Genosida Timor Timur
Genosida Timor Leste mengacu pada aktivitas teror berkedok "kampanye pasifikasi" oleh pemerintah Indonesia saat menduduki Timor Leste. Para akademisi Universitas Oxford secara konsesus menyebut pendudukan Indonesia di Timor Leste sebagai genosida. Universitas Yale mengajarkan peristiwa ini dalam mata kuliah Kajian Genosida.[1][2]
Genosida Timor Leste | |
---|---|
Bagian dari Pendudukan Indonesia di Timor Leste | |
Lokasi | Timor Leste di bawah pendudukan Indonesia |
Tanggal | Pendudukan berlangsung tahun 1975 sampai 1999, tetapi sebagian besar pembunuhan massal terjadi tahun 1970-an |
Sasaran | Menundukkan secara paksa bangsa Timor Leste ke pemerintah Indonesia |
Jenis serangan | Penghilangan paksa, Pembantaian genosidal |
Korban tewas | Perkiraan total korban tewas berkisar antara 100.000–300.000 jiwa |
Bagian dari seri tentang |
Genosida |
---|
Isu |
Genosida pribumi |
Kolonisasi Amerika oleh bangsa Eropa
|
Genosida Soviet |
Holokaus Nazi dan genosida (1941–1945) |
Perang Dingin |
|
Genosida kontemporer |
|
Topik terkait |
Kategori |
Serbuan awal
Relokasi dan pemaksaan kelaparan
Operasi pasifikasi Indonesia
Operasi Keamanan: 1981–82
Pada tahun 1981, militer Indonesia melancarkan Operasi Keamanan yang juga dijuluki "operasi pagar betis". Dalam operasi ini, TNI merekrut 50.000 sampai 80.000 pemuda Timor Leste untuk berbaris ke pegunungan dan menjadi tameng hidup untuk mencegah serangan balasan FRETILIN. Tujuan TNI adalah menyapu bersih pemberontak di daerah tengah Timor Leste. Banyak pemuda dalam operasi ini yang meninggal kelaparan, kelelahan, atau ditembak oleh TNI karena membiarkan pemberontak kabur. Ketika "pagar betis" ini mengepung desa, TNI membantai warga sipil dalam jumlah yang tidak diketahui. Sedikitnya 400 warga desa dibantai di Lacluta oleh Batalyon 744 Angkatan Darat Indonesia pada September 1981. Seorang saksi mata yang bersaksi di hadapan Senat Australia mengatakan bahwa tentara dengan sengaja membunuh anak-anak kecil dengan cara menghantamkan kepala mereka ke batu.[3] Operasi ini gagal meredam pemberontakan. Penolakan masyarakat terhadap pendudukan Indonesia semakin kuat.[4] Ketika tentara FRETILIN di pegunungan melanjutkan serangan sporadisnya, pasukan Indonesia melancarkan serangkaian operasi untuk meredamnya selama sepuluh tahun berikutnya. Sementara itu, di berbagai kota dan desa, gerakan pemberontakan damai (pasif) mulai terbentuk.[5]
Operasi Sapu Bersih: 1983
Gagalnya rangkaian operasi kontrapemberontak memaksa petinggi militer Indonesia memerintahkan Komandan Resor Militer Dili, Kolonel Purwanto, merintis dialog perdamaian dengan Komandan FRETILIN, Xanana Gusmão, di wilayah yang dikendalikan FRETILIN pada Maret 1983. Ketika Xanana menginginkan agar Portugal dan PBB dilibatkan dalam dialog ini, Komandan ABRI Benny Moerdani membatalkan gencatan senjata dengan mengumumkan serangan kontrapemberontak baru bernama "Operasi Sapu Bersih" pada Agustus 1983. Ia mengatakan, "Tidak boleh main-main lagi. Kali ini kita akan memusnahkan mereka tanpa ampun."[6]
Batalnya gencatan senjata diikuti oleh gelombang pembantaian, eksekusi di tempat, dan "penghilangan" baru oleh militer Indonesia. Pada Agustus 1983, 200 orang dibakar hidup-hidup di desa Creras. 500 orang lainnya dibunuh di sungai di daerah itu.[3] Pada Agustus hingga Desember 1983, Amnesty International mencatat pengangkapan dan "penghilangan" lebih dari 600 orang di ibu kota. Kerabat diberitahu oleh ABRI bahwa orang-orang yang "menghilang" dibawa ke Bali.[7]
