Asas legalitas adalah suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas.[1] Asas ini juga melindungi dari penyalahgunaan wewenang hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan dilarang.[1] Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumannya.[1] Jadi berdasarkan asas ini, tidak satu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan.[1]

Dengan demikian, perbuatan seseorang yang cakap tidak mungkin dikatakan dilarang, selama belum ada ketentuan yang melarangnya, dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya, sehingga ada nash yang melarangnya.[1] Ini berarti hukum pidana tidak dapat berlaku ke belakang terhadap suatu perbuatan yang belum ada ketentuan aturannya, karena itu hukum pidana harus berjalan ke depan.[1]

Pada awalnya asas legalitas berhubungan dengan teori Von Feurbach, yang disebut dengan teori Vom Psycologischen Zwang.[2] Teori ini berarti anjuran agar dalam penentuan tindakan-tindakan yang dilarang, tidak hanya tercantum macam-macam tindakannya, tetapi jenis pidana yang dijatuhkan.[2]

Asas legalitas berlaku dalam ranah hukum pidana dan terkenal dengan adagium legendaris Von Feuerbach yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali.[3] Secara bebas, adagium tersebut dapat diartikan menjadi “tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya”.[3] Secara umum, Von Feuerbach membagi adagium tersebut menjadi tiga bagian, yaitu:[3]

  1. Tidak ada hukuman, kalau tak ada ketentuan Undang-undang (Nulla poena sine lege);
  2. Tidak ada hukuman, kalau tak ada perbuatan pidana (Nulla poena sine crimine);
  3. Tidak ada perbuatan pidana, kalau tidak ada hukuman yang berdasarkan Undang-undang (Nullum crimen sine poena legali).

Adagium tersebut merupakan dasar dari asas bahwa ketentuan pidana tidak dapat berlaku surut (asas non-retroaktif) karena suatu delik hanyazxss dapat dianggap sebagai kejahatan apabila telah ada aturan sebelumnya yang melarang delik untuk dilakukan, bukan sesudah delik tersebut dilakukan.[3]

Eddy O.S. Hiariej (2012) memberikan makna dalam adagium tersebut, sebagai asas yang memiliki dua fungsi: (i) Fungsi melindungi yang berarti Undang-Undang pidana melindungi rakyat terhadap kekuasaan Negara yang sewenang-wenang; (ii) Fungsi instrumentasi, yaitu dalam batas-batas yang ditentukan Undang-Undang, pelaksanaan kekuasaan oleh Negara tegas-tegas diperbolehkan. Fungsi melindungi lebih pada hukum pidana materil (hukum pidana) yang mengacu pada frasa pertama (nulla poena sine lege) dan kedua (nulla poena sine crimine), sementara fungsi instrumentalis lebih pada hukum pidana formil (hukum acara pidana) yang mengacu pada frasa ketiga (nullum crimen sine poena legali).

Satu dan lain dalam perkara-perkara pidana, untuk pemecahan kasus-kasus perbuatan pidana, penting untuk diketahui; empat makna asas legalitas yang dikemukakan oleh Jeschek dan Weigend (Machteld Boot: 2001) diantaranya:

  1. Terhadap ketentuan pidana, tidak boleh berlaku surut (nonretroaktif/nullum crimen nulla poena sine lege praevia/lex praevia);
  2. Ketentuan pidana harus tertulis dan tidak boleh dipidana berdasarkan hukum kebiasaan (nullum crimen nulla poena sine lege scripta/lex scripta);
  3. Rumusan ketentuan pidana harus jelas (nullum crimen nulla poena sine lege certa/lex certa);
  4. Ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat dan larangan analogi (nullum crimen poena sine lege stricta/lex stricta).

Berdasarkan keempat makna asas legalitas di atas, menjadi dasar dalam menganggap, kemudian membuktikan sejelas-jelasnya, dari setiap orang yang telah melakukan perbuatan pidana, sehingga patut mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.

Referensi