Ambo Dalle

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan

AGH AMBO DALLE

SOSOK PENDIRI Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI)

Atas inisiatif K.H. Daud Ismail (Kadi Soppeng), K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle (MAI Mangkoso), Syekh H. Abd. Rahman Firdaus dari Parepare bersama ulama lainnya di adakanlah Musyawarah Alim Ulama Ahlussunnah Wal-Jamaah se-Sulawesi Selatan yangdipadukan waktunya dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., bertempat di Watan Soppeng pada 16 Rabiul Awal 1366 H. bertepatan dengan 17 Februari 1947 guna menghindari kecurigaan Westerling karena Soppeng termasuk afdeling Bone yang bebas dari operasi pembantaian Westerling karena pengaruhAruppalakka.

Salah satu keputusan penting dari musyawarah tersebut adalah perlunya didirikan suatu organisasi Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial kemaslahatan umat untuk membina pribadi-pribadi muslim yang kelak bertanggung jawab atas terselenggaranya ajaran Islam secara murni di kalangan umat Islam dan menjamin kelestarian jiwa patriotik rakyat Sulawesi Selatan yang pada waktu itu sedang mempertaruhkan jiwa raganya guna mengusir kaum penjajah Belanda dan mempertahankan kemerdekaan proklamasi 17 Agustus 1945.

Nama dari organisasi yang akan dibentuk itu telah diperdebatkan dalam musyawarah dengan munculnya tiga nama, yakni Al-Urwatul Wutsqa dari K.H. M. Tahir Usman, Nasrul Haq oleh K.H. M. Abduh Pabbajah dan Darud Da’wah Wal-Irsyad oleh Syekh K.H. Abd. Rahman Firdaus dengan pengertian Darud artinya rumah/tempat, Da’wah ajakan memasuki rumah tersebut, dan Al-Irsyad artinya petunjuk itu akan didapat melalui proses berdakwah di suatu daerah tertentu.

Dengan melalui proses yang demokratis dalam musyawarah alim ulama Aswaja se-Sulawesi Selatan ini, maka Darud Da’wah Wal-Irsyad yang disingkat DDI mendapat kesepakatan forum musyawarah, yang kemudian merupakan pula wujud peralihan dan pengintegrasian Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso yang lahir pada tanggal 11 Januari 1938 M. atau 20 Dzulqaidah 1357 H., berdasarkan hasil musyawarah utusan Cabang dan guru-guru MAI dari daerah-daerah pada bulan Sya’ban 1366 H. (1947 M.) yakni sekitar lima bulan setelah berlangsungnya Musyawarah Alim Ulama Aswaja se-Sulsel.

Dengan pengintegrasian ini harus diartikan pula sebagai suatu proses dalam peningkatan bentuk struktural dan operasional MAI Mangkoso dari wadah yang bersifat organisasi sekolah semata menjadi organisasi kemasyarakatan Islam yang memiliki struktur vertikal dan horisontal yang lapangan geraknya di samping pendidikan, maka menjadi garapannya pula yang terkait dengan bidang dakwah dan usaha-usaha yang bersifat kemaslahatan umat.

Dalam bidang kelembagaan organisasi sesuai dengan Peraturan Dasar (AD/ART) DDI yang pertama pada pasal dua, dinyatakan bahwa: “Badan ini tidak mencampuri soal-soal politik”. Hal ini menunjukkan bahwa sikap dan posisi kelembagaan DDI adalah independen dalam arti tidak mengurusi politik praktis, bukan underbauw dari suatu organisasi politik manapun, sehingga waktu Masyumi didirikan pada tahun 1948 dengan tujuan utamanya untuk menghimpun kekuatan politik umat Islam. Pada waktu itu DDI tidak melibatkan diri secara organisasi walaupun dikalangan Pimpinan Pusat Masyumi beberapa kali mengajak bergabung didalamnya.

