Wikipedia:Bak pasir

Revisi sejak 19 April 2008 07.26 oleh Ade didik irawan (bicara | kontrib) (sejarah hukum indonesia)
Selamat datang di halaman uji coba Wikipedia.
  • Untuk uji coba menyunting menggunakan markah wiki, klik Sunting sumber
  • Klik Sunting (VisualEditor) untuk menyunting dengan penyunting visual.
  • Setelah kotak penyuntingan muncul, ketikkan apa saja dan klik "Terbitkan perubahan".
  • Perhatikan bahwa hasil suntingan Anda telah berhasil!
  • Untuk membersihkan bak pasir, klik Kosongkan halaman dan klik "Terbitkan perubahan".
  • DILARANG memasukkan promosi, pelanggaran hak cipta, konten yang menyinggung, atau fitnah di bak pasir!
  • Jika Anda sudah memiliki akun, Anda dapat membuat halaman Bak pasir pribadi.


SEJARAH HUKUM INDONESIA--Ade didik irawan 07:26, 19 April 2008 (UTC) Pada Masa 1602-1799

Abstrak Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih diberlakukan di Indonesia saat ini merupakan salah satu dari sekian ratus peraturan hukum warisan kolonial Belanda. KUHP ini mulai diberlakukan secara resmi di Indonesia sejak tanggal 1 Januari 1918. Namun sebelum KUHP itu diberlakukan sebenarnya bangsa Indonesia telah mengenal aturan hukum pidana dalam kehidupan hukum adatnya. Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang pernah menduduki Indonesia pada tahun 1602-1799 dan masa kolonial sebelum 1918 pun pernah memberlakukan hukum pidananya. Perjalanan historis hukum pidana materiel di Indonesia tersebut membawa dinamika dan problematika tersendiri yang diharapkan dapat dijadiklan pijakan dalam pembaharuan hukum pidana materiel saat ini. Kata kunci: KUHP, sejarah KUHP, problematika hukum pidana A. Pendahuluan Sebagai hukum yang bersifat publik, hukum pidana menemukan arti pentingnya dalam wacana hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, di dalam hukum pidana itu terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatan- perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa pidana (nestapa) dan menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan. 1 Sifat publik yang dimiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi bahwa hukum pidana itu bersifat nasional. Dengan demikian, maka hukum pidana Indonesia diberlakukan ke seluruh wilayah negara Indonesia. Di samping itu, mengingat materi hukum pidana yang sarat dengan nilai-nilai kemanusian mengakibatkan hukum pidana seringkali digambarkan sebagai pedang yang bermata dua. Satu sisi hukum pidana bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang melanggarnya. Oleh karena itulah kemudian pembahasan mengenai materi hukum pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana hukum pidana itu

Dosen Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 1 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), p. 1. ________________________________________ Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika... SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006 2 diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat di mana hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat baik atau tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik jika memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Sebaliknya, hukum pidana dianggap buruk jika telah usang dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Untuk menyongsong pembaharuan hukum pidana materiel Indonesia (RUU KUHP), artikel ini akan menyoroti sejarah perjalanan hukum pidana Indonesia (KUHP) dari masa ke masa. Dengan sorotan historis semacam ini, diharapkan beberapa problematika yang muncul selama berlakunya KUHP (baca: Wetboek van Strafrecht) dapat tercover dan menjadi bahan pijakan bagi pembaharuan hukum pidana materiel Indonesia. B. Sejarah Pemberlakuan Hukum Pidana di Indonesia 1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu. Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum perdata (privaat). 2 Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia. 3 Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu. Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan agama yang dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana adat Aceh, Palembang, dan Ujung Pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya. 2 Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), p. 43. 3 Pemisahan tegas antara hukum perdata dan hukum pidana ini dikenal juga dalam hukum Islam, yaitu adanya muamalah dan jinayah. ________________________________________ Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika... SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006 3 Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaran- ajaran Hindu. 4 Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera Selatan, 5 dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali. 6 2. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda a. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602- 1799 Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan- aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi. Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah 4 Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN), tentang "Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana", beberapa hukum adat di wilayah Nusantara masih terkait dengan agama yang dianut mayoritas masyarakat adatnya. Selanjutnya lihat LPHN, Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana, Laporan Penelitian, (Jakarta: LPHN, 1973) dan BPHN, Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, (Bandung: Bina Cipta, 1973). 5 Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, (Bandung: Alumni, 1989). 6 I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, (Bandung: Eresco, 1993), p. 14. ________________________________________ Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika... SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006 4 diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642. 7 Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain. Walaupun statuta tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis. Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat. 8 Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal, antara lain: i) sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak memadai untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar mentaati peraturan- peraturan; ii) sistem peradilan pidana adat terkadang tidak mampu menyelesaikan perkara pidana yang terjadi karena permasalahan alat bukti; dan iii) adanya perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan pelanggaran antara hukum pidana adat dengan hukum pidana yang dibawa VOC. Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang menurut hukum pidana adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan, namun menurut pendapat VOC perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu dipidana yang setimpal. 9 Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam peradilan pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai sistem pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya. Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab Hukum Muchtaraer yang berisi himpunan hukum pidana Islam. 10 Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde Oost Indische Compagnie dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris. Gubernur Jenderal Raflles yang dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris di Nusantara tidak 7 Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana…, p. 43. Lihat juga J. B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Prenhalindo, 2001), p. 14. 8 J. B. Daliyo, Pengantar ..., p. 13. 9 Kanter dan Sianturi, Asas-asas ..., p. 43 10 Ibid., p. 44. ________________________________________ Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika... SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006 5 mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah berlaku. Dia bahkan dianggap sangat menghormati hukum adat. b. Masa Besluiten Regering (Tahun 1814-1855) Setelah Inggris meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda menduduki kembali wilayah Nusantara. Pada masa ini, peraturan terhadap koloni diserahkan kepada raja sepenuhnya sebagai penguasa mutlak, bukan kepada kongsi dagang sebagaimana terjadi pada masa VOC. Dengan dasar Besluiten Regering, yaitu berdasarkan Pasal 36 UUD Negeri Belanda, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah- daerah jajahan. Dengan demikian ngara Belanda pada masa itu menggunakan sistem pemerintahan monarkhi konstitusional. Raja berkuasa mutlak, namun kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi. Untuk mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat komisaris jenderal yang ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di Netherlands Indie (Hindia Belanda). Mereka adalah Elout, Buyskes, dan Van dr Capellen. Mereka tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang yang berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum. Dalam usaha untuk mengisi kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de Gisignes menerapkan politik agraria dengan cara napi yang sedang menjalani hukuman dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid). 11 Dengan adanya keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering (BR) tidak memberlakukan hukum pidana baru. Namun demikian, beberapa peraturan perundang-undangan di luar hukum pidana ditetapkan pada masa ini, seperti Reglement op de Rechtilijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen van Wetgeving (AB) atau Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan, Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Wetboek van Koopenhandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan tentang Acara Perdata. c. Masa Regering Reglement (1855-1926) Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan sistem pemerintahan di negara Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi monarkhi parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan ini 11 Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana…, p. 44. Lihat juga J. B. Daliyo, Pengantar..., p. 15. ________________________________________ Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika... SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006 6 mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja, karena parlemen (Staten Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan prundang- undangan di wilayah jajahan negara Belanda. Perubahan penting ini adalah dicantumkannya Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa “Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan di bagian dari dunia. Aturan tentang kebijakan pemerintah ditetapkan melalui undang-undang. Sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal- hal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau diperlukan akan diatur dengan undang-undang”. 12 Dengan ketentuan seperti ini tampak jelas bahwa kekuasaan raja Belanda terhadap daerah jajahan di Indonesia berkurang. Peraturan- peraturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan raja dengan Koninklijk Besluit, namun harus melalui mekanisme perundang- undangan di tingkat parlemen. Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan parlemen untuk mengatur pemerintahan negara jajahan adalah Regeling Reglement (RR). RR ini berbentuk undang-undang dan diundangkan dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855. Selanjutnya RR disebut sebagai UUD Pemerintah Jajahan Belanda. Pada masa berlakunya Regeling Reglement ini, beberapa kodifikasi hukum pidana berhasil diundangkan, yaitu: 1. Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan Staatblad No. 55 Tahun 1866. 2. Algemene Politie Strafreglement atau tambahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa. 3. Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi yang diundangkan denbgan Staatblad No. 85 Tahun 1872. 4. Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa. 5. Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan dengan Staatblad No. 732 Tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.

