Penindasan Diokletianus

Revisi sejak 12 September 2018 11.18 oleh Glorious Engine (bicara | kontrib) (←Suntingan Karbitcuy (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh RaymondSutanto)

Penganiayaan Diokletianus (bahasa Inggris: Diocletianic Persecution), atau Penganiayaan Besar (bahasa Inggris: Great Persecution), adalah penganiayaan atau penindasan terakhir dan yang paling berat terhadap umat Kristen di Kekaisaran Romawi.[1] Pada tahun 303, Kaisar Diokletianus, Maximianus, Galerius, dan Konstantius mengeluarkan serangkaian edik atau dekret yang mencabut hak hukum umat Kristen dan meminta agar mereka mengikuti praktik-praktik keagamaan Romawi tradisional. Edik-edik berikutnya menyasar kaum klerus dan memerintahkan semua penduduk untuk mempersembahkan kurban kepada para dewa Romawi (suatu kebijakan yang dikenal sebagai kurban universal). Penganiayaan ini bervariasi intensitasnya di seluruh kekaisaran—yang teringan di Galia dan Britania, tempat diberlakukannya edik pertama saja, dan yang terberat di provinsi-provinsi Timur. Hukum-hukum penganiayaan ditiadakan oleh beberapa kaisar pada waktu yang berlainan, tetapi Edik Milan (313) yang dikeluarkan oleh Konstantinus dan Lisinius secara umum menandai berakhirnya masa penganiayaan ini.[2]

Doa Terakhir Para Martir Kristen, karya Jean-Léon Gérôme (1883)

Umat Kristen, atau Kristiani, telah sejak awal mengalami diskriminasi di dalam kekaisaran tersebut, namun para kaisar awal kemungkinan terlalu segan mengeluarkan hukum-hukum umum untuk menentang mereka, setidaknya pada abad ke-3 (lih. Krisis Abad Ketiga), atau terlalu disibukkan dengan berbagai isu yang lebih mendesak untuk diselesaikan. Pada tahun 250-an, di bawah pemerintahan Desius dan Valerianus, hukum-hukum demikian disahkan. Berdasarkan undang-undang ini, umat Kristen dipaksa untuk mempersembahkan kurban kepada para dewa Romawi atau menghadapi hukuman penjara dan eksekusi.[3] Ketika Gallienus naik takhta pada tahun 260, ia mengeluarkan edik kekaisaran yang pertama tentang toleransi terhadap umat Kristen,[4] sehingga menyebabkan mereka dapat hidup berdampingan dengan damai selama hampir 40 tahun. Naik takhtanya Diokletianus pada tahun 284 tidak segera menandai perubahan sikap mengesampingkan Kekristenan, bahkan sebaliknya mengindikasikan suatu perubahan sikap resmi secara bertahap terhadap kelompok-kelompok minoritas keagamaan. Dalam lima belas tahun pertama pemerintahannya, Diokletianus menyingkirkan tentara penganut Kekristenan, menghukum mati kaum Manikean, dan mengelilingi dirinya dengan para lawan publik Kekristenan. Preferensi Diokletianus terhadap pemerintahan otokratis, dikombinasikan dengan citra dirinya sebagai pemulih kejayaan Romawi masa lalu, menjadi pertanda akan adanya penganiayaan yang paling ekstensif dalam sejarah Romawi. Pada musim dingin tahun 302, Galerius mendesak Diokletianus untuk memulai suatu penganiayaan umum terhadap umat Kristen. Diokletianus bersikap hati-hati, dan meminta bimbingan orakel Kuil Apollo atas hal ini. Tanggapan dari sang orakel ditafsirkan sebagai dukungan atas posisi Galerius, dan penganiayaan secara umum dimulai pada tanggal 24 Februari 303.

Kebijakan-kebijakan penganiayaan di seluruh kekaisaran bervariasi intensitasnya. Galerius dan Diokletianus bertindak sebagai para penganiaya yang penuh semangat, sedangkan Konstantius tidak antusias. Edik-edik penganiayaan, termasuk perintah untuk melakukan kurban universal, tidak diterapkan di dalam wilayah kekuasaannya. Konstantinus putranya naik takhta kekaisaran pada tahun 306, memulihkan sepenuhnya kesetaraan hukum umat Kristen dan mengembalikan milik mereka yang disita selama masa penganiayaan. Di Italia pada tahun 306, Maxentius mengambil alih kekuasaan Severus sebagai penerus Maximianus, dan ia menjanjikan toleransi beragama yang sepenuhnya. Galerius mengakhiri penganiayaan di Timur pada tahun 311, tetapi dilanjutkan kembali di Mesir, Palestina, dan Asia Kecil oleh Maximinus penggantinya. Konstantinus dan Lisinius, penerus Severus, menandatangani Edik Milan pada tahun 313, yang memberikan suatu penerimaan yang lebih komprehensif terhadap Kekristenan dibandingkan dengan edik Galerius yang telah ada. Lisinius mengambil alih kekuasaan Maximinus pada tahun 313, sehingga mengakhiri masa penganiayaan di Timur.

Penganiayaan yang telah terjadi gagal menghentikan bangkitnya Gereja. Pada tahun 324, Konstantinus merupakan penguasa tunggal kekaisaran dan Kekristenan telah menjadi agama favoritnya. Meskipun penganiayaan mengakibatkan kematian, penyiksaan, pemenjaraan, ataupun dislokasi bagi banyak umat Kristen, sebagian besar umat Kristen di dalam kekaisaran terhindar dari hukuman. Namun penganiayaan menyebabkan banyak gereja terbagi antara mereka yang mematuhi otoritas kekaisaran (traditores, "pengkhianat"), dan mereka yang tetap "murni". Beberapa skisma, seperti yang dilakukan kaum Donatis di Afrika Utara dan kaum Meletian di Mesir, tetap berlangsung hingga lama setelah masa penganiayaan. Kaum Donatis tidak berdamai dengan Gereja sampai setelah tahun 411. Dalam abad-abad berikutnya, beberapa sejarawan menganggap bahwa umat Kristen telah menciptakan suatu "kultus martir-martir" dan membesar-besarkan kebiadaban pada masa penganiayaan. Anggapan-anggapan itu dikritik selama Abad Pencerahan dan masa selanjutnya, terutama oleh Edward Gibbon. Para sejarawan modern, misalnya G. E. M. de Ste. Croix, berupaya untuk memastikan apakah sumber-sumber Kristen membesar-besarkan ruang lingkup penganiayaan Diokletianus.

Latar belakang

Penganiayaan sebelumnya

Sejak kemunculan pertamanya hingga pengesahannya di bawah pemerintahan Konstantinus,[5] selama dua abad pertama keberadaannya, Kekristenan dan para praktisinya tidak populer di kalangan masyarakat pada umumnya.[6] Umat Kristiani selalu dicurigai,[5] menjadi anggota-anggota sebuah "masyarakat rahasia" yang para anggotanya berkomunikasi dengan suatu sandi tersendiri[7] dan menjauhkan diri dari ruang publik.[8] Adalah permusuhan yang bersifat umum—yakni kemarahan massa—yang menggerakkan terjadinya berbagai penganiayaan awal, bukan tindakan resmi.[6] Di Lyon, pada tahun 177, hanya intervensi otoritas sipil yang dapat menghentikan suatu massa pagan yang menyeret orang-orang Kristen dari rumah mereka dan memukuli mereka hingga meninggal dunia. Plinius Muda, gubernur Bithynia–Pontus, mendapat kiriman berbagai daftar panjang tuduhan yang diadukan oleh warga-warga anonim, yang untuk hal ini Kaisar Trajanus menyarankan dia untuk mengabaikannya.[9]

Bagi para penganut kultus-kultus tradisional, umat Kristiani adalah makhluk aneh: bukan Romawi, namun bukan juga barbar.[10] Praktik-praktik yang mereka lakukan sangat mengancam adat istiadat tradisional. Umat Kristiani tidak mau turut serta dalam berbagai perayaan publik, menolak untuk ambil bagian dalam kultus imperial, menghindari jabatan publik, dan secara terbuka mengecam tradisi-tradisi kuno.[11] Konversi membuat keluarga-keluarga menjadi terpisah: Yustinus Martir mengisahkan tentang seorang suami pagan yang mengadukan istrinya karena menganut Kekristenan, dan Tertulianus mengisahkan tentang anak-anak yang dicabut hak warisnya karena menjadi penganut Kekristenan.[12] Agama Romawi tradisional terjalin erat ke dalam struktur negara dan masyarakat Romawi, tetapi umat Kristiani menolak untuk melakukan praktik-praktiknya.[13][notes 1] Dalam kata-kata Tasitus, umat Kristiani memperlihatkan "kebencian umat manusia" (odium generis humani).[15] Di antara kalangan yang lebih naif, umat Kristiani dianggap menggunakan ilmu hitam dalam mengejar tujuan-tujuan revolusioner,[16] serta mempraktikkan inses dan kanibalisme.[17]

Meskipun demikian, selama dua abad pertama era Kristen, tidak ada kaisar yang mengeluarkan hukum umum untuk menentang iman atau Gereja mereka. Penganiayaan-penganiayaan tersebut dilaksanakan di bawah kewenangan pejabat-pejabat pemerintah setempat.[18] Di Bithynia–Pontus, pada tahun 111, pejabat pelaksananya yaitu Plinius Muda sebagai gubernur imperial;[19] di Smirna (İzmir) pada tahun 156, dan Scillium di dekat Kartago pada tahun 180, pelaksananya adalah prokonsul;[20] di Lyon, pada tahun 177, pelaksananya gubernur tingkat provinsi.[21] Ketika Kaisar Nero mengeksekusi umat Kristiani atas dugaan keterlibatan mereka dalam kebakaran pada tahun 64, hal ini dipandang sebagai peristiwa setempat dan tidak menyebar di luar batas-batas kota Roma.[22] Penganiayaan-penganiayaan awal ini berlangsung dengan hebat tetapi sifatnya sporadis, singkat, dan cakupannya terbatas,[23] serta merupakan ancaman terbatas bagi Kekristenan secara keseluruhan.[24] Bagaimanapun tindakan resmi yang sangat tidak terduga itu menjadi ancaman pemaksaan oleh negara yang diperkirakan akan segera terjadi di dalam bayang-bayang pemikiran umat Kristiani saat itu.[25]

Pada abad ke-3 polanya berubah. Para kaisar menjadi lebih aktif dan pejabat-pejabat pemerintah mulai secara aktif mengejar kaum Kristiani, bukan sekadar menanggapi kemauan orang banyak.[26] Kekristenan juga mengalami perubahan. Para praktisinya tidak hanya "kelas-kelas bawah yang mengobarkan ketidakpuasan"; beberapa dari kaum Kristiani merupakan orang kaya, atau dari kelas-kelas atas. Origenes, yang menulis sekitar tahun 248, bercerita tentang "banyaknya orang yang datang pada keimanan tersebut, bahkan orang-orang kaya dan orang-orang dalam posisi kehormatan, serta kaum wanita dari kelas dan keturunan bangsawan."[27] Reaksi resmi pemerintahan menjadi semakin tegas. Pada tahun 202, menurut Historia Augusta, sebuah kisah sejarah yang mungkin ditulis pada abad ke-4 dan keandalannya diragukan, Septimius Severus (memerintah tahun 193–211) mengeluarkan sebuah reskrip umum yang melarang konversi ke Yudaisme ataupun Kekristenan.[28] Maximinus (memerintah tahun 235–238) menargetkan para pemimpin Kristen.[29][notes 2] Desius (memerintah tahun 249–251), yang menuntut suatu bentuk dukungan atas keimanan yang dianutnya, menyatakan bahwa semua penduduk kekaisaran harus melakukan pengurbanan kepada para dewa, makan daging kurban, dan bersaksi atas tindakan-tindakan ini.[31] Umat Kristiani berkeras hati dengan tidak mematuhinya. Para pemimpin Gereja seperti Paus Fabianus, uskup Roma, dan Babilas, uskup Antiokhia, ditangkap, diadili, dan dieksekusi,[32] sebagaimana juga orang-orang tertentu dari kaum awam Kristiani, misalnya Pionius dari Smirna.[33][notes 3] Origenes, seorang teolog Kristen, disiksa selama penganiayaan dan meninggal dunia sekitar setahun kemudian karena luka-luka yang dideritanya.[35]

Penganiayaan Desius merupakan suatu pukulan besar bagi Gereja.[36] Di Kartago, terjadi kemurtadan (penyangkalan atas iman yang dianut) secara massal.[37] Di Smirna, Euctemon uskupnya melakukan pengurbanan—sebagaimana dikehendaki pemerintah—dan mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama.[38] Dikatakan bahwa Gereja sebagian besar tersebar di perkotaan sehingga seharusnya mudah untuk mengidentifikasi, mengisolasi, dan menghancurkan hierarki Gereja. Namun hal ini tidak terjadi. Pada bulan Juni 251 Desius gugur dalam pertempuran, menjadikan penganiayaan yang telah dilakukannya berhenti. Penganiayaan tersebut tidak berlanjut selama 6 tahun berikutnya, sehingga memungkinkan pulihnya beberapa fungsi Gereja.[39] Valerianus, teman Desius, mengambil alih takhta kekaisaran pada tahun 253. Kendati pada awalnya ia tampak "sangat ramah" terhadap kaum Kristiani,[40] tindakan-tindakannya segera menunjukkan hal yang sebaliknya. Pada bulan Juli 257, ia mengeluarkan sebuah edik penindasan yang baru. Sebagai hukuman karena menganut iman Kristiani, penganutnya menghadapi ancaman pengasingan atau kerja paksa di pertambangan. Pada bulan Agustus 258, ia mengeluarkan edik kedua, mengubah hukumannya menjadi hukuman mati. Penganiayaan ini terhenti pada bulan Juni 260, ketika Valerianus menjadi tawanan dalam pertempuran. Putranya, Gallienus (memerintah tahun 260–68), mengakhiri masa penganiayaan tersebut[41] dan mengukuhkan kebebasan dari berbagai sanksi resmi selama hampir 40 tahun, yang dipuji oleh Eusebius sebagai "kedamaian kecil dalam Gereja".[42] Kedamaian tersebut dapat dikatakan tanpa gangguan, kecuali penganiayaan yang terisolasi sesekali, hingga Diokletianus menjadi kaisar.[43]

Penganiayaan dan ideologi Tetrarki

 
Kepala dari patung Diokletianus di Museum Arkeologi Istanbul.

Diokletianus, yang mendapat pengakuan sebagai kaisar pada tanggal 20 November 284, merupakan seorang konservatif keagamaan, taat pada kultus Romawi tradisional. Tidak seperti Aurelianus (memerintah tahun 270–75), Diokletianus tidak mengembangkan kultus apapun yang baru. Ia lebih memilih dewa-dewi lama, yakni dewa-dewi Olimpia.[44] Meski demikian, Diokletianus berhasrat untuk menginspirasi suatu kebangunan keagamaan secara umum.[45] Sebagaimana yang dinyatakan oleh sang panegiris kepada Maximianus: "Anda telah menimbuni dewa-dewi dengan berbagai altar dan patung, kuil dan persembahan, yang Anda dedikasikan dengan nama Anda sendiri dan citra Anda sendiri, yang kesuciannya bertambah melalui contoh yang Anda tetapkan, untuk penghormatan bagi dewa-dewi. Tentunya orang-orang sekarang akan mengerti kuasa apa yang bersemayam di dalam dewa-dewi, ketika Anda menyembah mereka dengan sedemikian khusyuk."[46] Sebagai bagian dari kebangunan yang direncanakannya, Diokletianus berinvestasi dalam bangunan keagamaan. Seperempat dari semua inskripsi yang menyebutkan perbaikan candi di Afrika Utara antara tahun 276 dan 296 bertarikh pada masa pemerintahan Diokletianus.[47] Diokletianus mengaitkan dirinya dengan pimpinan panteon Romawi, yaitu Yupiter; rekan-kaisar Diokletianus, yakni Maximianus, mengaitkan dirinya dengan Herkules.[48] Penghubungan antara dewa dan kaisar ini membantu melegitimasi klaim para kaisar atas kekuasaan mereka dan mempertalikan lebih erat pemerintahan imperial dengan kultus tradisional.[49]

Diokletianus tidak menekankan ibadah ekslusif kepada Yupiter dan Herkules, yang merupakan suatu perubahan drastis dalam tradisi pagan. Sebagai contoh, Elagabalus pernah mencoba mengembangkan dewanya sendiri tanpa ada yang lain, dan mengalami kegagalan yang dramatis. Diokletianus membangun kuil-kuil untuk Isis dan Serapis di Roma, serta sebuah kuil untuk Sol di Italia.[45] Namun ia lebih memilih dewa-dewi yang dianggapnya dapat memberikan keselamatan bagi keseluruhan kekaisaran, bukan dewa-dewi setempat dari provinsi-provinsinya. Di Afrika, kebangunan Diokletianus berfokus pada Yupiter, Herkules, Merkurius, Apollo, dan Kultus Imperial. Pengultusan Saturnus, Baal Hammon yang di-Romanisasi, diabaikan.[50] Yupiter dan Herkules juga tercermin dalam ikonografi imperial.[51] Pola favoritisme yang sama turut berdampak di Mesir. Dewa-dewi Mesir yang asli tidak mengalami kebangunan, aksara hieroglif sakral juga tidak digunakan. Kesatuan dalam ibadah merupakan pusat kebijakan-kebijakan keagamaan Diokletianus.[50]

Diokletianus, sama seperti Augustus dan Trajanus yang memerintah sebelum dia, menyebut dirinya sebagai seorang "pemulih". Ia mendesak masyarakat untuk melihat sistem pemerintahan dan kekuasaannya, yakni Tetrarki (pemerintahan oleh 4 kaisar), sebagai suatu pembaharuan nilai-nilai tradisional Romawi dan, setelah abad ketiga yang tanpa hukum, suatu kedatangan kembali "Zaman Keemasan Roma".[52] Dengan demikian ia memperkuat preferensi Romawi sejak dahulu atas kebiasaan-kebiasaan kuno dan perlawanan Imperial terhadap kelompok-kelompok masyarakat independen. Namun sikap aktif rezim Diokletianus, dan keyakinan Diokletianus dalam kekuasaan pemerintah pusat untuk melakukan perubahan besar dalam hal moral dan masyarakat, menjadikannya tampak tidak lazim. Kebanyakan kaisar sebelumnya cenderung agak berhati-hati dalam kebijakan-kebijakan administratif mereka, lebih memilih untuk bekerja dalam stuktur yang telah ada daripada merombaknya.[53] Sebaliknya Diokletianus berkehendak untuk mereformasi setiap aspek kehidupan masyarakat untuk memenuhi tujuan-tujuannya. Di bawah kekuasaannya, mata uang, perpajakan, arsitektur, hukum, dan sejarah, semuanya direkonstruksi secara radikal untuk mencerminkan ideologi tradisionalis dan otoriternya. Reformasi terhadap "tatanan moral" kekaisaran—dan penyingkiran kaum minoritas keagamaan—hanya merupakan satu langkah dalam proses tersebut.[54]