Ketentuan pasal dua ini dalam Muktamar III DDI tahun 1950 di Makassar dihilangkan, namun secara moral dikalangan pendiri dan warga DDI nilai kerohaniaan itu tetap dipertahankan dengan pembatasan diarahkan kepada Ketua Umum sebagai desition maker organisasi dan ini pun dihapuskan pula dalam Muktamar DDI Ke-15 pada tahun 1989 karena berbagai faktor yang bersifat darurat sehingga KH.Abd. Rahman Ambo Dalle masuk pada kekuatan politik Golkar. Dan ketika Ketua Umum Pengurus Besar DDI (H. Abd. Muiz Kabry) diajak kalangan PKB (KH. Abd.Rahman Wahid atau Gusdur) untuk duduk pada salah satu ketua DPP PKB pada 2000/2001 maupun ke-ketua-an di wilayah PKB Sulsel belum menerimanya demi menjaga keutuhan dan kematangan warga DDI dalam menerima realitas politik dan keadaannya belum pada tingkat darurat, walau larangan formal secara institusi DDI tidak ada lagi.

Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI) dalam pertumbuhannya berbeda dengan kelaziman organisasi yang ada secara umum, sebab DDI benar-benar tumbuh dari akar rumput masyarakat yang ada dipedesaan, sehingga pedesaan adalah basis terkuat bagi DDI, dan dari desa inilah tumbuh berkembang ke kota-kota. Hal ini dapat dilihat di seluruh pelosok pedesaan Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Jambi, Riau dan daerah-daerah lainnya. Hal ini disebabkan karena dari awal keberadaannya di suatu daerah pada dekade 1947 dan MAI sebelum itu (1938) yang menjadi mediator pengembangan terfokus pada pengembangan dakwah, kemudian follow up-nya mendirikan madrasah yang berlangsung sampai 1998 melalui Muktamar DDI ke-17 di Makassar dengan secara komprehensip digandengkan dengan pola umum yang berlaku yakni pendirian DDI dilakukan pula sesuai struktur sistem pemerintahan dengan tidak wajib setelah ada madrasah/sekolah.

Pengembangan pola pertama mensyaratkan pembukaan suatu Cabang DDI di topang oleh :

Adanya permufakatan rakyat di daerah itu Disetujui oleh aparat syara’ ditopang oleh pemerintahan setempat Ada murid yang hendak di berikan pelajaran Ada ruangan untuk tempat belajar Tersedia biaya pengajar dan biaya lainnya, terutama biaya guru yang didatangkan dari pusat (Pesantren) DDI, sehingga keberadaannya kongkrit dan hasilnya pun berkualitas. Sedang pola kedua lebih bertendensi memperluas jaringan sehingga yang dibutuhkan adanya orang yang bersedia menjadi pengurus menurut jenjang yang dibutuhkan dan dari pengurus yang terbentuk inilah diharapkan muncul madrasah/sekolah yang sesuai kebutuhan setempat. Pola ini lebih mengemukakan aspek terbentuknya kekuasaan dan dari kekuasaan itu terjadi transformasi dalam mensosialisasikan DDI.

Idiologi Keagamaan dan Masyarakat Sulawesi Selatan

Sejak DDI berdiri sesuai pasal 2 AD/ART, asasnya adalah syariat Islam sepanjang pengertian Ahlussunnah wal Jamaah sampai pada Muktamar DDI ke-15, pasal ini mengalami perubahan sesuai dengan alam orde baru, semua organisasi harus berdasarkan Pancasila dan pada ayat satu pasal ini dinyatakan bahwa DDI berakidah Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang berarti sistem yang dianut oleh DDI dalam bidang keagamaan yang merupakan istilah idiologi merupakan gambaran menyeluruh tentang way of life-nya bukan istilah ilmu kalam atau teologi, tapi menyangkut seluruh aspek kehidupannya.

Dalam bidang teologi sistem nilai yang dianut dan dikembangkan adalah mengikuti faham Asy’ariyah. Dalam bidang fikhi, sumber pengambilan hukum adalah Alquran, Sunnah, Ijma’ (konsensus para ulama) dan Qiyas. Karena itu imam mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali) diakui keberadaannya.

