Negeri Tihulale, ditulis dan dieja Tihulale, Amalesi adalah salah satu dari sekian banyak "Negeri Adat" yang terdapat di Pulau Seram, Maluku.[1] Sebelah utara Negeri Tihulale berbatasan dengan Negeri Hunitetu, Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Seram, Sebelah barat berbatasan dengan Negeri Kamarian di Waitatohur dan sebelah timur berbatasan dengan Rumah Kai di Siaputi. Nama adat atau teung dari Negeri Tihulale adalah Amalesi Risapori Sariata. [1]

Negeri Tihulale

Letak Astronomis & Geografis

Secara astronomis, negeri Tihulale terletak pada 3°27'0 Lintang Selatan, dan 128°30'0" Bujur Timur. Secara geografis, Tihulale termasuk dalam wilayah Kecamatan Amalatu, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Pulau SeramMalukuIndonesia.[2]

 
Tihulale Dalam Peta

Persekutuan

Negeri Tihulale terhimpun dalam Saniri besar Tiga Batang Air (Kwele Batai Telu) “Tala Eti Sapalewa” yang merupakan bagian dari Saniri “Talabatai” (Batang Air Tala) dengan kedudukan sebagai "Angkota". Dimana dalam Saniri Tiga Batang Air tersebut beranggotakan ± 12 negeri adat yang terdiri dari 5 negeri adat sebagai Ina Ama (Inama) dan 7 negeri adat sebagai Angkota. Adapun kedua belas negeri-negeri adat tersebut adalah:[1]

Ina Ama

  • Negeri Amahai (Ina Ama Lounusa Maatita);
  • Negeri Elpaputih (Ina Ama Tahisane Pesihalule);
  • Negeri Hualoy (Ina Ama Tuni Siwalete Sarimetene);
  • Negeri Kaibobu (Ina Ama Tahisane Poput Samale);
  • Negeri Kairatu (Ina Ama Salibubui);
  • Negeri Lohia Tala (Ina Ama Lohie);
  • Negeri Makariki (Ina Ama Siwalete Maatita);
  • Negeri Soahuku (Ina Ama Riripori Kalapesi); dan
  • Negeri Wasia (Ina Ama Mauwen Tinai)
  • Negeri Watui (Ina Ama Sailewoi);

Angkota

  • Negeri Huku (Moin Nikwele); dan
  • Negeri Tihulale (Amalesi Risapori Sariata)


Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan di Negeri Tihulale berbentuk pemerintahan “PATASIWA” dengan pimpinan tertinggi seorang Upulatu (Raja) yang ditunjuk dan berasal dari fam atau pemangku jabatan Upulatu (''Raja). Fam atau marga pemangku jabatan Upulatu (Raja) di negeri Tihulale adalah fam SALAWANE (Upu Ase Upu Rumah Sitanamah). Dalam memimpin, Seorang UPULATU (Raja) dibantu oleh  :[1]

  • Malesi (Kapitan),
  • Maueng (Pemimpin Kakehan/Adat),
  • Marinyo (Pembawa Titah Raja),
  • Juru Tulis(Tambahan sejak mengenal tulisan)
  • Kewang (Penjaga Hutan),
  • Amanupui (Penjaga Negeri),
  • Soa (Persekutuan Fam),
  • Wariwaa (Persekutuan Adik Kakak)
  • Saniri Negeri (Badan pemerintahan yang bertugas mengurusi perkara pemerintahan dan adat istiadat di dalam Negeri serta dalam pengambilan keputusan, semacam parlemen Negeri)
Berkas:Sistem Pemerintahan Negeri Tihulale.png

Daftar Raja

Adapun Raja-Raja di Negeri Tihulale yang pernah memerintah dari pertama sampai dengan sekarang adalah sebagai berikut:

Berkas:Daftar Raja Tihulale.png
  1. Coeripati Salawane
  2. Patiraha Salawane
  3. Paltin Salawane
  4. Tentapan Salawane
  5. Leisoeka Salawane
  6. Naisamal Salawane
  7. Welem Salawane
  8. Samuel Salawane
  9. Elseus Salawane 1
  10. Elseus Salawane 2
  11. Juluis Salawane
  12. Timothius Salawane
  13. Lucas Wairata
  14. Nicodemus Salawane
  15. Frans Wairata
  16. Boetje Sapuri
  17. Daniel Sapuri
  18. Elia Salawane (Sekarang)