Posisi unik kaum Kristiani dan Yahudi di dalam kekaisaran menjadi semakin jelas. Kaum Yahudi telah memperoleh toleransi imperial dengan pertimbangan antikuitas iman mereka yang telah ada sejak zaman dahulu.[55] Mereka telah dikecualikan dari penganiayaan Desius[56] dan terus menikmati kebebasan dari penganiayaan yang dilakukan pemerintahan Tetrarki.[notes 4] Karena iman mereka tergolong baru dan asing,[55] serta umumnya tidak diidentifikasi dengan Yudaisme, kaum Kristiani tidak memiliki alasan untuk mendapat pengecualian demikian.[58] Selain itu kaum Kristiani telah menjauhkan diri dari warisan Yahudi mereka dalam keseluruhan sejarah mereka.[59]

Penganiayaan bukan merupakan satu-satunya sarana penyaluran hasrat Tetrarki ini. Pada tahun 295, baik Diokletianus maupun Caesar (kaisar subordinat) di bawahnya, yaitu Galerius,[60] mengeluarkan suatu edik dari Damaskus yang melarang perkawinan inses dan mengukuhkan supremasi hukum Romawi atas hukum setempat.[61][notes 5] Prakata edik tersebut menegaskan bahwa adalah tugas setiap kaisar untuk menegakkan aturan-aturan suci hukum Romawi, karena "para dewata sendiri akan menyukai dan berdamai dengan nama Romawi...jika kita telah memastikannya bahwa semua yang tunduk pada aturan kita sepenuhnya menjalani hidup yang saleh, religius, damai, dan murni dalam segala hal".[62] Prinsip-prinsip ini, dengan keseluruhan ekstensinya, secara logis mengharuskan kaisar-kaisar Romawi untuk menegakkan konformitas dalam hal agama.[63]

Dukungan publik

Komunitas Kristiani tumbuh dengan cepat di banyak bagian kekaisaran (dan terutama di Timur) setelah tahun 260, ketika Gallienus membawa kedamaian kepada Gereja.[64] Nyaris tidak ada data untuk menghitung angkanya, tetapi sejarawan dan sosiolog Keith Hopkins menyajikan perkiraan kasar dan sementara mengenai populasi umat Kristiani pada abad ke-3. Hopkins memperkirakan bahwa komunitas Kristiani tumbuh dari 1,1 juta pada tahun 250 menjadi 6 juta pada tahun 300, sekitar 10% dari populasi total seluruh kekaisaran.[65][notes 6] Umat Kristiani bahkan berkembang sampai pedesaan, yang sebelumnya tidak pernah mencapai populasi besar.[67] Bangunan-bangunan gereja pada akhir abad ke-3 tidak lagi terlihat mencolok sebagaimana pada abad ke-1 dan ke-2. Gereja-gereja besar menjadi terkenal di kota-kota besar tertentu di seluruh kekaisaran.[68] Gereja di Nikomedia bahkan berdiri di atas suatu bukit menghadap istana kekaisaran.[69] Gereja-gereja baru ini kemungkinan tidak hanya merepresentasikan pertumbuhan nyata populasi Kristiani, tetapi juga peningkatan kemakmuran komunitas Kristiani.[70][notes 7] Di beberapa daerah tempat umat Kristiani memiliki pengaruh, seperti Afrika Utara dan Mesir, dewa-dewi tradisional kehilangan kredibilitasnya.[67]

Tidak diketahui berapa besar dukungan terhadap penindasan atau penganiayaan di dalam kekaisaran.[72] Setelah masa kedamaian Gallienus, umat Kristiani memperoleh jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan Romawi. Diokletianus sendiri mengangkat beberapa umat Kristiani ke posisi-posisi tersebut;[73] sementara istri dan putrinya mungkin saja bersimpati kepada Gereja.[74] Terdapat banyak individu yang rela menjadi martir, dan banyak provinsi yang ingin mengabaikan semua edik penganiayaan dari para kaisar. Bahkan Konstantius diketahui tidak menyetujui kebijakan-kebijakan penganiayaan. Kalangan dari kelas bawah menunjukkan sedikit antusiasme yang sebelumnya mereka perlihatkan pada penganiayaan-penganiayan awal.[75][notes 8] Mereka tidak lagi mempercayai tuduhan-tuduhan fitnah yang populer pada abad ke-1 dan ke-2.[77] Timothy Barnes mengemukakan kemungkinan bahwa Gereja yang telah lama terbentuk sudah menjadi bagian lain yang diterima dalam kehidupan mereka.[75]

Namun dalam jajaran tertinggi pemerintahan kekaisaran terdapat orang-orang yang secara ideologis bertentangan dengan paham toleransi terhadap umat Kristiani, misalnya filsuf Porfirius dari Tirus, dan Sosianus Hierokles, gubernur Bitinia.[78] Bagi E.R. Dodds, karya-karya orang-orang ini menunjukkan "aliansi kaum intelektual pagan dengan [Kelompok Penguasa]".[79] Hierokles berpikir bahwa keyakinan Kristiani adalah konyol. Menurutnya, jika umat Kristiani menerapkan prinsip-prinsip mereka secara konsisten maka mereka akan berdoa kepada Apollonius dari Tyana dan bukan kepada Yesus. Hierokles menganggap bahwa mukjizat Apollonius jauh lebih mengesankan dan Apollonius tidak pernah memiliki keberanian untuk menyebut dirinya "Allah".[80] Ia melihat kitab suci penuh dengan "kebohongan dan kontradiksi" serta Petrus dan Paulus telah menyebarkan kebohongan.[81] Pada awal abad ke-4, seorang filsuf tak dikenal menerbitkan sebuah pamflet yang menyerang kaum Kristiani. Filsuf tersebut, yang mungkin adalah salah seorang murid dari filsuf Neoplatonis bernama Iamblikhus, berulang kali menikmati jamuan makan di istana kekaisaran.[82] Diokletianus sendiri dikelilingi oleh suatu kelompok anti-Kristiani.[notes 9]

Porfirius agak menahan diri dalam kritiknya terhadap Kekristenan, setidaknya dalam karya-karya awalnya, yakni Tentang Kembalinya Jiwa dan Filosofi dari Para Orakel. Ia hanya memiliki sedikit keluhan mengenai Yesus, yang ia puji sebagai seorang individu suci, seseorang yang "rendah hati". Namun para pengikut Kristus ia kutuk karena "arogan".[85] Sekitar tahun 290, Porfirius menulis sebuah karya dalam lima belas jilid dengan judul Melawan Umat Kristiani.[86][notes 10] Dalam karya tersebut, Porfirius mengungkapkan keterkejutannya akan meluasnya Kekristenan secara cepat.[88] Ia juga merevisi pendapatnya dahulu mengenai Yesus; ia mempertanyakan mengapa Yesus mengecualikan orang kaya dari Kerajaan Surga[89] dan sikap permisif Yesus berkenaan dengan setan-setan yang masuk ke dalam tubuh babi-babi.[90] Sama seperti Hierokles, ia kurang menyukai Yesus dibandingkan dengan Apollonius dari Tyana.[91] Porfirius beranggapan bahwa umat Kristiani melakukan penghujatan dengan menyembah seorang manusia daripada Allah Mahakuasa, dan berkhianat dengan menjauhkan diri dari kultus tradisional Romawi. "Hukuman macam apa yang mungkin dapat kita kenakan secara tidak adil kepada orang-orang," tanya Porfirius, "yang adalah buronan-buronan dari adat istiadat ayah mereka?"[92]

Para imam pagan juga tertarik untuk menekan segala ancaman terhadap agama tradisional.[93] Arnobius, seorang apolog Kristiani yang menulis selama pemerintahan Diokletianus, menghubungkan isu keuangan dengan keberlangsungan ibadah-ibadah pagan:

Para augur, penafsir mimpi, peramal, nabi, dan imam muda, sesungguhnya sia-sia...mengkhawatirkan bahwa ketrampilan mereka sendiri akan terbawa menuju kenihilan, dan bahwa mereka mungkin mendapatkan dengan susah payah terlepas dari kontribusi minim para devosan, yang sekarang sedikit dan tidak sering, menangis dengan suara keras, 'Para dewata ditelantarkan, dan dalam kuil-kuil saat ini kehadiran sangat jarang. Upacara-upacara terdahulu terekspos cemoohan, dan ritual-ritual kelembagaan tradisional yang dulunya sakral telah tenggelam sebelum takhayul agama-agama baru.'[94]

Mereka meyakini bahwa upacara-upacara mereka terhalang oleh kehadiran umat Kristiani, yang diduga mengaburkan pandangan para orakel dan menghentikan pengakuan para dewa atas pengurbanan mereka.[93]

Penganiayaan-penganiayaan awal

Umat Kristiani dalam ketentaraan

 
Santo Georgius di hadapan Diokletianus. Sebuah mural abad ke-14 dari Ubisi, Georgia. Tradisi Kristiani menempatkan kemartiran St. Georgius, seorang mantan perwira tentara Romawi, pada masa pemerintahan Diokletianus.[95]

Di akhir Perang Persia pada tahun 299, Diokletianus dan Galerius melakukan perjalanan dari Persia ke Antiokhia Siria (Antakya). Seorang pengajar retorika Kristiani bernama Laktansius mencatat bahwa pada tahun 299 para kaisar tersebut terlibat dalam pengurbanan dan peramalan sebagai upaya untuk memprediksi masa depan. Para haruspex (jamak: haruspices), yakni peramal yang menafsirkan pertanda dari hewan kurban, tidak dapat menafsirkannya dari hewan-hewan yang dikurbankan dan tetap gagal melakukannya setelah percobaan berulang kali. Sang haruspex master akhirnya menyatakan bahwa kegagalan ini akibat dari gangguan dalam proses yang disebabkan oleh orang-orang profan. Beberapa umat Kristiani dalam rumah tangga kekaisaran diketahui membuat tanda salib selama upacara-upacara tersebut dan tindakan itu diduga mengganggu proses peramalan oleh haruspices. Diokletianus marah karena keadaan ini, dan menyatakan bahwa masing-masing penghuni istana harus melakukan pengurbanan. Diokletianus dan Galerius juga mengirimkan surat kepada komando militer, menuntut agar semua tentara melakukan mengurbanan atau menghadapi pemecatan.[96][notes 11] Karena dalam narasi Laktansius tidak ada laporan mengenai pertumpahan darah, umat Kristiani di rumah tangga kekaisaran dianggap tetap bertahan hidup dalam peristiwa tersebut.[101]

Eusebius dari Kaisarea, seorang sejarawan gerejawi dari zaman itu, menceritakan kisah serupa yang menyebutkan kalau para komandan diminta untuk memberikan pilihan kepada para prajurit mereka: melakukan pengurbanan atau kehilangan pangkat. Kasus ini keras—seorang prajurit akan kehilangan kariernya dalam militer, pensiunnya dari negara, dan tabungan pribadinya—namun tidak mematikan. Menurut Eusebius, pemaksaan tersebut secara umum memperoleh kesuksesan; namun demikian Eusebius mengalami kebingungan mengenai teknis peristiwa, dan terdapat ambiguitas dalam pencirian yang dibuatnya terkait jumlah keseluruhan umat yang murtad.[102] Eusebius juga mengaitkan inisiatif pemaksaan tersebut dengan Galerius, bukan Diokletianus.[103]

Peter Davies, seorang akademisi modern, menduga bahwa Eusebius mengacu pada peristiwa yang sama seperti yang disebutkan Laktansius, tetapi—menurutnya—Eusebius mendengar peristiwa tersebut melalui rumor publik dan tidak tahu apa-apa mengenai pembicaraan khusus di upacara keagamaan pribadi kaisar yang dapat diakses oleh Laktansius. Karena pemaksaan tersebut terjadi pada pasukan Galerius—Diokletianus telah meninggalkan pasukannya di Mesir untuk meredam kerusuhan yang berkelanjutan—dapat dipahami kalau penduduk Antiokhia meyakini bahwa Galerius adalah penggagasnya.[103] Sebaliknya, sejarawan David Woods berpendapat bahwa Eusebius dan Laktansius menyebutkan peristiwa-peristiwa yang sama sekali berbeda. Menurut Woods, Eusebius mendeskripsikan permulaan pemaksaan dalam ketentaraan di Palestina, sementara Laktansius mendeskripsikan peristiwa di istana.[104] Woods menegaskan bahwa bagian yang relevan pada Chronicon karya Eusebius rusak dalam terjemahannya ke bahasa Latin, dan teks Eusebius itu aslinya menempatkan permulaan penganiayaan tentara tersebut di sebuah benteng di Betthorus (El-Lejjun, Yordania).[105]

Eusebius, Laktansius,[106] dan Konstantinus, masing-masing menyatakan bahwa Galerius adalah pemicu utama pemaksaan militer tersebut, dan ia adalah pihak yang paling merasakan manfaatnya.[107][notes 12] Diokletianus, terlepas dari segala konservatisme keagamaannya,[109] masih memiliki kecenderungan ke arah toleransi beragama.[notes 13] Sebaliknya, Galerius adalah seorang pagan yang taat dan antusias. Menurut sumber-sumber Kekristenan, ia secara konsisten menjadi penyokong penganiayaan.[112] Ia juga berhasrat memanfaatkan posisi ini demi kepentingan politisnya sendiri. Sebagai kaisar dengan peringkat terendah, nama Galerius selalu dicantumkan terakhir dalam dokumen-dokumen kekaisaran. Hingga akhir perang Persia pada tahun 299, ia bahkan tidak memiliki istana utama.[113] Laktansius menyatakan bahwa Galerius sangat mendambakan posisi yang lebih tinggi dalam hierarki kekaisaran.[114] Romula, ibu Galerius, adalah seorang anti-Kristiani yang ekstrem, sebab ia pernah menjadi seorang imam pagan di Dacia, dan membenci umat Kristiani karena menghindar dari perayaan-perayaan yang diadakannya.[115] Setelah kemenangannya yang prestisius dan berpengaruh dalam perang Persia, Galerius mungkin berharap untuk mengimbangi penghinaan sebelumnya di Antiokhia, ketika Diokletianus memaksanya untuk berjalan kaki di depan karavan kekaisaran, bukan berada di dalamnya. Kebencian dalam dirinya memicu ketidakpuasannya terhadap kebijakan resmi toleransi; kemungkinan sejak tahun 302 ia mendesak Diokletianus agar memberlakukan suatu hukum umum untuk menentang umat Kristiani.[116] Karena Diokletianus telah dikelilingi oleh suatu kelompok penasihat anti-Kristiani, rekomendasi itu dapat dipastikan diiringi dengan kekuatan besar.[117]

Penganiayaan terhadap Manikeisme

Kekhawatiran di pihak kekaisaran mereda setelah penganiayan perdana tersebut. Diokletianus tetap di Antiokhia selama tiga tahun berikutnya. Ia satu kali mengunjungi Mesir, selama musim dingin tahun 301–302, tempat ia memulai pembagian biji-bijian (cura annonae) di Aleksandria.[116] Di Mesir, beberapa penganut Manikeisme, yang adalah pengikut nabi Mani, dikecam di hadapan prokonsul Afrika. Pada tanggal 31 Maret 302, dalam sebuah reskrip dari Aleksandria, Diokletianus—setelah berkonsultasi dengan prokonsul Mesir—memerintahkan agar para pemimpin kaum Manikean dibakar hidup-hidup bersama dengan kitab suci mereka.[118] Peristiwa ini merupakan pertama kalinya suatu penganiayaan Imperial menyerukan penghancuran literatur sakral.[119] Kaum Manikean berstatus rendah akan dieksekusi, sementara kaum Manikean berstatus tinggi akan dikirim untuk bekerja di pertambangan di Prokonesus (Pulau Marmara) atau di Phaeno (di selatan Palestina). Semua properti kaum Manikean akan disita dan disimpan dalam perbendaharaan kekaisaran.[118]

Diokletianus mendapati bahwa banyak yang tersinggung dengan agama Manikean. Perjuangannya membela kultus tradisional Romawi mendorongnya untuk menggunakan bahasa semangat keagamaan.[120] Prokonsul Afrika menyampaikan kepada Diokletianus suatu pertanyaan yang berisi kekhawatiran terhadap kaum Manikean. Pada akhir Maret 302, Diokletianus menjawab: kaum Manikean "telah membentuk sekte baru yang hingga saat ini belum pernah terdengar untuk menentang keyakinan-keyakinan yang lebih lama sehingga mereka mungkin menghalau doktrin-doktrin yang dipercayakan kepada kita pada masa lampau melalui bantuan ilahi, demi kepentingan doktrin bejat mereka sendiri".[121] Ia melanjutkan: "...ketakutan kita adalah, dengan berlalunya waktu, mereka akan berusaha keras...untuk menginfeksi...seluruh kekaisaran kita...sama seperti racun ular ganas". "Agama kuno tidak seharusnya dikritik oleh sesuatu yang bermodel baru", tulisnya.[121] Umat Kristiani dalam kekaisaran juga rentan terhadap pola pikir yang sama itu.[122]

Diokletianus dan Galerius, 302–303

Diokletianus berada di Antiokhia pada musim gugur tahun 302, ketika terjadi peristiwa penganiayaan yang berikutnya. Diakon Romanus mengunjungi suatu istana ketika pengurbanan awal sedang berlangsung dan menginterupsi upacara, mengecam tindakan tersebut dengan suara keras. Ia ditangkap dan dijatuhi hukuman bakar, tetapi Diokletianus membatalkan keputusan tersebut, dan memutuskan bahwa Romanus harus dipotong lidahnya sebagai ganti perbuatannya. Romanus dieksekusi pada tanggal 18 November 303. Keberanian penganut Kristiani ini membuat Diokletianus kesal, ia meninggalkan kota itu dan tinggal di Nikomedia untuk menghabiskan musim dingin dengan ditemani Galerius.[123]

Sepanjang tahun-tahun ini, didaktisisme keagamaan dan moral dari para kaisar mencapai suatu titik yang menggelisahkan; sekarang, atas perintah dari seorang orakel, hal ini mencapai puncaknya.[124] Menurut Laktansius, ketika Diokletianus dan Galerius berada di Nikomedia pada tahun 302, mereka berdebat mengenai kebijakan kekaisaran apa yang seharusnya diberlakukan terhadap umat Kristiani. Diokletianus berpendapat bahwa melarang umat Kristiani dari birokrasi dan militer cukup untuk menenangkan para dewa, sementara Galerius mendesak agar mereka dimusnahkan. Kedua kaisar berupaya untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan mengirim seorang utusan untuk berkonsultasi dengan orakel Apollo di Didima.[125] Porfirius mungkin turut hadir dalam pertemuan tersebut.[126] Setelah kembali, sang utusan menyampaikan kepada istana bahwa "yang benar di bumi"[127] menghalangi kemampuan Apollo untuk berbicara. Diokletianus diberitahu oleh kalangan istana bahwa "yang benar" tersebut hanya dapat mengacu pada umat Kristiani di dalam kekaisaran. Atas permintaan kalangan istananya, Diokletianus menyetujui tuntutan agar dilakukan suatu penganiayaan secara universal.[128]