DDI yang lahir di Sulawesi Selatan sebagai produk alim ulama terkemuka yang berasal dari berbagai daerah di Sulsel, tidak lagi disangsikan keabsahannya sebagai wakil daerahnya yang turut merumuskan proses lahirnya DDI, memberikan gambaran bahwa rakyat Sulawesi Selatan adalah mayoritas penganut faham Ahlussunnah wal Jamaah dan pengaunut faham mazhab Imam Syafi’I yang dikenal sangat akomodatif terhadap perkembangan zaman sehingga dikenal dalam bukunyaal-Qul al-Qadim (perkataan lama) dan al-Qaul al-Jadid (perkataan baru) sehingga mereka lebih dikenal sebagai “Islam moderat”, dengan prinsip membangun kebersamaan di atas prinsip saling menghargai bukan kebersamaan di atas prinsip harus mengikuti prinsip yang kita anut, sebagaimana mereka yang dikenal dengan “Islam radikal”.

Di Sulawesi Selatan pada saat Kahar Muzakkar memimpin pasukannya dalam bergerilya pada mulanya dapat menarik simpatik masyarakat Islam terutama para ulama dalam mendukung perjuangannya. Tapi setelah ulama yang tidak sepaham dengan faham keagamaan yang dianutnya mulai disingkirkan, maka masyarakat tiadk bersimpati lagi padanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu faktor kehancuran Kahar Muzakkar karena faham keagamaan yang dianutnya bertentangan dengan faham mayoritas Islam di Sulawesi Selatan.

Pada daerah di luar Sulawesi yang perkembangan DDI-nya cukup baik, seperti Jambi dan Riau Kepulauan, sering muncul kesalahpahaman dari aparat maupun masyarakat karena sering mengkaitkan DDI dengan DI/TII yang kebetulan sama-sama muncul di Sulawesi Selatan, sehingga biasa dicurigai sebagai “Neo DI/TII”. Padahal sebenarnya secara mendasar keduanya cukup besar perbedaannya, karena secara strategis DDI dalam berikhtiar mencapai tujuan melalui dakwah, pendidikan dan usaha sosial, yang secara taktis dalam orientasi pengembangannya bersifat akomodatif sesuai pembawaan Islam moderat. Sedangkan DI/TII dal;am usaha mencapai tujuannya melalui gerakan bersenjata dan ingin memaksakan kehendaknya kepada orang, sejalan dengan gerakan radikalisme Islam.

DDI dalam Penguatan Civil Society

Kemitraan merupakan salah satu pendekatan DDI dalam membuka peluang dialog yang sangat bermanfaat dalam menemukan titik temu yang dapat menciptakan kerjasama dan kebersamaan disatu sisi dan pada sisi lain dapat memediasi terciptanya saling memahami prinsip masing-masing terhadap hal-hal yang telah menjadi pandangan hidup masing-masing.

Hal ini di dasari pada suatu kenyataan bahwa Civil Society sering disikapi orang secara hitam putih, yakni kecenderungan bahwa masyarakat Civil adalah mereka yang bukan militer, pada hal tidak jarang kita dapatkan orang civil jauh lebih otoriter dan tidak menapikkan pula pendapatnya orang yang berseragam tetapi sikap mentalnya jauh lebih demokratis dari mereka kelompok civil.

Karena itu, DDI memandang bahwa dalam usaha penguatan Civil Society haruslah di mulai pada sekolah/madrasah, dan dibiasakan bermental demokratis terutama mereka yang pada tingkat Perguruan Tinggi sebagai refleksi kebebasan berfikir dan rasional dalam menganalisis persoalan.

Tantangan Internal dan Semangat Berorganisasi

Keanggotaan pada DDI pernah mejadi permasalahan dalam muktamar DDI ke-16 di Kaballangan, karena beberapa faktor seperti ada yang beranggapan anggota DDI itu haruslah orang yang pernah sekolah DDI, dan ada pula yang beranggapan adalah mereka yang menerima dan melaksanakan Anggaran Dasar DDI.

