Nasib Hindania

Revisi sejak 8 Maret 2020 07.57 oleh Konijnsate (bicara | kontrib) (Teks: Damil Baka diganti menjadi Daril Baqa karena mengacu pada Bahasa Arab دار البقاء, Damil Baka kemungkinan merupakan kesalahan pengetikan.)

Nasib Hindania (atau Namaku Hindania!) adalah sebuah cerpen karya Mohammad Hatta yang diterbitkan di Majalah Jong Sumatra edisi ke lima tahun 1920, di Batavia. Cerpen ini termasuk sebagai karya awal Hatta yang saat itu masih berusia 17 tahun.[1] Dari cerpen tersebut memperlihatkan Hatta adalah salah satu dari sedikit pemuda kala itu yang memiliki kesadaran terhadap berkebangsaan Indonesia—sebuah konsep yang masih samar-samar.[2] Bahder Djohan menyatakan bahwa cerpen ini adalah sebuah romantika politik[3]

Ringkasan

Nasib Hindania berkisah tentang sebuah tokoh personifikasi dari Hindia Belanda yang digambarkan sebagai seorang janda rupawan bernama Hindania. Setelah suaminya, Brahmana dari Hindustan meninggal, datang seorang musafir dari maghrib bernama Wollandia yang membujuknya untuk menikahinya. Sayangnya pernikahan ini tidak berlangsung baik.

Isi

Di awal cerita, Hatta memulai dengan kutipan Robert Owen yang dibacanya dari buku Hendrick Peter Godfried Quack yang berjudul De Socialisten jilid kedua. Buku tersebut memang merupakan salah satu buku bacaan awal Hatta yang diperkenalkan oleh Mak Eteb Ayub Rais saat Hatta bersekolah di Batavia tahun 1919. Hatta tampaknya sangat tertarik dengan buku berjilid enam ini walau perlu dibaca secara berkala.[4] Buku ini banyak dikutip ke dalam cerpen ini.

Narasi dibawakan dengan sudut pandang orang pertama, yaitu Hindania sendiri yang menjadi tokoh utama cerita. Hindania memperkenalkan namanya dan nuansa kelahirannya dengan puitis.

"Namaku Hindania! Aku dilahirkan di matahari hidup waktu fajar lagi menyingsing, disambut oleh angin sepoi yang bertiup dari angkasa serta dinyanyikan oleh suara margasatwa yang amat merdu bunyinya."

Hindania menyebutkan panjang usianya mengalahkan Nabi Nuh yang meninggal pada umur 950 tahun. Kemudian menceritakan dirinya yang tidak pernah bertemu langsung dengan orang tuanya. Dari berita mulut ke mulut, Hindania mendengar bahwa Ibunda yang bernama Syamsu dan Ayahanda adalah seorang raja besar yang memimpin di awang-awang. Tidak diketahui tepatnya apakan deskrpsi orang tua Hindania ini secara spesifik merujuk pada Majapahit yang dikenal telah menguasai Nusantara dan memiliki logo matahari sebagai simbol kerajaannya. Kemungkinan tidak terkait bila disambung dengan kisah suaminya Sang Brahmana dari Hindustan karena berada di periode masa yang berbeda.

Kisah suaminya merujuk pada Sejarah Hindu Nusantara. Suaminya sebagai seorang brahmana ini mirip dengan teori J. C van Leur yang menyatakan bahwa masuknya Hindu-Buddha ke Asia Tenggara ini melalui kaum Brahmana. Dari suaminyalah Hindania mendapatkan ilmu bercocok tanam. Hindania pun dikaruniai beberapa anak meski kemudian sang suami menutup usia. Yang dimaksud dengan anak-anak Hindania kemungkinan adalah Penduduk Pribumi.