d. Masa Indische Staatregeling (1926-1942) Indische Staatregeling (IS) adalah pembaharuan dari Regeling Reglement (RR) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926 dengan diundangkan melaui Staatblad Nomor 415 Tahun 1925. Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari perubahan Grond Wet negera Belanda pada tahun 1922. Perubahan Grond Wet tahun 12 Ibid, p. 17. ________________________________________ Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika... SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006 7 1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia Belanda akan ditentukan dengan undang-undang. Pada masa ini, keberadaan sistem hukum di Indonesia semakin jelas khususnya dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 IS yang menyebutkan pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku. Dengan dasar ini maka hukum pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Netherlands- Indie) tetap diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia. Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling ini mempertegas pemberlakuan hukum pidana Belanda semenjak diberlakukan 1 Januari 1918. e. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945) Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Psal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling. Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda. Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang ______________


__________________________ Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika... SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006 8 yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah. 13 3. Masa Setelah Kemerdekaan Masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana dalam sejarah tata hukum Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia, yaitu pertama masa pasca kemeredekaan dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketiga masa Indonesia menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950), dan keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945. a. Tahun 1945-1949 Dengan diproklamirkannya negara Indonesia sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan berdaulat. Selain itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan tonggak awal mendobrak sistem hukum kolonial menjadi sistem hukum nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya, mengatur negaranya, dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Konstitusi itu adalah Undang Undang Dasar 1945. Mewujudkan cita-cita bahwa proklamasi adalah awal pendobrakan sistem tata hukum kolonial menjadi sistem tata hukum nasional bukanlah hal yang mudah dan secara cepat dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa membentuk sistem tata hukum nasional perlu pembicaraan yang lebih matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada sekedar memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum) karena hukum nasional belum dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II Aturan Peralihan agar segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini. Ketentuan ini menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara adalah peraturan-peraturan yang telah ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang baru, segala peraturan hukum yang telah diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan sementara. 13 Kanter dan Sianturi, Asas-asas…, p. 46. ________________________________________ Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika... SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006 9 Hal ini juga berarti funding fathers bangsa Indonesia mengamanatkan kepada generasi penerusnya untuk memperbaharui tata hukum kolonial menjadi tata hukum nasional. 14 Presiden Sukarno selaku presiden pertama kali mengeluarkan kembali Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tangal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu: Pasal 1 : Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar, masih tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan dengan Undang Undang Dasar tersebut. Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945. Sekilas ini Penpres ini hampir sama dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, namun dalam Penpres ini dengan tegas dinyatakan tanggal pembatasan yaitu 17 Agustus 1945. Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan kolonial sebagai hukum pidana positif di Indonesia, keluarlah UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 1 undang-undang tersebut secara tegas menyatakan: Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942. 15 Dengan titik tonggak waktu penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang atas wilayah Indonesia ini berarti semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintahan militer Jepang dan yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda (NICA) setelah 14 Segala perubahan membawa konsekuensi bahwa isi kehendak itu perlu diubah. Ketentuan-ketentuan hukum positif yang pernah berlaku di Indonesia, seperti Indische Staatregeling, Algemene Bepalingen van Wetgeving, Burgerlijk Wetboek, Wetboek van Koophandel, Wetboek van Strafrecht dan segala peraturan yang dikeluarkan pada masa penjajahan, dengan adanya proklamasi kemerdekaan dituntut penggantiannya secara tepat dan cepat. Oleh karena itu maka ditetapkan segera landasan tata hukum yang baru, yaitu Undang Undang Dasar 1945. Lihat selanjutnya dalam Moh. Koesnoe, "Pokok Permasalahan Hukum Dewasa Ini", dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, (Jakarta: Rajawali, 1986), p. 100. 15 K. Wantjik Saleh, Pelengkap KUHP: Perubahan KUH Pidana dan UU Pidana Sampai dengan Akhir 1980, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), p. 25. ________________________________________ Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika... SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006 10 tanggal 8 Maret 1942 dengan sendirinya tidak berlaku. Pasal 2 undang- undang tersebut juga dinyatakan bahwa semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dicabut. Pasal 2 ini diperlukan karena sebelum tanggal 8 Maret 1942 panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda mengeluarkan Verordeningen van het militer gezag. Secara lengkap bunyi Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 adalah sebagai berikut. Semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen van het militer gezag) dicabut. 16 Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan ditetapkannya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ternyata belum menjawab persoalan. Kenyataan ini disebabkan karena perjuangan fisik bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda belum selesai. Secara de jure memang Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, namun secara de facto penjajahan Belanda atas Indonesia masih saja berkelanjutan. Melalui aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda maupun negara-negara boneka yang berhasil dibentuknya, Belanda sebenarnya belum selesai atas aksi kolonialismenya di Indonesia. Bahkan pada tanggal 22 September 1945, Belanda mengeluarkan kembali aturan pidana yang berjudul Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht (Ketentuan-ketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukum Pidana) dengan Staatblad Nomor 135 Tahun 1945 yang mulai berlaku tanggal 7 Oktober 1945. Ketentuan ini antara lain mengatur tentang diperberatnya ancaman pidana untuk tindak pidana yang menyangkut ketatanegaraan, keamanan dan ketertiban, perluasan daerah berlakunya pasal-pasal tertentu dalam KUHP, serta dibekukannya Pasal 1 KUHP agar peraturan ini dapat berlaku surut. Nampak jelas bahwa maksud ketentuan ini untuk memerangi pejuang kemerdekaan. Dengan adanya dua peraturan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia oleh dua “penguasa” yang bermusuhan ini, maka munculah dua hukum pidana yang diberlakukan bersama-sama di Indonesia. Oleh para ahli hukum pidana, adanya dua hukum pidana ini disebut masa dualisme KUHP. 17 b. Tahun 1949-1950 16 Ibid. 17 Ibid, p. 47-48. Sudarto menyebut istilah ini dengan kwasi-dualisme. Lihat Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990), p. 16. ________________________________________ [1]11 Tahun 1949-1950 negara Indonesia menjadi negara serikat, sebagai konsekuensi atas syarat pengakuan kemerdekaan dari negara Belanda. Dengan perubahan bentuk negara ini, maka UUD 1945 tidak berlaku lagi dan diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Sebagai aturan peralihannya, Pasal 192 Konstitusi RIS menyebutkan: Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketntuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan- ketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini. 18 Dengan adanya ketentuan ini maka praktis hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan dahulu, yaitu Wetboek van Strafrecht yang berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun demikian, permasalahan dualisme KUHP yang muncul setelah Belanda datang kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan masih tetap berlangsung pada masa ini. c. Tahun 1950-1959 Setelah negara Indonesia menjadi negara yang berbentuk negara serikat selama 7 bulan 16 hari, sebagai trik politik agar Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara republik-kesatuan. Dengan perubahan ini, maka konstitusi yang berlaku pun berubah yakni diganti dengan UUD Sementara. Sebagai peraturan peralihan yang tetap memberlakukan hukum pidana masa sebelumnya pada masa UUD Sementara ini, Pasal 142 UUD Sementara menyebutkan: Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan- ketntuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekedar peraturan- peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau 18 Engelbrecht, Kitab Undang Undang, Undang-undang, Peraturan-peraturan serta Undang Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1960), p. 67. ________________________________________ [2]12 diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang Undang Dasar ini. 19 Dengan adanya ketentuan Pasal 142 UUD Sementara ini maka hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan masa-masa sebelumnya, yaitu Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Namun demikian, permasalahan dualime KUHP yang muncul pada tahun 1945 sampai akhir masa berlakunya UUD Sementara ini diselesaikan dengan dikeluarkannya UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-undang Hukum Pidana. Dalam penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan: “Adalah dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih berlaku dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Wetboek Strafrecht voor Indonesia (Staatblad 1915 Nomor 732 seperti beberapa kali diubah), yang sama sekali tidak beralasan. Dengan adanya undang-undang ini maka keganjilan itu ditiadakan. Dalam Pasal 1 ditentukan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.” Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang diberlakukan di Indonesia dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. d. Tahun 1959-sekarang Setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang salah satunya berisi mengenai berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu Indonesia menjadi negara kesatuan yang berbentuk republik dengan UUD 1945 sebagai konstitusinya. Oleh karena itu, Pasal II Aturan Peralihan yang memberlakukan kembali aturan lama berlaku kembali, termasuk di sini hukum pidananya. Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan dasar UU Nomor 1 Tahun 1946 pun kemudian berlanjut sampai sekarang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa walaupun Indonesia telah mengalami empat pergantian mengenai bentuk negara dan konstitusi, 19 Ibid., p. 17. ________________________________________ Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika... SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006 13 ternyata sumber utama hukum pidana tidak mengalami perubahan, yaitu tetap pada Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) walaupun pemberlakuannya tetap mendasarkan diri pada ketentuan peralihan pada masing-masing konstitusi. C. Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (Wetboek van Strafrecht) Induk peraturan hukum pidana Indonesia adalah Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. 20 Walaupun WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia. Jika diruntut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809 pada saat pemerintahan Lodewijk Napoleon. Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Perancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886. 21 Setelah perginya Perancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya (Code Penal) selama kurang lebih 68 tahun (sampai tahun 1881). Selama usaha pembaharuan hukum pidana itu, Code Penal mengalami bebarapa perubahan, terutama pada ancaman pidananya. Pidana penyiksaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan nama Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon dan mulai diberlakukan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886. 20 Sudarto, Hukum Pidana I, p. 15. 21 Kanter dan Sianturi, Asas-asas…, p. 42. ________________________________________ Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika... SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006 14 Sebelum negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon pada tahun 1886, di wilayah Hindia- Belanda sendiri ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa) dengan Staatblad Tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlander (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi) dengan Staatblad Tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 73. 22 Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada masa itu terdapat juga dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa dan hukum pidana bagi golongan non-Eropa. Kenyataan ini dirasakan Idenburg (Minister van Kolonien) sebagai permasalahan yang harus dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha pada tahun 1915 keluarlah Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie dan berlaku tiga tahun kemudian yaitu mulai 1 Januari 1918. Dengan gambaran sejarah demikian, runtutan sejarah terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia dapat dilustrasikan dalam bagan berikut. Tahun Peristiwa Selisih Waktu 1810 Code Penal diberlakukan di Perancis 1 tahun 1811 Code Penal diberlakukan di Belanda 56 tahun 1867 Wetboek van Strafrecht voor Europeanen berlaku di Hindia-Belanda 6 tahun 1873 Wetboek van Strafrecht voor Inlander diberlakukan di Hindia-Belanda 8 tahun 1881 Wetboek van Strafrecht disahkan di Belanda 5 tahun 1886 Wetboek van Strafrecht diberlakukan di Belanda 29 tahun 1915 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disahkan untuk Hindia-Belanda 3 tahun 1918 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie diberlakukan di Hindia-Belanda 28 tahun 1946 Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie disebut sebagai KUHP Indonesia Total selisih 22 Ibid., p. 44. ________________________________________ Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika... SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006 15 waktu 136 tahun D. Problematika Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (Wetboek van Strafrecht) Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa hukum pidana Indonesia merupakan warisan hukum kolonial ketika Belanda melakukan penjajahan atas Indonesia. Jika Indonesia menyatakan dirinya sebagai bangsa yang merdeka sejak 17 Agustus 1945, maka selayaknya hukum pidana Indonesia adalah produk dari bangsa Indonesia sendiri. Namun idealisme ini ternyata tidak sesuai dengan realitasnya. Hukum pidana Indonesia sampai sekarang masih mempergunakan hukum pidana warisan Belanda. Secara politis dan sosiologis, pemberlakuan hukum pidana kolonial ini jelas menimbulkan problem tersendiri bagi bangsa Indonesia. Problematika tersebut antara lain sebagai berikut. 1. Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan sejak 59 tahun lalu merupakan awal pendobrakan hukum kolonial menjadi hukum yang bersifat nasional. Namun pada realitasnya, hukum pidana positif (KUHP) Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda. Secara politis ini menimbulkan masalah bagi bangsa yang merdeka. 23 Dengan kata lain, walaupun Indonesia merupakan negara merdeka, namun hukum pidana Indonesia belum bisa melepaskan diri dari penjajahan. 2. Wetboek van Strafrecht atau bisa disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1918. Ini berarti KUHP telah berumur lebih dari 87 tahun. Jika umur KUHP dihitung sejak dibuat pertama kali di Belanda (tahun 1881), maka KUHP telah berumur lebih dari 124 tahun. Oleh karena itu, KUHP dapat dianggap telah usang dan sangat tua, walaupun Indonesia sendiri telah beberapa kali merubah materi KUHP ini. Namun demikian, perubahan ini tidak sampai kepada masalah substansial dari KUHP tersebut. KUHP Belanda sendiri pada saat ini telah banyak mengalami perkembangan. 24 3. Wujud asli hukum pidana Indonesia adalah Wetboek van Strafrecht yang menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 bisa disebut dengan KUHP. Hal ini menandakan bahwa wujud asli KUHP adalah berbahasa Belanda. 25 23 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), p. 70-71. 24 Lihat The Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar and Stafford Wadswoth, (Colorado: Fred B. Rothman, 1997). Perubahan dalam KUHP Belanda antara lain dalam principal penalties (pidana pokok) yang menghilangkan pidana mati dan menambahkan pidana kerja sosial serta denda yang dibuat dengan kategorisasi. 25 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana..., p. 71. ________________________________________ Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika... SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006 16 KUHP yang beredar di pasaran adalah KUHP yang diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh beberapa pakar hukum pidana, seperti terjemahan Mulyatno, Andi Hamzah, Sunarto Surodibroto, R. Susilo, dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Tidak ada teks resmi terjemahan Wetboek van Strafrecht yang dikeluarkan oleh negara Indonesia. Oleh karena itu, sangat mungkin dalam setiap terjemahan memiliki redaksi yang berbeda-beda. 26 4. KUHP warisan kolonial Belanda memang memiliki jiwa yang berbeda dengan jiwa bangsa Indonesia. KUHP warisan zaman Hindia Belanda ini berasal dari sistem hukum kontinental (Civil Law System) atau menurut Rene David disebut dengan the Romano-Germanic Family. The Romano Germanic family ini dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan aliran individualisme dan liberalisme (individualism, liberalism, and individual right) 27 . Hal ini sangat berbeda dengan kultur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial. Jika kemudian KUHP ini dipaksakan untuk tetap berlaku, benturan nilai dan kepentingan yang muncul tidak mustahil justru akan menimbulkan kejahatan-kejahatan baru. 5. Jika KUHP dilihat dari tiga sisi masalah dasar 28 dalam hukum pidana, yaitu pidana, tindak pidana, dan pertanggungjawaban pidana, maka masalah-masalah dalam KUHP antara lain: 26 Dalam pandangan peneliti, kecuali KUHP terjemahan BPHN, KUHP terjemahan Mulyatno, R. Susilo dan yang lain terkadang belum mencantumkan beberapa perubahan parsial dalam KUHP, seperti jenis pidana ditambahkan pidana tutupan, pengkalian 15 kali untuk pidana denda, dan perluasan wilayah berlakunya hukum pidana menurut tempat. Di samping itu, terdapat juga perbedaan dalam menerjemahkan suatu istilah, seperti overspel yang diterjemahkan menjadi beberapa kata, seperti zina, mukah, dan gendak. Yang lebih fatal lagi adalah ancaman pidana pada Pasal 386 tentang pemerasan. Di dalam KUHP versi BPHN dan terjemahan dari Engelbrecht, ancaman pidananya 9 bulan, sedangkan dalam KUHP versi Mulyatno dan R. Susilo ancaman pidananya 9 tahun. KUHP aslinya (WvS) yang berbahasa Belanda menyebutnya dengan "jaren" yang berarti "tahun". Bandingkan Mulyatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1994), Engelbrecht, Kitab Undang Undang..., Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988), dan R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea, tth.). 