T.B. Simatupang
Letnan Jenderal TNI (Purn.) Tahi Bonar Simatupang atau yang lebih dikenal dengan nama T.B. Simatupang (28 Januari 1920 – 1 Januari 1990)[1] adalah seorang tokoh militer di Indonesia.
T.B. Simatupang | |
---|---|
[[Kepala Staf Angkatan Perang]] 2 | |
Masa jabatan 29 Januari 1950 – 4 November 1953 | |
Presiden | Soekarno |
Informasi pribadi | |
Lahir | Sidikalang, Sumatera Utara, Hindia Belanda | 28 Januari 1920
Meninggal | 1 Januari 1990 Jakarta, Indonesia | (umur 69)
Kebangsaan | Indonesia |
Suami/istri | Sumarti Budiardjo Simatupang |
Anak | 4 |
Almamater | KNIL (1940) |
Karier militer | |
Pihak | Indonesia |
Dinas/cabang | TNI Angkatan Darat |
Masa dinas | 1941 - 1959 |
Pangkat | Letnan Jenderal TNI |
Sunting kotak info • L • B |
Simatupang pernah ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia (KASAP) setelah Panglima Besar Jenderal Soedirman wafat pada tahun 1950. Ia menjadi KASAP hingga tahun 1953. Jabatan KASAP secara hierarki organisasi pada waktu itu berada di atas Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara[2] dan berada di bawah tanggung jawab Menteri Pertahanan.[3]
Simatupang meninggal dunia pada tahun 1990 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pada tanggal 8 November 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada TB Simatupang.[4] Saat ini namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan besar di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.
Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikan beliau di pecahan uang logam rupiah baru, pecahan Rp. 500,- [https://m.detik.com/finance/moneter/d-3374624/rupiah-desain-baru-terbit-hari-ini#key1.
Awal kehidupan
Bonar, nama kecil Simatupang, dilahirkan di Sidikalang, sekarang jadi ibukota Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara, sebagai anak kedua dari delapan bersaudara. Ayahnya seorang ambtenaar bernama Sutan Mangaraja Soaduan Simatupang dan ibunya bernama Mina Boru Sibutar. Ayahnya bekerja sebagai pegawai kantor pos dan telegraf (PTT: Post, Telefoon en Telegraaf) yang sering berpindah tempat tugas, mulai dari Sidikalang pindah ke Siborong-borong, kemudian ke Pematang Siantar.[5]
Bonar menempuh pendidikannya di HIS Pematangsiantar dan lulus pada 1934. Ia melanjutkan sekolahnya di MULO Dr. Nomensen di Tarutung pada tahun 1937, lalu ke AMS di Salemba, Batavia dan selesai pada 1940. Saat bersekolah di Batavia, Bonar terbilang siswa yang pintar, termasuk fasih berbahasa Belanda.
Saat belajar sejarah, Bonar pernah mendebat guru sejarahnya hingga dia diusir, karena gurunya dianggap terlalu merendahkan kemampuan bangsa Indonesia. Gurunya tersebut, Meneer Haantjes, menyatakan bahwa penduduk “Hindia Belanda” tidak mungkin bersatu mencapai kemerdekaan karena perbedaan besar di antara suku-suku, dan bahwa penduduk “Hindia Belanda” tidak mungkin membangun tentara yang modern untuk mengalahkan Belanda karena fisiknya yang pendek tidak mengizinkan untuk tentara yang baik. Bonar menyatakan bahwa Meneer Haantjes telah menyebarkan mitos yang ketidakbenarannya akan dibuktikan sejarah selanjutnya. Direktur sekolah, Meneer de Haan, seorang Calvinis yang taat, memberikan nasihat padanya agar dalam mengemukakan pendapat diusahakan tidak menyakiti hati orang lain. Semula Bonar merasa nasihat itu adalah nasihat orang yang berjiwa kolonial. Namun di kemudian hari, Simatupang merasa andaikan dia menerima nasihat direkturnya lebih sungguh, mungkin dia tidak akan mengalami kesulitan dalam kehidupannya selanjutnya.