Persoalan keanggotaan ini mencuat pada saat DDI dalam persimpangan antara dua modus pilihan dalam suksesi Pengurus Besar DDI setelah K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle wafat, yaitu melihat DDI secara fisik terkait langsung dengan al-Mukarram, sehingga dengan wafatnya beliau berarti tamatlah sejarah DDI. Prinsip ini banyak dianut oleh mereka yang berpikiran materialistik, sedangkan cara pandang yang lain lebih berorientasi pada idealisme al-Mukarram. Mereka ini menginginkan perkembangan DDI harus dipicu peningkatannya sebagai suatu refleksi kecintaan terhadap al-Mukarram dalam meneruskan apa yang telah dirintis dan dibina oleh al-Mukarram semasa hidupnya.

DDI dan sara Pengembangannya

Untuk mencapai tujuan DDI ditempuh beberapa usaha dan ikhtiyar. Dalam Anggaran Rumah Tandda DDI pasal 1 ikhtiyar dan usaha itu dijelaskan dalam bentuk :

Mengadakan sekolah-sekolah, Pesantren, Pengjian, Kursus-kursus, Perguruan Tinggi dan mengatur kesempurnaan Pengajian dan pendidikan pada umumnya. Menyiarkan Dakwah Islamiyah dengan jalan tabliq, penerbitan buku/majallah dan media Lainnya. Mengamalkan ta’awun (gotong royong) secar luas dalam lapangan kerja usaha sosial. Mengadakan kerjasama dengan golongan yang menyetujui azas dan tujuan serta mengadakan perhubungan baik dengan golongan yang tidak menentang azas dan tujuan DDI. Apabila ikhtiyar dan usaha kerja itu kita jabarkan lebih lanjut, maka dapatlah diketengahkan bahwa lapangan gerak DDI sebenarnya berpusat pada tiga sektor terpenting yaitu :

Dalam Bidang Pendidikan. Perkembangan itelektualis dan mental agamis melalui Pendidikan baik di Sekolah maupun Madrasah/Pesantren menghasilkan tenag-tenaga pemikir dan pribadi-pribadi yang memiliki krakteristik. Mereka inilah membawa pembaharuan yang menciptakan semangat kebangsaan dan nasionalisme. Khususnya Madrsah/Pesantren menghasilkan pemikir-pemikir yang memiliki semangant kebangsaan dan nasionalisme yang berjiwa agama.

Semangat kebangsaan dan nasionalisme yang berdasarkan agama inilah yng paling ditakuti kaum penjajah. Hal ini tergambar dalam salah satu adris Prof.Dr. Snouck Hurgronye tentang bahaya persatuan Indonesia yang berdasarkan Islam dimana beliau mengatakan bahwa “K“bangsaan Indonesia tidak akan berbahaya bagi kedudukan pemerintah penjajah Belanda kalau tidak karena azas Islam. Maka untuk itu perlu menghidupkan kembali kebangsaan Indonesia dengan tidak berpakaian Islam. 1)

Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) yang lahir ditrngah-tengah perjuangan rakyat Sulawesi Selatan yang ketika itu sedang mempertaruhkan jiwa raganya dalam menghadapi kebangsaan kaum penjajah dibawah pimpinan Kapten Westerling yang lebih dikenal dengan peristiwa korban 40.000 rakyat Sulawesi Selatan, menyadari sepenuhnya bahwa pendidikan Islam sangat penting diintensipkan agar semangat kartiotisme para syuhada yang telah mempertahankan segala-galanya demi untuk mempertahankan kemerdekaan proklamasi 17 Agustus 1945 perlu dibina secara berkesinambungan sehingga ula Sulawesi Selatan mendirikan DDI dalam suasana kencah yang demikian.