Penganiayaan Besar

Edik pertama

Pada tanggal 23 Februari 303, Diokletianus memerintahkan penghancuran gereja Kristiani yang baru dibangun di Nikomedia, pembakaran kitab suci yang terdapat di dalamnya, dan penyitaan hartanya.[129] Tanggal 23 Februari merupakan hari raya Terminalia, yang ditujukan bagi Terminus, dewa perbatasan. Pada hari itu mereka berkeinginan untuk mengakhiri Kekristenan.[130] Keesokan harinya merupakan kali pertama Diokletianus menerbitkan "Edik untuk menentang umat Kristiani".[131][notes 14] Sasaran utama dari secarik undang-undang ini adalah para klerus senior dan properti umat Kristiani, sama seperti yang terjadi selama masa penganiayaan Valerianus.[135] Edik atau dekret ini melarang umat Kristiani berkumpul untuk beribadah,[136] dan memerintahkan penghancuran kitab suci, buku liturgis, dan tempat ibadah mereka di seluruh kekaisaran.[137][notes 15] Tetapi umat Kristiani berupaya untuk mempertahankan kitab suci mereka sejauh memungkinkan, meskipun "sepertinya menyerahkan kitab suci...tidak dianggap sebagai suatu dosa" di Timur;[139] beberapa di antara kitab suci itu tentunya berhasil diselamatkan, yang terbukti dari adanya temuan-temuan "papirus biblika awal".[140] Mereka mungkin menyerahkan karya-karya apokrif,[141] atau menolak untuk menyerahkan kitab suci mereka kendati tindakan ini harus dibayar dengan nyawa mereka, dan ada kasus-kasus di mana kitab suci tidak dihancurkan.[142] Umat Kristiani juga dicabut haknya untuk mengajukan petisi kepada kalangan istana,[143] menjadikan mereka subjek yang potensial bagi penyiksaan peradilan;[144] umat Kristiani juga tidak dapat memberikan tanggapan atas tindakan yang diajukan untuk melawan mereka di pengadilan;[145] para senator, ekues, dekurion, veteran, dan tentara Kristiani kehilangan pangkat mereka; dan orang-orang yang telah dimerdekakan di dalam kekaisaran kembali diperbudak.[143]

Diokletianus meminta agar penerapan edik ini diupayakan "tanpa pertumpahan darah",[146] kebalikan dari tuntutan Galerius agar semua orang yang menolak untuk mempersembahkan kurban dibakar hidup-hidup.[147] Terlepas dari permintaan Diokletianus, para hakim setempat seringkali melakukan eksekusi selama masa penganiayaan, karena hukuman mati termasuk salah satu kewenangan mereka dalam memutuskan.[148] Arahan Galerius—yakni pembakaran hidup-hidup—merupakan suatu metode umum dalam mengeksekusi umat Kristiani di Timur.[149] Setelah edik ini dipublikasikan di Nikomedia, seorang laki-laki bernama Eutius meruntuhkan dan merobeknya seraya meneriakkan, "Inilah kemenangan-kemenangan Gothik dan Sarmatian Anda!" Ia ditangkap karena makar, lalu segera disiksa dan dibakar hidup-hidup, sehingga menjadi martir pertama edik ini.[150][notes 16] Ketetapan-ketetapan dalam edik ini dikenal dan diberlakukan di Palestina pada bulan Maret atau April (sesaat sebelum Paskah), dan diterapkan oleh para pejabat setempat di Afrika Utara pada bulan Mei atau Juni.[152] Martir pertama di Kaisarea dieksekusi pada tanggal 7 Juni,[153] sementara edik ini baru berlaku di Cirta pada tanggal 19 Mei.[154] Edik pertama ini merupakan satu-satunya edik yang mengikat secara hukum di Barat;[155] tetapi Konstantius tidak sungguh-sungguh memaksakan penerapan edik ini di Galia dan Britania.[156] Bagaimanapun, di Timur, perundang-undangan ini secara bertahap dirancang semakin berat.

Edik kedua, ketiga, dan keempat

Pada musim panas tahun 303,[157] menyusul serangkaian pemberontakan di Melitene (Malatya, Turki) dan Siria, diterbitkan edik kedua yang memerintahkan penangkapan dan pemenjaraan semua uskup dan imam.[158] Menurut penilaian sejarawan Roger Rees, tidak ada suatu keharusan yang masuk akal akan edik kedua ini; bahwa Diokletianus menerbitkannya mengindikasikan kalau ia entah tidak mengetahui apakah edik pertama sedang dijalankan, atau ia merasa edik pertama tidak terlaksana secepat yang ia harapkan.[159] Setelah diterbitkannya edik kedua, penjara-penjara mulai terisi—sistem penjara yang belum berkembang pada saat itu tidak mampu menampung para diakon, lektor, imam, dan eksorsis yang harus dipenjara karena edik tersebut. Eusebius menuliskan bahwa edik kedua menjaring sedemikian banyak imam sehingga para penjahat biasa terdesak keluar dan harus dibebaskan.[160]

Dalam rangka peringatan dua puluh tahun pemerintahannya pada 20 November 303, Diokletianus mendeklarasikan suatu amnesti umum dalam edik ketiga. Semua klerus yang dipenjara dapat dibebaskan, asalkan bersedia melakukan pengurbanan kepada para dewa.[161] Diokletianus mungkin berupaya mendapatkan suatu publisitas yang baik dengan adanya undang-undang ini. Kemungkinan ia juga berusaha untuk meretakkan komunitas Kristiani dengan mempublikasikan fakta kalau klerusnya murtad.[162] Permintaan untuk melakukan pengurbanan tidak dapat diterima oleh banyak dari mereka yang dipenjarakan, namun sipir-sipir seringkali berhasil memperoleh paling tidak pemenuhan secara nominal. Beberapa klerus bersedia mempersembahkan kurban, sementara yang lain melakukannya karena disiksa. Sipir-sipir ingin sekali menyingkirkan para klerus dari antara mereka. Eusebius, dalam Martir-Martir Palestina karyanya, mencatat kasus seorang klerus yang dibawa ke suatu altar dan dengan tangan terikat dipaksa untuk mempersembahkan kurban. Klerus tersebut diberitahu bahwa tindakan pengurbanan yang dilakukannya telah diakui dan ia segera dibebaskan. Yang lain lagi diberitahu bahwa mereka telah melakukan pengurbanan sekalipun mereka tidak melakukan apa-apa.[163]

Pada tahun 304, edik keempat memerintahkan agar semua orang, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, berkumpul di suatu ruang publik dan mempersembahkan kurban secara kolektif. Jika mereka menolak, mereka akan dieksekusi.[164] Tanggal pasti dari edik tersebut tidak diketahui,[165] tetapi kemungkinan dikeluarkan pada bulan Januari atau Februari 304, dan diterapkan di daerah Balkan pada bulan Maret.[166] Edik keempat diberlakukan di Tesalonika (Thessaloniki, Yunani) pada bulan April 304,[167] dan di Palestina segera setelahnya.[168] Edik terakhir ini sama sekali tidak diberlakukan di daerah kekuasaan Maximianus dan Konstantius. Sementara di Timur tetap berlaku hingga diterbitkannya Edik Milan oleh Konstantinus dan Lisinius pada tahun 313.[169]

Abdikasi, ketidakstabilan, dan pembaruan toleransi, 305–311

Diokletianus dan Maximianus mengundurkan diri pada tanggal 1 Mei 305. Konstantius dan Galerius menjadi para Augustus (kaisar senior), sementara kedua kaisar yang baru, yakni Severus dan Maximinus, menjadi para Caesar (kaisar junior).[170] Menurut Laktansius, Galerius telah memaksa pihak Diokletianus sehubungan dengan hal tersebut dan mengamankan pengangkatan teman-teman setianya menuju jabatan kekaisaran.[171] Dalam "Tetrarki Kedua" ini, tampaknya hanya kaisar-kaisar Timur, yaitu Galerius dan Maximinus, yang meneruskan penganiayaan.[172] Saat meninggalkan jabatan mereka, Diokletianus dan Maximianus mungkin membayangkan Kekristenan telah berada dalam penderitaan terakhirnya. Bangunan-bangunan gereja telah dihancurkan, hierarki dan kepemimpinan Gereja telah diretakkan, kepegawaian sipil dan kemiliteran telah dibersihkan. Eusebius menyatakan bahwa kemurtadan dari keimanan tersebut "tak terhitung" (μυρίοι) jumlahnya.[173] Pada awalnya, Tetrarki baru ini tampak lebih kuat daripada yang pertama. Maximinus khususnya, sangat bersemangat untuk melakukan penganiayaan.[174] Pada tahun 306 dan 309, ia menerbitkan edik-ediknya sendiri yang menuntut pengurbanan universal.[175] Eusebius juga mendakwa Galerius tetap melanjutkan penganiayaan.[176]

Di Barat, bagaimanapun, sistem Diokletianus yang belum terselesaikan menyebabkan jatuhnya keseluruhan kompleksitas Tetrarki. Konstantinus, putra Konstantius, dan Maxentius, putra Maximianus, telah diabaikan dalam suksesi sistem Diokletianus sehingga menyinggung perasaan orang tua mereka dan memicu kemarahan para putra tersebut.[170] Konstantinus, berlawanan dengan keinginan Galerius, menggantikan posisi ayahnya pada tanggal 25 Juli 306. Ia segera mengakhiri segala penganiayaan yang sedang berlangsung dan menawarkan umat Kristiani ganti rugi sepenuhnya atas kehilangan yang mereka alami selama masa penganiayaan.[177] Deklarasi ini memberi Konstantinus kesempatan untuk memerankan diri sebagai seorang pembebas yang dapat diharapkan kepada umat Kristiani yang tertindas di mana-mana.[178] Sementara itu Maxentius telah mengambil alih kekuasaan di Roma pada tanggal 28 Oktober 306, dan segera memberikan toleransi bagi semua umat Kristiani di dalam wilayah kekuasaannya.[179] Galerius dua kali berupaya untuk menurunkan Maxentius dari takhtanya, tetapi keduanya mengalami kegagalan. Saat kampanye pertama melawan Maxentius, Severus ditangkap, dipenjarakan, dan dieksekusi.[180]

Kedamaian Galerius dan Edik Milan, 311–313

Di Timur, penganiayaan secara resmi dihentikan pada tanggal 30 April 311,[181] kendati kisah-kisah kemartiran berlanjut di Gaza hingga tanggal 4 Mei. Galerius, yang sudah terbaring di atas ranjang kematiannya, mengeluarkan suatu proklamasi untuk mengakhiri permusuhan, dan memberikan umat Kristiani hak untuk eksis secara bebas berdasarkan hukum, dan untuk berkumpul dalam kedamaian. Penganiayaan berakhir di mana-mana.[182] Laktansius mempertahankan teks Latin pernyataan itu, mendeskripsikannya sebagai suatu edik. Eusebius menyediakan terjemahan Yunani atas pernyataan itu. Versinya memuat gelar-gelar imperial dan suatu amanat kepada para provinsial, mengemukakan bahwa proklamasi tersebut sebenarnya adalah sebuah surat imperial.[183] Dokumen itu tampaknya hanya diumumkan di provinsi-provinsi Galerius.[184]

Di antara segala pengaturan lain yang senantiasa kami buat demi kepentingan dan manfaat bagi negeri, sebelumnya kami telah berharap untuk memperbaiki segala sesuatu sesuai dengan hukum dan disiplin publik rakyat Romawi, dan untuk memastikan bahwa bahkan orang-orang Kristiani, yang meninggalkan praktik leluhur mereka, perlu kembali pada pikiran yang sehat. Memang, untuk beberapa alasan atau lainnya, seperti serangan kepuasan diri dan kebodohan yang dimiliki orang-orang Kristiani itu, sehingga mereka tidak mengikuti praktik-praktik leluhur, yang mungkin telah dilembagakan oleh nenek moyang mereka sendiri, tetapi menurut kehendak mereka masing-masing dan karena itu menyenangkan mereka, mereka membuat hukum-hukum bagi diri mereka sendiri untuk mereka terapkan, dan menghimpun beragam bangsa di berbagai tempat. Kemudian ketika perintah kami dikeluarkan dengan menyatakan bahwa mereka harus kembali ke praktik-praktik leluhur, banyak yang jatuh dalam mara bahaya, dan banyak yang bahkan dibunuh. Lebih banyak lagi yang bertahan dengan cara hidup mereka, dan kami melihat bahwa mereka tidak juga mempersembahkan kultus dan ibadah yang tepat kepada para dewata, ataupun kepada tuhan orang-orang Kristiani. Dengan mempertimbangkan refleksi atas kemurahan hati kami sendiri yang lembut dan adat istiadat yang abadi, yang melaluinya kami terbiasa untuk memberikan kemurahan hati bagi semua orang, kami telah memutuskan untuk memperluas kesukaan kami selekas-lekasnya kepada orang-orang ini juga, sehingga orang-orang Kristiani dapat sekali lagi mendirikan tempat-tempat pertemuan mereka sendiri, selama mereka tidak bertindak dengan suatu cara yang tidak beraturan. Kami akan mengirim surat yang lain kepada para pejabat kami untuk merinci kondisi-kondisi yang harus mereka perhatikan. Konsekuensinya, sesuai dengan kesukaan kami, mereka harus berdoa kepada tuhan mereka demi kesehatan kami dan keselamatan negeri, sehingga negeri dapat tetap aman dalam segala hal, dan mereka dapat hidup dengan aman dan tenteram dalam rumah mereka masing-masing.[185]

Kata-kata Galerius meneguhkan dasar teologis Tetrarki untuk melakukan penganiayaan; tindakan-tindakan tersebut tidak lebih dari upaya untuk menegakkan praktik-praktik keagamaan dan sipil tradisional, bahkan edik-edik itu sendiri benar-benar tidak lazim. Galerius tidak berbuat apa-apa untuk mematahkan semangat penganiayaan—umat Kristiani masih ditegur karena nonkonformitas dan praktik-praktik "bodoh" yang mereka lakukan—Galerius tidak pernah mengakui kalau ia melakukan sesuatu yang salah.[186] Pengakuan bahwa tuhan umat Kristiani mungkin saja ada dibuatnya dengan setengah hati.[187] Beberapa sejarawan dari awal abad ke-20 menyatakan bahwa edik Galerius secara definitif meniadakan "rumusan hukum" lama non licet esse Christianos,[188] menjadikan Kekristenan suatu religio licita, "sejajar dengan Yudaisme",[189] dan melindungi properti milik umat Kristiani,[188] di antara hal-hal lainnya.[190]

Tidak semua kalangan antusias menanggapinya. Tillemont, sejarawan gerejawi dari abad ke-17, menyebut edik ini "tidak signifikan";[191] demikian pula sejarawan abad ke-20 bernama Timothy Barnes memperingatkan bahwa "kebaruan ataupun arti penting manuver [Galerius] tidak perlu dinilai terlalu tinggi".[192] Barnes mencatat bahwa undang-undang Galerius sekadar membawa ke Timur hak-hak umat Kristiani yang telah ada di Italia dan Afrika. Di Galia, Spanyol, dan terlebih lagi Britania, umat Kristiani telah mendapatkan jauh lebih banyak daripada yang ditawarkan Galerius kepada umat Kristiani Timur.[192] Para sejarawan abad ke-20 lainnya, seperti Graeme Clark dan David S. Potter, menegaskan bahwa, karena semua bentuk perlindungannya, penerbitan edik ini oleh Galerius merupakan suatu peristiwa penting dalam sejarah Kekristenan dan Kekaisaran Romawi.[193]

Hukum Galerius tidak berlaku efektif untuk waktu lama di distrik Maximinus. Dalam waktu tujuh bulan setelah proklamasi Galerius, Maximinus melanjutkan penganiayaan.[194] Penganiayaan terus berlanjut di distrik Maximinus hingga tahun 313, sesaat sebelum wafatnya.[195] Pada suatu pertemuan antara Lisinius dan Konstantinus di Milan pada bulan Februari 313, kedua kaisar itu menyusun syarat-syarat untuk mewujudkan suatu perdamaian universal. Ketentuan-ketentuan perdamaian ini dipublikasikan oleh Lisinius, yang baru saja meraih kemenangan atas Maximinus, di Nikomedia pada tanggal 13 Juni 313.[196] Kelak di kemudian hari, dokumen tersebut mendapat sebutan "Edik Milan".[notes 17]

Kami berpikir bahwa adalah tepat untuk memercayakan hal-hal ini sepenuhnya ke dalam penyelenggaraan Anda sebagaimana Anda ketahui bahwa kami telah memberikan umat Kristiani tersebut oportunitas yang tanpa batas dan bebas dalam ibadah keagamaan. Ketika Anda melihat bahwa hal ini telah diberikan kepada mereka oleh kami, Yang Mulia akan mengetahui bahwa kami juga telah memberikan agama-agama lain hak atas perayaan ibadah mereka secara bebas dan terbuka demi perdamaian pada zaman kita, sehingga setiap orang dapat memiliki kesempatan bebas untuk beribadah sesuai keinginannya; peraturan ini dibuat agar kita tidak dipandang mengurangi martabat ataupun agama apa saja.[196]

Variasi regional

Peristiwa kemartiran di Timur (ragu-ragu)
Asia Kecil Oriens Danube
Provinsi Diokletianus (303–305)
26[201]
31[202]
Provinsi Galerius (303–305)
14[203]
Provinsi Galerius (tanpa tarikh)
8[204]
Provinsi Galerius (305–311)
12[205]
12[206]
Menurut Davies, hal. 68–69.[notes 18]
 
Peta Kekaisaran Romawi di bawah pemerintahan Tetrarki, memperlihatkan semua keuskupan sipil dan keempat zona pengaruh para pemimpin Tetrarki.

