Suku Kayuagung
Suku Kayuagung adalah suku asli Indonesia yang berasal dari Kabupaten Ogan Komering Ilir, provinsi Sumatera Selatan. Komunitas suku ini umumnya tinggal di Kota Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir dan seputaran provinsi Sumatera Selatan. Mayoritas masyarakat suku Kayuagung memeluk agama Islam dan umumnya bekerja sebagai petani.[2] Budaya dan adat istiadat yang masih terjaga hingga kini ialah Adat Lamaran dan Tari Penguton Kayuagung.
Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
Sumatera Selatan (Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan Palembang) | |
Bahasa | |
Bahasa Kayuagung dan bahasa Indonesia | |
Agama | |
Mayoritas Islam > 99,90% sebagian kecil Kristen Protestan 0,10% [1] | |
Kelompok etnik terkait | |
Suku Ogan, Suku Komering, Suku Melayu |
Adat Istiadat & Kebudayaan
Suku Kayuagung menganut garis keturunan "Bilateral" dimana garis keturunannya bisa dari pihak bapak atau bisa juga dari pihak ibu.[2] Adat dan budaya yang masih terjaga di suku Kayuagung ialah adat lamaran pernikahan dan tari penguton.
Adat Lamaran
Salah satu adat istiadat suku Kayuagung yang masih dijaga hingga saat ini adalah adat lamaran pernikahan. Adat yang yang sudah ada sejak abad 15 ini, bisebarkan dari Lampung, hingga akhirnya diadopsi oleh suku Kayuagung. Seorang tetua adat dan mantan sekretaris adat suku Kayuagung, Yusrizal, mengatakan bahwa proses pernikahan dalam suku Kayuagung terbilang lama.[3] Pertama yang dilakukan ialah Nyelabang dimana pihak laki-laki akan mengutus setidaknya dua orang (orang tua) untuk mendatangi rumah calon mempelai perempuan. Dalam hal ini, pihak keluarga laki-laki akan menyampaikan niat bahwa anak bujangnya hendak menikahi anak gadis mereka, apakah disetujui oleh si perempuan dan keluarganya atau tidak. Jika setuju, akan disepakati proses pernikahan mana yang akan diadakan. Setidaknya ada 4 kategori pernikahan suku Kayuagung.[3]
Sitinong-tinong
Istilah Sitinong-tinong ini diartikan sebagai lamaran yang tidak perlu memakai adat. Proses lamaran pernikahan hingga Ijab pernikahan dilakukan secara sederhana dan cepat. Hal ini dilakukan biasanya untuk menjaga nama baik kedua belah pihak. Kasus kehamilan sebelum pernikahan, bisa menjadi salah satu penyebab diadakan adat lamaran Sitinong-tinong. Selain itu, alasan calon mempelai laki-laki dalam masa tugas pekerjaan yang mendesak, bisa juga mengadakan adat lamaran Sitinong-tinong.[3]
Sipinong-pinong
Kategori kedua ialah Sipinong-pinong. Untuk kategori kedua ini kebanyakan diadakan dimalam hari, dan prosesnya membutuhkan waktu selama empat hari. Dimulai dengan Ijab Kabul yang diadakan di rumah pihak laki-laki. Setelah selesai ijab, pengantin perempuan akan dihantarkan kembali ke rumah orang tuanya oleh pihak laki-laki. Setelah itu, si istri akan menginap di rumah orangtuanya selama empat hari lamanya (disebut juga Anan Tuwui), sedangkan sang suami harus kembali ke rumahnya. Namun, selama proses ini, sang suami harus menghantarkan makanan dan lauk-pauk setiap pagi hari selama empat hari.[3]
Setelah masa empat hari selesai, pihak suami akan mengutus dua ibu-ibu (bai-bai) untuk menjemput si istri ke rumah orangtuanya dan juga si suami ditemani seorang pemuda (pukal bengiyam). Kepulangan si istri ke rumah mertuanya disebut Maju mulang anan tumui. Disaat si istri akan pergi menuju rumah mertuanya atau suaminya, dia akan membawa berbagai peralatan rumah tangga, dan beberapa barang-barang pesangon dari keluarganya yang akan diberikan kepada mertuanya (disebut pedatong).[3] Demikian proses ini berlangsung, mereka telah bisa untuk hidup bersama sebagai suami istri yang sah.
