Tiwah
Tiwah atau Tiwah Lale atau Magah Salumpuk Liau Uluh Matei ialah upacara sakral terbesar bagi suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Upacara ini dilakukan untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau yang letaknya di langit ke tujuh.[1] Pada tahun 2014, upacara Tiwah telah dimasukan ke dalam penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.[2]
Konsep Kematian
Bagi masyarakat Dayak Ngaju yang umumnya memeluk kepercayaan lokal yakni Kahuripan, kematian merupakan hal akhir yang dijalani manusia. Bagi mereka, kematian hanyalah awal untuk mencapai dunia kekal abadi yang menjadi tempat asal manusia. Dunia kekal abadi tersebut adalah dunia roh tempat manusia mencapai titik kesempurnaanya. Dalam mitos suku Dayak Ngaju, awalnya manusia tidak mengenal kematian. Hal tersebut dikarenakan kehidupan duniawi adalah sesuatu yang kekal. Namun, suatu ketika manusia berbuat kesalahan dan akhirnya kekekalan hidup duniawinya dicabut oleh dewata. Manusia yang meninggal akan melanjutkan perjalanannya ke dunia para arwah. Manusia yang telah berganti wujud menjadi arwah ini disebut dengan Lio/Liau/Liaw. Liau oleh masyarakat Dayak Ngaju wajib diantar ke dunia arwah yakni alam tertinggi yang disebut Lewu Liaw atau Lewu Tatau. Proses pengantaran ini melalui serangkaian upacara kematian, yakni upacara Tiwah.[3] Liaw sendiri menurut masyarakat Dayak Ngaju terbagi atas tiga jenis yakni,
- Salumpuk liaw haring kaharingan, yakni roh rohani dan jasmani,
- Salumpuk liaw balawang panjang, yakni roh tubuh/badan,
- Salumpuk liaw karahang tulang, yaitu roh tulang belulang.[3]
Penyelanggaran upacara Tiwah bagi masyarakat Dayak Ngaju dianggap sesuatu yang wajib secara moral dan sosial. Pihak keluarga yang ditinggalkan merasa memilki kewajiban untuk mengantar arwah sanak saudara yang meninggal ke dunia roh. Selain itu, dalam kepercayaan Dayak Ngaju, arwah orang yang belum diantar melalui upacara Tiwah akan selalu berada di sekitar lingkungan manusia yang masih hidup. Keberadaan mereka dianggap membawa gangguan berupa munculnya peristiwa gagal panen, penyakit, dan bahaya-bahaya lainnya.[3]
Biaya
Upacara Tiwah dalam masyakat Dayak Ngaju merupakan acara besar yang juga membutuhkan biaya sangat besar. Keluarga atau kelompok masyarakat yang ingin melaksanakan upacara Tiwah harus membuat sejumlah keperluan pendukung dan beberapa hewan kurban. Dalam pelaksanaanya, upacara ini biasanya membutuhkan biaya antara Rp 50 juta hingga Rp 100 juta.[4] Karena biaya yang besar tersebut, penyelenggaraan upacara Tiwah dapat menjadi simbol sosial seseorang atau keluarga. Semakin meriah dan durasi yang lama, maka status sosial seseorang semakin tinggi. Bagi keluarga yang memiliki kekayaan, upacara Tiwah dapat dilaksanakan secara mandiri yakni hanya dengan keluarganya sendiri dan dilakukan sesegera mungkin setelah kematian sanak keluarganya. Sedangkan bagi keluarga yang kekayaannya tidak melimpah, upacara Tiwah dapat dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong oleh beberapa keluarga atau bahkan oleh satu desa. Istilah bergotong royong ini dalam bahasa Ngaju dinamakan handep .Biasanya, mereka akan mengumpulkan dana bersama-sama dan kemudian menyelenggarakan upacara Tiwah. [3] Salah satu upacara Tiwah yang sangat besar pernah diadakan pada 1 April 2016. Upacara pada saat itu melibatkan 77 kerangka jenazah yang merupakan nenek moyang dari 46 keluarga yang berasal dari beberapa desa di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.[5]
Durasi dan Waktu Upacara
Upacara Tiwah umumnya memiliki durasi selama tujuh hingga empat puluh hari. Sebegai upacara sakral terbesar bagi masyarakat Dayak Ngaju, upacara ini haruslah berlangsung sempurna. Penyelenggara harus cermat terhadap segala persiapan dan pelaksanaannya. Bila dalam pelaksanaan upacara Tiwah terjadi kekeliruan atau pelaksanaanya tidak sempurna, maka keluarga yang ditinggalkan dipercaya akan menanggung beban berat seperti rejekinya tidak lancar dan kesehatannya terganggu.[6]
Adapun waktu penyelenggaran upacara Tiwah biasanya dilangsungkan pada saat setelah musim panen padi. Hal ini dikarenakan pada waktu tersebut, orang-orang memilki cadangan pangan yang cukup. Di waktu tersebut, masyarakat juga dianggap memiliki waktu yang luang dengan tidak menyibukkan diri dalam kegiatan pertanian. Dengan begitu, diharapkan dapat melangsungkan upacara Tiwah tanpa harus terganggu dengan kekurangan pangan dan kegiatan bertani.[3]
Tahapan Upacara
Secara garis besar, upacara kematian dalam kepercayaan masyarakat Dayak Ngaju dapat dibagi menjadi dua yakni pertama, upacara-upacara yang dilakukan setelah kematian seseorang hingga saat penguburan sementara dan kedua, upacara tiwah itu sendiri. Kedua upacara tersebut biasanya memiliki jeda. Umumnya jeda ini berlangsung selama satu tahun hingga beberapa tahun. Jeda ini diakibatkan permasalahan biaya upacara Tiwah yang mahal sehingga pihak keluarga menunda pelaksanaannya untuk mengumpulkan dana terlebih dahulu.