27 Rene David, John E. C. Brierley, Major Legal System in The World Today, (London, Stevens and Sons, 1978), p. 24. 28 Dalam istilah yang lain, Sudarto menyebutkan tiga problem pokok dalam hukum pidana yaitu kesalahan, sifat melawan hukumnya perbuatan, dan pidana. Sudarto, Hukum Pidana I, p. 86. Sedangkan dalam pengertian Barda Nawawi Arief, tiga substansi/materi/masalah pokok dalam hukum pidana adalah masalah tindak pidana, masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dan masalah pidana dan ________________________________________ Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika... SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006 17 a. Pidana KUHP tidak menyebutkan tujuan dan pedoman pemidanaan bagi hakim atau penegak hukum yang lain, sehingga arah pemidanaan tidak tertuju kepada tujuan dan pola yang sama. Pidana dalam KUHP juga bersifat kaku dalam arti tidak dimungkinkannya modifikasi pidana yang didasarkan pada perubahan atau perkembangan diri pelaku. Sistem pemidanaan dalam KUHP juga lebih kaku sehingga tidak memberi keleluasaan bagi hakim untuk memilih pidana yang tepat untuk pelaku tindak pidana. Sebagai contoh mengenai jenis-jenis pidana, pelaksanaan pidana pidana mati, 29 pidana denda, 30 pidana penjara, 31 dan pidana bagi anak. b. Tindak pidana Dalam menetapkan dasar patut dipidananya perbuatan, KUHP bersifat positifis dalam arti harus dicantumkan dengan undang- undang (asas legalitas formil). Dengan demikian, KUHP tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang tidak tertulis dalam perundang-undangan. 32 Di pemidanaan. Lihat Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), p. 87. 29 Di hukum pidana beberapa negara, seperti Venezuela, Columbia, Rumania, Brazilia, Costarica, Uruguay, Chili, Denmark, dan Belanda sendiri, pidana mati telah dihapuskan karena dianggap tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan berupa pembinaan kepada pelaku kejahatan. Dalam KUHP Indonesia, pidana mati dianggap masih diperlukan namun pelaksanaannya belum manusiawi karena tetap dianggap sebagai sebuah "harga mati" walaupun terpidana telah menanti eksekusi selama puluhan tahun. Lihat Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia: dari Retribusi ke Reformasi, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), p. 26-27. Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984). 30 Masalah pidana denda dalam KUHP terutama terkait dengan jumlah denda yang sangat minim, karena penyesuaian kurs pidana denda terakhir kali dilakukan dengan UU Nomor 18 Prp Tahun 1960. Sebagai contoh adalah ketentuan tentang pidana kurungan pengganti denda. Dalam KUHP, persamaan pidana denda dengan pidana kurungan adalah Rp. 7,50 (tujuh, lima puluh rupiah) disamakan dengan 1 hari kurungan. 31 Pembahasan, kritik dan usulan perubahan mengenai pidana penjara diulas dalam R. Achmad S. Soema di Pradja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, (Jakarta: BPHN/Bina Cipta, 1979), Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1994), Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985). 32 Permasalahan seperti ini sedikit terobati dengan dikenalnya asas legalitas materiel yang mengakui adanya nilai-nilai yang hidup di masyarakat dalam perundang- ________________________________________ Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika... SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006 18 samping itu, KUHP menganut pada Daadstrafrecht yaitu hukum pidana yang berorientasi pada perbuatan. Aliran ini pada sekarang sudah banyak ditinggalkan, karena hanya melihat dari aspek perbuatan (Daad) dan menafikan aspek pembuat (Dader). 33 KUHP masih menganut pada pembedaan kejahatan dan pelanggaran yang sekarang telah ditinggalkan. Tindak pidana- tindak pidana yang muncul di era modern ini, seperti money laundering, cyber criminal, lingkungan hidup, dan beberapa perbuatan yang menurut hukum adat dianggap sebagai tindak pidana belum tercover di dalam KUHP. Oleh karena itu, secara sosiologis KUHP telah ketinggalan zaman dan sering tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. c. Pertanggungjawaban pidana Beberapa masalah yang muncul dalam aspek pertanggungjawaban pidana ini antara lain mengenai asas kesalahan (culpabilitas) yang tidak dicantumkan secara tegas dalam KUHP, namun hanya disebutkan dalam Memorie van Toelichting (MvT) sebagai penjelasan WvS. 34 Asas culpabilitas merupakan penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1), yang berarti bahwa seseorang dapat dipidana karena secara obyektif memang telah melakukan tindak pidana (memenuhi rumusan asas legalitas) dan secara subyektif terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku (memenuhi rumusan asas culpabilitas). Masalah lainnya adalah masalah yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana anak. Anak di dalam KUHP (Pasal 45-47) adalah mereka yang berumur di bawah 16 tahun. Pasal-pasal tersebut tidak mengatur secara rinci tentang aturan pemidanaan bagi anak. Pasal 45 hanya menyebutkan beberapa alternatif yang dapat diambil oleh hakim jika terdakwanya adalah anak di bawah umur 16 tahun. 35 Selain itu, KUHP tidak undangan seperti UU Drt Nomor 1 Tahun 1951 dan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan..., p. 109. 33 Selanjutnya, dapat dilihat dalam Muladi, "Perbandingan Sistem Pidana dan Kemungkinan Aplikasinya di Indonesia", dalam Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997), p. 152. 34 Sudarto, Hukum Pidana I, p. 85. 35 Terkait dengan kesepakatan internasional yang diselenggarakan oleh United Nations di Beijing tahun 1985 tentang Standard Minimum Rules for The Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules) yang salah satu materinya mengatur tentang pertanggungjawaban pidana anak (age of criminal responsibility) agar tidak ditentukan terlalu rendah dengan mempertimbangkan kematangan emosional, mental dan intelektual, Indonesia mengeluarkan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Menurut ________________________________________ Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika... SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006 19 menyebutkan pertanggungjawaban pidana korporasi. 36 Pada dataran realitas, sering kali beberapa tindak pidana terkait dengan korporasi seperti pencemaran lingkungan. E. Penutup Memperhatikan pembahasan tentang sejarah dan problematika hukum pidana Indonesia di atas, pembaharuan hukum pidana Indonesia adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Problematika yang muncul terkait dengan usangnya KUHP secara internal dan berkembangnya persoalan-persoalan di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara eksternal menambah dorongan yang kuat dari masyarakat untuk menuntut kepada negara agar segera merealisasikan kodifikasi hukum pidana yang bersifat nasional sebagai hasil jerih payah dan pemikiran bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, RUU KUHP yang sudah kesekian kalinya direvisi selayaknya segera dibahas oleh lembaga legislatif untuk disahkan. UU ini anak yang masih berumur 8 s.d. 12 tahun hanya dapat dikenakan tindakan, dan anak yang berumur 12 s.d. 18 tahun dapat dijatuhi pidana. Sedangkan anak yang belum berumur 8 tahun dianggap belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dengan demikian, secara otomatis ketentuan pertanggungjawaban pidana anak dalam KUHP tersebut dihapuskan dengan UU Peradilan Anak ini. Lihat selanjutnya dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, (Bandung: Bina Cipta, 1996), hlm 143 dan Undang-undang Peradilan Anak (UU Nomor 3 Tahun 1997), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000). 36 Roeslan Saleh, "Tentang Tindak Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana", kertas kerja dalam Lokakarya Masalah Pembaharuan Kodifikasi Hukum Pidana Nasional, (Jakarta: BPHN, 1984), p. 48-53. Ulasan menarik mengenai kejahatan korporasi ini dapat dilihat dalam I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995) dan I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Rezim Orde Baru, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Dipnegoro Semarang, 12 Oktober 1999. ________________________________________ Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika... SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006 20 [3]Kesalahan pengutipan: Tag <ref> harus ditutup oleh </ref></ref> ORDE REFORMASI Sampai saat ini, perjalanan birokrasi Indonesia selalu menghadirkan dua penilaian yang hampir sama kuat. Pada satu sisi, birokrasi diakui berfungsi dan berperan besar dalam menopang perjalanan pembangunan sejak Indonesia merdeka dan apalagi di masa Orde Baru. Namun di sisi yang lain, kritik tajam juga selalu muncul dan seakan tak pernah henti, terutama berkait masalah inefisiensi pelaksanaan fungsi manajemen pemerintahan. Bahkan, penilaian negatif itu justru lebih kuat dan kemudian menjadi stigma “abadi“ birokrasi kita.Stigma itulah yang menampilkan performa birokrasi yang lamban dan kurang bertanggung jawab. Tak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri pernah mengeluhkan birokrasi yang dipimpinnya yang belum juga berubah secara signifikan, meskipun reformasi pemerintahan telah bergulir selama delapan tahun. Birokrasi Indonesia masih bekerja seperti yang biasa dikerjakan selama ini: lamban bertindak dan lamban memproses sesuatu yang pada akhirnya lamban mengambil keputusan, boros waktu, dan tidak efisien (Kompas, 26/5/2006). Bahkan, survei yang dilakukan The Political and Economic Risk Consultacy Ltd, Indonesia menduduki peringkat kedua terburuk dalam hal birokrasi berinvestasi. Hasil survei menunjukkan, berinvestasi di Indonesia harus melalui prosedur yang panjang sehingga membutuhkan dana dan biaya yang