Serangan Trunajaya terhadap Pantai Utara
Setelah kemenangannya dalam Pertempuran Gegodog (Oktober 1676) di timur laut Jawa, pemimpin pemberontak Madura, Trunajaya melanjutkan ke arah barat untuk menaklukkan kota-kota Kesultanan Mataram yang tersisa di pantai utara Jawa (juga dikenal sebagai Pasisir, kini bagian dari Indonesia). Sampai dengan Januari 1677, hampir seluruh kota-kota pesisir dari Surabaya sampai Cirebon (kecuali Jepara) telah direbut.
Latar belakang
Pemberontakan Trunajaya mulai pada tahun 1674 ketika pasukan Trunajaya melancarkan serangan terhadap kota-kota di bawah penguasaan Mataram.[1] Tahun 1676, bala tentara pemberontak berjumlah 9.000 menyerbu Jawa Timur dari basis mereka di Madura, dan merebut Surabaya—kota utama di Jawa Timur—tidak lama sesudahnya.[2] Raja Mataram Amangkurat I mengerahkan bala tentara besar untuk melawannya di bawah Putra Mahkota (kelak Amangkurat II), namun bala tentara ini dikalahkan secara mutlak pada tanggal 13 September dalam Pertempuran Gegodog di timur laut Jawa.[3] Setelah Gegodog, pantai utara Jawa menjadi terbuka bagi pasukan Trunajaya.[3]
Serangan
Pasukan pemberontak secara cepat melanjutkan ke arah barat setelah kemenangan.[3] Daerah pesisir utara Jawa—juga dikenal sebagai Pasisir—memiliki banyak kota perdagangan, seperti Surabaya (telah direbut oleh Trunajaya sebelum Gegodog), Tuban, Juwana, Pati, Jepara, Semarang, dan Kendal.[4]
Pasukan Trunajaya menemui perlawanan besar pertama mereka di Jepara. Sebagai reaksi terhadap pemberontakan, Amangkurat telah menempatkan seorang personel militer, Angabei Wangsadipa sebagai gubernur di Jepara untuk mengawasi seluruh pantai utara.[1][5] Berikutna, pertahanan kota telah diperkuat dan meriam tambahan telah ditempatkan.[1] Pasukan pertahanan Jepara juga mendapat bantuan dari Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) pasukan berkekuatan 200 orang, yang diperkuat melalui laut "tepat pada waktunya".[3][5] Mereka tiba di sana pada tanggal 20 November 1976 dan mulai mengepung kota.[6][7] Pertahanan gabungan Mataram dengan VOC, serta dengan pertengkaran antara elemen orang Madura dan elemen Makassar dari para penyerang, menyebabkan serangan pada akhirnya gagal.[7][3][5]
Referensi
Kutipan
- ^ a b c Pigeaud 1976, hlm. 69.
- ^ Andaya 1981, hlm. 214–215.
- ^ a b c d e Pigeaud 1976, hlm. 70.
- ^ Pigeaud 1976, hlm. 59.
- ^ a b c Ricklefs 1993, hlm. 34.
- ^ Kemper 2014, hlm. 143.
- ^ a b Andaya 1981, hlm. 215.
Bibliografi
- Andaya, Leonard Y. (1981). The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century. The Hague: Martinus Nijhoff. doi:10.1163/9789004287228. ISBN 9789004287228.
- Kemper, Simon (2014-05-08). War-bands on Java (Tesis). Leiden University. http://hdl.handle.net/1887/25549.
- Ricklefs, M.C. (1993). War, Culture and Economy in Java, 1677–1726: Asian and European Imperialism in the Early Kartasura Period. Sydney: Asian Studies Association of Australia. ISBN 978-1-86373-380-9.
- Ricklefs, M.C. (2008-09-11). A History of Modern Indonesia Since C.1200. Palgrave Macmillan. ISBN 978-1-137-05201-8.
- Pigeaud, Theodore Gauthier Thomas (1976). Islamic States in Java 1500–1700: Eight Dutch Books and Articles by Dr H.J. de Graaf. The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 90-247-1876-7.