Drumblek

drumben tradisional dari Kota Salatiga

Drumblek adalah drumben tradisional yang berasal dari Kota Salatiga. Kesenian ini dipelopori oleh seorang seniman bernama Didik Subiantoro Masruri akibat keterbatasan biaya untuk membeli alat musik drumben dalam rangka memeriahkan acara Hari Ulang Tahun ke-41 Republik Indonesia pada 1986. Setidaknya hingga tahun 2020, drumblek rutin ditampilkan dalam berbagai acara festival kesenian Kota Salatiga.

Drumblek merupakan drumben tradisional dari Kota Salatiga yang dipelopori oleh Didik Subiantoro Masruri (Rohman 2019, hlm. 11-13).

Asal-usul

Menurut Supangkat, drumblek memang bisa dikatakan sebagai salah satu jenis kesenian baru, tetapi cikal bakal dari kesenian drumblek sebenarnya adalah klothekan yang sudah tergolong sebagai budaya lokal dan sudah lama ada dalam masyarakat Jawa.[1] Drumblek dapat digolongkan sebagai seni budaya asli yang berasal dari Salatiga apabila kehadirannya dikatakan sebagai “penyempurnaan” dari budaya klothekan yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi.[2][3]

Berkas:Drumblek Generasi Muda Pancuran.jpg
Gempar (Generasi Muda Pancuran) merupakan perkumpulan drumblek pertama di Kota Salatiga (Rohman 2019, hlm. 14).

Kesenian drumblek pertama kali muncul tahun 1986 di Desa Pancuran, Kelurahan Kutowinangun,[a] Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga[4] dengan pencetusnya bernama Didik Subiantoro Masruri atau lebih akrab dipanggil dengan Didik Ompong.[5][6] Ide kreatif Didik muncul ketika Desa Pancuran diminta untuk berpartisipasi mengikuti karnaval Hari Ulang Tahun ke-41 Republik Indonesia.[7] Pada saat itu, acara-acara kesenian memang banyak diselenggarakan di Kota Salatiga. Adapun acara-acara yang dimaksud adalah karnaval, pawai, dan festival budaya.[8]

 
Barisan theklek Drumblek Gempar ketika tampil dalam festival kesenian Kota Salatiga tahun 1990-an (Supangkat 2014, hlm. 32).

Didik awalnya memiliki keinginan membentuk drumben agar Desa Pancuran dapat berpartisipasi dalam acara tersebut, tetapi terbentur oleh keterbatasan dana.[9][10] Setelah berpikir panjang, Didik akhirnya memiliki gagasan unik tetap membentuk drumben dengan memanfaatkan barang-barang bekas yang masih layak pakai sebagai alat musik pendukungnya, seperti seperti bambu, ember, drum, dan jeriken.[11] Ide Didik tersebut disambut antusias oleh kawan-kawan dan remaja Desa Pancuran. Mulailah mereka bekerjasama mengumpulkan berbagai drum bekas, jerigen minyak, ember, hingga potongan bambu. Setelah semuanya terkumpul, mereka terus berlatih agar mampu tampil dalam karnaval Hari Ulang Tahun ke-41 Republik Indonesia.[12] Pada awal latihannya, suara drumblek jauh lebih berisik ketika ditabuh, bahkan belum membentuk irama lagu. Hal ini dikarenakan semua peralatan yang dipakai menggunakan barang bekas.[8]

Pada perkembangan selanjutnya, nama “drumblek” akhirnya disepakati bersama untuk menyebut temuan kesenian tersebut mengingat alat yang digunakan mayoritas berasal dari drum bekas berbahan seng (bahasa Jawa: blek), sedangkan wadah bagi kesenian drumblek Desa Pancuran pada awal berdirinya diberi nama Drumben Tinggal Kandas,[6][13] yang kemudian berganti nama menjadi Gempar (Generasi Muda Pancuran).[14][15]

Keseriusan latihan dari warga Desa Pancuran membuahkan hasil ketika tampil dalam acara Hari Ulang Tahun ke-41 Republik Indonesia. Drumblek dari Desa Pancuran menarik perhatian para penonton, bahkan sampai sekarang menjadi peserta yang dinantikan oleh masyarakat setiap diadakan berbagai acara kesenian di Kota Salatiga.[16] Saat itu, drumblek hadir untuk pertama kalinya sebagai wujud apresiasi terhadap kesenian rakyat. Didik dan warga Desa Pancuran ingin menciptakan sebuah inovasi baru, sekaligus memperkenalkan budaya Kota Salatiga melalui drumblek.[17]