besar. Indonesia hanya lebih baik dari India. India dinilai sebagai negara dengan birokrasi terburuk dengan nilai 8,95, sedangkan Indonesia memperoleh nilai 8,20. sementara Singapura menjadi negara dengan birokrasi terbaik dengan nilai 2,20, diikuti Hongkong dengan nilai 3,10 (Kompas, 2/7/2005).Namun kini jaman telah berubah. Di era Presiden Yudhoyono, Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara memiliki komitmen untuk melaksanakan reformasi birokrasi dengan fokus pada peningkatan pelayanan publik. Meski demikian, mewujudkan reformasi birokrasi itu sendiri itu bukan hal yang mudah, apalagi jika mind set para birokratnya belum ikut berubah. Perubahan mind set birokrasi, karenanya menjadi tuntutan bagi aparatur negara dewasa ini. Merubah mind set sama artinya dengan merubah budaya, kebiasaan, dan pola pikir birokrasi. Perubahan seperti ini memiliki efek luar biasa karena ia mendekonstruksi perilaku birokrasi yang telah mengakar kuat sebelumnya. Perilaku dan sikap sebagai pangreh praja diubah menjadi pamong praja, yang dalam hal ini, lebih mengedepankan aspek pelayanan kepada masyarakat dibanding sebagai pemegang otoritas pemerintahan. Peter Osborne dalam Reinventing Government mengurai lebih dalam tentang pergeseran mind set birokrasi itu. Osborne menyebut perubahan yang demikian sebagai pembaruan (reinvention) pemerintahan. Pembaruan di sini tidak diterjemahkan secara sempit sebagai kata lain dari reformasi, tidak pula bersinonim dengan kata perampingan, swastanisasi, atau sekadar menekan pemborosan dan kecurangan. Makna pembaruan jauh lebih dalam dari itu semua. Pembaruan adalah mengubah DNA organisasi pemerintah, dari sistem yang birokratis menjadi sistem yang bersifat wirausaha. Pembaruan mendorong pemerintah untuk memiliki perilaku inovatif, dan secara terus-menerus memperbaiki kinerjanya tanpa harus didorong dari luar. Salah satu hasil dari pembaruan pemerintahan tersebut adalah pergeseran paradigma pemerintahan dalam melihat fungsi dan tugasnya. Osborne bahkan telah melangkah lebih jauh dalam melihat fungsi dan tugas-tugas birokrasi. Di sini, ada dua tugas pokok yang diemban pemerintah, yaitu tugas pelayanan (service provider) dan tugas pengarahan (steering). Bagi Osborne, seiring dengan perkembangan dalam sistem birokrasi, sedikit demi sedikit, pemerintah justru perlu mengurangi peran-peran pelayanannya, dan melakukan penguatan pada fungsi-fungsi pengarahan. Pemerintah, pada akhirnya, akan lebih berperan sebagai pengarah daripada pelaksana. Selanjutnya, tugas-tugas pelayanan akan diberikan kepada masyarakat sepanjang mereka mampu melaksanakannya. Pola bagi tugas yang demikian yang sejatinya merupakan esensi dari pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks ini, masyarakat ikut dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan. Menuju Era perubahan Seiring dengan arus deras reformasi yang melanda Indonesia pasca jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, berkembang pula satu terminologi yang memenuhi wacana manajemen pemerintahan sekaligus mewarnai agenda politik bangsa ini, yang menuntut perubahan mendasar dalam sistem birokrasi kita. Terminologi itu tak lain adalah good governance. Gegap gempita terma ini lantas menghiasi perbincangan tentang arah dan masa depan birokrasi Indonesia. Inilah gambaran cita-cita luhur tentang profil birokrasi yang hendak diwujudkan oleh bangsa ini. Bahkan, saat ini Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tengah menyusun modul penerapan good governance yang berisi pengalaman berbagai daerah yang sedang dibina Menneg PAN dan bisa dijadikan contoh bagi daerah lain. Kalau melihat potret beberapa daerah, kita mungkin bisa berharap dari geliat reformasi birokrasi di daerah. Tidak semua birokrasi buruk. Toh nyatanya ada juga birokrasi di daerah yang bisa memberikan pelayanan publik dengan cukup baik. Kabupaten Solok, misalnya. Beberapa hal yang dapat dipetik dari keberhasilan Kabupaten Solok di antaranya adalah peran bupati dalam keberhasilan penerapan program daerah, pelayanan satu pintu plus, pemberian tunjangan daerah, serta transparansi penyelenggaraan pemerintah dan partisipasi masyarakat.Salah satu hasil nyata yang bisa dilihat dari Kabupaten Solok adalah peran bupati dalam memberikan contoh dan teladan dalam berbagai tindakan yang menggambarkan good governance. Misalnya, bupati bersedia mengurangi penghasilannya sampai 87 persen, yang kemudian mampu meredam gejolak yang timbul di beberapa kalangan pejabat yang merasa penghasilannya kurang [4] Contoh lain yang dapat ditiru adalah Kabupaten Sragen. Di kabupaten itu semua sumber daya diberdayakan dengan maksimal. Beberapa hasil nyata yang bisa dilihat adalah keuangan mikro untuk usaha kecil menengah, di bidang pertanian dihasilkan beras organik, dan kantor pelayanan terpadu. Untuk keuangan mikro, Pemerintah kabupaten Sragen menyediakan Rp 72,7 miliar yang diputar untuk membantu usaha kecil menengah. Sementara di kantor pelayanan terpadu, masyarakat bisa mendapatkan 62 jenis pelayanan di satu tempat. Dengan dua contoh keberhasilan itu, apakah reformasi birokrasi telah cukup, terlebih jika tolok ukurnya hanya dengan pelayanan publik yang baik? Tentu saja jawabannya tidak. Melalui good governance, reformasi birokrasi harus dijalankan secara menyeluruh. Meskipun demikian, implementasi konsep good governance tidak pula semudah membalik telapak tangan, walau bukan berarti tidak mungkin. Sebagai aktivitas memerintah, good governance memenuhi empat aspek. Pertama, prinsip keadilan sosial, termasuk di dalamnya sistem pengadilan yang independen dan tidak pandang bulu. Kedua, kebebasan ekonomi beserta pemerataan hasil pembangunan. Ketiga, kemajemukan politik yang ditandai dengan partisipasi masyarakat dan prinsip equity (kesamaan). Sementara keempat, adalah prinsip akuntabilitas pemerintah. Sementara dalam tataran praksis, upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik itu dapat diukur berdasarkan sepuluh sendi yang menjadi karakter birokrasi yang diwujudkan melalui konsep ini. Kesepuluh sendi tersebut merupakan hasil kesepakatan dari Asosiasi Pemerintah Kota Se-Indonesia, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Se-Indonesia, dan Asosiasi Pemerintah Propinsi Se-indonesia pada tahun 2001, yang terdiri atas: Pertama, prinsip akuntabilitas. Good governance meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Birokrasi pun muncul sebagai sosok yang bertanggung jawab terhadap kinerjanya demi kemaslahatan seluruh masyarakat. Kedua, efisiensi dan efektivitas. Melalui good governance, birokrasi didorong untuk menggunakan segala sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab guna menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat. Tidak ada lagi rantai birokrasi yang panjang dan berbelit-belit. Tidak ada lagi prosedur administrasi yang njelimet. Seluruh tata administrasi pemerintahan dibangun menuju prinsip better, faster, cheaper (lebih baik, lebih cepat dan lebih murah). Ketiga, partisipasi. Good governance mendorong setiap warga untuk menggunakan haknya dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam implementasinya, prinsip ini berhadapan vis a vis dengan apatisme dan skeptisme publik. Publik tidak lagi dipandang sebagai objek pembangunan semata, lebih dari itu, mereka adalah subjek sekaligus partner bagi pemerintah dalam mewujudkan cita-cita pemerintahan yang madani. Keempat, wawasan ke depan. Dalam prinsip ini, good governance memandu birokrat membangun daerahnya berdasarkan visi, misi dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan. Dengan demikian, warga pun merasa memiliki dan ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan daerahnya. Seorang birokrat dituntut untuk memiliki wawasan yang futuristik, yang disertai dengan pola kerja yang sistematis. Jiwa dinamis seorang birokrat ikut mewarnai kerja organisasi. Seorang birokrat haruslah up to date dengan segala perkembangan jaman. Kelima, transparansi. Berlandaskan pada prinsip good governance, birokrasi mendorong kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dengan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Krisis kepercayaan merupakan salah satu kendala besar yang dihadapi birokrasi Indonesia dewasa ini dalam setiap implementasi serta sosialisasi kebijakan mereka. Alhasil, sense of belonging dan sense of responsibility masyarakat terhadap pembangunan pun menjadi rendah. Keenam, profesionalisme. Good gonernance meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau. Birokrat memiliki kejelian dalam melihat sumber-sumber baru yang potensial dan mampu mengkombinasikan sumber daya yang ada menjadi sesuatu yang optimal, tidak cuma mengeluh terhadap berbagai kekurangan yang ada, seperti anggaran yang terbatas. Birokrat yang tampil kemudian adalah mereka yang mampu mengoptimalkan keterbatasan sumberdaya yang ada menjadi sebuah gabungan kekuatan sinergis (resource mix) dan mempunyai produktivitas tinggi. Ketujuh, penegakan hukum. Mewujudkan penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, tanpa melihat perbedaan ras dan stratifikasi sosial, ekonomi dan politik. Kedelapan, daya tanggap. Meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat, tanpa kecuali. Seorang birokrat haruslah pribadi yang sensitif dan responsif melihat semua peluang dan tantangan. Kemampuan berpikir jangka panjang dan penguasaan atas berbagai dinamika yang terjadi merupakan sebuah keharusan. Kesembilan, kesetaraan. Pemerintahan di sini memberi penekanan pada aspek keadilan ekonomi, di mana negara memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pembangunan tidak sekadar berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi, melainkan pada pemerataan hasil-hasil pembangunan. Kesepuluh, pengawasan. Meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan masyarakat luas. Pembangunan bukan monopoli pemerintah, melainkan buah sinergi antara pemerintah-masyarakat-swasta. Di sini, pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator dan regulator. ORDE BARU