Pinang Dibelah Dua
Adat yang ketiga adalah adat Pinang Dibelah Dua. Ini merupakan istilah sederhana bagi suku Kayuagung, yang artinya ialah perbagian sama rata, dan dimaknai sebagai persedekahan dalam waktu bersamaan. Adat yang satu ini dilakukan atas kesepakatan bersama dimana pihak laki-laki (upaian) dan pihak perempuan sama-sama mengundang sanak saudara masing-masing dan melangsungkan pernikahan di rumah pengantin laki-laki.[3]
Pihak pengantin laki-laki mengundang tetangga dan sanak saudaranya untuk menyaksikan ijab kabul pernikahan puteranya dan sekaligus mengundang keluarga pihak perempuan, namun jumlahnya dibatasi, sesuai jumlah hidangan yang disediakan pihak laki-laki. Pihak perempuan yang diundang maksudanya adalah undangan khusus hanya untuk kaum bapak-bapak, selain dari sanak famili perempuan yang diundang untuk datang.[3] Rombongan kaum bapak-bapak dari pihak perempuan ini disebut " rombongan ungaiyan ", dimana mereka akan menghantarkan ayah atau wali perempuan untuk menyaksikan serangkaian adat pernikahan dari pihak laki-laki dan gelar apa yang akan diberikan kepada mempelai tersebut.[3]
Mabang Handak
Yang terakhir adalah adat Mabang Handak. Arti dari Mabang Handak adalah "burung putih", ini merupakan simbol kekayaan atau orang ningrat. Adat yang keempat bisa diartikan sebagai adat persedekahan yang umumnya hanya bisa diadakan oleh orang kaya atau bangsawan. Lamanya adat ini bisa memakan waktu selama tujuh hari.[3]
Adat ini termasuk dalam adat lamaran suku Kayuagung paling lengkap. Mulai dari dilakukan ritual penimbangan mempelai (disebut manjow kahwein), kemudian akan digelar tarian Cang-cang oleh besan berbesan. Selain itu, kereta hias pengantin (disebut juli) akan membawa kedua mempelai mengelilingi perkampungan, dan serangkaian adat pernikahan berdasarkan suku Kayuagung.[3]
Setidaknya ada dua ekor sapi atau kerbau yang disediakan untuk merayakan pernikahan ini. Selain itu, mempelai laki-laki juga akan memberikan pakaian khusus kepada pihak keluarga perempuan.[3] Sehingga, adat persedekahan Mabang Handak ini bisa diadakan selama seminggu. Pihak pengurus adat Kayuagung mengarapkan bahwa adat lamaran ini tetap dijaga dan dilestarikan oleh generasi suku Kayuagung ditengah-tengah pengaruh perkembangan zaman.[3]
Tari Penguton
Tari Penguton berasal dari kata "Uton" yang dalam bahasa Kayuagung artinya ialah Penyambutan.[4] Tari Penguton adalah sebuah tarian khas suku Kayuagung dalam menyambut tamu yang datang ke Kota Kayuagung. Tarian ini umumnya dilakukan oleh sembilan orang yang dalam bahasa Kayuagung disebut "Horge Siwe". Diyakni bahwa tarian ini adalah cikal bakal lahirnya Tari Gending Sriwijaya.[4] Pada umumnya dibawakan oleh kaum perempuan saja.
Tari Penguton muncul pada tahun 1889, yang kemudian pada tahun 1920, tari ini disempurnakan kembali oleh keluarga Pangeran Bakri untuk menyambut kedatangan Gubernur Hindia-Belanda yakni Gouveneur General Limberg Van Stirem Bets ke kawasan Kayuagung.[4] Sejak masa itu pula, tari Penguton menjadi tari khas Kayuagung dan dijadikan sebagai Tari Sekapur Sirih Kayuagung.[4]
Diperankan oleh 9 orang sebagai simbol perwakilan dari sembilan dusun yang ada di kota Kayuagung, sebagai lokasi suku Kayuagung. Kesembilan dusun tersebut adalah Kayuagung asli, Kotaraya, Perigi, Jua-jua, Kedaton, Mangunjaya, Sidakersa, Sukadana dan Paku.[5] Untuk menarikan tarian, akan diiringi oleh musik perkusi berupa gamelan, gong dan gendang.[4]
Bahasa
Suku Kayuagung memiliki bahasa sendiri yakni bahasa Kayuagung, secara khusus di Kayuagung bahasa ini digunakan sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa ini masih sangat mirip dengan bahasa Melayu Palembang dengan intonasi yang sedikit mendayu-dayu. Selain itu dialek suku Kayuagung juga berdialek Ogan, sebagai suku yang paling dekat dengam suku Kayuagung.[6]
Selain bahasa Kayuagung itu sendiri, beberapa etnis Kayuagung menggunakan bahasa lain di beberapa daerah, seperti di desa Tanjung Rancing dan desa Celikah, masyarakat suku Kayuagung menggunakan bahasa Pegagan.[7]
Agama
Bisa dikatakan bahwa hampir semua suku Kayuagung memeluk agama Islam. Namun, masih banyak diantara mereka yang masih memegang kepercayaan lama yang percaya pada roh-roh. Sebagai contoh, pada saat memandikan mayat salah seorang warga yang meninggal dunia, mereka akan memandikannya disertai dengan campuran berbagai macam bunga berwarna-warni. Hal ini dilakukan supaya arwah yang meninggal lupa untuk kembali ke rumah melainkan pergi ke alam baka.[2] Beberapa warga juga percaya bahwa arwah-arwah orang meninggal bisa tinggal ditempat-tempat keramat.[6]
Pekerjaan
Kebanyakan masyarakat suku Kayuagung bekerja sebagai petani, namun menggarap pertanian lebih dilakukan pada musim penghujan karena kawasan Ogan Komering Ilir dan secara khusus kawasan Kota Kayu Agung berupa rawa. Beberapa warga juga menjadi pedagang khususnya di kota Kayu Agung, dan ada juga yang membuat gerabah.[2]
Referensi
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaKA
- ^ a b c d "Suku Kayuagung, Sumatera Selatan". www.wacana.co. Diakses tanggal 6 April 2019.
- ^ a b c d e f g h i j k l "Adat Lamaran Kayuagung Hingga Kini Masih Eksis". www.palembang.tribunnews.com. Diakses tanggal 6 April 2019.
- ^ a b c d e "Tari Penguton Kayuagung". www.etnikom.com. Diakses tanggal 6 April 2019.
- ^ "Pengertian Morge Siwe". www.morgesiwe.com. Diakses tanggal 6 April 2019.
- ^ a b "Yuk, Kenali Suku-suku di Sumatera Selatan". www.lifestyle.okezone.com. Diakses tanggal 6 April 2019.
- ^ "Nama-nama Suku Bahasa yang Digunakan dan Lokasi Tempat Tinggal di Kabupaten OKI". www.okikab.bps.go.id.