Dengan mengenakan kostum ala kadarnya dan theklek (bahasa Jawa: sandal yang berasal dari kayu), Drumblek Tinggal Kandas mengusung tema yang berbau politik, tetapi dikemas tidak terlalu vulgar, yaitu “jika tak dapatku sumbangkan bunga pada bangsa, sebutir pasir pun jadi”.[18] Ciri tersebut mengantarkan warga Desa Pancuran meraih penghargaan dari MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia) untuk kategori pawai menggunakan theklek dengan peserta terbanyak.[19] Desa Pancuran kemudian tidak hanya dikenal sebagai pencetus drumblek saja, tetapi juga dikenal sebagai barisan theklek sebagai ciri khasnya.[6][20]

Ide kreatif dari Didik perlahan turut diikuti oleh kampung-kampung lain yang ada di Kota Salatiga. Grup-grup kesenian drumblek semakin banyak bermunculan di tiap-tiap kampung yang ada di Kota Salatiga.[21] Drumblek tidak hanya ditampilkan dalam acara karnaval saja, tetapi juga dijadikan acara seremonial Pemerintah Kota Salatiga.[18][22]

Kesenian drumblek berkembang pesat dalam 10 tahun terakhir ini, dengan ditandai munculnya grup-grup drumblek baru di daerah-daerah perbatasan Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang.[16][23] Salah satu faktor yang menyebabkan pesatnya pertumbuhan grup drumblek adalah dukungan yang diberikan oleh kepala desa masing-masing di tiap daerah.[22][24]

Perkembangan

Keberadaan drumblek tak luput dari perkembangan yang semakin meningkat dari hari ke hari. Kesenian yang awalnya berasal dari Desa Pancuran itu kini telah berkembang hingga di seluruh wilayah Kota Salatiga, bahkan hampir setiap RT (Rukun Tetangga) memiliki grup tersendiri.[24] Selain itu, institusi pendidikan seperti UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) ikut andil dalam peningkatan jumlah grup-grup drumblek melalui kegiatan orientasi mahasiswa baru ataupun ekstrakurikuler.[25][26]

Rohman mengemukakan pendapat lain terkait perkembangan kesenian drumblek. Menurutnya, terdapat tiga proses drumblek dapat menyebar dengan cepat, yaitu adanya pemain drumblek dari Desa Pancuran yang pindah domisili ke kampung lain dan di tempat tinggalnya yang baru itulah orang tersebut melatih serta mengembangkan drumblek sendiri, sehingga kampung barunya memiliki kelompok drumblek; adanya warga Desa Pancuran yang diminta menjadi pelatih di tempat lain; serta pada masa awal kampus UKSW mengenal drumblek, pihak kampus mendatangkan pelatih drumblek dari Desa Pancuran.[24] Selain ketiga faktor tersebut, Supangkat menambahkan bahwa faktor lain drumblek dapat menyebar dengan cepat adalah adanya beberapa orang mahasiswa yang ikut berlatih di Desa Pancuran. Hal inilah yang membuat proses alih keterampilan dapat berjalan dengan lancar.[1][27]

Seiring menjamurnya grup-grup drumblek yang ada di Salatiga dan sekitarnya, dibentuklah PDS (Paguyuban Drumblek Salatiga) tanggal 25 Februari 2016 yang diketuai oleh Muhammad Edi Kurniawan.[28] Pada awal pembentukannya, baru setengah dari keseluruhan grup drumblek yang mendaftar secara resmi di PDS, tetapi dengan adanya acara Deklarasi Paguyuban Drumblek tanggal 30 Oktober 2016 di Lapangan Noborejo, jumlah grup drumblek yang ikut bergabung meningkat menjadi + 120 grup. Hal ini menunjukkan bahwa grup-grup drumblek di Salatiga ingin menunjukkan eksistensinya.[29]

