Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta 1975

Revisi sejak 14 Juli 2018 20.13 oleh Irslamet (bicara | kontrib) (Sejarah: koreksi fakta dari sumber Prof Suyitno)

Yogyakarta 5 Maret 1975

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

No 13.

Tahun 1975

Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta

No: K.898/I/75

Lam: -

Hal: Penyeragaman Policy Pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non Pribumi

Kepada:

Yth Bupati/Walikota Kepala Daerah seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta

INSTRUKSI

Sebagaimana diketahui policy Pemerintah Daerah Derah Istimewa Yogyakarta hingga sekarang belum memberikan hak milik atas tanah kepada seorang Warganegara Indonesia non Pribumi yang memerlukan tanah.

Guna penyeragaman policy pemberian hak atas tanah dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarata kepada seorang Warganegara Indonesia Non Pribumi dengan ini diminta:

Apabila ada seorang Warganegara Indonesia non Pribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan/melepaskan supaya mengajukan permohon Kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan sesuatu hak.

kemudian hendaknya menjadi perhatian dan dilaksanakan sebagai mana mestinya

WAKIL KEPALA DAERAH

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PAKU ALAM VIII

Sejarah

 
Hamengku Buwono IX

Sejarah panjang Yogyakarta dari zaman Belanda yang menyebabkan Sultan Hamengku Buwono IX kala itu menerbitkan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi itu.

Hamengku Buwono IX

Instruksi Wakil Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah Kepada Seorang WNI Non Pribumi atau yang disingkat Instruksi 1975, Instruksi Wagub DIY 1975, atau

Paku Alam VIII, pembuat Instruksi 1975 yang melarang pemberian hak milik tanah kepada warga negara non-pribumi di DIY

Instruksi 898/1975 adalah sebuah surat instruksi yang dibuat oleh Wakil Gurbernur Yogyakarta Paku Alam VIII yang memerintahkan agar tidak memberikan milik tanah kepada warga negara non-pribumi, peraturan ini tidak hanya terbatas pada golongan Tionghoa, tetapi juga warga nonpribumi lainnya. Sebab, di dalam peraturan tersebut hanya menyebutkan nonpribumi. di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

Sejarah dimulai ketika Hindia Belanda (Indonesia) saat itu dipimpin oleh Gubernur Meester in de Rechten Herman Willem Daendels antara tahun 1808–1811.

Dimana saat itu banyak warga pribumi menjual tanah ke perusahaan asing. Saat kepemimpinan dilanjutkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830, saat itu diberlakukan tanam paksa. Hingga akhirnya ada peraturan Belanda staatsblad tahun 1870 dan akhirnya diturunkan dengan peraturan ground-vervreemdings-verbod yang berisi larangan bagi pribumi untuk menjual tanahnya ke warga asing. Aturan ini tertuang di dalam staatsblad tahun 1875 No 179.

Pada tahun 1870, saat modal asing diizinkan untuk masuk, hal ini disebut Opendeur-Politik atau politik pintu terbuka. Saat tahun 1870, pemerintah Hindia Belanda mendapatkan protes dari kalangan sendiri, lalu menghapus tanam paksa di Pulau Jawa dan menggantinya dengan politik pintu terbuka, hingga pemerintah Belanda menerapkan Undang– Undang Agraria 1870.

Salah satu alasannya melindungi masyarakat petani dari pengusaha yang mempunyai modal besar

Risjkblaad 1915 Nomor 23, dilakukan reorganisasi dengan tujuan memberikan hak atas tanah kepada rakyat biasa dengan hak-hak yang kuat. Tanah sultan ground dibagi dua, yaitu Tanah Mahkota dan Sultanaad Ground. Selain itu, milik Kadipaten Pakulaman, mengatur hal yang sama.

Proses sejarah panjang itu diperkuat dengan adanya UUD 1945 Pasal 18 b ayat 1 dan 2 tentang daerah khusus dan istimewa serta masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya hingga lahirlah UU Keistimewaan DIY. "Pasal 18 b UUD 45 mengakui asal-usul hukum adat yang berlaku dan UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY.

Artinya, kewenangan otonomi demi untuk menyejahterakan masyarakat supaya tidak ada ketimpangan, dan didasarkan sejarah

Peraturan ini tidak hanya terbatas pada golongan Tionghoa, tetapi juga warga nonpribumi lainnya. Sebab, di dalam peraturan tersebut hanya menyebutkan nonpribumi.

image

(Prof Suyitno[1], Ahli pertanahan Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Anggota Parampara Praja DI Yogyakarta)

Lihat pula

Referensi