Tidak ada keseragaman dalam pemberlakuan edik-edik penganiayaan.[208] Karena para pemimpin Tetrarki relatif berdaulat di dalam wilayah kekuasaan mereka sendiri,[209] masing-masing dari mereka memiliki kendali yang cukup baik atas kebijakan penganiayaan. Dalam wilayah Konstantius (Britania dan Galia), penganiayaan paling-paling hanya diterapkan dengan kadar ringan;[148] dalam wilayah Maximianus (Italia, Spanyol, dan Afrika), diterapkan secara tegas; dan di Timur, di bawah pemerintahan Diokletianus (Asia Kecil, Siria, Palestina, Mesir) dan Galerius (Yunani dan Balkan), peraturan-peraturan tersebut dipaksakan dengan sungguh-sungguh dibandingkan dengan di wilayah-wilayah yang lain.[210] Untuk provinsi-provinsi Timur, Peter Davies menabulasi jumlah total peristiwa kemartiran pada sebuah artikel dalam Journal of Theological Studies.[207] Davies berpendapat bahwa angka-angka tersebut, kendati bersumber pada kumpulan-kumpulan acta yang tidak lengkap dan hanya sebagian yang dapat diandalkan, menunjukkan suatu tingkatan penganiayaan yang lebih berat di bawah pemerintahan Diokletianus daripada Galerius.[211] Sejarawan Simon Corcoran, dalam sebuah bagian tulisan tentang asal-usul edik-edik awal penganiayaan, mengkritik ketergantungan Davies yang berlebihan pada "kisah-kisah martir yang meragukan" itu dan menganggap kesimpulan-kesimpulannya tidak layak.[212]

Britania dan Galia

Tidak terdapat konsistensi dalam sumber-sumber yang tersedia terkait seberapa besar tingkat penganiayaan dalam domain Konstantius, walaupun semuanya menggambarkan bahwa penganiayaan ini sangat terbatas. Laktansius menyatakan bahwa penghancuran bangunan-bangunan gereja merupakan hal terburuk yang terjadi.[213] Dalam Sejarah Gereja dan Kisah Hidup Konstantinus karyanya, Eusebius secara eksplisit membantah kalau ada gereja yang dihancurkan, tetapi mencantumkan Galia sebagai salah satu daerah yang mengalami dampak-dampak penganiayaan dalam Martir-Martir Palestina karyanya.[214] Sekelompok uskup menyatakan bahwa "Galia kebal" (immunis est Gallia) dari penganiayaan di bawah pemerintahan Konstantius.[215] Wafatnya Santo Albanus, martir Kristiani Britania yang pertama, awalnya ditarikhkan ke era ini, tetapi umumnya sekarang ditempatkan dalam masa pemerintahan Septimius Severus.[216] Edik kedua, ketiga, dan keempat, tampaknya sama sekali tidak diberlakukan di Barat.[217] Terdapat kemungkinan kalau kebijakan-kebijakan Konstantius yang relatif toleran merupakan akibat dari kecemburuan seputar Tetrarki; bagaimanapun, penganiayaan ini merupakan proyek para kaisar Timur, bukan para kaisar Barat.[148] Setelah Konstantinus menggantikan ayahnya (Konstantius) pada tahun 306, ia mendesak dilakukannya pemulihan properti Gereja yang hilang selama masa penganiayaan, dan mengundangkan kebebasan penuh bagi semua umat Kristiani di dalam domainnya.[218]

Afrika

Penganiayaan di bawah pemerintahan Konstantius relatif ringan, namun tidak ada keraguan mengenai terjadinya penganiayaan yang relatif berat di dalam domain Maximianus. Tercatat bahwa dampak-dampaknya dirasakan di Roma, Sisilia, Spanyol, dan di Afrika[219]—memang, Maximianus memaksakan secara khusus penegakan edik secara ketat di Afrika. Elite politik Afrika bersikukuh bahwa penganiayaan harus terlaksana sepenuhnya,[220] dan umat Kristiani Afrika, terutama di Numidia, sama-sama bersikeras menentangnya. Bagi rakyat Numidia, menyerahkan kitab suci adalah suatu tindakan kemurtadan yang mengerikan.[221] Afrika telah lama menjadi rumah bagi Gereja Para Martir[222]—di Afrika, para martir memiliki lebih banyak kewenangan keagamaan daripada kaum klerus[223]—dan memelihara suatu varian Kekristenan yang sangat berpendirian teguh, fanatik, dan legalistik.[224] Afrika memberikan kontribusi kisah kemartiran yang paling banyak bagi wilayah Barat.[225]

Afrika telah menghasilkan martir-martir bahkan pada tahun-tahun sebelum Penganiayaan Besar. Pada tahun 298, Maximilianus, seorang tentara di Tebessa, telah berupaya menolak untuk mengikuti disiplin militer;[226] di Mauretania, juga pada tahun 298, seorang tentara bernama Marselus menolak bonus ketentaraannya dan melepas seragamnya di hadapan publik.[227] Setelah penganiayaan dimulai, otoritas publik ingin sekali menegaskan kewenangan mereka. Anullinus, prokonsul Afrika, memperluas edik tersebut, memutuskan bahwa pemerintah harus memaksa umat Kristiani untuk mempersembahkan kurban kepada dewa-dewi, di samping penghancuran kitab suci dan bangunan gereja.[228] Gubernur Valerius Florus memberlakukan kebijakan yang sama di Numidia selama musim panas atau musim gugur tahun 303, ketika ia menyerukan "hari-hari pembakaran dupa"; umat Kristiani harus melakukan pengurbanan atau mereka akan kehilangan nyawa.[229] Selain yang sudah tertera, para martir Afrika juga termasuk Saturninus dan Martir-Martir Abitinae,[230] kelompok lain yang wafat sebagai martir pada tanggal 12 Februari 304 di Kartago,[231] dan para martir dari Milevis (Mila, Aljazair).[232]

Penganiayaan di Afrika juga mendorong perkembangan Donatisme, suatu gerakan skismatik yang melarang kompromi dalam segala hal dengan pemerintah Romawi ataupun para uskup traditor (mereka yang telah menyerahkan kitab suci kepada pemerintah sekuler). Salah satu momen kunci terkait pemisahannya dengan Gereja arus utama terjadi di Kartago pada tahun 304. Umat Kristiani dari Abitinae dibawa ke kota tersebut dan dipenjarakan. Kemudian teman-teman dan kerabat para tahanan datang untuk berkunjung, namun mengalami hambatan dari sekelompok massa setempat. Kelompok itu dilecehkan, dipukuli, dan dicambuk; makanan yang mereka bawa bagi teman-teman mereka yang dipenjara terserak di tanah. Massa tersebut dilaporkan sebagai utusan Mensurius, uskup kota itu, dan Sesilianus, diakonnya, atas alasan-alasan yang masih belum jelas.[233] Pada tahun 311, Sesilianus terpilih sebagai uskup Kartago. Para penentangnya menuduh bahwa traditio yang ia lakukan membuatnya tidak layak atas jabatan itu, dan mendeklarasikan kandidat lain bagi kelompok mereka, yakni Majorinus. Banyak kalangan lain di Afrika, termasuk kalangan Abitinian, yang juga mendukung Majorinus dalam penentangan mereka terhadap Sesilianus. Gerakan perlawananan itu kelak dinamai menurut nama Donatus, pengganti Majorinus.[234] Pada saat Konstantinus mengambil alih provinsi tersebut, gereja Afrika telah mengalami perpecahan mendalam.[235] Kaum Donatis baru melakukan rekonsiliasi dengan Gereja Katolik setelah tahun 411.[236]

Italia dan Spanyol

Maximianus mungkin dengan mudah melakukan penyitaan properti Kristiani di Roma—pemakaman-pemakaman Romawi terlihat mencolok, dan tempat-tempat pertemuan Kristiani dapat dengan mudah ditemukan. Para gerejawan senior juga sama menonjolnya. Uskup kota itu, Paus Marselinus, tampaknya tidak pernah dipenjara; bagaimanapun, terdapat suatu fakta yang membuat beberapa kalangan meyakini bahwa Maximianus tidak menegakkan perintah untuk menangkap kaum klerus di kota itu.[135] Kalangan yang lain menyatakan bahwa Paus Marselinus adalah seorang traditor.[237] Paus Marselinus disebutkan dalam depositio episcoporum Gereja dari abad ke-4, tanpa pencantumannya pada feriale, atau kalender perayaan, yang mencatat semua pendahulu Paus Marselinus mulai dari Paus Fabianus—suatu absensi yang "mencolok", menurut pendapat sejarawan John Curran.[135] Selama kurun waktu empat puluh tahun, kaum Donatis mulai menyebarkan rumor bahwa Paus Marselinus telah menjadi seorang traditor, dan bahwa ia telah melakukan pengurbanan kepada dewa-dewi pagan.[238] Kisah tersebut tidak lama kemudian dibesar-besarkan dalam karya pemalsuan dari abad ke-5, 'Konsili Sinuessa', dan vita Marcelli dalam Liber Pontificalis. Karya yang terakhir disebutkan itu menyatakan bahwa sang uskup memang murtad, tetapi menebus dirinya melalui kemartiran beberapa hari setelahnya.[135]

Tidak jelas apa yang terjadi kemudian setelah tindakan traditio Paus Marselinus, seandainya itu memang benar-benar terjadi. Namun, tampaknya terdapat suatu jeda dalam suksesi episkopal. Paus Marselinus sepertinya wafat pada tanggal 25 Oktober 304, dan (seandainya ia pernah murtad) kemungkinan ia dikeluarkan dari Gereja pada awal tahun 303,[239] tetapi penggantinya, Paus Marsellus I, baru dikonsekrasikan pada bulan November atau Desember 306.[240] Sementara itu, terdapat dua faksi yang menyimpang dalam Gereja Roma, yaitu mereka yang murtad, umat Kristiani yang mematuhi edik-edik untuk memastikan keselamatan pribadi mereka, dan kalangan rigoris, mereka yang tidak menoleransi kompromi apapun dengan dengan otoritas sekuler. Kedua kelompok itu berbentrokan dalam berbagai kerusuhan dan perkelahian jalanan, yang akhirnya mengarah pada kasus-kasus pembunuhan.[240] Dikatakan bahwa Paus Marselus, seorang rigoris, menghapuskan segala hal yang menyebutkan tentang Paus Marselinus dari catatan-catatan gereja, dan menghapus namanya dari daftar resmi para uskup.[241] Paus Marselus sendiri disingkirkan dari kota itu, dan wafat dalam pengasingan pada tanggal 16 Januari 309.[240]

Pada saat bersamaan, Maxentius memanfaatkan ketidakpopuleran Galerius di Italia (saat itu Galerius telah memperkenalkan perpajakan terhadap kota dan pedesaan Roma untuk pertama kalinya dalam sejarah kekaisaran)[242] dengan mendeklarasikan dirinya sebagai kaisar. Pada tanggal 28 Oktober 306, Maxentius meyakinkan Garda Praetoria untuk mendukung dia, memberontak, dan memberinya jubah ungu kaisar.[243] Sesaat setelah aklamasinya, Maxentius mengumumkan berakhirnya penganiayaan, dan toleransi bagi semua umat Kristiani di wilayah kekuasaannya.[244] Berita tersebut sampai ke Afrika, tempat seorang umat Kristiani Cirta di kemudian hari masih dapat mengingat kembali tanggal persis dihantarnya "kedamaian" itu.[245] Namun, Maxentius tidak memperkenankan restitusi properti yang disita.[246]

Pada tanggal 18 April 308, Maxentius mengizinkan umat Kristiani untuk mengadakan lagi pemilihan uskup kota itu, dan Paus Eusebius terpilih.[247] Bagaimanapun, Paus Eusebius adalah seorang moderat di tengah-tengah jemaat yang masih terbagi. Heraklius, pemimpin faksi rigoris, menentang penerimaan kembali mereka yang murtad. Kerusuhan segera menyusul, dan Maxentius mengasingkan pasangan yang berselisih dari kota itu, menyebabkan Paus Eusebius wafat di Sisilia pada tanggal 21 Oktober.[248] Jabatan tersebut lowong selama hampir tiga tahun, hingga Maxentius kembali mengizinkan diadakannya pemilihan. Paus Miltiades terpilih pada tanggal 2 Juli 311, sementara Maxentius bersiap untuk menghadapi Konstantinus dalam pertempuran. Maxentius, yang menghadapi penentangan domestik yang semakin kuat terhadap pemerintahannya, kemudian menyetujui restitusi properti Kristiani. Paus Miltiades mengutus dua diakon dengan berbekal surat-surat dari Maxentius kepada prefek Roma, pemimpin kota itu, yang bertanggung jawab atas penerbitan edik-edik imperial di dalam kota, untuk memastikan kepatuhannya.[249] Umat Kristiani Afrika tetap berada dalam fase pemulihan properti mereka yang hilang hingga akhir tahun 312.[250]

Di luar Roma, hanya terdapat sedikit rincian yang meyakinkan seputar perkembangan dan dampak penganiayaan di Italia; tidak banyak peristiwa kematian di daerah tersebut yang dapat dibuktikan kepastiannya. Acta Eulpi mencatat kisah kemartiran Euplus di Catania, Sisilia; ia adalah seorang Kristiani yang berani terang-terangan membawa Injil suci, dan menolak untuk menyerahkannya. Euplus ditangkap pada tanggal 29 April 304, diadili, dan wafat sebagai martir pada tanggal 12 Agustus 304.[251] Di Spanyol, uskup Ossius dari Corduba kelak menyebut dirinya sebagai seorang pengaku iman.[148] Setelah tahun 305, tahun abdikasi Diokletianus dan Maximianus serta promosi Konstantius menjadi Augustus, tidak terjadi lagi penganiayaan secara aktif di Barat. Eusebius menyatakan bahwa penganiayaan tersebut berlangsung "kurang dari dua tahun".[252]

Setelah suatu kebuntuan militer sesaat,[253] Konstantinus menghadapi Maxentius dan mengalahkannya dalam Pertempuran Jembatan Milvius di luar Roma pada tanggal 28 Agustus 312; Maxentius melarikan diri ke Sungai Tiber dan tenggelam di dalamnya. Konstantinus memasuki kota pada hari berikutnya, tetapi ia menolak untuk ambil bagian dalam tradisi pendakian Bukit Capitolinus menuju Kuil Yupiter.[254] Perjalanan pasukan Konstantinus menuju Roma dilaporkan menggunakan sebuah simbol Kristiani. Sehingga menjadi, setidaknya secara resmi, suatu pasukan Kristiani.[255] Konversi Konstantinus juga terlihat jelas di tempat lain. Para uskup turut serta makan di meja Konstantinus,[256] dan banyak proyek bangunan Kristiani yang segera dimulai setelah kemenangannya. Pada tanggal 9 November 312, markas lama Garda Berkuda Imperial dirobohkan untuk membuka jalan bagi pembangunan Basilika Lateran.[257] Di bawah pemerintahan Konstantinus, Kekristenan menjadi fokus utama perlindungan resmi kekaisaran.[258]

Nikomedia

Sebelum akhir Februari 303, suatu peristiwa kebakaran menghancurkan sebagian istana imperial. Galerius meyakinkan Diokletianus bahwa para pelakunya adalah komplotan Kristiani yang merencanakannya dengan bantuan orang-orang kasim istana. Suatu penyelidikan atas tindakan tersebut dilakukan, tetapi tidak ditemukan satu pun pihak yang bertanggung jawab. Dan kemudian berlanjut dengan dilakukannya berbagai eksekusi.[259] Orang-orang kasim istana bernama Doroteus dan Gorgonius termasuk yang dieliminasi. Seorang bernama Petrus ditelanjangi, diangkat tinggi-tinggi, dan dicambuki. Garam dan cuka dituangkan pada luka-lukanya, dan ia direbus perlahan di atas api terbuka.[260] Penganiayaan lalu diintensifkan. Para presbiter dan kaum klerus lainnya dapat ditahan tanpa tuduhan melakukan suatu kejahatan, dan mereka menerima hukuman mati.[261] Api kebakaran yang kedua muncul enam belas hari setelah yang pertama. Galerius meninggalkan kota, menyatakannya tidak aman.[262] Diokletianus menyusul tidak lama kemudian.[263] Laktansius menyalahkan sekutu-sekutu Galerius sebagai pihak yang bertanggung jawab menyalakan api; Konstantinus, dalam sebuah memoar kelak, mengaitkan api tersebut dengan "kilat dari langit".[264]

Laktansius, yang masih tinggal di Nikomedia, menyaksikan awal dari "kiamat" dalam masa penganiayaan Diokletianus.[265] Tulisan-tulisan Laktansius selama masa penganiayaan mengekspresikan kegetiran sekaligus sorak kemenangan Kristiani.[266] Eskatologinya menentang secara langsung klaim-klaim Tetrarki akan "pembaruan". Diokletianus menegaskan bahwa ia telah melembagakan suatu era baru ketenteraman dan kedamaian; Laktansius memandangnya sebagai permulaan suatu revolusi kosmis.[267]

Palestina dan Siria

Sebelum edik toleransi Galerius

Tahun Martir
303–305
13
306–310
34
310–311
44
Para martir Palestina yang tercatat
dalam Martir-Martir Palestina.
Menurut Clarke, 657–58.

Palestina merupakan satu-satunya wilayah yang memiliki suatu perluasan sudut pandang setempat terhadap penganiayaan yang terjadi, berupa Martir-Martir Palestina karya Eusebius. Ia adalah penduduk Kaisarea, ibu kota Palestina Romawi, selama masa penganiayaan, kendati ia juga melakukan perjalanan ke Fenisia dan Mesir, serta kemungkinan Arabia juga.[268] Laporan Eusebius tidak sempurna. Laporan itu berfokus pada martir-martir yang adalah teman-teman pribadinya sebelum penganiayaan dimulai, dan menyertakan peristiwa-peristiwa kemartiran yang terjadi di luar Palestina.[269] Ruang lingkup laporannya tidak merata. Sebagai contoh, ia hanya menyajikan generalisasi sederhana pada akhir masa penganiayaan yang berdarah.[270] Eusebius mengakui beberapa kesalahan yang dilakukannya. Pada bagian awal laporannya mengenai penganiayaan umum yang tertulis dalam Sejarah Gereja, Eusebius mengeluhkan ketidaklengkapan reportasenya: "bagaimana mungkin satu orang menghitung banyaknya jumlah martir di setiap provinsi, dan khususnya mereka yang berada di Afrika dan Mauretania, serta di Tebais dan Mesir?"[271]

Karena tidak ada seorang pun dengan status di bawah gubernur memiliki kuasa untuk melaksanakan hukuman mati, kebanyakan umat Kristiani yang keras kepala dikirim ke Kaisarea untuk menanti hukuman mereka.[272] Martir pertama, Prokopius, dikirim ke Kaisarea dari Skitopolis (Beit She'an, Israel), tempat ia pernah menjadi seorang pembaca dan eksorsis. Ia dibawa ke hadapan gubernur pada tanggal 7 Juni 303, diminta untuk mempersembahkan kurban kepada dewa-dewi dan melakukan libasi untuk para kaisar. Prokopius menanggapi dengan mengutip kata-kata Homerus: "banyak ketuhanan bukanlah suatu hal yang baik; biarlah ada satu penguasa, satu raja". Gubernur memenggal orang tersebut saat itu juga.[273]

Peristiwa kemartiran selanjutnya menyusul beberapa bulan setelahnya,[274] mengalami peningkatan pada musim semi berikutnya, ketika Urbanus sebagai gubernur baru memublikasikan edik keempat.[275] Eusebius kemungkinan tidak mencantumkan laporan lengkap semua orang yang dieksekusi akibat edik keempat—sebagai contoh, ia menyinggung secara sepintas orang-orang yang dipenjarakan bersama Tekla dari Gaza, meski ia tidak menyebutkan nama mereka.[276]

 
Maximinus, Kaisar Palestina, Siria, dan Mesir tahun 305–312.