Perlu diketahui, terbentuknya PDS dikarenakan adanya berbagai problematika yang berasal dari berbagai grup drumblek yang ada di Salatiga, terutama dari Drumblek Gempar. Salah satu permasalahan tersebut adalah banyaknya festival atau lomba musik drumblek dengan sistem penilaian yang kurang efektif. PDS hadir sebagai penengah, sekaligus memberikan solusi kepada penyelenggara terkait perlombaan dan sistem penilaian yang baik.[30] Susanto memperjelas bahwa PDS dibentuk sebagai wadah yang menaungi grup-grup drumblek serta tempat berdiskusi untuk memberikan suatu informasi terkait dengan agenda-agenda dan kegiatan drumblek. Selain itu, PDS juga diharapkan dapat mengembangkan musikalitas setiap grup-grup atau kelompok-kelompok drumblek dan mempersatukannya sebagai ikon Kota Salatiga. Dalam wadah PDS sendiri, pengurusnya memiliki slogan, yaitu “dari Salatiga untuk dunia”. Mereka berharap suatu saat nanti drumblek dapat dikenal oleh negara lain.[31]

Bentuk penyajian

Supangkat mengemukakan bahwa drumblek di Kota Salatiga terpengaruh oleh drumben Belanda. Pada saat status Kota Salatiga masih menjadi gemeente,[b] tiap tahun masyarakat Eropa (khususnya Belanda) yang tinggal di wilayah Kota Salatiga selalu mengadakan festival. Biasanya, pawai tersebut dimulai di Lapangan Tamansari sebelum mengelilingi kota. Setelah Pemerintah Hindia Belanda hengkang dari Kota Salatiga, alih-alih punah drumben ala londo menjadi tren di Salatiga, hanya saja wujudnya yang berbeda. Drumblek merupakan bentuk “imitasi” dari drumben, hanya saja alatnya yang “lebih merakyat”.[25][32]

Drumblek menjadi salah satu inovasi pada tataran hiburan rakyat, terkhusus bagi masyarakat Kota Salatiga hingga saat ini. Jenis musik ini memang tidak dikategorikan dalam alat musik yang umum karena berasal dari barang-barang bekas.[33] Namun, melalui inovasi, kreasi, dan kreativitas, barang-barang tersebut dijadikan alat musik yang unik layaknya alat musik konvensional. Selain itu, kesenian drumblek lebih difokuskan sebagai musik untuk ruang terbuka, baik tanah lapang ataupun musik yang dimainkan dengan cara berjalan seperti drumben.[5][34]

Anggota kelompok menjadi poin penting dalam kesenian drumblek. Semakin banyak jumlah anggota pemain drumblek, semakin memungkinkan permainan drumblek menjadi lebih riuh.[33] Hal ini dikarenakan inti dari drumblek adalah kemeriahan dari aspek permainan alat musik, tarian, dan kostum yang digunakan, sehingga anggota kelompok drumblek menjadi hal utama yang perlu dikoordinasi dengan baik agar memunculkan harmonisasi.[17]

Suatu kelompok drumblek terdiri dari beberapa anggota yang bertugas untuk memainkan lagu dengan menggunakan sejumlah kombinasi alat musik, dengan dipimpin oleh satu atau dua orang komandan lapangan. Drumblek biasanya juga diiringi dengan tarian bendera yang membentuk formasi dengan pola berubah-ubah sesuai dengan alur koreografi dari lagu yang dimainkan.[27][35]

Peralatan

Peralatan yang biasa digunakan dalam drumblek antara lain:[16][36][37]

Komposisi pemain

 
Kostum yang digunakan oleh para pemain drumblek sebagian besar terpengaruh dari kostum kesenian topeng ireng (Rohman 2019, hlm. 19).

Komposisi pemain drumblek sebelum tahun 2000-an lebih banyak menggunakan penari daripada pemain instrumen musik, tetapi sejak tahun 2005 komposisi pemain tersebut diubah dengan cara mengurangi penari dan menambahkan pemain instrumen musik.[38] Komposisi pemain dalam instrumen drumblek dapat diubah-ubah sesuai keperluan masing-masing grup drumblek, tetapi komposisi standar dalam pementasan drumblek adalah 50 orang pemain snare drum, 30 orang pemain kentongan, 20 orang pemain tong kecil plastik (drum tenor), 10-15 orang pemain tong besar plastik (drum bass), dan 5 orang pemain bellyra atau glockenspiel. Selain itu, juga terdapat pemain pendukung seperti penari dan mayoret.[16][39]

Ragam lagu dan kostum

 
Kostum yang digunakan oleh mayoret drumblek merupakan perhatian utama dari para penonton (Satriyo 2016, hlm. 104).