Hindania kemudian menceritakan bahwa ia memiliki taman berpasir intan dan memiliki ragam pepohonan di atasnya. "Banyak tumbuh di atasnya pohon yang ajaib-ajaib yang berjenis-jenis macam buahnya. Satu di antara itu bernama Pohon Andalas...". Pohon Andalas adalah salah satu pohon yang khas dari Sumatra Barat. Nama Andalas juga merupakan nama lain dari Sumatra. Pohon Andalas yang digambarkan berbuah hasil tambang dan berdaun tembakau ini kemungkinan merupakan sebuah metafora dari Pulau Sumatra yang memiliki ragam kekayaan alam. Pohon Andalas diceritakan dengan spesial kiranya karena Hatta memang merupakan anggota dari Jong Sumatranen Bond yang memiliki semangat menumbuhkan kebanggaan atas Sumatra.

Kekayaan Hindania terus bertambah dan kabar akan kemashyurannya terdengar sampai ke benua barat. Maka datanglah seorang musafir dari maghrib bernama Wollandia yang membujuknya untuk menikah. Wollandia adalah personifikasi dari Holandia atau Negeri Belanda yang saat itu datang sebagai pedagang VOC. Kondisi Belanda yang tengah berjuang membangun Republik Belanda dan berjuang dalam Perang Delapan Puluh Tahun digambarkan dalam cerpen sebagai Wollandia yang "sangat miskin dan melarat, dan anak-anaknya pun bertangisan". Hindania yang semula menikahi suaminya karena tampak berbudi akhirnya kecewa dengan Wollandia yang lebih mencintai hartanya daripada dirinya. "Berjuta-juta hartaku dibawa ke negerinya akan penghidupi anak-anaknya di sana yang lagi di dalam lembah kesengsaraan", lembah kesengsaraan yang dimaksud ini kemungkinan adalah Rampjaar.

Kemudian Hatta mengutip syair Heinrich Heine yang berjudul Weltlauf (1851) dan Deutschland, Ein Wintermärchen (1844). Menurut Henk Schulte Nordholt yang menulis biografi Hatta dalam buku berjudul Pioniers van het Niewe Azie, Hatta mengutip syair tersebut dari buku Ch Elout Onze Politieke Partijen (1919). Tanggapan ini dibantah oleh Hatta sendiri dalam buku outobiografisnya, "...sitat Heine itu kupetik dari buku De Socialisten jilid ke empat, halaman 403."[4]

Kutipan syair pertama berjudul Weltlauf (Way of the World) yang aslinya dari buku Romanzero, bagian 2. Zweites Buch, di Lazarus, no. 1 (1851).

Hat man viel, so wird man bald
Noch viel mehr dazu bekommen.
Wer nur wenig hat, dem wird
Auch das Wenige genommen. Wenn du aber gar nichts hast,
Ach, so lasse dich begraben —
Denn ein Recht zum Leben, Lump,
Haben nur, die etwas haben.

Yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi

Start out rich, and life will heap
Even greater wealth upon you.
Start with little wealth, and life
Takes that little swiftly from you. When you've not a sou to spend,
Ah, you might as well be buried;
Only wealthy people, dolt,
May the earth by rights inherit.[5]

Kutipan kedua berasal dari syair Deutschland, Ein Wintermärchen (Germany, A Winter’s tale) dari tahun 1844.

Teks

Berikut adalah teks cerpen yang diperbaru dengan Ejaan Bahasa Indonesia. Teks asli menggunakan Ejaan Van Ophuijsen.

Nasib Hindania

Oleh M. H

The day of Peace begins to dawn
Dark Error’s night will soon be gone
Poor mortals long have been astray
And knowledge now will light the way
R. Owen

Namaku Hindania! Aku dilahirkan di matahari hidup waktu fajar lagi menyingsing, disambut oleh angin sepoi yang bertiup dari angkasa serta dinyanyikan oleh suara margasatwa yang amat merdu bunyinya. Dengan sekejap mata aku pun besarlah dan umurku dipanjangkan Tuhan, lebih panjang dari umur Nabi Nuh. Akan tetapi telah beribu-ribu tahun yang telah lalu aku dilahirkan, belum juga aku bertemu dengan Ibu Bapakku seakan-akan aku ini anak yatim. Kata setengah orang Bapakku seorang Raja Besar, yang bertahta di awang-awang memerintahi seluruh alam dan Ibuku bernama Syamsu, yang sangat indah parasnya serta cahayanya gilang gemilang dan menjadi suluh bagi segala mahluk. Tempatku di tengah-tengah bumi, dimana angin sabung-menyabung.