Bagian terbesar laporan Eusebius berkaitan dengan Maximinus.[270] Maximinus mengambil alih jabatan kaisar di Nikomedia pada tanggal 1 Mei 305, dan setelah itu ia segera meninggalkan kota menuju Kaisarea. Dengan bergegas, klaim Laktansius, agar ia dapat menindas dan menekan keuskupan sipil Oriens.[277] Pada awalnya Maximinus hanya memerintah Mesir dan Levant. Ia mengeluarkan edik penganiayaannya sendiri pada musim semi tahun 306, yang memerintahkan pengurbanan umum.[278] Edik tahun 304 sulit untuk ditegakkan, karena pemerintah Imperial tidak memiliki catatan mengenai penghuni kota yang tidak memiliki lahan pertanian.[279] Galerius menyelesaikan masalah tersebut pada tahun 306 dengan melakukan sensus lainnya. Hasil sensus itu mencakup nama semua kepala rumah tangga perkotaan dan jumlah tanggungan mereka (sensus sebelumnya hanya mendaftar orang-orang yang membayar pajak atas tanah seperti para pemilik tanah dan penyewanya).[280] Dengan menggunakan daftar yang dibuat oleh layanan sipil, Maximinus memerintahkan para bentaranya agar memanggil semua pria, wanita, dan anak-anak, ke kuil-kuil. Di sana, setelah para tribunus memanggil setiap orang dengan namanya, orang tersebut harus melakukan pengurbanan.[281]

Pada suatu waktu setelah publikasi edik pertama Maximinus, kemungkinan pada tahun 307, Maximinus mengubah hukuman atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Alih-alih menerima hukuman mati, umat Kristiani akan dimutilasi dan dihukum kerja paksa di berbagai tambang milik pemerintah.[282] Karena tambang-tambang di Mesir mengalami kelebihan pekerja, terutama karena arus masuk tahanan-tahanan Kristiani, para pelanggar dari Mesir semakin banyak yang dikirim ke tambang-tambang tembaga di Phaeno dan Kilikia di Asia Kecil. Di Diokaisarea (Tzippori, Israel), pada musim semi tahun 308, Firmilianus menerima 97 orang pengaku iman Kristiani dari tambang-tambang porfiri di Tebais. Firmilianus memotong tendon di kaki kiri mereka, membutakan mata kanan mereka, dan mengirim mereka ke tambang-tambang di Palestina.[283][notes 19] Pada kesempatan lain, 130 orang lainnya menerima hukuman yang sama. Beberapa orang dikirim ke Phaeno, dan beberapa yang lain ke Kilikia.[286]

Eusebius mengkarakterisasi Urbanus sebagai seseorang yang menikmati beberapa variasi pelaksanaan hukuman. Suatu hari, tidak lama setelah Paskah tahun 307, ia memerintahkan agar seorang gadis bernama Teodosia dari Tirus (Ṣūr, Lebanon) dibuang ke laut karena bercakap-cakap dengan umat Kristiani yang menanti persidangan dan menolak pengurbanan; sementara itu, umat Kristiani yang menjalani persidangan tersebut dikirim ke Phaeno.[287] Pada suatu ketika, tanggal 2 November 307, Urbanus menghukum seorang pria bernama Domninus dengan dibakar hidup-hidup, tiga pemuda dipaksa untuk bertarung sebagai gladiator, dan seorang imam dijadikan mangsa seekor binatang buas. Pada hari yang sama, ia memerintahkan supaya beberapa pemuda dikebiri, mengirim tiga orang gadis ke rumah bordil, dan memenjarakan sejumlah orang lainnya, termasuk Pamfilus dari Kaisarea, seorang imam, akademisi, dan pembela Origenes.[288] Tidak lama setelahnya, dan atas alasan-alasan yang tidak diketahui, Urbanus dicopot dari jabatannya, dipenjarakan, diadili, dan dieksekusi; semua proses itu berlangsung dengan cepat pada hari yang sama.[289] Penggantinya, Firmilianus, adalah seorang prajurit veteran dan salah satu orang kepercayaan Maximinus.[290]

Eusebius mencatat bahwa peristiwa ini menandai permulaan dari penghentian penganiayaan untuk sementara waktu.[291] Walaupun tarikh yang tepat atas penundaan tersebut tidak secara khusus dicatat oleh Eusebius, teks Martir-Martir tidak mencantumkan adanya martir Palestina antara tanggal 25 Juli 308 sampai 13 November 309.[292] Iklim politik mungkin berbenturan dengan kebijakan penganiayaan di sini, karena saat itu merupakan periode konferensi di Karnuntum, yang berhimpun pada bulan November 308. Maximinus mungkin menghabiskan waktu selama beberapa bulan selanjutnya dalam pembicaraan dengan Galerius mengenai perannya dalam pemerintahan imperial, dan tidak ada waktu untuk berurusan dengan orang-orang Kristiani.[293]

Pada musim gugur tahun 309,[294] Maximinus melanjutkan penganiayaan dengan mengeluarkan surat-surat kepada para gubernur provinsi dan prefek praetorianya, otoritas tertinggi setelah kaisar dalam proses pengadilan, menghendaki agar umat Kristiani menyesuaikan diri dengan adat istiadat pagan. Undang-undang barunya itu menuntut pengurbanan umum lainnya, ditambah dengan persembahan umum kurban curahan. Hal ini bahkan lebih sistematis daripada yang pertama, tidak ada pengecualian bagi bayi ataupun pelayan. Logistai (curatores), strategoi, duumviri, dan tabularii, yang menyimpan arsip tersebut, bertugas memastikan agar tidak ada yang menghindarinya.[295] Maximinus memperkenalkan beberapa inovasi dalam proses tersebut, menjadikan dia satu-satunya kaisar penganiaya yang dikenal karena melakukan hal itu.[296] Edik ini mengharuskan makanan yang dijual di pasar tercakup dalam persembahan kurban curahan. Maximinus mengirim pengawal-pengawal untuk berjaga di tempat pemandian dan gerbang kota demi memastikan bahwa semua pengunjung melakukan pengurbanan.[297] Ia menerbitkan salinan-salinan sebuah karya fiksi berjudul Kisah Pilatus untuk memicu kebencian luas terhadap Kristus. Di bawah penyiksaan peradilan, para pelacur dipaksa mengaku terlibat dalam kebejatan moral dengan orang-orang Kristiani. Para uskup dipindahtugaskan untuk bekerja sebagai pekerja di kandang kuda bagi para garda berkuda Imperial ataupun pemelihara unta Imperial.[298]

Maximinus juga mengupayakan kebangkitan agama pagan. Ia mengangkat imam-imam besar bagi setiap provinsi, para pria yang mengenakan jubah putih dan bertugas mengawasi ibadah harian kepada dewa-dewi.[299] Maximinus juga meminta agar pekerjaan restorasi dilakukan dengan giat pada kuil-kuil di dalam domainnya yang mengalami kerusakan.[300]

Pada beberapa bulan berikutnya terjadi penganiayaan-penganiayaan ekstrem yang terburuk.[301] Pada tanggal 13 Desember 309, Firmilianus mengutuk beberapa orang Mesir yang ditangkap di Askalon (Ashkelon, Israel) dalam perjalanan mereka untuk mengunjungi para pengaku iman di Kilikia. Tiga dari mereka dipenggal kepalanya; yang lainnya kehilangan kaki kiri dan mata kanan mereka. Pada tanggal 10 Januari 310, Petrus dan uskup Asklepius dari sekte dualis Kristiani yang disebut Marsionisme, keduanya berasal dari Anania dekat Eleuteropolis, Israel, dibakar hidup-hidup.[302] Pada tanggal 16 Februari, Pamfilus dan enam orang temannya diekskusi. Setelah kejadian itu, empat anggota rumah tangga Pamfilus wafat sebagai martir karena mereka menunjukkan simpati kepada orang-orang yang dikutuk. Martir-martir terakhir sebelum edik toleransi Galerius dieksekusi pada tanggal 5 dan 7 Maret.[303] Gelombang eksekusi kemudian berhenti. Eusebius tidak menjelaskan perihal penghentian mendadak ini, tetapi waktunya bertepatan dengan penggantian Firmilianus dengan Valentinianus, seseorang yang ditunjuk beberapa saat sebelum wafatnya Galerius.[304] Penggantian tersebut hanya tercantum dalam peninggalan-peninggalan epigrafi, misalnya inskripsi batu; Eusebius sama sekali tidak menyebutkan Valentinianus dalam tulisan-tulisannya.[305]

Setelah edik toleransi Galerius

Setelah wafatnya Galerius, Maximinus merebut Asia Kecil.[306] Bahkan setelah edik toleransi Galerius pada tahun 311, Maximinus terus melanjutkan penganiayaan.[307] Namanya tidak tercantum dalam daftar kaisar yang menerbitkan edik toleransi Galerius, kendati mungkin melalui pemaksaan di kemudian hari.[308] Eusebius menyatakan bahwa Maximinus memenuhi ketetapan-ketetapan tersebut dengan enggan.[309] Maximinus mengatakan kepada Sabinus prefek praetorianya untuk menulis kepada para gubernur provinsi, meminta agar mereka dan semua bawahan mereka mengabaikan "surat itu" (edik Galerius).[310] Umat Kristiani harus terbebas dari perundungan atau pengejaran, dan Kekristenan mereka tidak akan semata-mata membuat mereka terkena tuduhan kriminal. Namun, tidak seperti edik Galerius, surat Maximinus tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai pertemuan umat Kristiani, dan ia juga tidak menghimbau agar mereka membangun lebih banyak gereja.[306]

Pada musim gugur tahun 311, Maximinus mengeluarkan perintah-perintah yang melarang umat Kristiani berhimpun di tempat pemakaman.[311] Setelah mengeluarkan perintah-perintah itu, ia didekati oleh utusan-utusan dari berbagai kota di dalam domainnya, menuntut agar ia memulai penganiayaan umum. Laktansius dan Eusebius menyatakan bahwa petisi-petisi tersebut tidak bersifat sukarela, tetapi telah dirancang sebelumnya atas perintah Maximinus.[312] Sebelum akhir tahun 311, Maximinus mengawali penganiayaan terhadap para pemimpin Gereja. Petrus dari Aleksandria dipenggal pada tanggal 26 November 311.[313] Lukianus dari Antiokia dieksekusi di Nikomedia pada tanggal 7 Januari 312.[314] Menurut Eusebius, banyak uskup Mesir yang mengalami nasib serupa.[315] Menurut Laktansius, Maximinus memerintahkan agar para pengaku iman "dicungkil matanya, dipotong tangannya, diamputasi kakinya, dipotong hidung atau telinganya".[316] Antiokia menanyakan Maximinus apakah umat Kristiani dapat dilarang tinggal di kota itu.[317] Sebagai tanggapannya, Maximinus mengeluarkan sebuah reskrip yang berisi anjuran bagi setiap kota untuk mengusir orang-orang Kristiani yang bermukim di dalamnya. Reskrip itu diterbitkan di Sardis pada tanggal 6 April 312, dan di Tirus pada bulan Mei atau Juni.[318] Terdapat tiga salinan reskrip Maximinus yang masih terlestarikan, di Tirus, Arikanda (Aykiriçay, Turki), dan Kolbasa. Ketiganya pada dasarnya identik.[319] Untuk mengatasi komplain dari Likia dan Pamfilia mengenai "pengejaran yang memuakkan terhadap kaum ateis [kaum Kristiani]", Maximinus berjanji kepada para provinsial itu untuk memenuhi apa pun yang mereka inginkan—mungkin suatu pengecualian dari pajak kepala.[320]

Ketika Maximinus mendapat pemberitahuan bahwa Konstantinus telah berhasil dalam kampanye militernya melawan Maxentius, ia mengeluarkan sebuah surat baru yang memulihkan kebebasan yang sebelumnya dimiliki umat Kristiani.[321] Namun, teks surat itu, yang terlestarikan dalam Historia Ecclesiastica karya Eusebius, mengemukakan kalau inisiatif tersebut berasal dari Maximinus saja, dan bukan dari Konstantinus ataupun Lisinius. Surat itu juga merupakan satu-satunya bagian dalam sumber-sumber kuno yang memberikan dasar pemikiran Maximinus atas tindakan-tindakannya, tanpa sikap permusuhan dari Laktansius dan Eusebius. Maximinus menyatakan bahwa ia mendukung legislasi awal Diokletianus dan Galerius, tetapi, setelah menjadi Caesar, akhirnya ia menyadari beban yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan semacam itu terhadap angkatan kerja di dalam negerinya, dan ia mulai menerapkan persuasi tanpa paksaan.[322] Ia melanjutkan dengan menegaskan bahwa ia menolak petisi-petisi dari para pejabat Nikomedia agar orang-orang Kristiani diusir dari kota mereka (suatu peristiwa yang bahkan tidak dicatat oleh Eusebius),[323] dan bahwa ketika ia menerima tuntutan dari para perwakilan kota-kota lain ia hanya mengikuti kebiasaan imperial.[324] Maximinus mengakhiri suratnya dengan merujuk pada surat yang ia tuliskan setelah edik Galerius, meminta agar para bawahannya bersikap lunak. Ia tidak menyebutkan surat-surat awalnya, yang mendorong dilakukannya penganiayaan dengan sungguh-sungguh.[325]

Pada awal musim semi tahun 313, sewaktu Lisinius bergerak maju untuk melawan Maximinus, yang terakhir disebutkan berpaling kembali pada kekejaman dalam berurusan dengan rakyatnya sendiri, khususnya penganut Kristiani.[326] Pada bulan Mei 313,[327] Maximinus mengeluarkan satu edik toleransi lagi, dengan harapan agar Lisinius berhenti maju untuk menghadapinya dan memenangkan dukungan publik. Untuk pertama kalinya, Maximinus mengeluarkan sebuah undang-undang yang menawarkan toleransi komprehensif dan bermaksud untuk menjaminnya secara efektif. Sebagaimana tertulis dalam suratnya terdahulu, Maximinus menunjukkan penyesalannya kendati terlihat berat sebelah.[328] Maximinus membebaskan diri dari semua kegagalan kebijakannya, sebaliknya, ia menimpakan kesalahan kepada para hakim dan aparat penegak setempat.[329] Ia membingkai toleransi universal baru tersebut sebagai suatu cara untuk menghapus segala ambiguitas dan pemerasan. Maximinus lalu menyatakan kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan praktik keagamaan, mendorong umat Kristiani untuk membangun kembali gereja-gereja mereka, dan berjanji untuk mengembalikan properti mereka yang hilang selama masa penganiayaan.[330] Edik tersebut hanya memberikan sedikit dampak: Lisinius mengalahkan Maximinus dalam Pertempuran Adrianopolis pada tanggal 30 April 313;[331] Maximinus yang kehilangan kekuasaannya melakukan bunuh diri di Tarsus pada musim panas tahun 313. Pada tanggal 13 Juni, Lisinius mempublikasikan Edik Milan di Nikomedia.[332]

Mesir

Dalam Martir-Martir Palestina karya Eusebius, Mesir hanya dibahas sepintas. Namun, ketika Eusebius berkomentar tentang daerah tersebut, ia menulis puluhan, dua puluhan, bahkan ratusan orang Kristiani yang dihukum mati dalam waktu satu hari, yang membuat Mesir terlihat seperti daerah yang paling menderita selama masa penganiayaan.[333] Menurut satu laporan yang Barnes menyebutnya "masuk akal, jika tidak dapat diverifikasi", terdapat 660 orang Kristiani yang dibunuh di Aleksandria saja antara tahun 303 dan 311.[334] Di Mesir, Petrus dari Aleksandria meninggalkan kota senama itu pada awal masa penganiayaan, menyebabkan Gereja di sana tidak memiliki pemimpin. Meletius, uskup Likopolis (Asyut), mengambil alih pekerjaan itu di tempatnya. Meletius melakukan penahbisan-penahbisan tanpa izin Petrus, yang menyebabkan beberapa uskup mengeluhkannya pada Petrus. Meletius lalu mengabaikan otoritas Petrus, dan memperluas operasinya ke dalam Aleksandria. Menurut Epifanius dari Salamis, Gereja terpecah menjadi dua bagian: "Gereja Katolik", di bawah kepemimpinan Petrus, serta, setelah Petrus dieksekusi, Aleksander; dan "Gereja Para Martir" di bawah kepemimpinan Meletius.[335] Saat kedua kelompok itu mendapati bahwa mereka sendiri dipenjarakan bersama-sama di Aleksandria selama masa penganiayaan, Petrus dari Aleksandria menggantung sebuah tirai di tengah-tengah sel mereka. Ia lalu mengatakan: "Ada beberapa orang yang dalam jarak pandang saya, biarlah mereka kemari di sisi saya, dan mereka yang dalam jarak pandang Melitius, tinggal dengan Melitius." Dalam keadaan terbagi, kedua belah pihak melanjutkan urusan mereka masing-masing, secara sengaja saling mengabaikan keberadaan satu sama lain.[336] Skisma tersebut terus berkembang selama masa penganiayaan, sekalipun para pemimpinnya dipenjara,[337] dan berlanjut beberapa waktu kemudian setelah wafatnya Petrus maupun Meletius.[335] Pada tahun 325, tercatat ada lima puluh satu keuskupan di Mesir; hanya lima belas yang dikenal sebagai tempat kedudukan dari Gereja skismatik.[338]

Peninggalan

Penganiayaan Diokletianus ini pada dasarnya berakhir dengan kegagalan. Sebagaimana salah seorang sejarawan modern memosisikannya, penganiayaan itu secara umum "terlalu sedikit dan terlalu terlambat".[24] Umat Kristiani tidak pernah disingkirkan secara sistematis di bagian mana pun dalam kekaisaran, dan penghindaran yang mereka lakukan menghalangi penegakkan edik-edik.[339] Beberapa orang memberikan suap agar dapat meraih kebebasan mereka.[340] Seorang Kristiani bernama Kopres secara teknis dapat meloloskan diri: Untuk menghindari keharusan melakukan pengurbanan di dalam pengadilan, ia memberikan surat kuasa kepada saudaranya, dan membuat saudaranya melakukan itu sebagai ganti dirinya.[341] Banyak orang yang melarikan diri. Eusebius, dalam Vita Constantini karyanya, menyatakan bahwa "padang dan hutan kembali menerima para penyembah Allah".[342] Bagi para teolog kontemporer, tindakan tersebut bukan dosa. Laktansius berpandangan bahwa Kristus sendiri menganjurkannya,[343] dan Uskup Petrus dari Aleksandria mengutip Matius 10:23 ("Apabila mereka menganiaya kamu dalam kota yang satu, larilah ke kota yang lain")[344] untuk mendukung taktik itu.[345]

Massa pagan lebih bersimpati pada penderitaan-penderitaan yang dialami umat Kristiani daripada yang mereka alami pada masa lampau.[346] Laktansius, Eusebius, dan Konstantinus, menuliskan kejijikan mereka akan tindakan-tindakan berlebihan para penganiaya—Konstantinus menuliskan kalau para eksekutor mengalami "keletihan, dan jijik pada kekejaman-kekejaman" yang telah mereka lakukan.[347] Ketabahan para martir dalam menghadapi kematian mendapatkan kehormatan iman pada masa itu,[348] bahkan mungkin memenangi beberapa orang yang berpindah keyakinan.[349] Bagaimanapun, bayangan akan kemartiran menopang umat Kristiani yang menghadapi pengadilan dan di dalam penjara, serta memperkuat iman mereka.[350] Dikemas dengan janji akan kehidupan kekal, kemartiran terbukti menarik bagi segmen masyarakat pagan yang sedang berkembang yang, dengan mengutip Dodds, "jatuh cinta dengan kematian".[351] Jika menggunakan ungkapan terkenal Tertulianus, darah para martir adalah benih Gereja.[352]