Pada bulan Mei 1940, Negeri Belanda diinvasi oleh pasukan Nazi Jerman, Angkatan Darat Kerajaan Belanda (KL, Koninlijke Leger) dibubarkan dan senjatanya dilucuti, demikian pula akademi militer kerajaan (KMA: Koninlijke Militaire Academie) di Breda dan diungsikan ke Bandung, Hindia Belanda. Bonar yang baru usai menyelesaikan pendidikan menengahnya di AMS Batavia, memutuskan mengikuti ujian masuk KMA untuk membuktikan ucapan gurunya tentang mitos orang Indonesia tidak akan pernah merdeka dan tidak bisa membangun angkatan perang tidak benar.
Bonar lulus KMA pada tahun 1942 dengan mendapatkan gelar taruna mahkota dengan mahkota perak karena dinilai berprestasi khususnya di bidang teori. Rekan seangkatannya di KMA antara lain A.H. Nasution dan lex Kawilarang. Pada masa itu ,menurut Nasution, Bonar sudah membaca dan mendalami buku "Tentang Perang" karya Carl von Clausewitz. Dalam pertemuan alumni, biasanya SBonaryang paling banyak bicara dan memberikan analisa-analisa. Bahkan menurut Kawilarang, seandainya SBonarorang Belanda, dia pasti akan mendapatkan mahkota emas. Tak lama kemudian, balatentara Kekaisaran Jepang menginvasi Hindia Belanda hingga menyerah tanpa syarat pada 8 Maret 1942.
Bonar menikah dengan Sumarti Budiardjo yang merupakan adik dari teman seperjuangannya Ali Budiardjo. Pasangan ini dikaruniai empat orang anak, yaitu: Tigor, Toga, Siadji, dan Ida Apulia. Salah seorang di antaranya meninggal. Ia dikarunia empat cucu, yaitu: Satria Mula Habonaran, Larasati Dameria, dan Kezia Sekarsari, serta Hizkia Tuah Badia.
Karier militer
Karier militer Bonar diawali saat diterima menjadi kadet di KMA, Bandung pada tahun 1940. Setelah menempuh pendidikan selama 2 tahun, Bonar pun lulus sebagai perwira muda. Namun belum sempat ditugaskan di KNIL (Koninlijke Nederlands Indische Leger), pasukan Jepang keburu merebut kekuasaan di Hindia Belanda dan KNIL pun dibubarkan dan senjatanya dilucuti. Bonar dan beberapa temannya sesama perwira pribumi direkrut Jepang dan ditempatkan di Resimen Pertama di Jakarta dengan pangkat Calon Perwira.
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, Bonar bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dan kemudian turut bergerilya bersama Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman melawan pasukan Belanda yang berniat menguasai kembali bekas koloninya tersebut. Selama perang kemerdekaan Indonesia tersebut, ia pun diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (WAKASAP) RI pada tahun 1948 hingga 1949. Dalam kedudukannya tersebut, Bonar ikut mewakili TNI dalam delegasi Republik Indonesia menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Negeri Belanda. Misi utama mereka adalah mendesak Belanda menghapus KNIL dan menjadikan TNI sebagai inti kekuatan tentara Indonesia. Ketika Jenderal Soedirman wafat pada tahun 1950, Bonar dalam usia yang sangat muda (29 tahun) diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Perang RI (KSAP) dengan pangkat Mayor Jenderal hingga tahun 1953.
