Ganja

ramuan psikoaktif dari tanaman Cannabis yang digunakan untuk tujuan medis atau rekreasi
Revisi sejak 15 September 2019 18.40 oleh Kontolpedia (bicara | kontrib)
Ganja
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Divisi:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
C. sativa
Nama binomial
Cannabis sativa
Subspesies

C. sativa L. subsp. sativa
C. sativa L. subsp. indica

Ganja atau mariyuana adalah psikotropika mengandung tetrahidrokanabinol[1] dan kanabidiol yang membuat pemakainya mengalami euforia. Ganja biasanya dibuat menjadi rokok untuk dihisap supaya efek dari zatnya bereaksi.

Tanaman semusim ini tingginya dapat mencapai 2 meter. Berdaun menjari dengan bunga jantan dan betina ada di tanaman berbeda (berumah dua). Bunganya kecil-kecil dalam dompolan di ujung ranting. Ganja hanya tumbuh di pegunungan tropis dengan ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut.

Ganja menjadi simbol budaya hippie yang pernah populer di Amerika Serikat. Hal ini biasanya dilambangkan dengan daun ganja yang berbentuk khas. Selain itu ganja dan opium juga didengungkan sebagai simbol perlawanan terhadap arus globalisasi yang dipaksakan negara kapitalis terhadap negara berkembang. Di India, sebagian Sadhu yang menyembah dewa Shiva menggunakan produk derivatif ganja untuk melakukan ritual penyembahan dengan cara menghisap hasis melalui bong dan minum bhang.

Sejak 10 Desember 2013, Uruguay melegalkan ganja untuk diperjualbelikan dan dikonsumsi di negara tersebut.[2][3]

Kontroversi

 
A girl is smoking weed

Beberapa negara menggolongkan tumbuhan ini sebagai narkotika, walau tidak terbukti bahwa pemakainya menjadi kecanduan, berbeda dengan obat-obatan terlarang jenis lain yang menggunakan bahan-bahan sintetis atau semisintetis yang merusak sel-sel otak. Di antara pengguna ganja, beragam efek yang dihasilkan, terutama euforia. Meskipun dampak penggunaan ganja bagi kesehatan masih membutuhkan penelitian lebih lanjut, tetapi kadar tetrahidrokanabinol pada ganja yang semakin meningkat dari tahun ke tahun patut diperhatikan. Kadar tetrahidrokanabinol pada daun ganja dulu berkisar antara 1% sampai 4%, saat ini kadarnya bisa mencapai 7%. Semakin meningkatnya kadar tetrahidrokanabinol dapat menyebabkan seseorang semakin mudah mengalami ketergantungan terhadap ganja.[4]

Efek negatif secara umum adalah pengguna akan menjadi malas dan otak akan lamban dalam berpikir. Namun, hal ini masih menjadi kontroversi, karena tidak sepenuhnya disepakati oleh beberapa kelompok tertentu yang mendukung ganja untuk medis dan ganja untuk rekreasi. Selain diklaim sebagai pereda rasa sakit, dan pengobatan untuk penyakit tertentu (termasuk kanker), banyak juga pihak yang menyatakan adanya lonjakan kreativitas dalam berpikir serta dalam berkarya terutama pada para seniman seperti pelukis dan musisi. Lonjakan kreativitas juga dipengaruhi oleh jenis ganja yang digunakan. Efek yang dihasilkan juga beragam terhadap setiap individu. Ada yang merasakan efek yang membuat mereka menjadi malas, sementara ada kelompok yang menjadi aktif, terutama dalam berpikir kreatif (bukan aktif secara fisik seperti efek yang dihasilkan metamfetamin). Itu semua tergantung kadar tetrahidrokanabinol yang terkandung dalam ganja. Semakin tinggi kadar tetrahidrokanabinol di dalam ganja, maka semakin besar perubahan otak yang terjadi dan risiko kecanduan pun semakin meningkat.[5]

Ganja tidak terbukti sebagai penyebab kematian dikarenakan zat yang terkandung dalam ganja. Bahkan, pada masa lalu dianggap sebagai tanaman luar biasa yang hampir semua unsur yang ada padanya dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Namun, akibat penggunaan ganja dengan kadar tetrahidrokanabinol yang tinggi mengakibatkan tekanan darah rendah dan hilangnya ingatan jangka pendek, percepatan detak jantung, berkurangnya kemampuan motorik, dan efek samping lain yang menghalangi kinerja tubuh dalam banyak kegiatan. Jika ini terjadi dalam kondisi dan situasi lingkungan yang bisa membahayakan seperti mengendarai kendaraan yang membutuhkan konsentrasi. Maka kecelakaan akan terjadi sehingga mengakibatkan peluang yang besar terjadinya kematian.[6] Penggunaan yang aman adalah memperhitungkan batas wajar zat psikoaktif yang jangan sampai di atas kesanggupan tubuh menerima zat tersebut, dan tidak melakukan aktivitas yang membahayakan jiwa dikarenakan efek memabukkan ganja yang melebihi mabuk alkohol atau narkoba lainnya kalau kadar tetrahidrokanabinol terlalu tinggi untuk dihadapi oleh tubuh individu penggunanya.