Pada tahun 324, Konstantinus, yang berpindah keyakinan ke dalam Kekristenan, memerintah seluruh kekaisaran seorang diri. Kekristenan menjadi penerima terbesar kemurahan hati imperial.[353] Para penganiaya dialihfungsikan. Sebagaimana dituliskan sejarawan J. Liebeschuetz: "Hasil akhir dari Penganiayaan Besar menyajikan suatu kesaksian bagi kebenaran Kekristenan yang tidak dapat dimenangi dengan cara lain."[354] Setelah Konstantinus, Kristenisasi Kekaisaran Romawi terus berlanjut. Di bawah pemerintahan Teodosius I (memerintah tahun 378–95), Kekristenan menjadi agama negara.[355] Pada abad ke-5, Kekristenan merupakan keimanan yang mendominasi kekaisaran, dan mengambil peran yang sama yang dimiliki paganisme pada akhir abad ke-3.[356] Bagaimanapun, karena penganiayaan, sejumlah komunitas Kristiani terbagi antara mereka yang mematuhi beberapa otoritas imperial (traditores) dan mereka yang menolaknya. Di Afrika, kalangan Donatis, yang memprotes pemilihan Sesilianus yang diduga traditor menjadi uskup Kartago, tetap menolak otoritas Gereja pusat sampai setelah tahun 411.[357] Kalangan Melitian di Mesir meninggalkan Gereja Mesir yang juga terbagi.[335]

Pada generasi-generasi berikutnya, baik kaum Kristiani maupun pagan akan mengenang kembali Diokletianus sebagai, dalam kata-kata teolog Henry Chadwick, "perwujudan dari keganasan irasional".[358] Bagi kaum Kristiani abad pertengahan, Diokletianus adalah yang paling memuakkan di antara semua kaisar Romawi.[359] Sejak abad ke-4 dan seterusnya, kaum Kristiani akan menggambarkan penganiayaan "Besar" dalam pemerintahan Diokletianus sebagai suatu 'banjir darah'.[360] Liber Pontificalis, sebuah kumpulan biografi para paus, menduga adanya 17.000 martir dalam suatu rentang waktu tiga puluh hari.[361] Pada abad ke-4, kaum Kristiani membuat "kultus para martir" untuk menghormati mereka yang telah gugur.[362] Para hagiograf melukiskan suatu penganiayaan yang jauh lebih ekstensif daripada kenyataan yang telah terjadi,[363] dan kaum Kristiani yang bertanggung jawab atas kultus tersebut tidak terlalu bergantung pada fakta-fakta. Bagi mereka, "zaman heroik" para martir, atau "Era Para Martir", dimulai sejak naik takhtanya Diokletianus pada tahun 284, bukan tahun 303 saat masa penganiayaan sebenarnya bermula; mereka mengarang sejumlah besar cerita martir-martir (memang, kebanyakan cerita martir-martir yang masih terlestarikan adalah pemalsuan), melebih-lebihkan fakta dalam beberapa cerita, dan memperindah laporan sebenarnya dengan detail keajaiban.[362] Dari kisah-kisah para martir yang masih terlestarikan, kisah Agnes, Sebastianus, Felis dan Adauktus, serta Marselinus dan Petrus agak bertalian dengan sejarah.[360] Laporan-laporan menurut tradisi itu pertama kali dipertanyakan pada Abad Pencerahan, ketika Henry Dodwell, Voltaire, dan khususnya Edward Gibbon, mempertanyakan laporan-laporan tradisional para martir Kristiani.[364]

Dalam bab terakhir dari volume pertama Sejarah Kemunduran dan Kejatuhan Kekaisaran Romawi (1776) karyanya, Gibbon mengklaim bahwa kaum Kristiani telah sangat membesar-besarkan skala penganiayaan yang mereka alami:[365]

Setelah Gereja meraih kemenangan atas semua lawan-lawannya, kepentingan serta keangkuhan para tawanan mendorong mereka untuk memperbesar jasa dari penderitaan mereka masing-masing. Suatu kenyamanan jarak waktu dan tempat memberikan suatu cakupan yang luas terhadap perkembangan fiksi tersebut; dan contoh-contoh yang sering yang mungkin berupa dugaan akan martir-martir suci, yang luka-lukanya sembuh seketika, yang kekuatannya dipulihkan, dan yang anggota-anggotanya hilang dikembalikan secara ajaib, adalah sangat nyaman dalam rangka menghilangkan setiap kesulitan, dan mendiamkan setiap keberatan. Legenda-legenda yang paling berlebihan, karena membantu membawa kehormatan bagi Gereja, disambut dengan tepuk tangan oleh orang banyak yang tidak percaya, ditoleransi oleh kekuasaan kaum klerus, dan ditegaskan dengan bukti yang meragukan dalam sejarah gerejawi.[366]

Sepanjang sejarah hidupnya, Gibbon mengisyaratkan bahwa Gereja perdana melemahkan keutamaan-keutamaan tradisional Romawi, dan karenanya mengganggu tatanan masyarakat sipil.[365] Ketika Gibbon berupaya untuk mengurangi jumlah martir dalam Sejarah karyanya, ia dianggap berniat untuk memperlemah Gereja dan menyangkal sejarah suci. Ia ditentang karena sikapnya yang, diduga, tak beragama dalam karya tulisnya.[367] Richard Porson, seorang akademisi klasika kontemporer, mencemooh Gibbon, menuliskan bahwa kemanusiaannya tidak pernah tidur, "kecuali saat kaum wanita diperkosa, ataupun [saat] kaum Kristiani dianiaya".[368]

Namun, beberapa sejarawan di kemudian hari menggunakan lebih jauh penekanan-penekanan Gibbon. Contohnya yang dikemukakan oleh G.E.M. de Ste. Croix, seorang sejarawan Marxis,[369] pada tahun 1954: "Yang disebut sebagai Penganiayaan Besar telah dibesar-besarkan dalam tradisi Kristiani sampai suatu tingkatan yang bahkan tidak sepenuhnya dihargai oleh Gibbon."[370] Pada tahun 1972, sejarawan gerejawi Protestan bernama Hermann Dörries merasa malu untuk mengakui kepada rekan-rekannya bahwa simpatinya ada pada umat Kristiani bukan pada para penganiaya mereka.[371] W.H.C. Frend menebak kalau 3.000–3.500 orang Kristiani dibunuh selama masa penganiayaan.[372] Meskipun jumlah kisah para martir yang dapat diverifikasi telah menurun, dan perkiraan total tingkat korban telah berkurang, beberapa penulis modern tidak begitu skeptis seperti Gibbon sehubungan dengan tingkat keparahan penganiayaan. Sebagaimana penulis Stephen Williams menuliskannya pada tahun 1985, "sekalipun mengizinkan [adanya] suatu batas bagi invensi, apa yang tersisa adalah cukup mengerikan. Tidak seperti Gibbon, kita hidup di suatu zaman yang telah mengalami hal-hal serupa, dan mengetahui betapa tidak sehatnya itu senyum beradab dalam ketidakpercayaan pada laporan-laporan semacam itu. Sesuatu dapat saja, menjadi, sama buruknya seperti imajinasi-imajinasi terburuk kita."[225]

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Para penentang umat Kristiani—yang adalah kaum pagan awal—memandang Allah mereka sebagai seorang penjahat politik, dieksekusi atas perintah seorang gubernur Yudea karena menyatakan diri sebagai "Raja Orang Yahudi", dan menganggap teks suci mereka memuat suatu serangan alegoris terhadap negara Romawi dengan meramalkan kehancurannya dalam waktu dekat (Kitab Wahyu). Alasan-alasan ini kurang efektif seiring dengan berjalannya waktu, karena umat Kristiani nyatanya apolitis.[14]
  2. ^ Clarke berpendapat bahwa bukti lainnya (Siprianus, Epistolae 75.10.1f; Origenes Contra Celsus 3.15) melemahkan gambaran Eusebius mengenai kebijakan Maximinus, dan menegaskan adanya penganiayaan yang relatif ringan.[30]
  3. ^ Meskipun beberapa orang kaum awam mengalami penganiayaan, yang selalu menjadi sasaran utama tindakan resmi yaitu kaum klerus dan umat Kristiani awam yang terkemuka.[34]
  4. ^ Talmud Palestina mencatat bahwa ketika Diokletianus melakukan suatu kunjungan ke wilayah tersebut, ia menetapkan bahwa "pengurbanan harus dilakukan oleh semua orang kecuali orang-orang Yahudi".[57]
  5. ^ Edik tersebut menyatakan bahwa perkawinan antar saudara, yang telah lama menjadi kebiasaan di Timur, adalah ilegal.[61]
  6. ^ Hopkins mengasumsikan tingkat pertumbuhan konstan sebesar 3,35% per tahun. Penelitian Hopkins dikutip dalam Potter, 314. Sejarawan Robin Lane Fox memberikan perkiraan yang lebih kecil mengenai populasi umat Kristiani pada tahun 300—4% atau 5% dari populasi total seluruh kekaisaran—tetapi menyatakan kemungkinan bahwa jumlah umat Kristiani tumbuh sebagai akibat dari kesulitan yang terjadi antara tahun 250 sampai 280.[66]
  7. ^ Clarke berargumen menentang penafsiran kemajuan besar tersebut, baik jumlah ataupun status sosial umat Kristiani, ke dalam data ini.[71]
  8. ^ Namun Clarke memperingatkan bahwa perubahan sikap ini mungkin hanya suatu artefak dari materi sumbernya.[76]
  9. ^ Aurelius Viktor menggambarkan lingkaran di sekitar Diokletianus sebagai suatu imminentium scrutator;[83] Laktansius menggambarkannya sebagai suatu scrutator rerum futurarum.[84]
  10. ^ Terdapat kemungkinan penanggalan setelahnya, namun dilemahkan dengan pernyataan dalam Suda (ditulis pada abad ke-10) bahwa Porfirius hanya "bertahan hidup sampai [pemerintahan] Diokletianus".[87]
  11. ^ Helgeland menempatkan peristiwa tersebut pada tahun 301.[97] Pada tahun 1976 Barnes menarikhkan tahun 302 atau "tak lama sebelum";[98] tetapi pada tahun 1981 ia menarikhkan tahun 299.[99] Wood berpendapat kalau tarikhnya tahun 297, dengan alasan bahwa baik Diokletianus maupun Galerius berada di daerah tersebut pada saat itu, dan karena Sejarah tulisan Eusebius mengaitkan penganiayaan ini dengan kekalahan Galerius oleh Narseh. (Sebab, meski Eusebius menarikhkan tahun 302 atas kekalahan tersebut, kenyataannya peristiwa tersebut terjadi pada tahun 297.)[100]
  12. ^ Davies mempertanyakan identifikasi pada Galerius yang dilakukan Barnes terhadap kaisar tanpa nama yang disebutkan Konstantinus (Oratio ad Coetum Sanctum 22).[108]
  13. ^ Barnes berpendapat bahwa Diokletianus siap untuk mentolerir Kekristenan—bagaimanapun ia tinggal dengan gereja Kristiani di Nikomedia dalam jarak pandangnya, serta istri dan putrinya, seandainya pun bukan penganut Kristiani (menurut Eusebius, Historia Ecclesiastica 8.1.3; Laktansius, De Mortibus Persecutorum 15.1), setidaknya bersimpati pada keimanan tersebut—tetapi semakin lama semakin bersikap intoleran karena pengaruh Galerius.[110] Davies mengambil suatu pandangan yang lebih skeptis dari bukti-bukti yang sama.[111]
  14. ^ Edik ini mungkin bukan benar-benar suatu "edik" dalam pengertian teknis; Eusebius tidak menyebutnya demikian, dan bagian dalam Passio Felicis yang memuat kata edictum ("exiit edictum imperatorum et Caesarum super omnem faciem terrae") mungkin sekadar ditulis untuk menggemakan Lukas 2:1 ("exiit edictum a Caesare Augusto ut profiteretur universus orbis terrae").[132] Naskah ini disebut sebagai suatu programma pada bagian lainnya di dalam kisah sengsara itu.[133] Naskah edik ini sendiri sebenarnya tidak terlestarikan hingga sekarang.[134]
  15. ^ Tampaknya ini mencakup setiap rumah tempat ditemukannya kitab suci.[138]
  16. ^ Gaddis menuliskan bahwa kutipan ini mungkin suatu cercaan terhadap garis keturunan trans-Danubian yang dimiliki Galerius.[151]
  17. ^ Dokumen tersebut sebenarnya bukan sebuah edik, tetapi surat.[197] Keduanya dapat dibedakan melalui pencantuman nama penerima tertentu dalam sebuah surat, yang tidak terdapat dalam sebuah edik.[198] Versi dari dokumen tersebut yang disimpan oleh Laktansius (De Mortibus Persecutorum 48.2–12) merupakan sebuah surat yang ditujukan kepada gubernur Bitinia, dan mungkin dipublikasikan di Nikomedia setelah Lisinius merebut kota itu dari Maximinus.[199] Versi Eusebius (Historia Ecclesiastica 10.5.2–14) kemungkinan adalah sebuah salinan yang dikirim kepada gubernur Palestina dan dipublikasikan di Kaisarea.[200]
  18. ^ Angka-angka ini hanya memperhitungkan jumlah peristiwa kemartiran, bukan jumlah individu yang wafat sebagai martir.[207] Davies mendapatkan angka-angka tersebut dari kisah-kisah para martir yang dihimpun oleh kalangan Bollandis.
  19. ^ S. Lieberman menempatkan peristiwa tersebut di Lida (Lod, Israel).[284] Barnes menentang identifikasi ini, dengan alasan bahwa karena Eusebius secara khusus mengidentifikasi kota tersebut sebagai hunian Yahudi sepenuhnya, maka tidak mungkin Lida, yang pernah memiliki seorang uskup Kristiani pada tahun 325. Bagaimanapun, Diokaisarea dikenal akan Keyahudiannya beberapa lama kemudian.[285]