Jika dilihat dari penampilan dan ragam kostum yang digunakan, pada saat ini drumblek sudah jauh berkembang apabila dibandingkan dengan awal kemunculannya.[40] Berbagai macam variasi formasi dan barisan juga telah diaplikasikan seperti layaknya drumben profesional.[38] Hal inilah yang menjadikan drumblek sebagai salah satu kesenian musik yang cukup populer dan bergengsi di Kota Salatiga.[5]

Lagu-lagu yang dimainkan oleh grup-grup drumblek juga sangat bervariasi, yaitu dari lagu-lagu rakyat hingga pop yang telah diaransemen.[38] Permainan musik tersebut diawali dengan pemilihan lagu, yang kemudian diteruskan oleh pemegang kontrol musik (biasanya pemain glockenspiel) untuk mencari ketukan dan menentukan tempo agar diikuti oleh pemain yang memegang alat lainnya.[15]

Seperti halnya drumben, kostum yang dikenakan dalam kesenian drumblek juga beragam karena tidak ada standardisasi dalam penggunaannya, semua kelompok drumblek dibebaskan berkreasi asalkan menjaga kesopanan. Adapun kostum-kostum yang digunakan oleh para pemain drumblek sebagian besar terpengaruh dari kostum kesenian topeng ireng.[38] Kostum pemain dalam sebuah kelompok drumblek biasanya dibedakan atas tiga jenis, yaitu kostum untuk pemain alat musik atau instrumen drumblek, kostum untuk para penari drumblek, serta kostum untuk mayoret drumblek.[41] Supangkat dan Satriyo mengemukakan bahwa penggunaan kostum pada pertunjukan drumblek tidak begitu penting, karena yang menjadi pusat perhatian dalam barisan kelompok drumblek adalah mayoret.[42][43]

Lihat pula

Keterangan

  1. ^ Pada waktu itu, Kelurahan Kutowinangun belum dibagi menjadi dua. Kelurahan Kutowinangun Lor dan Kutowinangun Kidul baru diresmikan tanggal 17 Maret 2015 oleh Wali Kota Salatiga, Yuliyanto. Tujuan dari pembentukan Kecamatan Kutowinangun, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga adalah untuk meningkatkan pelayanan publik, melaksanakan fungsi pemerintah, dan melaksanakan fungsi masyarakat (Peraturan Daerah Kota Salatiga No. 5 tentang Pembentukan Kelurahan Kutowinangun Lor dan Kutowinangun Kidul Tahun 2012, hlm. 1-11).
  2. ^ Salatiga ditetapkan menjadi sebuah gemeente yang dikenal dengan nama de Gemeente Salatiga (Kotapraja Salatiga) dan dipimpin seorang burgermeester oleh Pemerintah Hindia Belanda tanggal 25 Juni 1917, melalui Staatsblad No. 266 tahun 1917 yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johan Paul van Limburg Stirum (Prakosa 2017, hlm. 19).