Sesungguhnya istilah penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) yang bercirikan pemerintah yang bersih (clean government) atau bebas dari praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) serta responsif dan inovatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, di masa Orde Baru sudah dikenal dan telah menjadi wacana. Namun, ia tidak dapat dipraktekkan karena sistem politik rezim Orde Baru bercorak otoriter dan sentralistik, sementara penerapan good governance, tidak mungkin tidak, harus didukung oleh sistem politik yang demokratis. Kinerja pemerintahan dalam sistem politik otoriter cenderung tidak efisien dan penuh dengan penyelewengan. Prinsip-prinsip prosedural birokratis yang memang harus ada dalam penyelenggaraan organisasi pemerintahan, yang merupakan mekanisme administratif untuk melayani dan mengelola berbagai kepentingan publik, malah lebih diperumit lagi, bukannya dideregulasi untuk memperluas pilihan kesempatan bagi warga masyarakat dalam melaksanakan berbagai aktivitas sosial-budaya dan ekonomi. Satu hal yang lebih memprihatinkan adalah, bahwa kecenderungan (trend) kerusakan lingkungan pesisir dan lautan di era reformasi ini pada umumnya justru semakin memburuk. Hal ini terutama disebabkan kebutuhan mendesak di kalangan masyarakat maupun pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin mahal karena depresiasi nilai rupiah terhadap mata uang asing (khususnya dolar Amerika Serikat) yang sangat drastis, keharusan untuk menampung tenaga kerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan upaya untuk meningkatkan perolehan devisa.


