Sunan Bayat
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Sunan Bayat (nama lain: Pangeran Mangkubumi, Susuhunan Tembayat, Sunan Pandanaran (II), atau Wahyu Widayat) adalah tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang disebut-sebut dalam sejumlah babad serta cerita-cerita lisan. Ia terkait dengan sejarah Kota Semarang dan penyebaran awal agama Islam di Jawa, meskipun secara tradisional tidak termasuk sebagai Wali Sanga. Makamnya terletak di perbukitan ("Gunung Jabalkat") di wilayah Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah, dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang. Dari sana pula konon ia menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat wilayah Mataram. Tokoh ini dianggap hidup pada masa Kesultanan Demak (abad ke-16).
Terdapat paling tidak empat versi mengenai asal-usulnya, tetapi semua sepakat bahwa ia adalah putra dari Ki Ageng Pandan Arang, bupati pertama Semarang. Sepeninggal Ki Ageng Pandan Arang, putranya, Pangeran Mangkubumi, menggantikannya sebagai bupati Semarang kedua. Alkisah, ia menjalankan pemerintahan dengan baik dan selalu patuh dengan ajaran – ajaran Islam seperti halnya mendiang ayahnya. Namun lama-kelamaan terjadilah perubahan. Ia yang dulunya sangat baik itu menjadi semakin pudar. Tugas-tugas pemerintahan sering pula dilalaikan, begitu pula mengenai perawatan pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah.
Sultan Demak Bintara, yang mengetahui hal ini, lalu mengutus Sunan Kalijaga dari Kadilangu, Demak, untuk menyadarkannya. Terdapat variasi cerita menurut beberapa babad tentang bagaimana Sunan Kalijaga menyadarkan sang bupati. Namun, pada akhirnya, sang bupati menyadari kelalaiannya, dan memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan duniawi dan menyerahkan kekuasaan Semarang kepada adiknya.
Pangeran Mangkubumi kemudian berpindah ke selatan (entah karena diperintah sultan Demak Bintara ataupun atas kemauan sendiri, sumber-sumber saling berbeda versi), didampingi isterinya, melalui daerah yang sekarang dinamakan Salatiga, Boyolali, Mojosongo, Sela Gringging dan Wedi, menurut suatu babad. Konon sang pangeran inilah yang memberi nama tempat-tempat itu). Ia lalu menetap di Tembayat hingga akhir hayatnya, yang sekarang bernama Bayat, Klaten, dan menyiarkan Islam dari sana kepada para pertapa dan pendeta di sekitarnya. Karena kesaktiannya ia mampu meyakinkan mereka untuk memeluk agama Islam. Oleh karena itu ia disebut sebagai Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.
Berguru pada Sunan Kalijaga
Sultan Demak Bintara, yang mengetahui hal ini. Mengutus Sunan Kalijaga dari Kadilangu, Demak, untuk menyadarkannya. Semula Ki Ageng Pandanaran adalah orang yang selalu mendewakan harta keduniawian. Berkat bimbingan dan ajaran-ajaran Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pandanaran bisa disadarkan dari sifatnya yang buruk itu. Akhirnya Ki Ageng Pandanaran berguru kepada Sunan Kalijaga yang menyamar sebagai penjual rumput. Sang bupati menyadari kelalaiannya. Memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan duniawi dan menyerahkan kekuasaan Semarang kepada adiknya.
Sunan Kalijaga menyarankan Ki Ageng Pandanaran untuk berpindah ke selatan. Tanpa membawa harta, didampingi istrinya, melalui daerah yang sekarang dinamakan Salatiga, Boyolali, dan Wedi. Namun, diam-diam tanpa sepengetahuannya, sang istri membawa tongkat bambu yang di dalamnya dipenuhi permata. Dalam perjalanan mereka dihadang oleh kawanan perampok yang dipimpin oleh yang namanya sekarang disebut Syaikh Domba.
Maka terjadilah perkelahian dan untung saja pasangan suami istri ini berhasil mengatasinya. Akhirnya dia berubah menjadi sebuah makhluk dengan perawakan manusia tetapi berkepala domba. Setelah terjadi demikian, akhirnya dia menyadari dan menyesal dengan segala perbuatannya. Kemudian menyatakan diri sebagai pengikut Sunan Pandanaran yang kemudian dibawa oleh Sunan Pandanaran ke gurunya yaitu Sunan Kalijaga. Kepala dia berubah kembali menjadi kepala manusia seperti semula. Setelah itu Syekh Domba diberi tugas untuk mengisi tempat wudu pada padasan atau gentong pada masjid yang berada pada puncak bukit Jabalkat, Bayat.
Kehidupan di Tembayat
Ki Ageng Pandanaran berhasil sampai dan menetap di Tembayat, yang sekarang bernama Bayat, dan menyiarkan Islam dari sana kepada para pertapa dan pendeta di sekitarnya. Karena kesaktiannya ia mampu meyakinkan mereka untuk memeluk agama Islam. Oleh karena itu ia disebut sebagai Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.
Di Tembayat Sunan mendirikan sebuah masjid di atas Gunung Jabalkat yang sekaligus difungsikan sebagai tempat pendidikan agama. Tempat itu akhirnya menjadi pesantren pertama atau sekolah asrama pertama di Jawa Tengah. Dekat makam Sunan Pandanaran ada masjid kuno bernama Masjid Golo. Meskipun sangat kuno dan menyimpan sejarah panjang, masjid ini masih difungsikan umat setempat. Takmir Masjid Golo adalah murid-murid Sunan Pandanaran yang diangkatnya selama perjalanan dari Semarang ke Bayat, Klaten. Salah satu muazin yang bertugas adalah Syeikh Domba.
Tujuan Sunan Pandanaran tak lain hanya untuk menyebarkan agama Islam. Namun usaha yang dilakukan Sunan tidaklah semudah itu. Setelah memilih jalan agama dan melakoni perjalanan yang penuh petualangan ternyata hambatan masih saja ada saat dia berada di Tembayat. Salah satunya adalah perlawanan dari para pemimpin mistis Jawa.
Selain cerita tentang kesaktian yang dimiliki Sunan untuk menghadapi perlawanan para pemimpin mistis Jawa beredar juga cerita tentang kebesaran yang lainnya. Dikisahkan adalah suara adan yang terlalu kuat dan keras yang didengar oleh salah satu Wali yang berada di Demak. Suara adan tadi ternyata adalah suara dari panggilan salat Sunan Pandanaran dari Tembayat, ratusan kilometer jaraknya. Tentu saja suara yang terlalu keras itu mengganggu masyarakat hingga kemudian salah seorang wali meminta Sunan untuk menurunkan suara azan yang dibuatnya. Menyaguhi permintaan Wali tadi, Sunan kemudian memindahkan masjid yang berada di puncak Jabalkat.
Lokasi Makam Sunan Pandanaran
Makam beliau terletak di perbukitan Gunung Jabalkat (berasal dari kata Jabal Katt artinya Gunung yang tinggi dan jauh) di wilayah Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah
Rujukan
- Budiman, Amen. Semarang, Riwayatmu Dulu. Penerbit Satya Wacana, Semarang.
- Sunan Pandanaran Tembayat