Suhardi Somomoeljono
Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada September 2016. |
Lahir di trenggalek, 6 September 1959 sebagai anak keturunan dari 10 bersaudara. Ia adalah anak keturunan pejuang kemerdekaan. Kakeknya pernah menjadi lurah pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda sampai Pemerintahan Kolonial Jepang. Ayah kandung Suhardi dahulu sebagai pejuang kemerdekaan (veteran), sempat menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) sampai tahun 1949, akhirnya mengundurkan diri dari TNI dan terjun kedunia usaha, diantaranya mengelola kebun cengkeh di Trenggalek.
Suhardi Somomoeljono | |
---|---|
Lahir | Suhardi Somomoeljono 06 September 1959 Trenggalek |
Kebangsaan | Indonesia |
Pekerjaan | Pengacara |
Suhardi Somomoeljono menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di Sekolah Dasar Negeri 1 Desa Margomulyo, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek. Selanjutnya meneruskan Pendidikan di Sekolah Menengah Pertama ABRI (“SMP ABRI”) di Madiun dan melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Madiun (“SMAN 2 Madiun”). Mengenal adanya kampus Universitas Islam Indonesia (“UII”) sejak di Madiun, di UII Madiun pada saat itu belum ada Fakultas Hukum yang ada hanya Fakultas Syari’ah dan Tarbiyah. Akhirnya atas saran ayahnya mengambil Fakultas Hukum UII di Yogyakarta. Sejak dari awal setelah lulus SMA Suhardi sudah tidak lagi memikirkan kampus lain sebagai tempat melanjutkan studinya selain di UII.
Masa Kuliah
Suhardi Somomoeljono menjalani masa kuliah dalam jangka waktu normal, yakni selama lima tahun. Untuk ukuran masa lalu, masa kuliah lima tahun bahkan bisa dibilang cepat. Ia tercatata sebagai angkatan tahun 1979 dan lulus sarjana pada tahun 1985. Satu hal yang paling diingatnya adalah saat Almarhum Ayahnya dan Almarhumah Ibunya mewanti-wanti (memberi nasehat) agar dalam menjalani kuliah lebih mengutamakan studinya, kemudian belajar organisasi, serta mencari calon istri setelah kuliahnya selesai. Nasehat dari kedua orang tuanya tersebut diinsyafi dengan baik oleh Suhardi. Berbagai kegiatan organisasi pula ia jadikan sebagai tempat belajar lain, selain di bangku kuliah.
Tercatat, Suhardi pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum UII (“BPM FH UII”), Wakil ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum UII (“Senat FH UII”), dan juga duduk di Sekretaris Badan Koordinasi Kemahasiswaan Universitas Islam Indonesia (“BKK UII”). Sementara, di lembaga eksternal tercatat sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Islam (“HMI”) di Komisariat Fakultas Hukum UII.
Kehidupan Organisasi
Pemikiran Suhardi Somomoeljono mulailah berkembang. Ia banyak belajar bagaimana mengelola satu lembaga dan sekaligus belajar menyelesaikan persoalan-persoalan. Saat, menjadi Wakil ketua Senat pada periode tahun 1981-1982, satu persoalan yang menyita perhatian civitas akademik adalah munculnya stigma bahwa kampus UII adalah kampus ekstrimis. Untuk menghilangkan stigma tersebut Suhardi dan kawan-kawan sampai menghadirkan SUDOMO ( Sosok Pejabat Negara di masa Orde Baru di Masa Pemerintahan Soeharto ) untuk memberikan ceramah di FH UII, demi meredam stigma UII sebagai kampus ekstrim. Saat Suhardi dan kawan-kawan akan menghadirkan sosok tersebut tentu saja terjadi pro dan kontra, ada yang setuju dan banyak pula yang tidak setuju. Namun keputusan tersebut tetap diambil untuk tetap melaksanakan langkah itu. Pada saat itu Suhardi sudah sampai pada pemikiran bahwa alumni UII pada umumnya sudah banyak yang menjadi pejabat dan kader-kader bangsa (tokoh), sehingga dalam pemikirannya justru tidak boleh mengambil jarak dengan kekuasaan.