Peristiwa 17 Oktober 1952
Selama masa jabatannya tersebut, terjadi peristiwa 17 Oktober 1952, di mana terjadi gelombang demonstrasi di Jakarta yang menuntut pembubaran parlemen. Moncong-moncong meriam dihadapkan oleh militer menghadap ke Istana Negara, suatu upaya militer untuk menekan Presiden Soekarno. Terbersit kabar juga bahwa Kolonel Bambang Soepeno menemui Presiden Soekarno menyampaikan tekad para panglima Divisi untuk meminta agar Kolonel Abdul Haris Nasution dicopot dari jabatannya sebagai KSAD (Kepala Staf TNI Angkatan Darat). Bonar selaku KSAP bersama Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX dan KSAD Kolonel A.H. Nasution menemui Presiden untuk mengkonfirmasi kebenaran berita tersebut dan sikap presiden mengenai usulan Bambang Soepeno. Presiden Soekarno menyatakan bila itu memang benar dia mempersilahkan diganti. Tanpa ragu Bonar menyatakan bahwa Presiden telah melakukan kesalahan yang sangat besar dan mendasar. Sistem di Angkatan Bersenjata akan terganggu bila panglima divisi bisa meminta KSAD untuk dicopot, dan seterusnya, Panglima Divisi bisa dicopot bila ada pengaduan dari bawahannya. Bonar tegas menyatakan kepada Presiden, selama dia menjabat KSAP, dia tidak akan membiarkan itu terjadi.[6]
Akhir Karier Militer
Presiden Soekarno menghapuskan jabatan KSAP pada tahun 1953. kemudian pada tahun 1954-1959, Bonar diangkat sebagai Penasihat Militer di Departemen Pertahanan RI. Setelah non aktif dari kemiliteran, Bonar menyibukkan diri dengan menulis buku dan mengajar di SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, sekarang Seskoad, dan Akademi Hukum Milter/AHM). Dia sangat menyadari waktunya di militer akan segera berakhir. Untuk itu ada hal yang ingin dilakukannya sehingga perannya di militer bisa berlanjut, yaitu dengan menyiapkan Doktrin dan Kader melalui tulisan dan membekali perwira-perwira di sekolah militer. Akhirnya dia resmi dipensiunkan dari dinas militer pada tanggal 21 Juli 1959 dalam usia 39 tahun dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal.
Aktivitas di luar militer
Simatupang pernah mengatakan bahwa ada tiga Karl yang memengaruhi hidup dan pikirannya, yaitu Carl von Clausewitz, seorang ahli strategi kemiliteran, Karl Marx dan Karl Barth, teolog Protestan terkemuka abad ke-20. Seluruh kehidupan Simatupang mencerminkan peranan ketiga pemikir besar itu. Setelah melepaskan tugas-tugas aktifnya sebagai militer, Simatupang terjun ke pelayanan Gereja dan aktif menyumbangkan pemikiran-pemikirannya tentang peranan Gereja di dalam masyarakat.
Dalam aktivitas gerejawinya itu, ia pernah menjabat sebagai Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Ketua Majelis Pertimbangan PGI, Ketua Dewan Gereja-gereja Asia, Ketua Dewan Gereja-gereja se-Dunia, dll.
Di lingkungan kemasyarakatan, Simatupang menjabat sebagai Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia dan Ketua Yayasan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM). Ia bahkan merupakan salah satu pencetus lembaga pendidikan ini, ketika di Indonesia belum banyak orang yang memikirkannya. Simatupang percaya bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin-pemimpin yang menguasai ilmu manajemen di dalam perusahaan maupun di tengah masyarakat.
Pada 1969 Simatupang dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Tulsa, Oklahoma, Amerika Serikat.
Referensi
- ^ Sejarah TNI-AD 1945-1973. Seri ke-14 : Riwayat Hidup Singkat Pelaku-Pelaku Sejarah TNI-AD. Jakarta: Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat. 1982.
- ^ pasal 6, UU No.3 Tahun 1948
- ^ pasal 3, UU No.3 Tahun 1948
- ^ Keputusan Presiden Nomor 68/TK Tahun 2013
- ^ "Sejarah Letjen TNI (Purn) Tahi Bonar (T.B.) Simatupang". sejarahtni.org. Pusat Sejarah TNI. 21 Maret 2014. Diakses tanggal 5 November 2014.
- ^ Simatupang, TB. 1972. Dua Puluh Tahun setelah Peristiwa 17 Oktober 1952,