Ali Ar-Ramitani
Ali ar-Ramitani atau Azizan Ali ar-Ramitani Quddasallahu Sirruhu adalah seorang guru sufi yang terkenal sebagai salah satu Mursyid Thoriqoh Naqsyabandiyah. Beliau salah satu Khwajagan (Master) dari tatanan Naqsyabandi dan juga terkenal sebagai salah satu Wali 7 di Uzbekistan.
Ali ar-Ramitani | |
---|---|
Syekh Ali ar-Ramitani q.s yang lahir di daerah Ramitan di sekitar Bukhara. Azizan adalah gelar yang disematkan kepadanya. Karena keahliaannya dalam menenun, Syekh Ali Ramitani q.s sering dipanggil Syekh Nessac (penenun). Setelah mempelajari ilmu agama, Syekh Ali Ramitani q.s berintisab kepada Syekh Mahmud Injir Faghnawi q.s. Ketika Syekh Mahmud Injir Faghnawi q.s akan wafat, beliau menyerahkan tugas keirsyadannya (tablighnya) kepada Syekh Ali Ramatini q.s yang diikuti dengan pembaiatan oleh murid-murid yang lain.
Beliau adalah Bendera Islam Terhormat dan ulama besar yang membuka kunci harta karun hati dan menjelaskan rahasia dari yang Tak terlihat. Dari Kerajaan Yang Berpengetahuan, dia menerima, Bayaran, Hadiah dan Kehormatan. Dia memandu orang yang perlu ke tingkat Pengetahuan Spiritual. Namanya berkibar di angkasa Panduan, dan tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan pengetahuan maupun tingkatannya. Bagi kami, dia digambarkan sebagai ibu dari Buku (Qur’an Suci), sebagai “yang ditulis dalam tingkat yang tinggi.”
Dengan perintah Nabi Khidr.as, ia menjadi murid Khwaja Mahmud Injir-Faghnawī dan menerima bimbingan spiritual. Dia adalah wakil kepala dan diangkat sebagai penerus utama sang syekh Mahmud. Dihadapan Shaikh, dia diangkat ke tingkat yang tinggi dari Manifestasi Cinta Ilahiah dan Kehadirat Illahiah. Dia menjadi terkenal dengan nama Azizan, suatu kata bahasa Persia yang berarti orang yang berada di tingkat tinggi. Menurut beberapa laporan, beliau juga mendapat berkat dari Mawlana Jalaluddin Rumi. Ia bermigrasi ke kota yang disebut Bāward, dan kemudian bermigrasi ke Khwarezm di mana dia tinggal sampai akhir. Meskipun namanya adalah Ali Ramitani, ia sering dikenang sebagai Khwaja Azizan saat ia digunakan untuk menyebut dirinya Azizan. Orang Khwarezm biasa memanggilnya Khwaja Ali Bāwardī. Beliau di karuniai dua orang putera: 1. Khwāja Muhammad alias Khwāja Khurd. Anak laki tertua, meninggal setelah 19 hari ayahnya wafat, pada hari kamis tanggal 17 Dhu’l-Hijja, 715 H (11 March 1316 M) [Rashahāt]. 2. Khwāja Ibrāhīm. merupakan salah satu wakil/badal dari ayahya Khwāja Azīzān. Meninggal dunia pada tahun 793 H (1391 M). Anak lelaki yang lebih muda Khwāja Ibrāhīm menulis sebuah kitab yang menceritakan tentang ayahnya dan guru-gurunya. diantara para wakilnya (deputies/badal), yang tertulis dalam kitab Rashahāt : 1. Khwāja Muhammad Khurd q.s, anak tertua 2. Khwāja Ibrāhīm q.s, anak laki kedua 3. Khwāja Muhammad Kulāhdūz q.s 4. Khwāja Muhammad Hallāj Balkhī q.s 5. Khwāja Muhammad Bāwardī q.s 6. Khwāja Muhammad Bābā Sammāsī q.s Beliau mencapai usia yang luar biasa 130 tahun. Penulis Rashahāt mencatat tanggal kematiannya Senin, tanggal 28 Dhu'l-Qa'da, 715 H (23 Februari 1316 M). Ia dimakamkan di Khwarezm mana kuburnya itu menjadi tempat ziarah. Makam