Suku Ketungau
Suku Ketungau atau Suku Dayak Ketungau merupakan bagian dari rumpun Iban yang mendiami beberapa desa di wilayah Provinsi Kalimantan Barat, khususnya Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, dan di Kecamatan Bengkayang, Kabupaten Sambas. Jumlah populasi berkisar 5.750 jiwa (pada tahun 1989). [1] Terdapat pula Suku Dayak Ketungau Sesat yang mendiami wilayah di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat.
Bahasa
Bahasa yang digunakan suku Ketungau masih menjadi bagian dari bahasa Dayak Iban. Nothofer, James T. Collins, A. B. Hudson, dan Paul Kroeger mengatakan bahwa bahasa Dayak Iban merupakan bahasa kelompok besar yang menganggotai beberapa bahasa subsuku Dayak yang lain, seperti bahasa suku Dayak Kantu’, Ketungau, Mualang, dan Desa. Oleh karena itu, para ahli lingusitik di atas menggunakan istilah Ibanik. [2]
Kebudayaan
Beumo
Berladang padi sebagai satu sistem pertanian tradisional tidak bisa dipisahkan dari satu suku besar yang ada di Kalimantan Barat yakni suku Dayak. Suku Dayak, termasuk Dayak Ketungau Sesat di Sekadau telah menjadikan berladang sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya. Masyarakat Dayak Ketungau Sesat menyebut aktivitas berladang padi sebagi beumo. Beumo adalah suatu cara bertani dengan memanfaatkan hutan sebagai lahan. Beumo telah menjadi mata pencaharian utama masyarakat Dayak Ketungau Sesat yang diwariskan secara turun temurun, tetapi masih lestari hingga kini. peralatan, proses, nama tempat, pertumbuhan padi, jenis tanah, hasil, dan tanda yang berkaitan dengan aktivitas beumo tersebut masih dijaga dengan baik sampai sekarang. Masyarakat Dayak Ketungau Sesat mengolah lahan di perbukitan yang luas dengan cara berpindah, menggunakan teknik tradisional membakar lahan dengan tetap mengedepankan kearifan lokal, bergotong royong, panen setahun sekali, dan adanya syukuran selesai panen yang biasa disebut begawai. Alat yang digunakan dalam berladang berupa alat tradisional yang telah ada secara turun temurun yang dibuat sendiri oleh masyarakat Dayak Ketungau Sesat menggunakan alat dan proses tradisional pula.Tahapan dalam Beumo (berladang padi) yaitu pramenanam, menanam, memanen, dan pascapanen. Tahap pramenanam dimulai dari manggol (memeriksa lahan) sampai dengan nganik (membersihkan kayu-kayu sisa pembakaran ladang). Tahap menanam dimulai dari nugal (menanam padi) sampai ngemabau (merumput). Tahap memanen dimulai dari matah (mengambil semangat padi) sampai dengan mutei kemureik (memanen sisa-sisa padi yang belum dipanen). Tahap pascapanen dimulai dari beirik (proses mengirik padi) sampai dengan makai padei bareu (makan padi baru).[3]
Adat Besepie'
Pada sebagian sub suku Dayak, mengenal yang namanya bersunat. Disamping bermanfaat untuk kesehatan, bersunat menjadi adat kebudayaan yang memiliki ritual tertentu. Pada zaman dahulu, masyarakat Dayak Ketungau Sesat percaya bahwa jika seseorang belum Besepie’ (bersunat) maka ia tidak boleh menduduki jabatan dalam masyarakat, sulit mendapatkan jodoh, bahkan hidupnya dikucilkan. Saat ini, mereka percaya bahwa orang yang belum Besepie' tidak mempunyai harga diri dan dianggap belum dewasa. Besepie’ biasa dilakukan saat anak lelaki berumur 10-15 tahun, yang dipimpin oleh seorang Manangg Sepie’ (pemimpin upacara adat Besepie’). [4]
Referensi
- ^ Hidayah, Zulyani (2015). Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesai. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 183.
- ^ Kompasiana.com. "Interaksi Simbolik Suku Dayak Iban yang Dianggap Suku Penuh Magic". KOMPASIANA. Diakses tanggal 2019-04-09.
- ^ Simon, Pabianus (2017). "PERISTILAHAN DALAM BEUMO (BERLADANG PADI) PADA MASYARAKAT DAYAK KETUNGAU SESAT: KAJIAN SEMANTIK" (PDF). Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Untan. 6 (3).
- ^ "Adat Besepie' (Bersunat) Dayak Ketungau Sesat . Kalimantan Barat » Perpustakaan Digital Budaya Indonesia". budaya-indonesia.org. Diakses tanggal 2019-04-09.