Cakar bakal pendidikan yang diasuh oleh DDI sebenarnya bermula/bersumber dari pendidikan yang bernama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso Soppeng Riaja yang awal kegiatannya dalam bentuk Pesantren/Madrasah pada tahun 1938 dengan jenjang tingkatan yang ada pada waktu itu baru berupa Tahdiriyah, Ibtidaiyah da Tsanawiyah. Dengan bermodal pada Madrasah inilah kemudian menimbulkan hasrat untuk lebih mengembangkan secara intensif sehingga dibentuklah suatu organisasi yang akan mengelolahnya yaitu DDI.

Sejak peralihan Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) menjadi pada tahun 1947 hingga sekarang ini Madrasah/Sekolah telah tersebar keseluruh pelosok tanah air yang kini meliputi 14 Propensi yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Propensi Jambi, Riau, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Musatenggara, Jakarya Bali, dan Irian Jaya.

Pesantren DDI. Pada Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso pada awal berdirinya memiliki tingkatan Pendidikan formal terdiri dari Tahdiriyah, Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, dengan mata pelajaran terbatas pada Pelajaran agama dan bahasa sedang mata pelajaran umum belum sama sekali diajarkan.

Dismaping pendidikan formal (Klasik) dalam bentuk Madrasah pada MAI Mangkoso ini, maka pada waktu-waktu yang telah ditetapkan yakni pada waktu sesudah shalat subuh, sesudah Shalat Ashar dan sesudah Shalat Magrib diadakan pula dalam bentuk pendidikan non formal yang berupa pengajian dengan membahas kitab tertentu. Pola ini lebih banyak dikenal dengan mana Pesantren. Dengan demikian jelas bahwa kehadiran MAI Mangkoso nmengandung dua wajah (pengertian) dari nama yang satu yakni MAI Mangkoso sebagai Madrasah dab sekaligus sebagai Pesantren, lahir bersamaan dalam wadah yang satu, ibarat dua belahan mata uang yang satu sama lainnya saling menunjang akan arti dan nilainya. Kelihatannya dalam perkembangan Pesantren DDI yang bersumber dari MAI dalam perkembangannya merupakan suatu kelembagaan yang didalamnya terdapat beberapa tingkatan Pendidikan formal dalam bentuk klasikal disamping tetap mempertahankan pola Pengajian dan terus melestarikan prinsip akhlaqul karimah yang merupakan salah satu ciri khas dari nilai moral. Salah satu faktor penting sehingga potensi warga DDI sebagi satu Jam’iyah dapat terhindar dari perpecahan yang biasa dialami oleh suatu organisasi adalah bersumber dari nilai-nilai moral yang dibina melalui Pondok Pesantren DDI. Walaupun ada perselisihan pendapat dikalangan Pengurus DDI dalam hal kebijaksanaan oprasional organisasi kelihatannya tetap dalam batas contradiction non antaginistis (perbedaab yang tidak saling meniadakan).

Madrasah Dan Sekolah DDI. Pendidikan yang diselnggarakan oleh DDI yang bermula pada masa MAI Mngkoso sampai pada tahun 1953 baru terbatas pada pengetahuan Ilmu-Ilmu Agama, bahasa Arab dengan alat-alatnya. Yang dalam sistem pengajarannya dalam bentuk Pesantren dan Madrasah.

Nanti pada Muktamar DDI ke-V yang berlangsung pada tanggal 18 s/d 23 Sdya’ban 1372 H s/d 5 Mei 1953 di Parepare pola pelaksaan pengajaran pendidikan dalam lingkungan organisasi DDI mengalami perobahan sebagai berikut :

Bahagian A : Mengajarkan pengetahuan agama 50 % dan pengetahuan umum 50 % yang jenjang kelembangannya terdiri dari tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah (lanjut) dan tingkat Aliyah (menengah atas)

Bahagian B: Mengajarkan pengetahuan umum yang persentasenya menurut ketentuan pada Sekolah umum yang jenjang kelembagannya terdiri dari SRI.SMP DDI, SMA DDI.