Rumahku besar mengelilingi khatulistiwa, pada malam hari diterangi suluh alkamar. Pada bulan perbani awal dan akhir rumahku itu diterangi oleh berjuta-juta permata yang berkilau-kilauan cahayanya. Kata orang segala permata itu Ayahku yang empunya. Wah! Jika demikian kaya amat Ayahku itu!

Setelah besar kawinlah aku dengan seorang Brahmana dari Hindustan yang mengajar aku ilmu bercocok tanam. Tiada berapa selang antaranya dapatlah aku beberapa putra, akan tetapi malang tak dapat dihindarkan pada suatu saat yang baik suamiku berpindah ke Daril Baqa. Atas kematiannya aku anak-beranak tiadalah cemas, karena ia ada meninggalkan berjenis-jenis harta benda, sehingga dapatlah aku anak-beranak hidup dengan sederhana.

Halaman rumahku berpasirkan intan mutiara. Banyak tumbuh di atasnya pohon yang ajaib-ajaib yang berjenis-jenis macam buahnya. Satu di antara itu bernama Pohon Andalas yang berbuah batu arang, emas, dan perak serta buah-buahan lain-lain seperti lada kopi dan lain-lain. Daunnya pun berbagai-bagai pula, ada yang diperbuat orang tembakau.

Getahnya menyala jika dibakar, sebab itu dipakai orang pengisi damar. Demikianlah banyak juga tumbuh-tumbuhan yang ajaib-ajaib yang tak perlu rasanya kusebutkan di sini. Hartaku itu semakin lama semakin bertambah, sehingga kerajaanku melimpah-limpah kemana-mana! Anak-anakku pun sentosa hidupnya. Semakin lama semakin mashyur kekayaanku, sehingga sampai beritanya ke benua Barat.

Sekali peristiwa datanglah seorang musafir dari maghrib di tempatku. Namanya Wollandia. Oleh keindahan rupa dan parasku, maka asyilkah ia padaku dan dimintakannya aku menjadi istrinya. Permintaannya kukabulkan, karena kutilik ia seorang yang baik budi. Pada suatu hari baik bulan baik, maka kawinlah kami…

“Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna”

Tiada lama setelah aku persuamikan ia, nyatalah kepadaku, bahwa persangkaanku yang mula-mula itu salah adanya. Terlebih Wollandia mencintai hartaku daripada diriku. Berjuta-juta hartaku dibawa ke negerinya akan penghidupi anak-anaknya di sana yang lagi di dalam lembah kesengsaraan. Awalnya, maka Wollandia meninggalkan tanah daerahnya menyamar-nyamar sampai ke tempatku, ialah karena ia sangat miskin dan melarat, dan anaknya pun bertangisan.

Ada pun halku selama bergaul dengan Wollandia adalah jauh dari pada senang. Demikian juga hal anakku yang tiada diindahkannya, memperlihatkan kekuasaannya, sehingga anakku tiada diberinya menyinggung hartaku lagi. Katanya, harta bendaku itu telah menjadi miliknya. Demikian halku senantiasa aku duduk dengan masygul.

Dengan takdir Allah Subhana Wata’ala yang menurunkan rahmat kepada hambanya, turunlah menjelma seorang Raja Besar, duduk memerintah di Matahari Mati, termaktub pada pertengahan bulan Ramadhan 1333, sejalan dengan tarikh masehi bulan Agustusan 1914. Dari saat inilah Maharaja Mars memerintah sebuas-buasnya seraya membawa huru-hara ke atas dunia.

Di bawah pemerintahannya banyaklah manusia yang sengsara, ada yang kena mati kena cemetinya dan ada pula yang mati karena lapar. Penghidupan ekonomi pun telah menjadi porak-poranda. Ditimpa oleh sang lapar, disiksa oleh Mars yang buas tumbuhlah pemberontakan dari kaum buruh yang amat diancam oleh Maharaja Mars sedangkan kaum kapitalis lagi disayanginya. Di sinilah mula bersaingan dengan hebat kaya dengan miskin, yang satu berteriak mengenal labanya dan yang satu berteriak hendak makan.