Khwaja Ali Azizan ar-Ramitani, diapit kedua puteranya, Khwaja Muhammad dan Khwaja Ibrahim. Dari Kata-Katanya “Lakukan dan jangan dihitung. Akui kekuranganmu dan teruskan bekerja.” “Capailah Kehadirat Illahiah, terutama saat kau makan dan berbicara.” “Allah Yang Maha Kuasa dan Agung bersabda didalam Qur’an, “Wahai orang yang Beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan tulus.” Ayat ini membawa kabar baik. Karena Allah meminta taubat, artinya Dia akan menerimanya, karena kalau Dia tidak akan menyuruhmu untuk bertaubat “Nabi bersabda, ‘Allah melihat hati Yang Beriman setiap malam dan siang sebanyak 360 kali.’ Artinya hati memiliki 360 pintu. Dan setiap organ memiliki 360 akar, semuanya terhubung dengan hati. Sehingga jika hati, dibawah pengaruh Zhikrullah, maka akan terbimbing pada tingkat Pandangan Allah, semua ini akan membawa semua organ tubuh ke Pandangan Allah, semua ini akan membawa semua organ tubuh ke Pandangan Allah. Akibatnya, semua organ akan patuh kepada Allah dan dari cahaya kepatuhan itu, semua organ akan terhubung dengan keberkahanNya. Hal inilah yang menarik Pandangan Ampunan Allah kepada hati Orang yang mengingat.”
Kontroversi lain tentang Zikir Bersuara
Mawlana Sayfuddin Fidda, seorang ulama besar dimasanya, bertanya kepadanya, “Kenapa kau bersuara saat berdzikir?” Sheikh Ali q.s menjawab:
“Wahai saudaraku, ulama Muslim berabad-abad, dari masa Tabi’in (generasi setelah para Sahabat) sampai sekarang, telah mengijinkan zikir bersuara di saat-saat terakhir hidup mereka. Saat itu, mereka yang berdekatan dengan yang akan wafat mendorongnya untuk mengulang pernyataan kepercayaan. Nabi bersabda, laqqina mawtakum shahadatan LAA ILAHA ILLALLAH (“biarkan yang akan meninggal mengucap : Tidak ada tuhan selain Allah”). Didalam Ilmu Sufisme, para ulama telah menekankan bahwa setiap waktu bisa jadi yang terakhir buatmu. Hal ini menyimpulkan bahwa kalian harus mengucap LAA ILAHA ILLALLAH dengan suara keras disetiap saat hidup kalian.”
Ia diminta Shaikh Mawlana Badruddin al-Midani, yaitu seorang ulama besar dimasanya, “Allah telah memerintahkan kita didalam Qur’an untuk sering berzhikr lewat sabdaNya, “Seringlah Mengingat Allah” [34:41]. Apakah zkir tersebut lewat lidah atau hati?” Shaikh Ali Ramitani q.s menjawab: Untuk pemula lebih baik lewat lidah, dan bagi yang sudah menyesuaikan lebih baik lewat hati.” Ia melanjutkan, “Hal ini disebabkan untuk mengingat Allah seorang pemula harus menerapkan usaha yang kuat. Karena hatinya masih teralihkan, tidak stabil dan usahanya tersebar, maka lebih baik lewat lidah. Tapi yang sudah bisa menyesuaikan telah menggosok hatinya dan mudah terpengaruh oleh zikir. Semua organnya menjadi Pengingat sehingga seluruh tubuh orang yang sudah menyesuaikan mengingat Allah setiap saat, baik secara eksternal maupun internal. Perbandingan hal ini adalah bahwa satu hari zikir seorang yang telah menyesuaikan adalah sama dengan satu tahun zikir seorang pemula.”
“Tugas pertama seorang pemandu-Muryid ialah mengetahui kemampuan pencari. Kemudian dia akan menaruh di lidahnya, metode zikir yang paling sempurna untuk mengangkatnya ke tingkat tertinggi.”