Bahagian C : Mengajarkan pengetahuan agama semata-mata. Bentuk ini tidak memiliki bentuk kelembagaan yang lazimnya disebut sistem Pesantren atau pada pase perkembangannya lebih lanjut sekiranya dilaksanakan dalam sistem klasik diberi nama dengan Madrasah Diniyah.

Maka untuk memantapkan Pendidikan DDI diadakan suatu konperensi. Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan DDI di Parepare pada tanggal 11 s/d 14 Agustus 1945 yang telah berhasil menyusun suatu perencanaan tentang Pendidikan DDI mulai dari tingkat permulaan (TK) sampai tingkat lanjut atas. Dari konpensi itu berhasil dicetuskan beberapa ketentuan tentang penyelenggaraan Pendidikan dalam lingkungan organisasi DDI antara lain adalah :

A z a s ; Pendidikan dan pengajaran yang diselenggarakan oleh DDI berazaskan atas Syariah Islamiyah dalm pengertian yang luasa.

S i f a t ; Pendidikan dan pengajaran tersebut mempunyai dua sifat

Umumiyah (algemeene onderwijs) Fanniyah (Vak onderwjs). Susunan Sekolah Terdiri Dari ; Taman Kanak-kanak Islam (TKI) DDI. Sekolah Rakyat Islam (SRI) DDI Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) DDI Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) DDI (bentuk ini adalah mempuyai sifat umumiyah).

Sekolah kemasyarakatan Islam (SKI) DDI Kursus Dagang Islam (KDI) DDI Sekolah Guru Islam (SGI) DDI Sekolah Guru Taman Kanak-kanak Islam (SGTKI) DDI Sekolah Kerumah Tanggaan Islam (SKTI) DDI (Bentuk ini adalah mempunyai sifat Fanniyah).

Saat ini, menurut data terakhir yang ada pada Pengurus Besar DDI (2010) jumlah madrasah yang dibina oleh DDI, khusus di Sulawesi Selatan sebanyak 371 buah yang tersebar pada 21 kabupaten/kota. Jumlah madrasah untuk seluruh Indonesia kurang lebih 800 buah yang tersebar pada sembilan belas Provinsi. Sedangkan jumlah Pondok Pesantren DDI di seluruh Indonesia sebanyak 50 buah, masing-masing 36 di Sulawesi Selatan, 3 di Sulawesi Tengah, 3 di Sulawesi Tenggara, 2 di Gorontalo, 2 di Kaltim, 1 di Kalsel, 1 buah di Riau, 1 buah di Jatim, 1 di Timika, I buah di Jayapura, dan 1 buah di Biak . Untuk perguruan tinggi, DDI membina empat belas buah, masing-masing 1 STAI di Barru, 1 STAI di Pare-Pare, 1 STAI dan STKIP di Pinrang, 3 buah ST di Polmas (1 STAI, 1 STKIP, 1 STIP), 1 STAI di Sidrap, 1 STAI di Maros, 1 STAI di Kaltim, 1 STAI di Makassar, 1 STAI di Jeneponto, 1 STAI di Majene, 1 STAI di Pangkep, dan 1 STAI dan STKIP di Mamuju. Madrasah yang ada di luar negeri, khususnya di Malaysia, laporannya belum masuk ke PB-DDI sehingga belum bisa dilakukan pendataan

Masa Kecil

Pada masa kecilnya, Ambo Dalle mempelajari ilmu agama dengan metode sorogan (sistem monolog), yaitu guru membacakan kitab, sementara murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru.[butuh rujukan] Pelajaran membaca dan menghafal Alquran ia peroleh dari bimbingan bibi serta kedua orang tuanya, terutama sang ibu. Agar lebih fasih membaca Alquran, Ambo Dalle belajar tajwid kepada kakeknya, Puang Caco, seorang imam masjid yang fasih membaca Alquran di Desa Ujung.[butuh rujukan]

Selama menuntut ilmu, Ambo Dalle tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran, seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu, sharaf, tafsir, dan fikih saja, tapi ia juga mengikuti Sekolah Rakyat (Volk School) pada pagi hari serta kursus bahasa Belanda pada sore hari di HIS Sengkang dan belajar mengaji pada malam harinya.[butuh rujukan]