II. KONSEP

Williamson (1994) mengungkapkan bahwa governance merupakan sistem yang diimplementasikan akibat adanya kontrak hubungan antara setiap pihak (stakeholders) dalam hubungan kelembagaannya. Sementara hubungan kelembagaan yang dimaksud adalah hubungan organisasional yang memiliki insentif struktural dan interaksi publik di dalamnya. Dalam substansi yang lebih kurang sama United Nations Development Programme (UNDP, 1997) mendefinisikan governance sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa. Governance dikatakan baik (good atau sound) apabila pengelolaan sumberdaya alam dan masalah-masalah publik dilakukan secara efektif, efisien yang merupakan respons terhadap kebutuhan masyarakat. Tentu saja pengelolaan yang efektif, efisien dan responsif terhadap kebutuhan rakyat menuntut iklim demokrasi dalam pemerintahan. Untuk itu, pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan dan pengelolaan masalah-masalah publik mesti didasarkan pada keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, serta transparan. Dengan begitu, good governance merupakan tuntutan imperatif, yang harus dilaksanakan.

Di dalam praktek good governance dalam konteks pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan guna pembangunan ekonomi, pemerintah perlu mengurangi keterlibatannya dalam wilayah-wilayah di mana pasar bekerja atau dapat dijadikan bekerja dengan cukup baik. Pemerintah perlu membiarkan kompetisi di antara para pelaku ekonomi domestik dan internasional merebak.

Namun pada saat yang bersamaan, pemerintah perlu lebih banyak berbuat di wilayah-wilayah di mana pasar tak dapat diandalkan atau banyak mengalami distorsi. Dan untuk mengatasi tugas-tugas tersebut pemerintah harus menanamkan investasi langsung pada peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, membangun infrastruktur sosial dan fisik bagi kegiatan publik, serta melindungi lingkungan hidup. Tetapi untuk bisa melaksanakan semua itu mensyaratkan dilakukannya penguatan pada lembaga-lembaga politik, sosial, dan ekonomi masyarakat serta kebijakan yang lebih efisien dan efektif bagi redistribusi dan pertumbuhan ekonomi.

Secara lebih rinci Anthony Giddens menguraikan apa saja yang menjadi tugas pemerintahan dalam kerangka good governance ini: menyediakan sarana untuk perwakilan kepentingan masyarakat yang beragam; menawarkan sebuah forum untuk rekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing; menciptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, di mana debat bebas mengenai isu-isu kebijakan bisa dilanjutkan; menyediakan beragam hal untuk memenuhi kebutuhan warga negara, termasuk bentuk-bentuk keamanan dan kesejahteraan kolektif; mengatur pasar menurut kepentingan publik, dan menjaga persaingan pasar ketika monopoli mengancam; menjaga keamanan sosial melalui kontrol sarana kekerasan dan melalui penetapan kebijakan; mendukung perkembangan sumber daya manusia melalui sistem pendidikan; menopang sistem hukum yang efektif, yang menjamin perselisihan ditangani secara adil, tanpa bias ke arah negara atau kepada kepentingan swasta besar.

'III. OTORITARIANISME BIROKRASI'Teks ini akan dicetak tebal

Pemerintah Orde Baru boleh dikatakan "anti" terhadap lembaga-lembaga politik, ekonomi, ataupun sosial masyarakat yang mencoba mempersoalkan cara kerja atau kebijaksanaan yang dibuatnya. Bila ada lembaga masyarakat yang sedikit kritis, ia akan dituduh bertindak subversif. Dan, hampir tidak ada kekuatan kelompok sosial-ekonomi atau sosial-politik formal maupun informal yang bisa mengawasi pemerintah. Peran pemerintah telah terlepas dari kontrol (untouchable) institusi-institusi di luar dirinya.

Itulah sistem politik kenegaraan yang bercorak otoritarianisme-birokratik (OB) (bureaucratic-authoritarianism), yaitu suatu bentuk negara otoriter yang kuat dan terpadu, dengan posisi lembaga eksekutif yang sangat dominan dan determinan, dan mampu mensubordinasikan kelompok-kelompok politik, sosial, dan ekonomi masyarakat.

Dalam sistem OB keterlibatan negara tidak sekadar dalam politik formal, tetapi masuk sampai ke dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan kultural masyarakat sehari-hari dan secara geografis menyebar sampai jauh ke pelosok, dan secara sosiologis masuk ke dalam aspek kehidupan yang paling kecil seperti rumah tangga dan individu.

Tindakan negara OB kerap kali menggunakan kekuatan represif yang ditujukan untuk meredam partisipasi masyarakat. Di bidang administrasi, negara sangat tergantung pada struktur birorkasi yang rumit yang fungsi sebenarnya adalah untuk mengontrol prilaku-prilaku atau kegiatan-kegiatan masyarakat.