Dalam penelitian ilmiah dengan metode tinjauan sistematis yang membandingkan efektivitas ganja sebagai antimuntah, didapatkan hasil ganja memang efektif sebagai antiemetik dibanding prochlorperazine, metoclopramide, chlorpromazine, thiethylperazine, haloperidol, domperidone, atau alizapride. Namun pengunaannya sangat dibatasi dosisnya, karena sejumlah pasien mengalami gejala efek psikotropika dari ganja yang sangat berbahaya seperti pusing, depresi, halusinasi, paranoia, dan juga arterial hypotension.

Pemanfaatan

 
Ganja tidak dilarang untuk wilayah berwarna biru, dan wilayah berwarna merah masih berstatus sangat dilarang dengan aturan hukum yang ketat dan berat

Tumbuhan ganja telah dikenal manusia sejak lama dan digunakan sebagai bahan tekstil karena serat yang dihasilkannya kuat. Biji ganja juga digunakan sebagai sumber minyak. Namun, ganja juga dikenal sebagai sumber narkotika dan kegunaan ini lebih bernilai ekonomi, karena dominan pemanfaatannya untuk hal yang bersifat rekreasional.

Di sejumlah negara penanaman dan kepemilikan ganja sepenuhnya dilarang. Di beberapa negara lain, penanaman ganja diperbolehkan untuk kepentingan medis dan rekreasi dengan syarat dan ketentuan yang berlaku di negara atau wilayah tersebut.

Sebelum ada larangan ketat terhadap penanaman dan kepemilikan serta penggunaan ganja pada tahun 1976, di Aceh daun ganja menjadi komponen sayur yang umum disajikan. Bagi penggunanya, daun ganja kering dibakar dan dihisap seperti rokok, dan bisa juga dihisap dengan alat khusus yang disebut bong. Di Indonesia, ganja digolongkan narkotika golongan satu menurut perundang-undangan yang berlaku sejak tahun 1976 berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976. Saat ini, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 dijadikan pedoman hukum yang masih berlaku sampai sekarang. Seiring perkembangan dunia globalisasi, Indonesia juga akan mengikuti perkembangan zaman untuk melegalkan penggunaan ganja untuk kepentingan medis pada awalnya. Kemudian, kebutuhan untuk kegunaan rekreasional pada akhirnya.

Indonesia akan melegalkan ganja jika bangsanya sudah siap seperti kesiapan bangsa di negara-negara yang telah melegalkannya. Kalau belum terpenuhi kesiapannya, maka tatanan kehidupan akan semakin kacau. Hal inilah yang ditakutkan oleh kelompok atau golongan yang kehidupannya dalam status aman, nyaman, dan tenteram hidupnya. Legalitas alkohol di Indonesia saja masih memicu keributan meskipun miras sudah legal di Indonesia. Beberapa kelompok dari individu pengguna ganja sangat mendukung dilegalkannya ganja. Itu semua karena terinspirasi dari berita telah dilegalkannya ganja di negara-negara seperti Kanada dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Namun, mereka hanya berpikir supaya kebutuhan rekreasinya terpenuhi dengan mudah, dan mereka tidak memikirkan akibatnya jika ganja dengan mudah dimiliki seperti legalnya tembakau di Indonesia.

Budidaya

Tanaman ini ditemukan hampir disetiap negara tropis. Bahkan beberapa negara beriklim dingin pun sudah mulai membudidayakannya dalam rumah kaca.

Di Indonesia, ganja dibudidayakan secara ilegal di Aceh. Biasanya ganja ditanam pada awal musim penghujan, menjelang kemarau sudah bisa dipanen hasilnya.

Hasil panen ganja berupa daun berikut ranting dan bunga serta buahnya berupa biji-biji kecil. Campuran daun, ranting, bunga, dan buah yang telah dikeringkan inilah yang biasa dilinting menjadi rokok. Kalau bunga betinanya diekstrak, akan dihasilkan damar pekat yang disebut hasis.

Deputi Pencegahan Badan Narkotika Nasional (BNN) Irjen Polisi Ali Djohardi Wirogiotoanja mengatakan bahwa ganja yang tumbuh di Indonesia memiliki kadar tetrahidrokanabinol tertinggi di dunia, meskipun tidak dibudidayakan secara modern seperti di negara-negara maju yang telah melegalkan penggunaan ganja.[7] ‎Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo mengatakan ganja terbaik kualitasnya di dunia dari Aceh.[8] Selain Aceh sebagai peringkat pertama penghasil ganja, ada Bengkulu sebagai peringkat kedua, Jambi peringkat ketiga, dan Sumatra Utara sebagai provinsi dengan peringkat keempat pemasok ganja di dunia.[9] Kapolda Bengkulu Brigadir Jenderal Polisi M. Ghufron mengatakan Bengkulu memiliki lahan yang sangat subur untuk ditanami ganja. Bahkan, ganja-ganja yang dihasilkan memiliki kualitas terbaik dibandingkan tanaman sejenis dari daerah lain.[10]

Lihat pula

Referensi

Pranala luar