Sementara itu, untuk memperluas cakrawala keilmuan, terutama wawasan modernitas, Ambo Dalle lalu berangkat meninggalkan Wajo menuju kota Makassar.[butuh rujukan] Di kota ini, ia mendapatkan pelajaran tentang cara mengajar dengan metodologi baru melalui Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI).[butuh rujukan] Pada saat itu, SI yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto berada dalam masa kejayaan dan benar-benar membuka tabir kegelapan bagi wawasan sosial, politik, dan kebangsaan di seluruh Tanah Air.[butuh rujukan]

Ketika mengikuti sekolah guru di Makassar inilah, ia menemukan kehidupan sosial yang lain dan jauh berbeda dari tanah Wajo yang masih sepi.[butuh rujukan] Makassar, yang saat itu telah menjadi sebuah kota pelabuhan terpenting di kawasan Indonesia Timur, ramai disinggahi oleh kapal besar dan perahu dari berbagai penjuru yang memuat barang-barang dagangan. Beraneka ragam barang niaga, seperti beras, kelapa, hasil hutan, dan kain tenun sutera, ditawarkan orang-orang di pasar-pasar.[butuh rujukan]

Ketika kembali ke Wajo, Ambo Dalle semakin matang secara keilmuan ataupun wawasan.[butuh rujukan] Karena itu, ia bertekad untuk mencerdaskan putra-putri bangsa, khususnya di daerahnya sendiri.[butuh rujukan] Selain kegiatan rohani dengan pendalaman spiritual yang menjadi gairah hidupnya sehari-hari, kegiatan fisik juga tidak diabaikannya. Misalnya, ia selalu aktif berolahraga.[butuh rujukan] Olahraga yang paling digemarinya adalah sepak bola. Ambo Dalle terkenal sebagai seorang pemain bola yang andal. Karena keahliannya dalam menggiring dan mengolah si kulit bundar, rekan-rekannya menjuluki Ambo Dalle sebagai 'Si Rusa.'[butuh rujukan]

Selain itu, Ambo Dalle terus menambah ilmunya, terutama dalam ilmu agama.[butuh rujukan] Ia pun belajar kepada ulama-ulama asal Wajo yang merupakan alumni Makkah, seperti H Syamsudin dan Sayyid Ali al-Ahdal. Para ulama asal Wajo ini bermaksud membuka pengajian di kampung halaman mereka.[1]

Mendirikan Madrasah

Salah seorang guru Ambo Dalle, yakni Gurutta H As'ad, suatu ketika menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Ambo Dalle. Ternyata, jawaban Ambo Dalle dianggap yang paling tepat dan benar. Maka, sejak saat itu, ia diangkat menjadi asisten dan mulai meniti karier mengajar serta secara intens menekuni dunia pendidikan.[butuh rujukan]

Berkat kerja sama antara Gurutta H As'ad dan Ambo Dalle, pengajian itu bertambah maju. Hal tersebut terdengar sampai ke telinga Raja Wajo saat itu, Arung Matoa Wajo. Arung Matoa Wajo pun memutuskan mengadakan peninjauan langsung ke tempat pengajian milik Gurutta H As'ad. Dalam kunjungannya, Raja Wajo ini meminta agar Gurutta H As'ad membuka sebuah madrasah yang seluruh biayanya ditanggung pemerintah setempat. Gayung bersambut. Maka, tak lama kemudian, dimulailah pembangunan madrasah.[butuh rujukan]

Madrasah yang dibangun ini menyelenggarakan jenjang pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD), dan tsanawiyah (SMP). Lembaga pendidikan itu diberi nama Al-Madrasah al-Arabiyah al-Islamiyah (disingkat MAI) Sengkang. Lambangnya diciptakan oleh Ambo Dalle dengan persetujuan Gurutta H As'ad bin Abdul Rasyid dan ulama lainnya. Dalam waktu singkat, popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasah) menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah.[butuh rujukan]

