Kapal selam induk Jepang

Revisi sejak 24 Januari 2018 04.05 oleh Veracious (bicara | kontrib)

Latar belakang

Sejak PD I, pemikiran menggunakan pesawat yang ditarik kapal selam untuk penyusupan dan penyerangan terhadap kapal-kapal musuh telah dikembangkan dan diuji oleh beberapa negara kelautan. Namun konsep Yamamoto untuk menggunakan siluman kapal selam sebagai sarana mengirim serangan udara ke sasaran darat strategis betul-betul pemikiran baru.

Sejarah Jepang berspekulasi bahwa visi Yamamoto atas kenkon itteki mencakup target lain seperti New York atau Washington D.C. Namun saat proyek tengah berjalan, AL menetapkan sasaran yang lebih pragmatis, Terusan Panama. Satu kali serangan yang sukses terhadap sasaran ini dapat mencegah armada Atlantik menyeberang ke Pasifik.

Kekuatan serangan pesawat yang lepas landas dari bawah air, akan diluncurkan dari Teluk Panama ke Laut Karibia pada ketinggian rendah. Lalu mengejutkan pertahanan AS dengan mendekat dari sisi Atlantik. Selanjutnya bom Gatun Locks dilepaskan. Bom ini akan melumpuhkan kanal selama enam bulan.

Awal 1942, Divisi kapal selam Ships Command Headquarter dan Kugisho (Biro Teknik Udara) Mabes Komando Udara mulai mengerjakan kapal selam pengangkut dan pesawat penyerang yang dapat diluncurkan dari dalamnya. Para insinyur mengembangkan dua kelas kapal selam pengangkut yang disebut sen-toku, atau kapal selam tipe khusus. Sebuah kapal selam kelas I-13 dengan permukaan berkapasitas 3.603 ton dan memiliki jangkauan sejauh 37.500 mil laut. Yang lebih besar, I-400, sepanjang 400 kaki, berkapasitas permukaan 5.223 ton dan memiliki jangkauan 37.500 mil laut. Masing-masing dirancang untuk membawa dua pesawat di hanggar tabung pada lambung kapal. Namun tipe I-400 direvisi hingga mampu memuat tiga pesawat. Pesawat yang dipilih adalah eksperimental M6A1 dan dijuluki Seiran.

Kepala proyek mempercayakan pada kepala perancang Aichi, Toshio Ozaki, dan Kepala Pilot Uji Kugisho, Letnan Komandan Tadashi Funada. Upaya merancang pesawat penyerang besar performa tinggi yang dapat dimuat di hangar dalam kapal selam sungguh suatu usaha khusus. Namun yang lebih kritis adalah pertimbangan desain yang memungkinkan awak meluncurkan pesawat dalam waktu singkat saat kapal muncul ke permukaan. Kepelikan operasi dan keterbatasan ruang dek bagi awak tidak hanya butuh otomatisasi tapi juga inovasi cerdas.

Ozaki sudah menetapkan pesawat disiapkan tanpa roda pendarat untuk mendapatkan kecepatan dan jangkauan maksimum. Setelah misi, awak akan terbang kembali ke kapal selam dan meninggalkan pesawat untuk kemudian diselamatkan. Di awal pengkajian rancangan pesawat, sepasang pelampung ditambahkan sebagai pilihan. Ini berdasar pemikiran bahwa pesawat bisa melakukan beberapa kali serangan atas sasaran yang kurang signifikan sebelum satu misi terakhir.

Pelampung juga memungkinkan latihan terbang dari landasan pesawat amfibi dan kapal selam. Kapal selam dilengkapi katrol untuk menarik pesawat setelah mendarat. Pemikiran menghilangkan pelampung dari pesawat sempat dipertimbangkan dalam perancangan, namun tidak pernah diterapkan.

Dua dari delapan prototipe dibangun dengan tuas manual roda pendarat yang dapat ditarik. Prototipe berbasis daratan ini dibuat untuk mendapatkan karakteristik pesawat tanpa pelampung. Selain itu juga untuk melatih awak di Terusan Panama tiruan. Kedua M6A1-K, Shi-Sei Seiran-Kai, diberi nama Nanzan (gunung Selatan) untuk membedakan dengan versi berbasis laut.

Rancangan inovasi Aichi M6A1 menjadi salah satu pesawat perang Jepang yang paling maju dan kompleks. Pesawat ini bisa jadi salah satu yang paling tidak diketahui oleh intel militer asing saat itu. Bahkan juga bagi mereka yang berminat dengan teknik dan sejarah, hingga sekarang. Proyek ini sangat rahasia dan tertutup dengan baik. Intel Sekutu hanya tahu sedikit sekali soal Seiran hingga tidak diberi kode bahasa Inggris.

Proyek dibangun di gedung pemasangan pesawat eksperimental yang terletak di pojok lahan Aichi Eitoku di tepi sungai. Tempat ini bisa dibilang layaknya Skunk Works Lockheed. Latihan dilakukan menyebar di pangkalan-pangkalan rahasia.

Pasca perang

Laporan Allied Air Technical Intelligence Center (Pusat Intelijen Teknik Udara Sekutu) tahun 1944 yang sekarang sudah terbuka, membenarkan bahwa Sekutu menyadari keberadaan pesawat "kelas 330 mph" bernama M6A1 atau Seiran (saat itu diterjemahkan sebagai "udara cerah"). Gambaran setengah halaman itu mencatat kalau pesawat tersebut "rancangan tidak biasa" dan "untuk penggunaan kapal selam". Tidak ada tulisan yang memberikan petunjuk jenis pesawat kecuali bahwa itu adalah pesawat khusus buatan Aichi. Intel Sekutu jelas sekali tidak punya petunjuk soal rencana Yamamoto.