Orang-orang yang diduga menolak integrasi biasanya ditangkap dan disiksa.[8] Pada tahun 1983, Amnesty International merilis buku panduan militer Indonesia yang diperoleh di Timor Leste. Buku tersebut mengajarkan cara memancing kegelisahan fisik dan mental dan mewanti-wanti tentara untuk "tidak mengambil foto yang menampilkan penyiksaan (terhadap seseorang yang disetrum, ditelanjangi, dan lain-lain)".[9] Dalam memoar tahun 1997, East Timor's Unfinished Struggle: Inside the Timorese Resistance, Constâncio Pinto menggambarkan penyiksaannya oleh tentara Indonesia: "Untuk setiap pertanyaan, wajah saya ditonjok dua atau tiga kali. Ketika seseorang menonjokmu seperti itu, wajahmu terasa hancur. Mereka memukul punggung dan pinggang saya dengan tangan, lalu menendang saya.... [Di tempat lain] mereka menyiksa saya secara psikologis; mereka tidak memukul, tetapi benar-benar mengancam akan membunuh saya. Mereka bahkan meletakkan pistol di meja."[10] Dalam buku Michele Turner yang berjudul Telling East Timor: Personal Testimonies 1942–1992, seorang perempuan bernama Fátima menggambarkan penyiksaan di sebuah penjara di Dili: "Mereka memaksa tahanan duduk di kursi, tetapi kursinya menindih jempol kaki mereka. Gila memang. Para tentara mengencingi makanan dan mengaduk-aduknya sebelum diserahkan kepada tahanan. Mereka menyetrum tahanan menggunakan mesin listrik...."[11]
Kekerasan terhadap perempuan
Kekerasan terhadap perempuan oleh militer Indonesia di Timor Leste sangat banyak dan terdokumentasikan dengan baik.[12] Selain mengalami penangkapan sepihak, penyiksaan, dan eksekusi tanpa pengadilan, perempuan-perempuan ini diperkosa dan dilecehkan secara seksual—kadang hanya karena memiliki hubungan dengan seorang aktivis kemerdekaan. Lingkup persoalannya sulit ditentukan karena militer sangat berkuasa saat pendudukan Timor Leste ditambah rasa malu yang dialami korban. Dalam laporan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dan Timor Leste tahun 1995, Amnesty International USA menulis: "Para perempuan enggan menyampaikan informasi tentang pemerkosaan dan pelecehan seksual kepada lembaga swadaya masyarakat ataupun melaporkan pelanggaran kepada militer atau polisi."[13]
Kekerasan terhadap perempuan juga terjadi dalam bentuk perundungan, intimidasi, dan pernikahan paksa. Laporan Amnesty mencantumkan kasus seorang perempuan yang dipaksa tinggal bersama seorang komandan di Baucau, kemudian dilecehkan setiap hari oleh tentara setelah dibebaskan.[13] "Pernikahan" seperti ini lumrah pada masa pendudukan di Timor Leste.[14] Sejumlah perempuan juga didorong mengikuti prosedur sterilisasi. Beberapa di antaranya dipaksa menelan obat kontraseptif Depo Provera dan tidak diberitahu kegunaannya.[15]
Pada tahun 1999, Rebecca Winters menerbitkan buku berjudul Buibere: Voice of East Timorese Women yang menceritakan kisah-kisah pribadi tentang kekerasan dan pelecehan sejak hari-hari pertama pendudukan di Timor Leste. Seorang perempuan mengaku diinterogasi dalam keadaan setengah telanjang, disiksa, dilecehkan, dan diancam akan dibunuh.[16] Seorang perempuan lain mengaku kaki dan tangannya dirantai, diperkosa berkali-kali, dan diinterogasi selama beberapa pekan.[17] Seorang perempuan yang menyiapkan makanan untuk pemberontak FRETILIN ditangkap, disundut rokok, disetrum, dan dipaksa berjalan telanjang melewati kumpulan tentara dan disuruh masuk tank yang dipenuhi air kencing dan kotoran manusia.[18]
Pembantaian Santa Cruz
Jumlah korban tewas
Film
- Balibo (2009)
Lihat pula
Catatan kaki
- ^ Payaslian, Simon. "20th Century Genocides". Oxford bibliographies.
- ^ "Genocide Studies Program: East Timor". Yale.edu.
- ^ a b Taylor, pp. 101–102; Nevins, p. 30; Budiardjo and Liong, pp. 127–128; Amnesty (1985), p. 23; Dunn, p. 299.
- ^ Budiardjo and Liong, pp. 41–43; Dunn (1996), p. 301.
- ^ Dunn (1996), pp. 303–304.
- ^ Sinar Harapan, 17 August 1983, quoted in Taylor 1991: 142
- ^ East Timor, Violations of Human Rights: Extrajudicial Executions, "Disappearances", Torture and Political Imprisonment, 1975–1984, p. 40
- ^ Amnesty (1985), pp. 53–59; Turner, p. 125; Kohen and Taylor, p. 90; Budiardjo and Liong, pp. 131–135.
- ^ Amnesty (1985), pp. 53–54.
- ^ Pinto, pp. 142–148.
- ^ Turner, p. 143.
- ^ Amnesty (1995); Winters; Budiardjo and Liong, p. 132; Jardine, pp. 33–34; Aditjondro (1998).
- ^ a b Amnesty (1995), p. 14.
- ^ Aditjondro (1998), pp. 256–260.
- ^ Taylor (1991), pp. 158–160.
- ^ Winters, pp. 11–12.
- ^ Winters, pp. 24–26.
- ^ Winters, pp. 85–90.