Pelacuran anak
Pelacuran anak adalah tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung seorang anak untuk melakukan tindakan seksual demi uang atau bentuk imbalan lain dengan seseorang atau kepada siapapun.[1]
Para aktivis hak-hak anak menghindari penggunaaan istilah pelacur anak (child prostitutes) karena cenderung berkonotasi negatif. Istilah yang digunakan adalah anak-anak yang dilacurkan (prostituted children) yang menyiratkan kesadaran bahwa kehadiran anak-anak di dalam pelacuran adalah sebagai korban mengingat anak belum dianggap mampu untuk mengambil keputusan memilih pekerja seks sebagai profesi.
Di Indonesia berdasarkan analisis situasi yang dilakukan oleh seorang aktivis Hak-hak Anak, Mohammad Farid, pada tahun 1998, diperkirakan ada 40.000-70.000 anak-anak yang dilacurkan atau 30% dari jumlah PSK di Indonesia.
Di Semarang, pada pertengahan tahun 90-an muncul istilah ciblek untuk menyebut anak-anak yang dilacurkan. Istilah ini menggantikan istilah warrior (yang diambil dari sebuah judul film mengenai gank anak jalanan). Ciblek sendiri merupakan nama burung kecil yang lincah dan sering berkicau dan pada masa itu sangat digemari di Semarang. Penggunaan istilah Ciblek, awalnya merupakan kependekan dari cilik-cilik betah melek, namun kemudian berubah menjadi cilik-cilik isa digemblek. Sedangkan untuk perempuan dewasa dikenal dengan sebutan prenjak. Ini juga nama jenis burung. Namun diplesetkan dengan kepanjangan "perempuan nunggu diajak atau ada pula yang mengatakan perempuan ngajak kenthu/bersenggama.
Di Yogyakarta, untuk anak-anak (jalanan perempuan) yang dilacurkan dikenal dengan sebutan Rendan yang kepanjangannya adalah kere dandan.
Odi Shalahuddin 20:37, 25 Desember 2007 (UTC)