Memang dalam negara OB ini secara formal terlihat ada lembaga-lembaga yang mewakili masyarakat, baik dalam bentuk partai politik, organisasi sosial, ekonomi, dan kultural. Tetapi, institusi-institusi kemasyarakatan itu bersifat korporatis, yaitu suatu sistem perwakilan kepentingan di mana unit-unit yang membentuknya diatur dalam organisasi-organisasi yang jumlahnya dibatasi serta bersifat tunggal atau seragam; tidak diperbolehkan untuk saling berkompetisi, dan diatur secara hirarkis; yang diakui dan diberi izin (kalau tidak diciptakan sendiri oleh negara) serta diberi hak monopoli untuk merepresentasikan kepentingan dalam bidangnya masing-masing sebagai imbalan atas kesediaan memenuhi pengendalian-pengendalian tertentu.

Di samping itu, pimpinan institusi tersebut harus melalui penyaringan yang ketat dari aparat negara. Semua cara pengendalian itu diarahkan supaya tidak terjadi pertentangan antar kelas atau kelompok kepentingan serta terciptanya keselarasan, kesetiakawanan, dan kerja sama dalam hubungan antara negara dan masyarakat.

Karena negara Orde Baru merupakan rezim otoriterisme birokratis, dengan sendirinya good governance tidak bisa diimplementasikan. Sistem otoritarianisme birokratik dengan good governance bertentangan satu sama lain, bukan pasangannya. Yang menjadi pasangan dari sistem otoritarianisme birokratis adalah penyelenggaraan pemerintahan yang birokratis, tidak efisien, penyimpangan dalam penggunaan dana-dana pembangunan, pengambilan keputusan yang tertutup dan sentralistik, serta melakukan pembungkaman terhadap kelompok-kelompok masyarakat.




VII. PENUTUP

Pergeseran dan perubahan yang mesti dilakukan menuntut perubahan pola pikir dari mendukung pemerintah ke memperbaiki kepemerintahan. Keberhasilan pemerintah tidak sekadar ditentukan berdasarkan keberhasilan menjalankan kebijakannya sendiri, melainkan juga kemampuannya dalam mendorong usaha-usaha LSM, dunia usaha, dan kelompok masyarakat lain.

Perubahan pola kerja itu mensyaratkan cara kerja baru yang efektif dan tidak bertumpu pada pemerintah saja. Pergeseran paradigma sosial dari government ke governance menuntut bentuk baru pengambilan keputusan dan definisi baru untuk tanggung jawab dan kemitraan. Sikap positif dalam interaksi sangat dituntut, tidak diwarnai syak wasangka (prejudice). Kreativitas lebih dituntut daripada pendekatan rutin.

Pengetahuan, pemahaman, dan kepedulian akan arti penting dan strategis pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan bagi pembangunan nasional, sehingga perlu dipelihara kelestariannya perlu terus disebarluaskan ke berbagai kalangan, khususnya para anggota legislatif, kalangan pengambil keputusan di pemerintahan maupun swasta.

Beberapa hal yang dikemukakan di atas merupakan "daftar panjang" yang musti dipikirkan bersama atau bahkan harus menjadi aksi bersama sehingga beban tidak berada di pundak pemerintah saja tetapi juga berada di pundak semua stakeholder pesisir dan lautan agar harapan bahwa masa depan Indonesia ada di laut benar-benar terwujud.


[5]

  1. ^ Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika... SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
  2. ^ Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika... SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
  3. ^ Daftar Pustaka Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. _______, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1994. Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana, Bandung: Bina Cipta, 1996. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988. _______, Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, Bandung: Bina Cipta, 1973. Daliyo, J. B., Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Prenhalindo, 2001. David, Rene, and John E. C. Brierley, Major Legal System in The World Today, London, Stevens and Sons, 1978. Engelbrecht, Kitab Undang Undang, Undang-undang, Peraturan-peraturan serta Undang Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1960. Hadikusuma, Hilman, Hukum Pidana Adat, Bandung: Alumni, 1989. Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia: dari Retribusi ke Reformasi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1986. _______, dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985. Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982. Koesnoe, Moh., "Pokok Permasalahan Hukum Dewasa Ini", dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, Jakarta: Rajawali, 1986. Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana, Laporan Penelitian, Jakarta: LPHN, 1973. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993. _______, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1994. ________________________________________ Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika... SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006 21 Muladi, "Perbandingan Sistem Pidana dan Kemungkinan Aplikasinya di Indonesia", dalam Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997. _______, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1985. Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta: Liberty, 1986. Prakoso, Djoko, dan Nurwachid, Studi tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. Saleh, K. Wantjik, Pelengkap KUHP: Perubahan KUH Pidana dan UU Pidana Sampai dengan Akhir 1980, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981. Saleh, Roeslan, "Tentang Tindak Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana", kertas kerja dalam Lokakarya Masalah Pembaharuan Kodifikasi Hukum Pidana Nasional, Jakarta: BPHN, 1984. Soemadi Pradja, R. Achmad S., dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, Jakarta: BPHN/Bina Cipta, 1979. Soesilo, R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea, tth. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981. _______, Hukum Pidana I, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990. Susanto, I. S., Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Rezim Orde Baru, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Dipnegoro Semarang, 12 Oktober 1999. _______,, Kejahatan Korporasi, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995. The Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar and Stafford Wadswoth, Colorado: Fred B. Rothman, 1997. Undang-undang Peradilan Anak (UU Nomor 3 Tahun 1997), Jakarta: Sinar Grafika, 2000. Widnyana, I Made, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung: Eresco, 1993.
  4. ^ (Kompas, 26/5/2006).
  5. ^ DAFTAR PUSTAKA 1. PKSPL-IPB, 1998. Penyusunan Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan - Institut Pertanian Bogor dan Direktorat Pembangunan Daerah - Depdagri, Bogor. 2. Bengen, D. G, dan Achmad Rizal. 2002. Menyoal Pengaturan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan. Artikel Warta INCUNE. Edisi Tahun 2 Nomor 1. 3. Boyce, T.M. and J. Catena. 1991. The Living Ocean Understanding and Protecting Marine Biodiversity, Washington, D.C. Covelo, California. 4. Cicin-Sain, B. and R.W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: Concepts and Practices. Island Press, California. 5. Cross, N. 2001. The Future is Now. 6. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. 7. Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES. Jakarta. 8. Hanna, S., 1999. Strengthening governance of ocean fishery resources. www.erlsevier.com/locate/ecolecon. 9. Giddens. A. 1999. The Third Way. 10. Hardin. 1968. Tragedy of the Commons. 11. Lindley, D. 1988. Is the Earth Live or Death? Nature. 12. Ostrom, E. 1999. Annual Review of Political Science 2: 493-535. 13. Santoso, Mas Achmad. 2001. Good Governance dan Hukum Lingkungan. ICEL. Jakarta. 14. UNDP. 1997. Reconceptualising Governance. UNDP Discussion Paper 2. Management Development and Governance Division Bureau for Policy and Programme Support. 15. Ward, B. 1982. Down to Earth. London, Temple Smith. 16. Williamson, O.E., 1994. Transactions cost economics and organization theory. In: Smelser, N.J., Swedberg, R. (Eds.), The Handbook of Economic Sociology. Princeton University Press, Princeton, NJ. Pp. 77-107. Diposting oleh ANHakim jam 12:28 PM 0 komentar: Post a Comment Link ke posting ini Create a Link Newer Post Older Post Home Subscribe to: Post Comments (Atom)