Di penghujung era 2000-an, kenangan pribadi dan wawancara terhadap personel AL Kekaisaran Jepang yang terlibat dalam proyek Seiran dan sen-toku mulai muncul di berbagai publikasi Jepang. Ini didukung dengan kenangan dan jurnal oleh tentara Amerika di lokasi, tepat sesudah perang. Kesaksian ini secara kolektif menghasilkan pemahaman sejarah atas perkembangan dan kejatuhan satuan kekuatan khusus yang mencoba mewujudkan visi Yamamoto.

Meski dilengkapi ketahanan dan jangkauan luas, misi serangan dari laut ini tetap mempertahankan kecepatan maksimum. Ini sangat kritis bagi kesuksesan misi all or nothing karena berguna untuk mengelak dari pesawat pencegat. Tanpa pelampung, pesawat memiliki kecepatan maksimum 348 mph. Ini dapat dibandingkan dengan kecepatan top pesawat tempur sekelas Grumman F6F Hellcat: 380 mph. Bahkan dengan pelampung terpasang, Seiran bertahan pada kecepatan maksimum normal 295 mph pada ketinggian 17.160 kaki meskipun tidak dapat melampaui pesawat tempur kebanyakan.

Mesin Atsuta bertipe 31 atau 32 berpendingin air, dengan tingkat V-12 pada 1.340 tenaga kuda (1.400 hp maksimum), diproduksi oleh Aichi berdasar Daimler-Benz DB601A buatan Jerman. Berdasarkan standar Hamilton, baling-baling tepat masuk diameter bagian dalam tabung hangar kapal selam. Hangar kapal selam memiliki fasilitas untuk memanaskan pendingin mesin dan oli pelumas. Dengan memompa oli ke dalam mesin sebelum meluncur, mesin dapat dipanaskan tanpa harus dinyalakan.

Berikutnya adalah tugas memasukkan pesawat ke dalam tabung hangar berdiameter 11,5 kaki. Salah satu insinyur Ozaki mengemukakan ide untuk memutar sayap sejauh 90 derajat dengan memutar kotak sayap dan melipatnya ke belakang menuju sisi badan. Proses membuka lipatan sayap dan menghubungkan kontrol permukaan dan bahan bakar dari tangki sayap ini harus dilakukan dalam hitungan detik. Perhitungan ini berdasarkan waktu persiapan pesawat standar yang hanya tiga-empat menit. Pengoperasian dilakukan oleh empat awak di dek yang bertugas meluncurkan pesawat. Mekanisme hidrolik sayap lipat menggunakan tenaga dari hanggar kapal selam.

Karena dimaksudkan untuk pengebom tukik, pesawat dilengkapi dengan aerodynamic dive brake untuk mengontrol kecepatan dan sudut tukik. Tim Ozaki menerapkan desain double-slot yang mengkombinasikan flap dengan dive brake. Ide ini berhasil dikembangkan Aichi untuk pengebom penyerang berbasis kapal induk, B7A2 Ryusei (Sekutu memberi kode Grace). Flap kombinasi ini berguna untuk merendahkan kecepatan mendarat ke 78 mph.

Untuk serangan tunggal, AL Jepang tidak main-main. Bom dipilihkan yang terbesar yaitu bom multifungsi seberat 1.764 pon dengan hulu ledak mampu menembus baja atau torpedo seberat 1.808 pon. Tugas utama navigator adalah mengatur ketepatan navigasi atas sasaran dan kapal selam. Navigator petembak ini duduk di kursi berpenopang. Panelnya dilengkapi satu set peralatan navigasi dan komunikasi, jauh lebih baik dari kebanyakan bomber bermesin satu milik Jepang.

Di atas kapal selam, pesawat ditambatkan pada empat titik sangkutan ke sebuah "gerobak" yang digulirkan di atas rel untuk naik ke katapel yang akan digunakan sebagai peluncur. Pada saat katapel berdaya lontar 69 kaki memukul, pesawat terpisah dari gerobak dan terbang. Gerobak peluncur dilengkapi struktur penopang sehingga pesawat berada pada posisi jongkok selama di tabung hangar. Saat menggelinding keluar tabung ke rel katapel, hidung pesawat diarahkan ke sudut lebih tinggi selama peluncuran. Pesawat berpelampung diluncurkan dengan cara yang sama.

Dalam perkembangannya, pilot Tadashi Funada dan asisten pilot Yukitaka Murakami, dilatih dan merasakan pengalaman yang belum pernah mereka dapat: terbang misi pengintaian dengan pesawat terapung bukan pengebom. Begitu juga komandan skadron, Letnan Atsushi Asamura dan seluruh pilot yang ditugasi. Waktu yang terbatas membuat unit mengabaikan penggunaan torpedo. Lebih jauh, dalam pelatihan dan rencana misi, hanya tukikan dangkal yang diterapkan dalam penyerangan untuk mendapatkan tingkat akurasi yang baik sesuai keahlian pilot yang terbatas. Ini ironis karena Seiran adalah satu dari sedikit pesawat di dunia yang dirancang berkemampuan menyerang dengan torpedo dan cara menukik. Selain menjadi pesawat penyerang berawak pertama yang diluncurkan dari kapal selam dan mungkin yang terakhir.


Referensi

  • Dorr Carpenter, Dorr B. & Polmar, Norman Submarines of the Imperial Japanese Navy (1986, Conway Maritime Press)