk memberi aroma pada anggur."[37]
Eropa
Budidaya safron di Eropa menurun drastis setelah kejatuhan Kekaisaran Romawi. Safron diintroduksi kembali ketika kebudayaan orang Moor menyebar ke Andalusia, Perancis, dan Italia.[42] Sewaktu Eropa dilanda pandemi Kematian Hitam, permintaan obat-obatan berbahan baku safron meningkat drastis hingga harus diimpor dengan kapal orang Venesia dan Genoa dari wilayah Mediterania[43] seperti dari Rhodes.
Pencurian muatan kapal oleh kalangan bangsawan memicu "Perang Safron" yang berlangsung selama 14 minggu.[43] Kekuatiran terganggunya pasokan safron akibat ulah bajak laut mendorong penanaman safron di Basel dan ternyata tumbuh subur[44] Penanaman dan perdagangan safron kemudian menyebar ke Nuremberg. Pemerintah Nuremberg sampai harus mengeluarkan hukum Safranschou yang mengatur perdagangan safron akibat ulah pedagang yang ingin meraih untung dengan memalsukan safron atau mencampur safron dengan bahan lain. Pedagang yang melanggar bisa didenda, atau dipenjara, dengan ancaman maksimal hukuman mati[45] Tidak lama kemudian, budidaya safron menyebar ke Inggris, khususnya di Norfolk dan Suffolk. Salah satu kota di Essex yang dinamakan Saffron Walden merupakan pusat penanaman dan perdagangan safron nomor satu di Inggris. Penanaman dan penggunaan safron di Eropa baru mengalami kemunduran setelah Eropa dibanjiri rempah-rempah eksotik dari belahan dunia bagian Timur, seperti kakao, kopi, teh, dan vanili.[46][47] Penanaman safron hanya bertahan di Perancis selatan, Italia, dan Spanyol.[48]
Imigran asal Eropa datang ke Amerika membawa safron. Jemaat Gereja Schwenkfelder banyak yang sukses sebagai petani safron di Eropa dan membawa serta sekoper penuh subang ketika berimigrasi ke Amerika.[49] Pada tahun 1730, orang Pennsylvania Dutch sudah menanam safron di seluruh wilayah bagian timur Pennsylvania. Berbagai koloni Spanyol di Karibia memberi safron produksi Amerika dalam jumlah banyak, sehingga harga safron di bursa komoditi Philadephia dipatok setara dengan harga emas.[50] Perdagangan dengan koloni Spanyol terhenti setelah Perang 1812 karena kapal pedagang yang mengangkit safron banyak yang hancur.[51] Walaupun demikian, orang Pennsylvania Dutch terus menanam safron dalam jumlah terbatas untuk dijual di pasar lokal dan digunakan sebagai bahan kue, mi, dan masakan ayam atau ikan.[52] Kebun safron di Amerika tetap bertahan hingga sekarang di Lancaster County, Pennsylvania.[49]
Manfaat dan perdagangan
.
Bagi penggemar safron, safron memiliki aroma bagaikan madu dengan sedikit nuansa harum jerami. Masakan Arab, India, Asia Tengah, Iran, Eropa, Maroko, dan masakan orang Cornish sering menggunakan safron sebagai pewarna makanan sekaligus penambah aroma. Safron juga sering digunakan pada kue-kue, permen, dan minuman keras. Bunga safflower (Carthamus tinctorius) yang dijual dengan nama "safron Portugis" (assafroa) dan kunyit sering digunakan sebagai pengganti safron yang berharga mahal. Ilmu kedokteran modern berhasil mengungkap berbagai khasiat safron, seperti antikarsinogenik (pencegah kanker),[16] anti-mutagenik (pencegah mutasi), immunomodulasi (memperbaiki sistem imun), dan antioksidan[16][53][54]
Peta dunia penanaman safron | |
— Wilayah penanaman utama | |
— Negara produsen utama | |
— Wilayah safron sedikit ditanam | |
— Negara penghasil dalam jumlah terbatas | |
— Pusat perdagangan utama (sekarang) | |
— Pusat perdagangan utama (zaman dulu) |
Sebagian besar safron ditanam di kawasan yang terbentang dari barat di wilayah Mediterania hingga ke timur di wilayah Kashmir. Dari sentra-sentra produksi di seluruh dunia, setiap tahun dihasilkan sekitar 300 ton safron.[6]
Urutan negara-negara penghasil safron yang utama berdasarkan jumlah produksi adalah: Iran, Spanyol, India, Yunani, Azerbaijan, Maroko, dan Italia. Satu pon (450 gram) safron kering berasal dari 50.000–75.000 kuntum bunga yang ditanam di lahan sebesar lapangan sepak bola[55][56] Panen 150.000 kuntum bunga membutuhkan kerja keras selama 40 jam siang-malam.[57] Setelah diambil dari bunga, tangkai putik mudah menjadi kering dan (sebaiknya) disimpan di dalam wadah kedap udara.[58]
Harga safron di tingkat pedagang grosir dan eceran berkisar antara 500 dolar AS per pon hingga 5.000 dolar AS per pon (US$1.100–US$11.000 per kilogram). Di negara-negara Barat, harga eceran rata-rata adalah $1.000 per pon (US$2200 per kilogram).[1] Satu pon safron terdiri dari 70.000 hingga 200.000 tangkai putik. Ciri khas safron segar adalah warna merah terang, sedikit lembap, elastis, dan tidak mudah hancur.