Rujukan

  1. ^ a b Supangkat (2014), hlm. 20
  2. ^ Humas Sekretariat DPRD Kota Salatiga (2015), hlm. 31
  3. ^ Humas Sekretariat DPRD Kota Salatiga (2017), hlm. 21
  4. ^ Dinas Komunikasi dan Informasi Provinsi Jawa Tengah (17 April 2017). "Drumblek Unggulan Budaya Lokal Salatiga". Portal Berita Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Diakses tanggal 31 Maret 2019. 
  5. ^ a b c Budaya Jawa (tanpa tanggal). "Kesenian Drumblek, Seni Asli Salatiga". Informasi Budaya Jawa. Diakses tanggal 31 Maret 2019. 
  6. ^ a b c Perpustakaan Digital Budaya Indonesia (9 Agustus 2018). "Drumblek, Kesenian Asli Salatiga". Perpustakaan Digital Budaya Indonesia. Diakses tanggal 25 Agustus 2019. 
  7. ^ Rohman (2019), hlm. 13
  8. ^ a b Referensi Nilai Budaya Takbenda untuk Output Layanan Data dan Informasi Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah (2017), hlm. 5
  9. ^ Pemerintah Kota Salatiga (16 April 2017). "Drumblek Unggulan Budaya Lokal Salatiga". Website Resmi Pemerintah Kota Salatiga. Diakses tanggal 31 Maret 2019. 
  10. ^ Hubungan Masyarakat Sekretariat Daerah Kota Salatiga (18 Agustus 2014). "Belasan Grup Drumblek Semarakkan Karnaval Budaya Salatiga". Pemerintah Kota Salatiga. Diakses tanggal 12 Mei 2020. 
  11. ^ Supangkat (2014), hlm. 31
  12. ^ Sutantyo (2013), hlm. 31
  13. ^ Satriyo (2016), hlm. 105
  14. ^ Kampoeng Salatiga (2013), hlm. 32
  15. ^ a b Susanto (2016), hlm. 76
  16. ^ a b c d Humas Sekretariat DPRD Kota Salatiga (2014), hlm. 22
  17. ^ a b Susanto (2016), hlm. 75
  18. ^ a b Rohman (2019), hlm. 14
  19. ^ Supangkat (2014), hlm. 16
  20. ^ Supangkat (2014), hlm. 8
  21. ^ Supangkat, dkk (1995), hlm. 30-31
  22. ^ a b Humas Sekretariat DPRD Kota Salatiga (2013), hlm. 21
  23. ^ Supangkat, dkk (1995), hlm. 31
  24. ^ a b c Rohman (2019), hlm. 15
  25. ^ a b Adikristya, Arya (1 Desember 2016). "Patenisasi Drumblek Salatiga". Scientiarum: Wacana Kritis-Prinsipil Mahasiswa UKSW dan Salatiga. Diakses tanggal 25 Agustus 2019. 
  26. ^ Humas Sekretariat DPRD Kota Salatiga (2014), hlm. 23
  27. ^ a b Rohman, Fandy Aprianto (16 Mei 2020). "Drumblek". Perpustakaan Digital Budaya Indonesia. Diakses tanggal 16 Mei 2020. 
  28. ^ Rohman (2019), hlm. 15-16
  29. ^ Susanto (2016), hlm. 77
  30. ^ Rohman (2019), hlm. 16
  31. ^ Susanto (2016), hlm. 76-77
  32. ^ Supangkat (2007), hlm. 20-22
  33. ^ a b Rohman (2019), hlm. 17
  34. ^ Wiratama (2018), hlm. 219
  35. ^ Kampoeng Salatiga (2013), hlm. 26
  36. ^ Referensi Nilai Budaya Takbenda untuk Output Layanan Data dan Informasi Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah (2017), hlm. 6-8
  37. ^ Kampoeng Salatiga (2013), hlm. 28-29
  38. ^ a b c d Rohman (2019), hlm. 19
  39. ^ Kampoeng Salatiga (2013), hlm. 28
  40. ^ Redaksi Tempo (17 September 2018). "Saat Empat Pilar Digaungkan ke Masyarakat Melalui Drumblek dan Rodat". Tempo Media Group. Diakses tanggal 28 Agustus 2019. 
  41. ^ Kampoeng Salatiga (2013), hlm. 16
  42. ^ Supangkat (2014), hlm. 26
  43. ^ Satriyo (2016), hlm. 104

Daftar pustaka

Buku

  • Kampoeng Salatiga (2013). Drumblek dari Salatiga untuk Dunia. Salatiga: Kampoeng Salatiga. 
  • Prakosa, Abel Jatayu (2017). Diskriminasi Rasial di Kota Kolonial: Salatiga 1917-1942. Semarang: Sinar Hidoep. 
  • Supangkat, Eddy (2007). Salatiga: Sketsa Kota Lama. Salatiga: Griya Media. 
  • Supangkat, Eddy (2014). Drumblek Seni Budaya Asli Salatiga. Salatiga: Kantor Perpustakaan Arsip Daerah Kota Salatiga. 
  • Supangkat, Eddy, dkk (1995). Ensiklopedia Salatiga. Salatiga: Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Salatiga. 
  • Sutantyo (2013). Drumblek dari Salatiga untuk Dunia. Salatiga: Buksuling. 

Jurnal ilmiah

Majalah

Lainnya

Pranala luar