Selanjutnya, atas izin sang guru, Ambo Dalle pindah dan mendirikan MAI di Mangkoso pada 29 Syawal 1356 H atau 21 Desember 1938. Mulai saat itulah, ia mendapat kehormatan penuh dari masyarakat dengan gelar Gurutta Ambo Dalle. MAI Mangkoso ini kelak menjadi cikal bakal kelahiran organisasi pendidikan keagamaan bernama Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI).[butuh rujukan]

Sementara itu, sepeninggal Gurutta H As'ad, MAI Sengkang diubah namanya menjadi Madrasah As'adiyah. Perubahan nama tersebut sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa Gurutta H As'ad.[butuh rujukan]

Berkat dukungan dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan perkembangan madrasah yang dipimpin oleh Ambo Dalle ini sangat pesat. Hal ini terbukti dengan banyaknya permintaan dari luar daerah untuk membuka cabang MAI Mangkoso. Untuk merespons permintaan itu, dibukalah cabang MAI Mangkoso di berbagai daerah.[butuh rujukan]

Dakwah

Pengabdiannya yang total dan kepemimpinannya yang adil, lekat di jiwa para murid dan pencintanya. Akan sulit menemukan figur ulama seperti dia dalam sepak terjang perjuangannya di dalam menegakkan syiar agama.[butuh rujukan]

Perkembangan agama Islam di Indonesia pada umumnya dan Sulawesi Selatan pada khususnya tidak terlepas dari sepak terjang para tokoh dan ulama dalam menyebarkan nilai-nilai ajaran Islam. Salah satu di antaranya adalah KH Abdurrahman Ambo Dalle yang oleh murid-muridnya dan masyarakat Bugis umumnya, lebih akrab disapa dengan Gurutta Ambo Dalle.[butuh rujukan] Menurut Nurhayati Djamas (dalam Nasruddin Anshoriy: 2009: xxvii), Gurutta Ambo Dalle merupakan simbol anak zaman. Dia hidup dalam empat zaman, mulai dari zaman feodal, zaman Belanda, zaman Jepang hingga zaman kemerdekaan yang berhasil mencerdaskan murid-muridnya dan masyarakat luas pada umumnya melalui jalur pendidikan, dakwah dengan kecerdasan intelektual dan kecerdasan sosial yang dimilikinya.[2]

Zaman Jepang

Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku imperialis di bumi Sulawesi Selatan. Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai menghadapi kesulitan karena Pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah.

Untuk mengatasi masalah ini, Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Ia pun mengambil inisiatif. Pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca pada bagian pintu dan jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota kelompok. Sewaktu-waktu, pada malam hari dilarang menggunakan lampu.

Bukannya sepi peminat, justru siasat yang dilakukan Ambo Dalle ini mengundang masyakarat sekitar untuk mendaftarkan anak-anak mereka belajar di madrasah milik Ambo Dalle. Bahkan, cara yang ditempuhnya ini membuat madrasah tersebut luput dari pengawasan Jepang. berbagai sumber[3]

Tanda Kehormatan

Dari beberapa rangkaian pengabdian yang dilakukan belaiau dari zaman ke zaman, dia menerima beberapa penghargaan baik dari pemerintah maupun lembaga pendidikan diantaranya: Tanda kehormatan Bintang MAHAPUTRA NARARYA dari presiden BJ. Habibie pada tahun 1999, Tanda penghargaan dari pemerintah daerah tingakt II Kab. Wajo sebagai PUTRA DAERAH BERPRESTASI pada tahun 1998, Penghargaan dari Universitas Muslim Indonesia sebagai TOKOH PENDIDIK BIDANG AGAMA SE-INDONESIA TIMUR pada tahun 1986.[4]

Buku

Salah satu buku biografi tentang Gurutta ambo dalle ditulis oleh Nazaruddin berjudul " AMBO DALLE MAHA GURU DARI BUMI BUGIS "[5][6]

Referensi