Upacara Pra-Tiwah
Dalam masa jeda atau masa antara upacara kematian setelah meninggal dan penguburan pertama dengan berlangsungnya upacara Tiwah, diadakan sejumlah upacara yang bertujuan memberi makan dan sesaji kepada arwah. Adapun upacara-upacara tersebut adalah
- Meniti
- Mahanjur
- Minih
- Manampa raung
- Manatun
- Memalas
- Tantulak matey
Upacara Tiwah
Persiapan Awal
Upacara selanjutnya pasca penguburan sementara adalah upacara Tiwah itu sendiri. Hal pertama yang dilakukan adalah mengumpulan tulang belulang orang yang sudah meninggal. Bagi kelompok masyakarat yang membutuh waktu beberapa tahun untuk melangsungkan upacara Tiwah, jenazah yang sudah habis jasadnya, tinggal diambil saja tulang-tulangnya. Sedangkan bagi keluarga kaya yang melangsungkan upacara Tiwah segera setelah anggota keluarganya meninggal, proses pengambilan tulang sedikit berbeda. Jenazah yang masi memiliki jasad utuh harus dipisahkan dulu tulang belulangnya. Cara memisahkannya adalah dengan mengoyak-ngoyak jasad hingga daging dan tulang dapat terpisah.[3]
Setelah prosesi di atas, dana untuk melangsungkan upacara Tiwah yang telah terkumpul atau disebut dengan laloh, diberikan kepada pimpinan penyelenggara atau bakas tiwah. Pimpinan penyelanggara ini bertugas untuk mengkoordinasikan semua kegiatan yang berhubungan dengan upacara Tiwah.
Adapun tahapan puncak dari upacara Tiwah adalah
- Memilih pemimpin
- Mempersiapkan peralatan:
- Balay Tiwah
- Sangkay raya
- Sandong/Sandung
- Sapundu
- Pantar
- Bara-bara
- Pasah pali
- Garantung (gong)
- Pemahay
- Hewan kurban
Prosesi Puncak
Pengaruh Budaya Luar
Referensi
- ^ Tiwah. Pemkab Gunung Mas. Diakses pada 18 September 2012
- ^ "PENETAPAN WARISAN BUDAYA TAKBENDA INDONESIA 2014". Direktorat Jendral Kebudayaan. 2015-01-19. Diakses tanggal 2019-04-09.
- ^ a b c d e f Dyson, L.; Asharini (1981). Tiwah upacara kematian pada masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Jakarta: Proyek Media Kebudayaan Jakarta, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. OCLC 13896021.
- ^ Media, Kompas Cyber. "Mengenal Ritual Tiwah, Cara Suku Dayak Menghargai Kematian (1)". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2019-04-09.
- ^ Media, Kompas Cyber. "Tiwah, Rukun Kematian Penuh Kebahagiaan Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2019-04-09.
- ^ tutupkuncoro (2018-02-15). "Upacara Tiwah yang merupakan upacara sakral terbesar di kalangan pemeluk Kaharingan". Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-09.
- ^ Harysakti, A., & Mulyadi, L. (2017). Penelusuran Genius Loci Pada Permukiman Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Jurnal Spectra, 12(24), 72-86.
- ^ bpan (2016-06-13). "Ritual Tiwah -". bpan.aman.or.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-09.
- ^ Media, Kompas Cyber. "Mengenal Ritual Tiwah, Cara Suku Dayak Menghargai Kematian (2)". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2019-04-09.
- ^ Schiller, Anne L. (1993-01-01). "Journalistic Imputation and Ritual Decapitation: Human Sacrifice and Media Controversy in Central Kalimantan". Asian Journal of Social Science. 21 (2): 97–110. doi:10.1163/030382493x00134. ISSN 1568-4849.
- ^ Kusmartono, V. P. R. (2007). Tiwah: The Art of Death in Southern Kalimantan. Naditira Widya, 1(1), 206-213. doi:https://doi.org/10.24832/nw.v1i1.344