Kultivar
Di seluruh dunia terdapat beberapa kultivar tanaman safron. Kultivar asal Spanyol dengan merek dagang "Spanish Superior" and "Creme" terkenal dengan warna, rasa, dan aroma yang lebih lembut. Safron yang ditanam di Italia memiliki warna, rasa, dan aroma yang lebih tajam, tapi masih kalah dengan kultivar asal Yunani Makedonia, Iran, dan Kashmir.
Kultivar "Aquila" (zafferano dell'Aquila) asal Italia terkenal dengan safron berwarna terang dan bau yang tajam karena kandungan safranal dan crocin yang tinggi. Safron jenis ini hanya ditanam di lahan seluas 8 hektare di Lembah Navelli, wilayah Abruzzo, dekat L'Aquila.
Sentra penanaman safron terbesar di Italia terdapat di San Gavino Monreale, Sardinia. Di daerah ini, safron ditanam di lahan seluas 40 hektare dan menghasilkan 60% dari total produksi safron Italia. Safron asal San Gavino Monreale memiliki kandungan crocin, picrocrocin, dan safranal yang sangat tinggi.
Safron varietas "Mongra" atau "Lacha" asal Kashmir sulit sampai di tangan konsumen dan harganya sangat mahal akibat penyakit, kegagalan panen, kekeringan, dan larangan ekspor safron kualitas tinggi oleh pemerintah India. Safron Kashmir berwarna merah tua keungu-unguan dengan rasa, aroma, dan warna yang paling tajam.
Kualitas
Nilai minimum warna safron menurut standar mutu (ISO 3632) | |
---|---|
Mutu ISO (kategori) |
Nilai absorbansi ( ) spesifik Crocin (pada λ=440 nm) |
I | > 190 |
II | 150–190 |
III | 110–150 |
IV | 80–110 |
Sumber: Tarvand 2005b |
Mutu safron ditentukan berdasarkan pengukuran kadar crocin (warna), picrocrocin (rasa), dan safranal (aroma). Pengukuran lain termasuk kandungan limbah bunga (seperti bagian bunga selain tangkai putik) dan bahan inorganik. Standar mutu safron ditetapkan International Organization for Standardization dalam ISO 3632 yang menggolongkan safron ke dalam empat tingkatan mutu yang ditentukan secara empiris berdasarkan intensitas warna: kelas IV (terburuk), kelas III, kelas II, dan kelas I (kualitas terbaik). Sampel safron dikelas-kelaskan setelah diperiksa kandungan crocin berdasarkan tingkat absorbansi dengan menggunakan spektroskopi. Absorbansi menurut Hukum Beer-Lambert dituliskan sebagai
Pada safron, absorbansi ditentukan berdasarkan foton spesifik crocin yang memiliki panjang gelombang 440 nm.[59] Nilai absorbansi ( ) yang besar menyatakan tingkat konsentrasi crocin yang tinggi sekaligus intensitas pewarnaan yang tinggi. Data ini berdasarkan pengukuran spektrofotometri di berbagai laboratorium pengujian bersertifikasi di seluruh dunia. Mutu warna berkisar dari nilai absorbansi kurang dari 80 (safron kelas IV) hingga nilai absorbansi 190 atau lebih (safron kelas I). Sampel safron terbaik di dunia (berisi tangkai putik terpilih yang diambil dari bunga terbaik) memiliki nilai absorbansi di atas 250. Harga pasar berbagai jenis safron secara langsung ditentukan sesuai nilai ISO.[59] Walaupun demikian, petani, pedagang, dan konsumen sering menolak hasil tes laboratorium karena lebih percaya pada metode holistik dengan mengambil sampel dari batch tangkai putik untuk memeriksa rasa, aroma, kelemasan, dan ciri khas lain seperti yang dilakukan pencicip anggur.[60]