Kutipan

  1. ^ Gaddis, 29.
  2. ^ Catholic Encyclopedia
  3. ^ W. H. C. Frend (1984). The Rise of Christianity. Fortress Press, Philadelphia. hlm. 319. ISBN 978-0800619312. 
  4. ^ Charles Piétri, entry on "Persecutions," in The Papacy: An Encyclopedia, edited by Philippe Levillain (Routlege, 2002, originally published in French 1994), vol. 2, p. 1156.
  5. ^ a b Frend, "Genesis and Legacy", 503.
  6. ^ a b Frend, "Genesis and Legacy", 511; de Ste-Croix, "Persecuted?", 15–16.
  7. ^ Dodds, 111.
  8. ^ MacMullen, 35.
  9. ^ Dodds, 110.
  10. ^ Schott, Making of Religion, 2, citing Eusebius, Praeparatio Evangelica 1.2.1.
  11. ^ Schott, Making of Religion, 1.
  12. ^ Dodds, 115–16, citing Justin, Apologia 2.2; Tertullian, Apologia 3.
  13. ^ Castelli, 38; Gaddis, 30–31.
  14. ^ de Ste-Croix, "Persecuted?", 16–17.
  15. ^ Tacitus, Annales 15.44.6, cited in Frend, "Genesis and Legacy", 504; Dodds, 110.
  16. ^ Frend, "Genesis and Legacy", 504, citing Suetonius, Nero 16.2.
  17. ^ Dodds, 111–12, 112 n.1; de Ste-Croix, "Persecuted?", 20.
  18. ^ Clarke, 616; Frend, "Genesis and Legacy", 510. See also: Barnes, "Legislation"; de Sainte-Croix, "Persecuted?"; Musurillo, lviii–lxii; and Sherwin-White, "Early Persecutions."
  19. ^ Drake, Bishops, 87–93; Edwards, 579; Frend, "Genesis and Legacy", 506–8, citing Pliny, Epistaules 10.96.
  20. ^ Martyrium Polycarpi (= Musurillo, 2–21) and Eusebius, Historia Ecclesiastica 4.15; Frend, 509 (Smyrna); Martyrium Scillitanarum acta (= Musurillo, 86–89), cited in Frend, 510 (Scilli).
  21. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 5.1 (= Musurillo, 62–85); Edwards, 587; Frend, 508.
  22. ^ G. W. Clarke, "The origins and spread of Christianity," in Cambridge Ancient History, vol. 10, The Augustan Empire, ed. Alan K. Bowman, Edward Champlin, and Andrew Linott (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 869–70.
  23. ^ Clarke, 616; Frend, "Genesis and Legacy", 510; de Ste-Croix, "Persecuted?", 7.
  24. ^ a b Robin Lane Fox, The Classical World: An Epic History of Greece and Rome (Toronto: Penguin, 2006), 576.
  25. ^ Castelli, 38.
  26. ^ Drake, Bishops, 113–14; Frend, "Genesis and Legacy", 511.
  27. ^ Origen, Contra Celsum 3.9, qtd. and tr. in Frend, "Genesis and Legacy", 512.
  28. ^ Scriptores Historiae Augustae, Septimius Severus, 17.1; Frend, "Genesis and Legacy", 511. Timothy Barnes, at Tertullian: A Historical and Literary Study (Oxford: Clarendon Press, 1971), 151, calls this supposed rescript an "invention" of the author, reflecting his own religious prejudices instead of imperial policy under the Severans.
  29. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 6.28, cited in Frend, "Genesis and Legacy", 513.
  30. ^ Clarke, 621–25.
  31. ^ Clarke, 625–27; Frend, "Genesis and Legacy", 513; Rives, 135.
  32. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 6.39.4; Clarke, 632, 634; Frend, "Genesis and Legacy", 514.
  33. ^ E. Leigh Gibson, "Jewish Antagonism or Christian Polemic: The Case of the Martyrdom of Pionius," Journal of Early Christian Studies 9:3 (2001): 339–58.
  34. ^ Dodds, 108, 108 n.2.
  35. ^ Joseph Wilson Trigg, Origen (New York: Routledge, 1998), 61.
  36. ^ Clarke, 635; Frend, "Genesis and Legacy", 514.
  37. ^ Frend, "Genesis and Legacy", 514, citing Cyprian, De lapsis 8.
  38. ^ Frend, "Genesis and Legacy", 514, citing Martyrium Pionii 15 (= Musurillo, 156–57).
  39. ^ Frend, "Genesis and Legacy", 514.
  40. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 7.10.3, qtd. and tr. in Frend, "Genesis and Legacy", 515.
  41. ^ Frend, "Genesis and Legacy", 516.
  42. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 7.15; Digeser, Christian Empire, 52; Frend, "Genesis and Legacy", 517.
  43. ^ Frend, "Genesis and Legacy", 517.
  44. ^ Williams, 161.
  45. ^ a b Williams, 161–62.
  46. ^ Panegyrici Latini 11(3)6, qtd. and tr. Williams, 162.
  47. ^ Frend, "Prelude", 3.
  48. ^ Bowman, "Diocletian", 70–71; Corcoran, "Before Constantine", 40; Liebeschuetz, 235–52, 240–43; Odahl, 43–44; Williams, 58–59.
  49. ^ Curran, 47; Williams, 58–59.
  50. ^ a b Frend, "Prelude", 4.
  51. ^ Curran, 47.
  52. ^ Potter, 296, citing Inscriptiones Latinae Selectae 617, 641, 618; Frend, "Prelude", 3; Lane Fox, 593. See also Millar, 182, on Tetrarchic triumphalism in the Near East.
  53. ^ Potter, 336.
  54. ^ Potter, 333.
  55. ^ a b Curran, 48.
  56. ^ Clarke, 627.
  57. ^ Palestinian Talmud, Aboda Zara 5.4, qtd. and tr. in Curran, 48. See also: Dodd, 111.
  58. ^ Lane Fox, 430.
  59. ^ Martin Goodman, Rome and Jerusalem (New York: Allen Lane, 2007), 499–505.
  60. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 19, 295 n.50; New Empire, 62 n.76.
  61. ^ a b Barnes, Constantine and Eusebius, 295 n.50.
  62. ^ Mosiacarum et Romanarum Legum Collatio 6.4, qtd. and tr. in Clarke, 649; Barnes, Constantine and Eusebius, 19–20.
  63. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 20. See also: Lane Fox, 594.
  64. ^ Davies, 93.
  65. ^ Hopkins, 191.
  66. ^ Lane Fox, 590–92. See also: Rodney Stark, The Rise of Christianity: A Sociologist Reconsiders History (Princeton: Princeton University Press, 1996).
  67. ^ a b Frend, "Prelude", 2.
  68. ^ Keresztes, 379; Lane Fox, 587; Potter, 314.
  69. ^ Keresztes, 379; Potter, 314.
  70. ^ Keresztes, 379.
  71. ^ Clarke, 615.
  72. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 21.
  73. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 8.6.2–4, 8.9.7, 8.11.2, cited in Keresztes, 379; Potter, 337, 661 n.16.
  74. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 15.2, cited in Keresztes, 379; Potter, 337, 661 n.16.
  75. ^ a b Barnes, Constantine and Eusebius, 21; Clarke, 621–22.
  76. ^ Clarke, 621–22.
  77. ^ de Ste-Croix, "Persecuted?", 21.
  78. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 21–22.
  79. ^ Dodds, 109.
  80. ^ Lactantius, Divinae Institutiones 5.2.12–13; Digeser, Christian Empire, 5.
  81. ^ Lactantius, Divinae Institutiones 5.2.3; Frend, "Prelude", 13.
  82. ^ Lactantius, Divinae Institutiones 5.2.3ff; Barnes, Constantine and Eusebius, 22.
  83. ^ Aurelius Victor, Caes. 39.48, cited in Keresztes, 381.
  84. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 10.1, cited in Keresztes, 381.
  85. ^ Augustine, De Citivae Dei 10.29, qtd. and tr. in Frend, "Prelude", 9.
  86. ^ Frend, "Prelude", 10.
  87. ^ Suda, π,2098, qtd. and tr. Frend, "Prelude", 10 n.64. See also: Barnes, "Porphyry's Against the Christians"; Croke; and Digeser, "Religious Toleration".
  88. ^ Frend, "Prelude", 10–11.
  89. ^ Porphyry frg. 58; Frend, "Prelude", 12.
  90. ^ Porphyry frg. 49; Frend, "Prelude", 12.
  91. ^ Porphyry frg. 60, 63; Frend, "Prelude", 12.
  92. ^ Porphyry frg. 1, tr. Digeser, Christian Empire, 6; Frend, "Prelude", 13 n.89.
  93. ^ a b Davies, 92.
  94. ^ Arnobius, Adversus Nationes, 1.24, qtd. in Davies, 79–80, from a translation by Bryce and Campbell.
  95. ^ Walter, 111
  96. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 10.1–5; Barnes, "Sossianus Hierocles", 245; Barnes, Constantine and Eusebius, 18–19; Davies, 78–79; Helgeland, 159; Liebeschuetz, 246–8; Odahl, 65.
  97. ^ Helgeland, 159.
  98. ^ Barnes, "Sossianus Hierocles", 245.
  99. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 18–19.
  100. ^ Woods, "Two Notes", 128–31.
  101. ^ Keresztes, 380.
  102. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 8.4.2–3; Barnes, "Sossianus Hierocles", 246; Helgeland, 159.
  103. ^ a b Davies, 89–92.
  104. ^ Woods, "'Veturius'", 588.
  105. ^ Woods, "'Veturius'", 589.
  106. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 10.6, 31.1 and Eusebius, Historia Ecclesiastica 8, app. 1, 3; Barnes, Constantine and Eusebius, 19, 294; Keresztes, 381.
  107. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 19, 294.
  108. ^ Davies, 82–83.
  109. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 20; Corcoran, "Before Constantine", 51; Odahl, 54–56, 62.
  110. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 19–21.
  111. ^ Davies, 66–94.
  112. ^ Jones, 71; Liebeschuetz, 235–52, 246–48. Contra: Davies, 66–94.
  113. ^ Odahl, 65.
  114. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 9.9–10; Odahl, 303 n.24.
  115. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 11.1–2; Odahl, 66.
  116. ^ a b Barnes, Constantine and Eusebius, 19.
  117. ^ Corcoran, Empire, 261; Keresztes, 381.
  118. ^ a b Barnes, Constantine and Eusebius, 20; Clarke, 648, citing Inscriptiones Latinae Selectae 660 and Mosiacarum et Romanarum Legum Collatio 25.36–8.
  119. ^ H.M. Gwatkin, "Notes on Some Chronological Questions Connected with the Persecution of Diocletian," English Historical Review 13:51 (1898): 499.
  120. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 20.
  121. ^ a b Mosiacarum et Romanarum Legum Collatio 15.3.3f, qtd. and tr. in Clarke, 648.
  122. ^ Clarke, 647–48.
  123. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 20–21.
  124. ^ Lane Fox, 595.
  125. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 10.6–11; Barnes, Constantine and Eusebius, 21; Odahl, 67.
  126. ^ Schott, "Porphyry on Christians", 278; Beatrice, 1–47; Digeser, Christian Empire, passim.
  127. ^ Eusebius, Vita Constantini 2.50. Davies (80 n.75) believes that this should be re-written as "the profane on earth".
  128. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 21; Elliott, 35–36; Keresztes, 381; Lane Fox, 595; Liebeschuetz, 235–52, 246–48; Odahl, 67; Potter, 338.
  129. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 22; Clarke, 650; Odahl, 67–69; Potter, 337.
  130. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum, 12.1; Barnes, Constantine and Eusebius, 21; Gaddis, 29; Keresztes, 381.
  131. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 22; Clarke, 650; Potter, 337; de Ste Croix, "Aspects", 75; Williams, 176.
  132. ^ The Old Latin pre-Vulgate version is given here, from Corcoran, Empire, 179–80.
  133. ^ Corcoran, Empire, 180.
  134. ^ Corcoran, Empire, 179.
  135. ^ a b c d Curran, 49.
  136. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 9.10.8; Barnes, Constantine and Eusebius, 22; De Ste Croix, "Aspects", 75; Liebeschuetz, 249–50.
  137. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 8.2.4; De Martyribus Palestinae praef. 1; and Optatus, Appendix 2; Barnes, Constantine and Eusebius, 22; Clarke, 650; Liebeschuetz, 249–50; Potter, 337; de Ste Croix, "Aspects", 75.
  138. ^ de Ste Croix, "Aspects", 75.
  139. ^ de Ste Croix, "Christian Persecution", 47.
  140. ^ Greenslade, 476–477.
  141. ^ Ferguson, Everett (2014). The Early Church at Work and Worship. 1. Casemate Publishers. hlm. 276. ISBN 0-227-90374-9. 
  142. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 23; Klingshirn, 169.
  143. ^ a b Clarke, 650–51; Potter, 337; de Ste Croix, "Aspects", 75–76.
  144. ^ Clarke, 650; de Ste Croix, "Aspects", 75–76.
  145. ^ Clarke, 650–51; Potter, 337.
  146. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 11.8, qtd. in Clarke, 651; Keresztes, 381.
  147. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 11.8, cited in Keresztes, 381.
  148. ^ a b c d Clarke, 651.
  149. ^ Keresztes, 381.
  150. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 13.2 and Eusebius, Historia Ecclesiastica 8.5.1; Barnes, Constantine and Eusebius, 22; Corcoran, Empire, 179; Williams, 176. The quotation is from Lactantius, and the translation by Williams.
  151. ^ Gaddis, 30 n.4.
  152. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 8.2.4; De Martyribus Palestinae praef.; and Acta Felicis (= Musurillo, 266–71); Corcoran, Empire, 180; Clarke, 651; Keresztes, 382; Potter, 337.
  153. ^ Eusebius, De Martyribus Palestinae 1.1–2, cited in Corcoran, Empire, 180.
  154. ^ Optatus, Appendix 1; Corcoran, Empire, 180.
  155. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 23; Corcoran, Empire, 181–82.
  156. ^ de Ste Croix, "Christian Persecution", 55.
  157. ^ Corcoran, Empire, 181.
  158. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 8.2.5; 8.6.8–9 and De Martyribus Palestinae praef. 2; Barnes, Constantine and Eusebius, 24; Corcoran, Empire, 181; de Ste Croix, "Aspects", 76.
  159. ^ Rees, 63.
  160. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 8.6.8–9; Barnes, Constantine and Eusebius, 24; de Ste Croix, "Aspects", 76.
  161. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 8.6.10; Barnes, Constantine and Eusebius, 24; Corcoran, Empire, 181–82; de Ste Croix, "Aspects", 76–77.
  162. ^ Rees, 64.
  163. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 24, citing Eusebius, De Martyribus Palestinae (S), praef. 2; (S) 1.3–4; (L) 1.5b; and Historia Ecclesiastica 8.2.5, 6.10; Corcoran, Empire, 181–82; de Ste Croix, "Aspects", 76–77; Keresztes, 383.
  164. ^ Eusebius, De Martyribus Palestinae 3.1; Barnes, Constantine and Eusebius, 24; Liebeschuetz, 249–50; de Ste Croix, "Aspects", 77.
  165. ^ Baynes, "Two Notes", 189; de Ste Croix, "Aspects", 77.
  166. ^ de Ste Croix, "Aspects", 77.
  167. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 24, citing Martyrion ton hagion Agapes, Eirenes kai Chiones.
  168. ^ Eusebius, De Martyribus Palestinae 3.1; Barnes, Constantine and Eusebius, 24.
  169. ^ Liebeschuetz, 250–51.
  170. ^ a b Barnes, Constantine and Eusebius, 26–27; Odahl, 72–74; Southern, 152–53.
  171. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 18; Barnes, Constantine and Eusebius, 25–26; Odahl, 71.
  172. ^ Keresztes, 384.
  173. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 8.3.1, qtd. in Clarke, 655.
  174. ^ Clarke, 655.
  175. ^ Eusebius De Martyribus Palestinae 4.8, 9.2; Keresztes, 384.
  176. ^ Clarke, 655, citing Eusebius, Historia Ecclesiastica 8.14.9ff.
  177. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 24.9 and Divinae Institutiones 1.1.13; Barnes, Constantine and Eusebius, 28.
  178. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 28.
  179. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 30, 38.
  180. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 30–31.
  181. ^ Clarke, 656; Corcoran, Empire, 186.
  182. ^ Clarke, 656.
  183. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 33.11–35 and Eusebius, Historia Ecclesiastica 8.17.1–11; Corcoran, Empire, 186.
  184. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 9.1.1; Corcoran, Empire, 186, 186 n.68.
  185. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 34.1–5, qtd. and tr. in Potter, 355–56. See Clarke, 656–57, for a translation from J.L. Creed.
  186. ^ Potter, 356.
  187. ^ Clarke, 657.
  188. ^ a b Knipfing, 705, cited in Keresztes, 390.
  189. ^ Knipfing, 705; K. Bihlmeyer, "Das Toleranzedikt des Galerius von 311", Theol. Quartalschr. 94 (1912) 412; and J. Vogt, "Christenverflolgung", RAC 1199, cited in Keresztes, 390.
  190. ^ Keresztes, 390.
  191. ^ Louis-Sébastien Le Nain de Tillemont, Mémoires pour servir à l'histoire ecclésiastique des six premiers siècles (Paris, 1693), 5.44, qtd. and tr. in Keresztes, 390.
  192. ^ a b Barnes, Constantine and Eusebius, 39.
  193. ^ Clarke, 657; Potter, 356.
  194. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 9.2.1; Clarke, 659.
  195. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 149.
  196. ^ a b Lactantius, De Mortibus Persecutorum 45.1, 48.2, qtd. and tr. in Clarke, 662–63.
  197. ^ Corcoran, Empire, 158–59.
  198. ^ Corcoran, Empire, 2.
  199. ^ Corcoran, Empire, 158–59.
  200. ^ Corcoran, Empire, 158–59.
  201. ^ Davies, 68 n.6.
  202. ^ Davies, 68 n.7.
  203. ^ Davies, 69 n.8.
  204. ^ Davies, 69 n.9.
  205. ^ Davies, 69 n.10.
  206. ^ Davies, 69 n.11.
  207. ^ a b Davies, 68.
  208. ^ Clarke, 651; Keresztes, 384–85.
  209. ^ Corcoran, "Before Constantine", 45–46; Williams, 67.
  210. ^ Lane Fox, 596; Williams, 180.
  211. ^ Davies, 68–69.
  212. ^ Corcoran, Empire, 261 n.58.
  213. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 15.7; Clarke, 651.
  214. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 8.13.13; Vita Constantini 1.13; and De Martyribus Palestinae 13.12; Clarke, 651, 651 n.149.
  215. ^ Optatus, 1.22; Clarke, 651 n.149.
  216. ^ Corcoran, Empire, 180, citing Charles Thomas, Christianity in Roman Britain to AD 500 (London: Batsford, 1981), 48–50.
  217. ^ Corcoran, Empire, 181–82.
  218. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 24.9; Barnes, Constantine and Eusebius, 28; Clarke, 652.
  219. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 23; Clarke, 651.
  220. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 23.
  221. ^ Williams, 177.
  222. ^ Frend, "Genesis and Legacy", 510.
  223. ^ Martyrium Perpetuae et Felicitatis 13.1 (= Musurillo, 106–31), cited in Tilley, "North Africa", 391.
  224. ^ Edwards, 585; Tilley, "North Africa", 387, 395; Williams, 179.
  225. ^ a b Williams, 179.
  226. ^ Acta Maximiliani (= Musurillo, 244–49); Tilley, The Bible, 45–46.
  227. ^ Acta Marcelli (= Musurillo, 250–59); Tilley, The Bible, 46.
  228. ^ Optatus, Appendix 1; Barnes, Constantine and Eusebius, 23.
  229. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 23.
  230. ^ Tilley, Martyr Stories, 25–49; Clarke, 652 n.153.
  231. ^ Clarke, 652 n.153.
  232. ^ Clarke, 652 n.153.
  233. ^ Acts of the Abitinian Martyrs 20 (= Tilley, Martyr Stories, 44–46); Tilley, Martyr Stories, xi; The Bible, 9, 57–66.
  234. ^ Tilley, The Bible, 10.
  235. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 56.
  236. ^ Tilley, Martyr Stories, xi.
  237. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 38; Curran, 49.
  238. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 38, 303 n.100; Curran, 49.
  239. ^ 'Barnes, Constantine and Eusebius, 38, 303 n.103.
  240. ^ a b c Barnes, Constantine and Eusebius, 38, 304 n.106.
  241. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 38, 303–4 n.105.
  242. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 23.5; Barnes, Constantine and Eusebius, 29.
  243. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 30.
  244. ^ Optatus, 1.18; Barnes, Constantine and Eusebius, 38.
  245. ^ Optatus, Appendix 1; Barnes, Constantine and Eusebius, 38.
  246. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 38.
  247. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 38, 304 n.107.
  248. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 38.
  249. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 38–39.
  250. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 10.5.15–17; Barnes, Constantine and Eusebius, 39.
  251. ^ Clarke, 651, 651 n.151.
  252. ^ Eusebius, De Martyribus Palestinae 13.12, qtd. in Clarke, 652.
  253. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 40–41; Odahl, 96–101
  254. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 42–44; Odahl, 111. Cf. also Curran, 72–75.
  255. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 48. Cf. contra: MacMullen, 45.
  256. ^ Eusebius, Vita Constantini 1.42.1; Barnes, Constantine and Eusebius, 48.
  257. ^ Curran, 93–96, citing Krautheimer, Corpus Basilicarum Christianarum Romanorum, 5.90.
  258. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 48–49.
  259. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 24.
  260. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 24; Lane Fox, 596; Williams, 178. See also: Keresztes, 382.
  261. ^ Williams, 178.
  262. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 24; Southern, 168; Williams, 177.
  263. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 24.
  264. ^ Odahl, 68.
  265. ^ Lactantius, Divinae Institutiones 7; Williams, 178.
  266. ^ Trompf, 120.
  267. ^ Williams, 181.
  268. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 148–50.
  269. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 154–55.
  270. ^ a b Keresztes, 389.
  271. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 8.6.10, qtd. and tr. in Keresztes, 389.
  272. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 150.
  273. ^ Eusebius, De Martyribus Palestinae (L) 1.1ff; Barnes, Constantine and Eusebius, 150–51.
  274. ^ Eusebius, De Martyribus Palestinae (L) 1.5; Barnes, Constantine and Eusebius, 151.
  275. ^ Eusebius, De Martyribus Palestinae 3.1; Barnes, Constantine and Eusebius, 151, 356 n.27.
  276. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 151.
  277. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 19.1; Barnes, Constantine and Eusebius, 151.
  278. ^ Eusebius, De Martyribus Palestinae 4.8; Keresztes, 384.
  279. ^ de Ste Croix, "Aspects", 97, 113; Barnes, Constantine and Eusebius, 153.
  280. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 23.1ff; Barnes, Constantine and Eusebius, 151–52.
  281. ^ Eusebius, De Martyribus Palestinae 4.8; Barnes, Constantine and Eusebius, 152; Keresztes, 384; Mitchell, 112.
  282. ^ Eusebius, De Martyribus Palestinae 7.1–4; Keresztes, 388. On Christian condemnation to the mines in general, see J.G. Davies, "Condemnation to the Mines: A Neglected Chapter in the History of the Persecutions," University of Birmingham Historical Journal 6 (1958), 99–107. The same punishment was later used on Christian heretics, on which see Mark Gustafson, "Condemnation to the Mines in the Later Roman Empire," Harvard Theological Review 87:4 (1994), 421–33.
  283. ^ Eusebius, De Martyribus Palestinae 8.1–4; Barnes, Constantine and Eusebius, 153; Keresztes, 388.
  284. ^ Annuaire de l'Institut de Philologie et d'Histoire Orientales et Slaves 7 (1939–44), 410ff.
  285. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 357 n.39.
  286. ^ Eusebius, De Martyribus Palestinae 8.13; Barnes, Constantine and Eusebius, 153; Keresztes, 388.
  287. ^ Eusebius, De Martyribus Palestinae 7.1f, cited in Barnes, Constantine and Eusebius, 152.
  288. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 8.13.5; De Martyribus Palestinae 7.3ff; 13; Barnes, Constantine and Eusebius, 152–53; Keresztes, 388.
  289. ^ Eusebius, De Martyribus Palestinae 7.7; Barnes, Constantine and Eusebius, 153.
  290. ^ Eusebius, De Martyribus Palestinae (L) 8.1; (S) 11.31; Barnes, Constantine and Eusebius, 153.
  291. ^ Eusebius, De Martyribus Palestinae 9.1, cited in Barnes, Constantine and Eusebius, 153.
  292. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 153, 357 n.42.
  293. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 153.
  294. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 153.
  295. ^ Eusebius, De Martyribus Palestinae 9.2; Barnes, Constantine and Eusebius, 153; Keresztes, 384; Mitchell, 112.
  296. ^ Lane Fox, 596.
  297. ^ Eusebius, De Martyribus Palestinae 9.2; Barnes, Constantine and Eusebius, 153; Keresztes, 384; Lane Fox, 596; Mitchell, 112.
  298. ^ Lane Fox, 596. On the Acts of Pilate, see also: Johannes Quasten, Patrology, volume I: The Beginnings of Patristic Literature (Westminster, MD: Newman, 1950), 116.
  299. ^ Lane Fox, 596–97.
  300. ^ Mitchell, 112.
  301. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 154.
  302. ^ Eusebius, De Martyribus Palestinae 10.1ff, cited in Barnes, Constantine and Eusebius, 154.
  303. ^ Eusebius, De Martyribus Palestinae 11.1ff; Barnes, Constantine and Eusebius, 154.
  304. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 154, 357 n.49.
  305. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 357 n.49.
  306. ^ a b Mitchell, 113.
  307. ^ Clarke, 660; Mitchell, 113.
  308. ^ Barnes, New Empire, 22–23; Michell, 113 n.21.
  309. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 9.1.1; Mitchell, 113.
  310. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 9.1.2, 9.1.3–6; Mitchell, 113.
  311. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 9.2.1; Clarke, 660; Mitchell, 114.
  312. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 9.2 and Lactantius, De Mortibus Persecutorum 36.3; Mitchell, 114.
  313. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 9.6.2; Clarke, 660.
  314. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 9.6.3; Clarke, 660.
  315. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 9.6.2; Clarke, 660.
  316. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 36.7, qtd. and tr. in Clarke, 660.
  317. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 9.7.3–14, cited in Mitchell, 114.
  318. ^ Mitchell, 114.
  319. ^ Mitchell, 117.
  320. ^ Lane Fox, 598.
  321. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 9.9a.4–9; Mitchell, 114.
  322. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 9.9a.2–3; Mitchell, 114.
  323. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 9.9a.4; Mitchell, 114.
  324. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 9.9a.5–6; Mitchell, 114.
  325. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 9.9a.7–9; Mitchell, 114–15.
  326. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 9.10.1–2 and Lactantius, De Mortibus Persecutorum 37.3–42; Mitchell, 115.
  327. ^ Barnes, New Empire, 68; Mitchell, 115.
  328. ^ Mitchell, 115.
  329. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 9.10.8–9; Mitchell, 115.
  330. ^ Eusebius, Historia Ecclesiastica 9.10.10–11; Mitchell, 115.
  331. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum 46.8–9; Mitchell, 115.
  332. ^ Mitchell, 116.
  333. ^ Keresztes, 389. On the Egyptian response to the persecutions, see also: Annemarie Luijendijk, "Papyri from the Great Persecution: Roman and Christian Perspectives," Journal of Early Christian Studies 16:3 (2008): 341–369.
  334. ^ Timothy Barnes, Athanasius and Constantius: Theology and Politics in the Constantinian Empire (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 10.
  335. ^ a b c Leadbetter, 259.
  336. ^ Epiphanius, Panarion 68.3.3, qtd. and tr. in MacMullen, 92–93.
  337. ^ MacMullen, 160 n.17.
  338. ^ Lane Fox, 590.
  339. ^ Clarke, 651; Lane Fox, 597–98.
  340. ^ Lane Fox, 597–98.
  341. ^ Oxyrhynchus Papyri 2601, tr. J.R. Rhea, quoted in Barnes, "Constantine and the Bishops", 382; Lane Fox, 598.
  342. ^ Eusebius, Vita Constantini 11.2, qtd. and tr. Nicholson, 50.
  343. ^ Lactantius, Divinae Institutiones 4.18.1–2, qtd. and tr. Nicholson, 49.
  344. ^ qtd. in Nicholson, 51.
  345. ^ Nicholson, 50–51.
  346. ^ Drake, 149–53; Lane Fox, 598–601.
  347. ^ Constantine, Oratio ad Sanctum Coetum 22, qtd. and tr. in Drake, 150.
  348. ^ Drake, 98–103.
  349. ^ Lane Fox, 441; MacMullen, 29–30
  350. ^ Lane Fox, 441.
  351. ^ Dodds, 135.
  352. ^ Tertullian, Apologeticus 50; Dodds, 133; MacMullen, 29–30.
  353. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 48–49, 208–13.
  354. ^ Liebeschuetz, 252.
  355. ^ Iole Fargnoli, "Many Faiths and One Emperor: Remarks about the Religious Legislation of Theodosius the Great," Revue Internationale des Droits de l'Antiquité 53 (2006): 146.
  356. ^ Warren Treadgold, A History of the Byzantine State and Society (Stanford: Stanford University Press, 1997), 122. See also: MacMullen, vii, and passim.
  357. ^ Barnes, Constantine and Eusebius, 56; Tilley, Martyr Stories, xi.
  358. ^ Chadwick, 179.
  359. ^ Richard Gerberding, "The later Roman Empire," in The New Cambridge Medieval History, vol. 1, c.500–c.700, ed. Paul Fouracre (New York: Cambridge University Press, 2005), 21.
  360. ^ a b Curran, 50.
  361. ^ Liber Pontificalis 1.162; Curran, 50.
  362. ^ a b Barnes, New Empire, 177–80; Curran, 50.
  363. ^ de Ste Croix, "Aspects", 103–4.
  364. ^ David Womersley, The Transformation of The Decline and Fall of the Roman Empire, (New York: Cambridge University Press, 1988), 128, 128 n.109.
  365. ^ a b Womersley, Transformation, 128.
  366. ^ Gibbon, Decline and Fall, ed. David Womersley (London: Allen Lane, 1994), 1:578.
  367. ^ J. G. A. Pocock, Barbarism and Religion, vol. 5, Religion: The First Triumph (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), ix–xi, 34; Patricia B. Craddock, Edward Gibbon: Luminous Historian, 1772–1794 (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1989), 60–61, 122.
  368. ^ Porson, Letters to Mr. Archdeacon Travis (1790), xxviii, qtd. in Womersley, Gibbon and the 'Watchmen of the Holy City': The Historian and his Reputation 1776–1815 (New York: Oxford University Press, 2002), 184–85 n.39.
  369. ^ Weekly Worker obituary, retrieved Sept. 26, 2010
  370. ^ de Ste. Croix, "Aspects", 104.
  371. ^ Hermann Dörries, Constantine the Great, trans. R.H. Bainton (New York: Harper & Row, 1972), 13 n. 11.
  372. ^ Frend, Martyrdom and Persecution, 393–94; Liebeschuetz, 251–52.