Di sinilah teringat kaum yang akhir lagu yang dinyanyikan oleh Heinrich Heine pada abad ke 19

Hat man viel, so wird man bald
Noch viel mehr dazu bekommen.
Wer nur wenig hat, dem wird
Auch das Wenige genommen. Wenn du aber gar nichts hast,
Ach, so lasse dich begraben —
Denn ein Recht zum Leben, Lump,
Haben nur, die etwas haben.

Di sini pula lah nyata yang benar kepada beberapa mahluk, bahwa sebagai sesama hamba Allah tak harus sebagian dari manusia beroleh kesenangan. Hidup dari pada cucur peluh nya orang kecil.

Ein neues Lied, ein besseres Lied,
O Freunde, will ich euch dichten!
Wir wollen hier auf Erden schon
Das Himmelreich errichten.

Wir wollen auf Erden glücklich sein,
Und wollen nicht mehr darben;
Verschlemmen soll nicht der faule Bauch,
Was fleißige Hände erwarben.

Es wächst hienieden Brot genug
Für alle Menschenkinder...

Timbullah lagi ke dalam kalbu nurani beberapa manusia perasaan yang disiarkan oleh Tolstoï dan Karl Marx di dalam abad ke 19. Mulailah pula beberapa golongan manusia menurut jejak-jejak Bakunin, Petrashevsky Dostoyevski, dan lain-lain, jejak mana menuju ke padang kemanusiaan yang dibela oleh beberapa di antara mereka itu dengan jiwanya.

Di sinilah makin hebat timbulnya pergerakan Bolsyewik dan Spartacus yang membawa rubuh Kekaisaran Jerman. Maharaja Mars, dihalau oleh sang lapar, terpaksa meninggalkan tahta kerajaannya, setelah ia memerintah lima tahun lamanya. Lapangan cakrawala di atas daerah tempatku telah mulai pula diisi oleh perasaan yang tersebut di atas sehingga anak-anakku mulai memberanikan dirinya, mengancam suamiku Wollandia manakala permintaannya tiada dikabulkan. Merekapun berteriak menuntut supaya dibagi harta pusakanya.

Wollandia yang hampir-hampir dikenai penyakit-penyakit yang tersebut terpaksa sekarang bermulut manis kepada anakku dan mulailah dia mengabulkan sedikit-sedikit permintaan-permintaannya. Anak-anakku dipujuk dengan dua-tiga permainan. Di tahun 1918 dapatlah anakku sebuah taman tempat ia bermain-main berkumpul-kumpul dan bersuara menyatakan kehendaknya.

Masihkah aku akan memanjangkan riwayat nasibku yang tiada hendak berkeputusan? Tidak! Hingga inilah dahulu.

Referensi

  1. ^ [1] Setiyarini, Herlina (2014) Pemikiran Mohammad Hatta tentang Ekonomi Koperasi tahun 1925-1953
  2. ^ Kepustakaan Populer Gramedia. (2010). Hatta. Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Majalah Tempo. ISBN 9789799102676. OCLC 670239004. 
  3. ^ Sutanto, Sergius, author. Hatta : aku datang karena sejarah. ISBN 9786024020965. OCLC 1088416622. 
  4. ^ a b Hatta, Mohammad, 1902-1980. (2011). Untuk negeriku : sebuah otobiografi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 9789797095406. OCLC 708358221. 
  5. ^ "Way of the world (Heine, set by David Leonard Blake, Caspar René Hirschfeld, Heinrich Huber, Peter Janssens, Roland Moser, Hans Georg Pflüger, Erich-Walter Sternberg, Heinz Tiessen, Adriaan de Wit) (The LiederNet Archive: Texts and Translations to Lieder, mélodies, canzoni, and other classical vocal music)". www.lieder.net. Diakses tanggal 2019-07-27.