Standar mutu pemerintah Spanyol | |
---|---|
Kelas | Nilai ISO |
Coupe | > 190 |
La Mancha | 180–190 |
Rio | 150–180 |
Standard | 145–150 |
Sierra | < 110 |
Sumber: Tarvand 2005b |
Walaupun sudah ada pengendalian kualitas dan standarisasi, pemalsuan mutu safron berjalan terus sejak abad pertengahan di Eropa hingga sekarang. Metode pemalsuan yang paling umum di antaranya dengan mencampur bahan pengisi seperti umbi bit, serat buah delima, serat sutera yang disepuh merah, atau tangkai putik berwarna kuning yang tanpa rasa dan tanpa bau. Cara klasik untuk menambah berat safron yang belum digiling adalah dengan mencelupkannya ke dalam madu atau minyak sayur. Dibandingkan safron yang belum digiling, safron bubuk justru lebih mudah dipalsukan kemurniannya dengan campuran kunyit, paprika, dan bahan pengisi lain. Pemalsuan juga dilakukan dengan memasang label yang tidak sesuai dengan mutu safron.[39]
Di India, safron Kashmir bermutu tinggi sering dicampur dengan barang impor dari Iran dan kemudian dijual sebagai safron Kashmir asli.[61][62]
Galeri
-
Illustration from Köhler's Medizinal-Pflanzen (1897)
-
Tumbuhan C. sativus
-
Bunga C. sativus
-
Saffron, jenis C. sativus yang dikeringkan
Lihat pula
Referensi
- ^ a b c Hill 2004, hlm. 272.
- ^ Grigg 1974, hlm. 287.
- ^ Rau 1969, hlm. 53.
- ^ a b c McGee 2004, hlm. 422.
- ^ a b McGee 2004, hlm. 423.
- ^ a b c Katzer 2001.
- ^ a b c d Deo 2003, hlm. 1.
- ^ Willard 2001, hlm. 3.
- ^ DPIWE 2005.
- ^ a b Willard 2001, hlm. 2-3.
- ^ a b Deo 2003, hlm. 2.
- ^ a b Deo 2003, hlm. 3.
- ^ Willard 2001, hlm. 3-4.
- ^ Willard 2001, hlm. 4.
- ^ a b Deo 2003, hlm. 4.
- ^ a b c d e Abdullaev 2002, hlm. 1.
- ^ Dharmananda 2005.
- ^ Leffingwell 2001, hlm. 1.
- ^ a b Leffingwell 2001, hlm. 3.
- ^ Goyns 1999, hlm. 1.
- ^ a b Honan 2004.
- ^ Ferrence 2004, hlm. 1.
- ^ a b c Willard 2001, hlm. 2.
- ^ Willard 2001, hlm. 58.
- ^ a b c Willard 2001, hlm. 41.
- ^ Willard 2001, hlm. 55.
- ^ Willard 2001, hlm. 34-35.
- ^ Willard 2001, hlm. 59.
- ^ Willard 2001, hlm. 63.
- ^ Humphries 1998, hlm. 20.
- ^ Willard 2001, hlm. 12.
- ^ Humphries 1998, hlm. 19.
- ^ Willard 2001, hlm. 17-18.
- ^ Willard 2001, hlm. 54-55.
- ^ Lak 1998b.
- ^ Fotedar 1998-1999, hlm. 128.
- ^ a b Dalby 2002, hlm. 95.
- ^ Dalby 2003, hlm. 256.
- ^ a b c Tarvand 2005.
- ^ Hayes 2001, hlm. 6.
- ^ Shen-Nong Limited 2005.
- ^ Willard 2001, hlm. 70.
- ^ a b Willard 2001, hlm. 99, Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "Willard_99" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ Willard 2001, hlm. 101.
- ^ Willard 2001, hlm. 103-104.
- ^ Willard 2001, hlm. 117.
- ^ Willard 2001, hlm. 132-133.
- ^ Willard 2001, hlm. 133.
- ^ a b Willard 2001, hlm. 143.
- ^ Willard 2001, hlm. 138.
- ^ Willard 2001, hlm. 138-139.
- ^ Willard 2001, hlm. 142-146.
- ^ Assimopoulou 2005, hlm. 1.
- ^ Chang, Kuo & Wang 1964, hlm. 1.
- ^ Hill 2004, hlm. 273.
- ^ Rau 1969, hlm. 35.
- ^ Lak 1998.
- ^ Goyns 1999, hlm. 8.
- ^ a b Tarvand 2005b.
- ^ Hill 2004, hlm. 274.
- ^ Australian Broadcasting Corporation 2003.
- ^ Hussain 2005.
Pustaka
|
|