Panji Tohjaya adalah putra Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) yang lahir dari selir bernama Ken Umang. Menurut Pararaton ia menjadi raja Singhasari tahun 1249. Namun menurut Nagarakretagama ia sama sekali tidak pernah menjadi raja Singhasari.

Kisah Tohjaya dalam Pararaton

Menurut Pararaton, setelah membunuh ayah tirinya, yaitu Ken Arok pada tahun 1247, Anusapati menjadi raja Singhasari. Pemerintahannnya selalu dilanda kekhawatiran akan balas dendam dari putra-putra Ken Arok.

Meskipun Anusapati memperketat pengawalan dirinya, namun Tohjaya mampu memanfaatkan kelemahannya. Suatu hari Tohjaya mengajak Anusapati menyabung ayam. Anusapati menuruti tanpa curiga karena hal itu memang menjadi kegemarannya. Saat Anusapati asyik memperhatikan ayam aduan yang sedang bertarung, Tohjaya segera membunuhnya dengan menggunakan keris Mpu Gandring.

Setelah membunuh Anusapati tahun 1248, Tohjaya menjadi raja Singhasari. Karena hasutan pembantunya, ia kemudian berniat membunuh kedua keponakannya, yaitu Ranggawuni (putra Anusapati), dan Mahisa Campaka (putra Mahisa Wunga Teleng). Namun kedua keponakannya justru mendapat dukungan kuat dari tentara Singhasari. Maka terjadilah pemberontakan terhadap Tohjaya yang dilancarkan oleh kedua keponakannya itu. Tohjaya tertusuk tombak namun berhasil melarikan diri. Karena lukanya parah, ia akhirnya meninggal di desa Katang Lumbang.

Bukti Sejarah Keberadaan Tokoh Tohjaya

Uraian kisah hidup Panji Tohjaya terdapat dalam Pararaton. Namun naskah ini ditulis ratusan tahun sesudah zaman Singhasari sehingga kebenaran sejarahnya cukup meragukan. Naskah Nagarakretagama yang ditulis tepat pada pertengahan zaman Majapahit ternyata sama sekali tidak menyebutkan nama Tohjaya.

Nama Tohjaya kemudian ditemukan dalam prasasti Mula Malurung. Prasasti ini diterbitkan oleh Raja Wisnuwardhana tahun 1255 sehingga kebenaran datanya tentang keadaan Singhasari saat itu dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, terbukti sudah kalau Tohjaya adalah benar-benar tokoh sejarah, bukan sekadar tokoh dongengan ciptaan Pararaton.

Akan tetapi dalam prasasti tersebut ditulis bahwa Tohjaya bukan raja Singhasari, melainkan raja Kadiri yang menggantikan adiknya, yaitu Guningbhaya. Adapun Guningbhaya menjadi raja setelah menggantikan kakaknya yang bernama Bhatara Parameswara. Ketiga raja Kadiri tersebut adalah paman dari Raja Wisnuwardhana.

Selain itu tertulis pula dalam prasasti tersebut nama pendiri Kerajaan Singhasari yaitu Bhatara Siwa, kakek dari Wisnuwardhana.

Tohjaya adalah Raja Kadiri, bukan Raja Singhasari

Slamet Muljana dalam bukunya, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (1979) mencoba menafsirkan kembali sejarah Tohjaya berdasarkan prasasti Mula Malurung. Kisahnya adalah sebagai berikut.

Kerajaan Kadiri runtuh tahun 1222 akibat pemberontakan Bhatara Siwa (dalam Pararaton disebut Ken Arok). Ia kemudian mendirikan Kerajaan Singhasari di mana Kadiri menjadi negeri bawahan. Kadiri lalu diserahkan kepada putranya yang lahir dari Ken Dedes bernama Bhatara Parameswara (dalam Pararaton kiranya sama dengan Mahisa Wunga Teleng).

Jika benar Anusapati yang membunuh Ken Arok alias Bhatara Siwa, maka motif perbuatannya adalah karena cemburu pada pengangkatan Bhatara Parameswara di Kadiri. Pararaton hanya menyebutkan motif pembunuhan itu ialah balas dendam atas kematian Tunggul Ametung ayah kandung Anusapati.

Prasasti Mula Malurung memang tidak menyebut nama Anusapati tapi mencantumkan tahun Wisnuwardhana naik takhta yaitu 1248, dan ini sesuai dengan berita dalam Nagarakretagama.

Prasasti Mula Malurung menyebutkan Bhatara Parameswara di Kadiri digantikan adiknya yang bernama Guningbhaya (dalam Pararaton disebut Agnibhaya). Guningbhaya lalu digantikan kakaknya, yaitu Tohjaya, yang memerintah Kadiri sampai tahun 1250.

Jika benar Tohjaya melakukan kudeta untuk merebut takhta, maka ia melakukannya terhadap Guningbhaya di Kadiri, bukan terhadap Anusapati di Singhasari. Biasanya takhta jatuh kepada yang lebih muda. Namun dalam prasasti disebutkan kalau Guningbhaya digantikan kakaknya, yaitu Tohjaya. Kiranya berita dalam Pararaton benar. Tohjaya tidak mempunyai hak atas takhta karena ia putra selir. Jadi ia harus melakukan kudeta terhadap Guningbhaya.

Selanjutnya Pararaton menyebutkan kalau Tohjaya berniat membunuh kedua keponakannya, yaitu Wisnuwardhana dan Mahisa Campaka. Keduanya memang memiliki hak atas takhta Kadiri, karena keduanya masing-masing adalah menantu dan putra Bhatara Parameswara alias Mahisa Wunga Teleng.

Uraian dalam Pararaton memang sulit dipercaya, namun jika dibandingkan dengan prasasti Mula Malurung ternyata cukup mendekati kebenaran.

Pengganti Tohjaya

Menurut Pararaton pengganti Tohjaya sebagai raja Singhasari sejak tahun 1249 adalah Wisnuwardhana. Namun prasasti Mula Malurung menyebutkan Wisnuwardhana menjadi raja Singhasari sejak 1248 (ia menggantikan Anusapati menurut Nagarakretagama). Lagi pula Tohjaya adalah raja Kadiri.

Dalam prasasti Mula Malurung disebutkan kalau kekuasaan Tohjaya di Kadiri berakhir tahun 1250. Raja Kadiri pada saat prasasti diterbitkan (1255) adalah Kertanagara putra Wisnuwardhana. Ia mendapat hak atas takhta Kadiri karena ibunya adalah Waning Hyun putri Bhatara Parameswara.

Mahisa Campaka alias Narasinghamurti putra Bhatara Parameswara memang tidak terdapat dalam prasasti. Yang ada adalah Narajaya sepupu Wisnuwardhana yang menjadi raja bawahan di Hering. Hal ini membuktikan kalau Mahisa Campaka tidak memiliki hak atas takhta Kadiri karena mungkin ia hanyalah putra bungsu, atau mungkin ia lahir dari selir Bhatara Parameswara. Karena pada kenyataannya takhta Kadiri jatuh pada Kertanagara putra Wisnuwardhana dan Waning Hyun.

Didahului oleh:
Guningbhaya
Raja Kadiri bawahan Singhasari
? - 1250
Diteruskan oleh:
Kertanagara