Raja Elia Salawane
Raja Elia Salawane

Bahasa

Bahasa yang digunakan di Negeri Tihulale adalah “Bahasa Alune” (Aloene). Ciri khas Alune dalam adalah dalam berpakaian serta yang paling menonjol dari Alune adalah tidak menjadikan ular sebagai makanan.[3]

Soa

Soa adalah suatu kelompok yang terdapat dalam setiap Negeri adat yang terdiri atau beranggotakan beberapa fam. Soa memiliki kapasitas yang lebih besar daripada sebuah fam atau marga, karena soa mencakup beberapa fam. Biasanya Soa dibangun dan ditentukan sebagai suatu lembaga kecil di dalam suatu komunitas besar (negeri) berdasarkan hal-hal tertentu yang secara historis ada kaitannya antara sesama anggota dalam satu soa tersebut misalnya memiliki hubungan darah (geneologis) atau hal-hal lainnya.[4]

Adapun beberapa Soa yang terdapat di Negeri Tihulale antara lain:

Soa Harur, yang terdiri dari mata rumah :

  1. Salawane (Upu ase upu rumah sitanamah)
  2. Tualena (Upu niai upu rumah niniari)
  3. Tuarisa (Upu hutui upu rumah sourisa)
  4. Nusawakan (Upu uwen haubawa)

Soa Kukur, yang terdiri dari mata rumah :

  1. Sapuri (Upu selai pewaka tanah makah hurui rua)
  2. Tuapetel
  3. Atapari (Upu selai pewaka sou lalan)

Soa Laha, yang terdiri dari mata rumah :

  1. Hursina (Upu matita)
  2. Sopasina
  3. Pariama (Upu panai upu rumah lei selah)
  4. Wairata (Upu selai pewaka suri au)

Wariwaa

Wariwaa adalah suatu persekutuan berdasarkan hubungan matarumah yang dianggap sebagai kakak beradik atau rumpun ade kaka. Adapun persekutuan Wariwaa yang terdapat di Negeri Tihulale antara lain  :

  • Salawane dengan Tuarisa
  • Tualena dengan Nusawakan
  • Sapuri dengan Tuapetel dan Atapari
  • Hursina dengan Sopasina
  • Wairata dengan Pariama

Fam

Fam adalah sebutan untuk matarumah bagi masyarakat maluku, namun karena pengaruh belanda dipergunakan kata fam yang berasal dari kata "familienam" yang berarti "nama keluarga". Biasanya fam atau matarumah mendiami suatu Negeri sebagai persekutuan Masyarakat adat. Dari beberapa Fam kemudian dibentuk Soa, dari Soa kemudian dibentuk Aman atau yang dikenal dengan Negeri. Fam yang terdapat di Negeri Tihulale terbagi atas dua yaitu  :

Ana Negeri (Asli)

  • Salawane
  • Tualena
  • Sapuri
  • Tuapetel
  • Hursina
  • Sopasina
  • Atapari
  • Tuarisa
  • Nusawakan
  • Pariama
  • Wairata

Orang Dagang (Malamait) [5]

  • Selain daripada 11 fam asli tersebut merupakan pendatang atau orang dagang yang menikah, tinggal dan menetap di Negeri Tihulale kemudian menjadi bagian dari masyarakat Negeri Tihulale dan disebut dengan Istilah Malamait.

Hubungan Pela

Pela adalah suatu sistem hubungan sosial yang dikenal dalam masyaraka.t Maluku, berupa suatu perjanjianhubungan antara satu Negeri (sebutan untuk kampung atau desa) dengan negeri lainnya.[6]

Jenis-Jenis Pela

Pada prinsipnya dikenal tiga jenis Pela yaitu Pela Darah atau Karas (Keras), Pela Gandong (Kandung) atau Bongso (Bungsu) dan Pela Tampa Siri (Tempat Sirih).