“Seandainya di bumi ada salah satu pengikut Abdul Khaliq al-Ghujdawani di masa Hallaj, maka Hallaj tidak akan disalib.” Hal ini berarti akan ada orang yang mampu membelanya dari tuduhan orang yang sombong.
Shaikh Fakhruddin an-Nuri, seorang ulama terkenal di massanya , bertanya, “Allah bersabda didalam Qur’an Suci bahwa pada Hari Perjanjian Ia bertanya, Alastu bi Rabbikum, qala bala [7:172] (“Apa aku bukan Tuhanmu? – Mereka menjawab: Ya!”) , sedangkan di Hari Perhitungan Ia akan bertanya, liman al-mulk ul-yawm [40:16] (siapa pemilik Kerajaan di hari ini?”) dan tak satupun menjawab.
Kenapa mereka bertanya, ‘Bukankah Aku Tuhanmu? Sedangkan di Hari Perhitungan mereka tidak akan menjawab?” DijawabNya, Sheikh Ali Ramitani q.s menunjukkan pemahaman yang dalam akan Al Qur’an dan Hadits Suci yang dimiliki oleh Para Guru Naqshbandi. Ia berkata:
“Ketika pertanyaan pertama, ‘Bukankah Aku Tuhanmu?” diajukan kepada manusia, itulah hari dimana Allah telah mewajibkan Hukum Suci bagi Semua manusia. Menjawab ketika ditanya merupakan kewajiban berHukum. Maka itu mereka menjawab pertanyaan. Tetapi di Hari perhitungan, semua kewajiban telah selesai, dan kesadaran akan Kebenaran dan dunia spiritual dimulai.
Dalam hal spiritualitas tiada kata yang lebih baik daripada diam, karena spiritualitas adalah aliran dari hati dan ke hati, tidak terhubung dengan lidah. Maka dari itu pertanyaan kedua tidak perlu dijawab. Allah sendiri yang menjawab pertanyaanNya, ‘Siapakah pemilik Kerajaan hari ini?” dengan bersabda, illah il-Wahid il-Qahhar, Kerajaan ini milik Allah, yang Unik, yang Tidak Tertolak.”
Setelah menerima perintah surgawi, dia pindah dari Bukhara ke Khwarazm. Ketika sampai di Khwarazm, dia tidak memasuki kota tapi diam digapura kota dan mengutus seseorang kepada raja untuk menyampaikan pesan, “Seorang penenun miskin berkeinginan masuk ke kerajaanmu dan ingin tinggal. Apa kau member ijin? Jika diijinkan, maka dia akan masuk. Jika tidak maka ia akan pulang. “Dia meminta utusannya agar mendapatkan surat yang ditandatangani raja bahwa ada ijin untuk masuk.
Setelah menerima surat tersebut, Shaykh tinggal didalam kota dan mulai menyebarkan Jalan Sufi Naqshbandi. Setiap hari ia pergi pusat kota, berbicara dengan orang-orang, mengajak mereka datang ke perkumpulannya dan membayar upah mereka hari itu. Dia menjadikan semua penduduk kota pengikutnya, hamba yang saleh dan orang-orang yang setia menjaga ingatan akan Allah. Dia menjadi sangat terkenal di kota itu. Banyak yang berkunjung dari daerah sekitar. Reputasi baiknya membuat raja dan menterinya takut akan pengaruhnya terhadap rakyat. Mereka berusaha memindahkannya dari kota. Melihat hal ini, dia mengirim kembali surat ijin masuk yang kepada raja. Karena hal tersebut, sang raja mendatangi sheikh dan meminta maaf serta menjadi salah seorang muridnya yang menonjol.
Beliau memiliki dua anak laki-laki yang sangat terkenal sebagai pengikut ayahnya. Tetapi, dia tidak menurunkan rahasianya ke mereka, melainkan ke Shaikh Muhammad Baba as-Samsi q.s.
Pranara Luar
https://sites.google.com/site/pustakapejaten/manaqib-biografi/6-masyaikh/ali-ar-ramitani http://maktabah.org/blog/?p=1503