Periode Liberal (Hindia Belanda)

Periode Liberal mengacu kepada kebijakan ekonomi yang dilembagakan di Hindia Belanda dari pertengahan abad ke-19.

Latar belakang: Sistem Tanam Paksa

Di bawah Sistem Tanam Paksa (atau "Cultuurstelsel" dalam bahasa Belanda) yang berlangsung pada sebagian besar abad ke-19, Pemerintah kolonial Belanda di kepulauan Indonesia mewajibkan petani pribumi untuk menyerahkan, sebagai semacam pajak, jumlah tetap hasil tanaman tertentu, seperti gula atau kopi. Sebagian besar Jawa menjadi perkebunan Belanda, menjadikannya koloni yang menguntungkan dan swasembada dan menyelamatkan Belanda dari kebangkrutan dan membantunya menjadi masyarakat borjuis yang berkembang dan modern.[1] Sistem Tanam Paksa, bagaimanapun, membawa banyak kesulitan ekonomi bagi petani Jawa, yang menderita kelaparan dan epidemi pada tahun 1840-an, menarik banyak opini publik yang kritis di Belanda.[2]

Deregulasi ekonomi Hindia

Sebelum resesi akhir abad ke-19, Partai Liberal telah menjadi dominan dalam pembuatan kebijakan di Belanda. Filosofi pasar bebasnya menemukan jalannya ke Hindia Belanda di mana Sistem Tanam Paksa dideregulasi.[1] Di bawah reformasi agraria dari tahun 1870, produsen tidak lagi dipaksa untuk menyediakan hasil panen untuk ekspor, namun Hindia terbuka bagi perusahaan swasta. Pengusaha Belanda mendirikan perkebunan besar yang menguntungkan. Produksi gula dua kali lipat antara 1870 dan 1885; tanaman baru seperti teh dan pohon kina berkembang, dan karet diperkenalkan, menyebabkan peningkatan keuntungan Belanda secara dramatis.[2]

Perubahan tidak terbatas pada Jawa, atau pertanian; minyak dari Sumatera dan Kalimantan menjadi sumber daya yang berharga bagi industrialisasi Eropa. Perkebunan tembakau dan karet menyebabkan kerusakan hutan di pulau luar Jawa.[1] Kepentingan komersial Belanda meluas dari Jawa ke pulau-pulau luar dengan semakin banyak wilayah yang berada di bawah kekuasaan atau dominasi pemerintah Belanda langsung pada paruh kedua abad ke-19.[2] Puluhan ribu kuli dibawa ke pulau luar Jawa dari Tiongkok, India, dan Jawa untuk bekerja di perkebunan dan mereka mengalami perlakuan kejam dan tingkat kematian yang tinggi.[3]

Kaum Liberal mengatakan manfaat ekspansi ekonomi akan merembes ke tingkat lokal.[1] Namun, akibatnya terjadi kelangkaan lahan untuk produksi padi, dikombinasikan dengan populasi yang meningkat secara dramatis, terutama di Jawa, menyebabkan kesulitan lebih lanjut.[2] Resesi dunia yang meluas pada akhir tahun 1880-an dan awal 1890-an menyebabkan harga komoditas hancur di mana Hindia bergantung padanya. Para jurnalis dan pegawai negeri sipil mengamati bahwa sebagian besar penduduk Hindia tidak lebih baik daripada ketika di bawah ekonomi Sistem Tanam Paksa yang diatur sebelumnya dan puluhan ribu penduduk kelaparan.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d e Vickers 2005, hlm. 16.
  2. ^ a b c d Witton 2003, hlm. 23–25.
  3. ^ Vickers 2005, hlm. 16–17.

Kutipan karya

  • Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia (edisi ke-illustrated, annotated, reprint). Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-83493-3. 
  • Witton, Patrick (2003). Indonesia. Melbourne: Lonely Planet. ISBN 978-1-74059-154-6.