Sultan Agung dari Banjar

Revisi sejak 24 September 2008 15.15 oleh Alamnirvana (bicara | kontrib)

Sultan Agung bin Sultan Inayatullah adalah Sultan Banjar yang memerintah antara 1663-1679. Raja ini sebelumnya dikenal dengan nama Pangeran Surya Nata II yang juga dijuluki Pangeran Dipati Anum (Pangeran Anom). Raja ini mengkudeta kemenakannya Sultan Amirullah Bagus Kusuma dengan bantuan suku Biaju, memindahkan pemerintahan ke Sungai Pangeran, Banjarmasin. Suku Biaju (Dayak Ngaju) merupakan suku ibunya, suku ini mendiami sebelah barat Banjarmasin. Ia berkompromi politik dengan saudaranya yang sebapak yaitu Adipati Halid bin Sultan Inayatullah, yang memegang kembali pemerintahan di Martapura sampai 1666. Ibunya berasal dari kalangan suku Biaju (Dayak Ngaju). Pada masa pemerintahannya dia banyak memiliki perkebunan lada di daerah pedalaman sehingga Dijk menyebut Pangeran Anom atau Pangeran Surya Nata II sebagai Koning yan het pepergebergte (raja dari pegunungan lada). Pada masa itu Kesultanan Banjar sedang mengalami zaman keemasannya sebagai penghasil komoditas lada yang diekspor ke luar negeri. Di masa itu para bangsawan yang juga sebagai saudagar dan pedagang lada mempunyai pasukan sendiri dan budak-budak yang dipersenjatai.

Situasi di Masa Sultan Agung

Perebutan kekuasaan di Kesultanan Banjar pada abad ke-17 menghasilkan kompromi politik, Pangeran Ratu (Rakyatullah) tetap berkuasa di Martapura, sedangkan Pangeran Surya Nata II (Sultan Agung) berkuasa di Banjarmasin. Martapura yang merupakan daerah tambang emas dan hasil kebun lada terletak di sebelah hulu dari Banjarmasin, sehingga cara ini dapat mematikan perdagangan Pangeran Ratu saingannya.

Sehubungan dengan ini Pangeran Suryanata mengirim dutanya ke Betawi yaitu Souta Nella dan Nala tahun 1665. Kepada VOC disampaikan surat Pangeran Suryanata yang isinya :

  1. Supaya VOC memanggil kembali orang orangnya yang berada di Martapura dan menutup lojinya.
  2. Mengenai lada VOC tidak perlu khawatir, karena akan dikirim Sultan sendiri dengan kapal kapal ke Batavia.
  3. Meminta agar isi kapal Sultan yang dirampas VOC sekembalinya dari Aceh diberikan kembali dengan perantaraan dutanya.
  4. Surat ini menyebutkan pula pemberian Sultan Agung (Pangeran Suryanata) kepada VOC sebanyak 2.000 gantang lada dan dua lembar tikar rotan.

Utusan yang membawa surat Pangeran Suryanata ini terjadi pada tahun 1665, dan hal ini berarti perjanjian yang dibuat tahun 1664 hanya merupakan kertas kosong belaka.

Sikap Sultan Agung ini (Pangeran Suryanata) yang meminta VOC keluar dari Banjarmasin, diduga atas motivasi dari Mataram, agar Banjarmasin membuka front terbuka sikap anti VOC. Sikap ini diperlukan sebab kesultanan lainnya terutama Mataram mengalami kemunduran dalam bidang perdagangan akibat sepak terjang Belanda yang selalu memegang monopoli perdagangan.

Pada bulan Juli 1665 menurut laporan Residen Gerret Lemmes, tiba tiba Pangeran Suryanata pergi ke daerah Negara untuk membeli lada secara monopoli dari rakyat penghasil lada dan menjualnya kepada pedagang pedagang Makassar, Inggeris, Portugis dan Cina, sedangkan utusan VOC sama sekali tidak diberinya kesempatan memperoleh lada.

Bahkan pelabuhan Banjarmasin dipenuhi dengan pedagang pedagang dari segala bangsa dan perdagangan dilakukan secara bebas. Untuk mempertahankan perdagangan bebas ini dan menghapus keinginan VOC untuk memperoleh monopoli, Pangeran Suryanata mengirim utusan ke Banten, meminta bantuan dan mengakui kekuasan Banten atas Banjarmasin.

Sekitar tahun 1670-an terjadi perubahan besar di Indonesia Timur yang membahayakan bagi perdagangan bebas Banjarmasin, yaitu jatuhnya bandar internasional Makassar dibawah kontrol sesuai Perjanjian Bongaya, ancaman inilah yang menyebabkan Sultan Suryanata mengirimkan utusan-utusan ke Batavia untuk memperoleh monopoli senjata dan mesiu.

Kemunduran Perdagangan di Indonesia Timur ini sebagai akibat dari taktik dan strategi Belanda yang selalu berusaha memperoleh monopoli perdagangan dengan menerapkan politik Divide et impera-nya.

Diduga pula bahwa Sultan Banjarmasin memiliki pandangan, sebagai berikut :

  1. Hubungan dagang dengan Belanda, selalu diakhiri dengan peristiwa pembantaian dan permusuhan di kedua belah pihak.
  2. Dalam setiap perjanjian kontrak dagang, VOC selalu ingin monopoli, dan tidak memberi peluang terciptanya perdagangan bebas.
  3. Adat Istiadat orang orang Belanda, bertentangan dengan adat istiadat orang Banjar, sehingga lambat laun akan timbul konflik budaya.


Didahului oleh:
Amirullah Bagus Kasuma
Sultan Banjar
1663-1679
Diteruskan oleh:
Panembahan Kuning