  • Pela Karas atau Pela Darah adalah sumpah yang diikrarkan antara dua Negeri atau lebih karena terjadinya suatu peristiwa yang sangat penting dan biasanya berhubungan dengan peperanganantara lain seperti pengorbanan, akhir perang yang tidak menentu (tak ada yang menang atau kalah perang), atau adanya bantuan-bantuan khusus dari satu Negeri kepada Negeri lain. Pela Karas dan Pela Gandong ditetapkan oleh sumpah yang sangat mengikat dan biasanya disertai dengan kutukan untuk Pelanggaran terhadap perjanjian Pela ini. Sumpah dilakukan dengan mencampur tuak dengan darah yang diambil dari tubuh pemimpin kedua pihak kemudian diminum oleh kedua pihak tersebut setelah senjata-sejata dan alat-alat perang lain dicelupkan kedalamnya. Alat-alat tersebut nantinya digunakan untuk melawan dan membunuh siapapun yang melanggar perjanjian. Penukaran darah memeteraikan persaudaraan itu.
  • Pela Gandong atau Bongso didasarkan pada ikatan darah atau keturunan untuk menjaga hubungan antara kerabat keluarga yang berada di Negeri atau pulau yang berbeda.
  • Pela Tampa Siri diadakan setelah suatu peristiwa yang tidak begitu penting berlangsung, seperti memulihkan damai kembali sehabis suatu insiden kecil atau bila satu Negeri telah berjasa kepada Negeri lain. Jenis Pela ini juga biasanya ditetapkan untuk memperlancar hubungan perdagangan. Pela Tampa Siri dilakukan tanpa sumpah dengan menukar dan mengunyah Sirih bersama. Pela Tampa Siri merupakan suatu perjanjian persahabatan sehingga perkawinan antar pihak yang terkait diperbolehkan dan tolong menolong lebih bersifat sukarela tanpa ada ancaman hukuman nenek moyang.

Negeri Tihulale memiliki Hubungan Pela yang dikategorikan sebagai Pela Karas atau Pela Darah dengan:

  • Negeri Hatuhaha (Hulaliu, Kabau, Kailolo, Pelau, Rohomoni) karena berlatar peperangan panjang (Perang Alaka II).[7]
  • Negeri Huku (Huku Kecil dan Huku Anakotta) karena berlatar peperangan panjang.
  • Negeri Samasuru (Uru Amalatu) karena berlatar peperangan (Perang Huamual). Negeri Samasuru yang lama ini sudah tenggelam akibat diterjang Tsunami 200-an tahun yang lalu bersama sebagian wilayah Amahai yang lebih dikenal dengan Elpaputih Tenggelam.[8]

Negeri Tihulale memiliki Hubungan Pela yang dikategorikan sebagai Pela Gandong atau Bongso dengan:

  • Negeri Kailolo (Pulau Haruku) karena berlatar persaudaraan dan suka tolong menolong, bersama dalam Satu Arumbai serta Kayu untuk Bangunan Masjid.

Negeri Tihulale juga memiliki hubungan Gandong dengan Negeri Seith (Jazirah Leihitu) karena berlatar saudara Gandong (Seith sebelumnya menempati wilayah di Negeri Tihulale sebelum diperangi Kapitan Salawane dan kelompoknya dari Amanharur yang akhirnya menyebabkan mereka keluar dari Tihulale menuju ke Jazirah Leihitu dan mendirikan Negeri Seith) dan Negeri Ouw (Pulau Saparua) karena berlatar saudara Gandong (Ouw Keluar dari Negeri Seith, Negeri Seith keluar dari Negeri Tihulale).

Untuk menjaga kelestariannya maka pada waktu-waktu tertentu diadakan upacara bersama yang disebut "Panas Pela" antara kedua Negeri yang memiliki hubungan Pela. Upacara ini dilakukan dengan berkumpul selama satu minggu di salah satu Negeri untuk merayakan hubungan dan kadang-kadang memperbaharui sumpahnya. Pada umumnya upacara atau gelaran panas Pela diramaikan dengan pertunjukan menyanyi, dansa dan tarian tradisional semisal cakalele serta acara lain seperti makan patita/makan perdamaian.

Agama

Berkas:Gereja Tihulale.jpg
Gedung Gereja Negeri Tihulale

Sebelum masuknya pengaruh Kekristenan oleh Portugis dan Belanda, Tradisi keagamaan yang dianut masyarakat Negeri Tihulale adalah Kakehan. Namun sejak masuknya pengaruh kolonialisme dengan membawa ajaran Kekristenan atau penginjilan barulah Masyarakat Negeri Tihulale mengenal agama Kristen. Saat ini, Mayoritas penduduk Negeri Tihulale beragama Kristen Protestan dengan Gereja Protestan Maluku sebagai gerejanya. Selain itu ada juga Gereja Masehi Advent walaupun pengikutnya hanya terdiri dari beberapa orang.[9]

Lihat pula

Referensi