Referensi

Sumber kuno

  • Arnobius. Adversus Nationes (Against the Heathen) ca. 295–300.
    • Bryce, Hamilton, and Hugh Campbell, trans. Against the Heathen. From Ante-Nicene Fathers, Vol. 6. Edited by Alexander Roberts, James Donaldson, and A. Cleveland Coxe. Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co., 1886. Revised and edited for New Advent by Kevin Knight. Accessed June 9, 2009.
  • Dessau, Hermann. Inscriptiones Latinae Selectae (Berlin: Weidmann, 1892–1916)
  • Eusebius of Caesarea. Historia Ecclesiastica (Church History) first seven books ca. 300, eighth and ninth book ca. 313, tenth book ca. 315, epilogue ca. 325. Books Eight and Nine.
    • Williamson, G.A., trans. The History of the Church from Christ to Constantine. London: Penguin, 1989. ISBN 0-14-044535-8
  • Eusebius of Caesarea. De Martyribus Palestinae (On the Martyrs of Palestine).
  • Eusebius of Caesarea. Vita Constantini (The Life of the Blessed Emperor Constantine) ca. 336–39.
    • Richardson, Ernest Cushing, trans. Life of Constantine. From Nicene and Post-Nicene Fathers, Second Series, Vol. 1. Edited by Philip Schaff and Henry Wace. Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co., 1890. Revised and edited for New Advent by Kevin Knight. Accessed June 9, 2009.
  • Lactantius. Divinae Institutiones (The Divine Institutes) ca. 303–311.
    • Fletcher, William, trans. The Divine Institutes. From Ante-Nicene Fathers, Vol. 7. Edited by Alexander Roberts, James Donaldson, and A. Cleveland Coxe. Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co., 1886. Revised and edited for New Advent by Kevin Knight. Accessed June 9, 2009.
  • Lactantius. De Ira Dei (On the Wrath of God) ca. 313.
    • Fletcher, William, trans. On the Anger of God. From Ante-Nicene Fathers, Vol. 7. Edited by Alexander Roberts, James Donaldson, and A. Cleveland Coxe. Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co., 1886. Revised and edited for New Advent by Kevin Knight. Accessed June 9, 2009.
  • Lactantius. Liber De Mortibus Persecutorum (Book on the Deaths of the Persecutors) ca. 313–15.
    • Fletcher, William, trans. Of the Manner in Which the Persecutors Died. From Ante-Nicene Fathers, Vol. 7. Edited by Alexander Roberts, James Donaldson, and A. Cleveland Coxe. Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co., 1886. Revised and edited for New Advent by Kevin Knight. Accessed June 9, 2009.
  • Musurillo, Herbert, trans. The Acts of the Christian Martyrs. Oxford: Clarendon Press, 1972.
  • Optatus. Contra Parmenianum Donatistam (Against the Donatists) ca. 366–367.
  • Porphyry. Fragments.
  • Tertullian. Apologeticus (Apology) 197.
    • Thelwall, S., trans. Apology. From Ante-Nicene Fathers, Vol. 3. Edited by Alexander Roberts, James Donaldson, and A. Cleveland Coxe. (Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co., 1885.) Revised and edited for New Advent by Kevin Knight. Accessed June 16, 2009.
  • Tilley, Maureen A, trans. Donatist Martyr Stories: The Church in Conflict in Roman North Africa. Liverpool: Liverpool University Press, 1996.

Sumber modern

  • Barnes, Timothy D. "Legislation Against the Christians." Journal of Roman Studies 58:1–2 (1968): 32–50.
  • Barnes, Timothy D. "Sossianus Hierocles and the Antecedents of the "Great Persecution"." Journal of Roman Studies 80 (1976): 239–252.
  • Barnes, Timothy D. Constantine and Eusebius. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1981. ISBN 978-0-674-16531-1
  • Barnes, Timothy D. The New Empire of Diocletian and Constantine. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982. ISBN 0-7837-2221-4
  • Barnes, Timothy D. "Scholarship or Propaganda? Poprphyry Against the Christians and its Historical Setting." Bulletin of the Institute of Classical Studies 39 (1994): 53–65.
  • Barnes, Timothy D. "Review: Constantine and the Bishops: The Politics of Intolerance." Phoenix 54:3–4 (2000): 381–383.
  • Barnes, Timothy D. "Monotheists All?" Phoenix 55:1–2 (2001): 142–162.
  • Baynes, Norman H. "Two Notes on the Great Persecution." The Classical Quarterly 18:3–4 (1924): 189–194.
  • Beatrice, Pier Franco. "Antistes Philosophiae. Ein Christenfeindlicher Propagandist am Hofe Diokletians nach dem Zeugnis des Laktanz." Aug 33 (1993): 1–47. (In German)
  • Castelli, Elizabeth A. Martyrdom and Memory: Early Christian Culture Making. New York: Columbia University Press, 2004.
  • Chadwick, Henry. The Church in Ancient Society: From Galilee to Gregory the Great. New York: Oxford University Press, 2001.
  • Clarke, Graeme. "Third-Century Christianity." In The Cambridge Ancient History, Volume XII: The Crisis of Empire, edited by Alan Bowman, Averil Cameron, and Peter Garnsey, 589–671. New York: Cambridge University Press, 2005. ISBN 0-521-30199-8
  • Corcoran, Simon. The Empire of the Tetrarchs, Imperial Pronouncements and Government AD 284–324. Oxford: Clarendon Press, 1996. ISBN 0-19-814984-0
  • Corcoran, Simon. "Before Constantine." In The Cambridge Companion to the Age of Constantine, edited by Noel Lenski, 35–58. New York: Cambridge University Press, 2006. Hardcover ISBN 0-521-81838-9 Paperback ISBN 0-521-52157-2
  • Curran, John. Pagan City and Christian Capital: Rome in the Fourth Century. Oxford: Clarendon Press, 2000. ISBN 0-19-815278-7
  • Davies, P.S. "The Origin and Purpose of the Persecution of AD 303." Journal of Theological Studies 40:1 (1989): 66–94.
  • Digeser, Elizabeth DePalma. The Making of a Christian Empire: Lactantius and Rome. Ithaca: Cornell University Press, 2000. ISBN 0-8014-3594-3
  • Dodds, E.R. Pagan and Christian in an Age of Anxiety: Some Aspects of Religious Experience from Marcus Aurelius to Constantine. New York: Norton, 1970.
  • Drake, H.A. Constantine and the Bishops: The Politics of Intolerance. Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2000. ISBN 0-8018-6218-3
  • Edwards, Mark. "Christianity, A.D. 70–192." In The Cambridge Ancient History, Volume XII: The Crisis of Empire, edited by Alan Bowman, Averil Cameron, and Peter Garnsey, 573–588. New York: Cambridge University Press, 2005. ISBN 0-521-30199-8
  • Elliott, T. G. The Christianity of Constantine the Great. Scranton, PA: University of Scranton Press, 1996. ISBN 0-940866-59-5
  • Fox, see Lane Fox, Robin
  • Frend, William H.C. Martyrdom and persecution in the early church: a study of a conflict from the Maccabees to Donatus. New York University Press, 1967. Reissued in 2008 by James Clarke Company, U.K. ISBN 0-227-17229-9
  • Frend, W.H.C. "Prelude to the Great Persecution: The Propaganda War." Journal of Ecclesiastical History 38:1 (1987): 1–18.
  • Frend, W.H.C. "Persecutions: Genesis and Legacy." In The Cambridge History of Christianity, Volume I: Origins to Constantine, edited by Margaret M. Mitchell and Frances M. Young, 503–523. New York: Cambridge University Press, 2006. ISBN 978-0-521-81239-9
  • Gaddis, Michael. There Is No Crime for Those Who Have Christ: Religious Violence in the Christian Roman Empire. Berkeley, Los Angeles, and London: University of California Press, 2005. ISBN 0-520-24104-5
  • Gibbon, Edward. History of the Decline and Fall of the Roman Empire, Vol. 1. edited by David Womersley. London: Penguin Classics, 1995. ISBN 978-0-14-043393-7
  • Greenslade, S.L., ed. (1975), The Cambridge History of the Bible, 3, The West from the Reformation to the Present Day, Cambridge University Press, Paperback ISBN 0-521-29016-3
  • Helgeland, John. "Christians and the Roman Army A.D. 173–337." Church History 43:2 (1974): 149–163, 200.
  • Hopkins, Keith. "Christian Number and Its Implications." Journal of Early Christian Studies 6:2 (1998): 185–226.
  • Jones, A.H.M. The Later Roman Empire, 284–602: A Social, Economic and Administrative Survey. Oxford: Basil Blackwell, 1964.
  • Keresztes, Paul. "From the Great Persecution To the Peace of Galerius." Vigiliae Christianae 37:4 (1983): 379–399.
  • Klingshirn, William E.; Safran, Linda, eds. (2007), The Early Christian Book, Washington: The Catholic University of America Press, ISBN 978-0-8132-1486-3
  • Knipfing, J.R. "The Edict of Galerius (311 A.D.) re-considered." Revue Belge de Philologie et d'Histoire 1 (1922): 693–705.
  • Lane Fox, Robin. Pagans and Christians. New York: Alfred A. Knopf, 1986. ISBN 0-394-55495-7
  • Leadbetter, William. "From Constantine to Theodosius (and Beyond)." In The Early Christian World, ed. Philip Francis Esler, 258–292. London: Routledge, 2004. ISBN 978-0-415-16496-2
  • Liebeschuetz, J. H. W. G. Continuity and Change in Roman Religion. Oxford: Oxford University Press, 1979. ISBN 0-19-814822-4
  • Löhr, Winrich. "Some Observations on Karl-Heinz Schwarte's 'Diokletians Christengesetz'." Vigiliae Christianae 56:1 (2002): 75–95
  • MacMullen, Ramsay. Christianizing the Roman Empire. New Haven: Yale University Press. ISBN 0-300-03642-6
  • Millar, Fergus. The Roman Near East, 31 B.C.–A.D. 337. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993. Hardcover ISBN 0-674-77885-5 Paperback ISBN 0-674-77886-3
  • Mitchell, Stephen. "Maximinus and the Christians in A.D. 312: A New Latin Inscription." Journal of Roman Studies 78 (1988): 105–124.
  • Nicholson, Oliver. "Flight from Persecution as Imitation of Christ: Lactantius' Divine Institutes IV. 18, 1–2." Journal of Theological Studies 40:1 (1989): 48–65.
  • Odahl, Charles Matson. Constantine and the Christian Empire. New York: Routledge, 2004. Hardcover ISBN 0-415-17485-6 Paperback ISBN 0-415-38655-1
  • Potter, David S. The Roman Empire at Bay: AD 180–395. New York: Routledge, 2005. Hardcover ISBN 0-415-10057-7 Paperback ISBN 0-415-10058-5
  • Rees, Roger. Diocletian and the Tetrarchy. Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004. ISBN 0-7486-1661-6
  • Rives, J.B. "The Decree of Decius and the Religion of the Empire." Journal of Roman Studies 89 (1999): 135–154.
  • de Sainte-Croix, G.E.M. "Aspects of the Great Persecution." Harvard Theological Review 47 (1954): 75–113.
  • de Sainte-Croix, G.E.M. "Christian Persecution, Martyrdom, and Orthodoxy". New York: Oxford University Press, 2006. ISBN 0-19-927812-1
  • de Sainte-Croix, G.E.M. "Why Were the Early Christians Persecuted?" Past & Present 26 (1963): 6–38.
  • Schott, Jeremy M. "Porphyry on Christians and Others: "Barbarian Wisdom," Identity Politics, and Anti-Christian Polemics on the Eve of the Great Persecution." Journal of Early Christian Studies 13:3 (2005): 277–314.
  • Schott, Jeremy M. Christianity, Empire, and the Making of Religion in Late Antiquity. Philadelphia: University of Philadelphia Press, 2008. ISBN 978-0-8122-4092-4
  • Sherwin-White, A.N. "The Early Persecutions and Roman Law Again." Journal of Theological Studies 3:2 (1952), 199–213.
  • Tilley, Maureen A. The Bible in Christian North Africa: The Donatist World. Minneapolis: Fortress Press, 1997. ISBN 0-8006-2880-2
  • Tilley, Maureen A. "North Africa." In The Cambridge History of Christianity, Volume I: Origins to Constantine, edited by Margaret M. Mitchell and Frances M. Young, 381–396. New York: Cambridge University Press, 2006. ISBN 978-0-521-81239-9
  • Trompf, G.W. Early Christian Historiography: Narratives of redistributive justice. New York: Continuum, 2000. ISBN 0-8264-5294-9
  • Walter, Christopher. The Warrior Saints in Byzantine Art and Tradition . Ashgate Publishing, 2003. ISBN 1-84014-694-X
  • Williams, Stephen. Diocletian and the Roman Recovery. New York: Routledge, 1997. ISBN 0-415-91827-8
  • Woods, David. "Two Notes on the Great Persecution." Journal of Theological Studies 43:1 (1992): 128–134.
  • Woods, David. "'Veturius' and the Beginning of the Diocletianic Persecution." Mnemosyne 54:5 (2001): 587–591.

Pranala luar