Kegandrungan berorganisasi terus juga berlanjut setelah ia tamat kuliah. Saat ini, Suhardi menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (“HAPI”), juga secara ex-officio sebagai anggota Komite Kerja Advokat Indonesia (“KKAI”) sekaligus sebagai Provisional Chairman KKAI, tercatat juga sebagai pengurus Ikatan Saudagar Muslim Indonesia (“ISMI”).
Profesi Advokat
Tersemai sejak kecil ingin menjadi Advokat, Suhardi Somomoeljono mulai menapaki karier itu setelah menyelesaikan kuliahnya di UII pada tahun 1985. Banyak hal yang menginspirasi Suhardi menetapkan memegang teguh cita-cita menjadi advokat. Saat masih kecil, sejak kelas 3 Sekolah Dasar (“SD”), ayahnya bercerita suatu ketika ada pencuri yang mengambil dua pikul ketela milik kakeknya. Kakeknya sebagai lurah dimasa pemerintahan Kolonial sangat tegas dengan berprinsip siapapun yang mencuri harus dihukum. Disisi lain, ayah Suhardi berpendapat dimaafkan saja tidak usah dihukum, mengingat si pencuri terpaksa mencuri karena untuk biaya istrinya yang akan melahirkan. Akhirnya, kakek dan ayah Suhardi memutuskan si pencuri dimaafkan dan hasil curiannya yang satu pikul diberikan kepada si pencuri dan yang satu pikul lagi diserahkan kepada pemiliknya.
Kebijaksanaan ini menginsipirasi Suhardi kelak akan menjalani aktivitas sebagai pembela. Ia sangat senang melihat ada masyarakat yang dibela oleh siapapun. Apalagi, dimasa kecil suami dari Sri Sadiyani Utami ini dilingkungannya saat itu banyak terjadi gejolak sosial-politik yang sangat memilukan, misalnya di tahun 1965 terjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (“PKI”), sehingga membela orang lain ia anggap sebagai sesuatu yang luar biasa. Suhardi bahkan memberanikan diri menolak permintaan orang tuanya untuk menjadi hakim beberapa saat setelah lulus kuliah.
Berselang dua tahun sejak kelulusannya 1987, ia membuka kantor hukum di Daerah Istimewa Yogyakarta (“DIY”) dengan nama Suhardi Somomoeljono & Associates. Kantor hukumnya kemudian berpindah ke Jakarta pada tahun 1993. Rentang waktu, 25 tahun menjalankan profesi sebagai Pengacara, Suhardi telah menangani hampir semua bidang kasus, baik yang berskala kecil maupun besar yang menyita perhatian publik. Dalam kasus Peradilan Hak Asasi Manusia (“Peradilan HAM”) di Timor Timur ia membela Terdakwa Eurico Guterres yang pada akhirnya kliennya dibebaskan oleh Mahkamah Agung RI dalam putusan Peninjauan Kembali (“PK”). Dan tentunya, masih banyak perkara besar maupun kecil lainnya yang tidak sempat diungkapkan disini.
Tidak hanya menangani kasus, sepak terjang Suhardi Somomoeljono sebagai advokat juga mendapat pengakuan dari kalangan advokat, misalnya dalam perannya sebagai salah satu inisiator / deklarator penyatuan atau Kodifikasi atas Kode Etik Advokat Indonesia (“KEAI”) tahun 2002, sebelum lahirnya UU Advokat No. 18 Tahun 2003. Bahkan, KEAI tersebut oleh UU Advokat No. 18 Tahun 2003 telah disahkan berlakunya sebagai hukum positif. Dengan berbagai jabatan yang diemban di organisasi advokat, lulusan Magister Hukum Universitas Padjajaran Bandung ini yang telah menyelesaikan doktornya di Universitas Borobudur Jakarta, sejatinya termasuk inisiator pembentukan lahirnya UU Advokat. Dengan begitu, seluk beluk organisasi keadvokatan secara umum persis ia ketahui.