Kesultanan Jailolo
Kesultanan Jailolo adalah salah satu dari empat kesultanan yang ada di Kepulauan Maluku. Pendirian kesultanan ini berawal dari Perjanjian Moti yang diusulkan oleh Sultan Sida Arif Malamo.[1] Wilayah Kesultanan Jailolo adalah salah satu sumber penghasil cengkih di Kepulauan Maluku.[2]
Kehidupan Masyarakat
Kesultanan Jailolo merupakan salah satu pusat perkembangan kekuasaan Islam yang paling awal di Maluku Utara. Masyarakat Jailolo mulai meninggalkan pemikiran primitif sejak Islam diterapkan dalam kehidupan sosial dan politik.[3] Kesultanan Jailolo menjalankan syariat Islam dalam kehidupan masyarakatnya. Al-Qur'an dan nasihat para leluhur menjadi sumber hukum utama dalam menjalankan hubungan sosial. Kehidupan masyarakat sepenuhnya diatur oleh adat yang dikenal sebagai Adat Se Atorang.[4]
Kesultanan Jailolo merupakan penghasil rempah-rempah sehingga menjadi tempat persinggahan para pedagang asing. Para pedagang asing ini berasal dari Arab, Eropa, Gujarat, Cina, Melayu, Jawa, dan Makassar. Cengkih menjadi rempah-rempah yang paling banyak diperdagangkan.[5]
Keruntuhan
Sejak tahun 1284, Kesultanan Jailolo mulai diserang oleh Kesultanan Ternate. Pada tahun 1551, Kesultanan Ternate melakukan serangan ke Kesultanan Jailolo dengan bantuan dari Portugis. Serangan ini membuat sebagian wilayah kekuasaan Kesultanan Jailolo menjadi milik Kesultanan Ternate. Wilayah yang dikuasai kemudian diisi oleh Suku Ternate, sehingga masyarakat Jailolo khususnya Suku Wayoli pindah ke wilayah Kesultanan Jailolo yang lainnya.[6]
Pada tahun 1620, Kesultanan Ternate kembali melakukan serangan dan dibantu oleh Belanda. Kedua serangan ini mempengaruhi susunan kekuasaan dari Kesultanan Jailolo. Wilayah-wilayah kekuasaannya menjadi rebutan para penguasa lokal dan para penjajah Eropa. Akibatnya kesultanan ini mengalami keruntuhan pada awal abad ke-17.[7] Pada tahun 1620, Kesultanan Ternate menggabungkan bekas wilayah Kesultanan Jailolo menjadi bagian dari wilayah kekuasaannya.[8]
Pendirian Kembali
Kesultanan-kesultanan Maluku mulai dirintis kembali secara adat ketika era reformasi dimulai pada tahun 1998, termasuk Kesultanan Jailolo. Komunitas adat mulai terbentuk dan Kesultanan Jailolo kembali diteruskan dengan Moloku Kie Raha sebagai komunitas adat. Selama periode 2002—2017, telah terangkat empat sultan yang berkuasa secara berturut-turut, yaitu Abdullah Sjah, Ilham Dano Toka, Muhammad Siddik Kautjil Sjah, dan Ahmad Abdullah Sjah.[9]
Silsilah
Kesultanan Jailolo termasuk dalam salah satu dari Moloku Kie Raha atau empat penguasa wilayah Kepulauan Maluku. Kesultanan ini menjadi salah satu penguasa atau Kolano, bersama dengan Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, dan Kesultanan Bacan. Keempat penguasa kesultanan ini berasal dari garis keturunan yang sama.[10] Mereka merupakan keturunan dari Jafar Shadiq yang datang ke Ternate pada tahun 1250. Ia menikahi Nur Sifa yang merupakan seorang puteri dari penguasa Ternate. Pernikahannya melahirkan 4 orang putera dan 4 orang puteri. Keempat puteranya kemudian menjadi raja di Maluku. Anak pertamanya yang bernama Buka menjadi raja di Makian. Anak keduanya yang bernama Daraji menjadi raja di Jailolo. Anak ketiganya bernama Sahajat menadi raja di Tidore. Sedangkan anak keempatnya bernama Mansyur Malamo menjadi raja di Ternate.[11]
Peninggalan
Benteng Gamlamo
Benteng Gamlamo dibangun untuk menghadapi serangan Kesultanan Ternate dan Portugis. Pembangunan benteng dipimpin oleh Sultan Katarabumi. Pondasi benteng dibuat dari bahan tanah dan batu. Sekelilingnya dibanguni tembok dengan dua kubu pertahanan. Benteng ini memiliki persenjataan berupa 100 pucuk senjata laras panjang,18 pucuk meriam, satu mortir, dan beragam senjata untuk mencegah pengepungan. Senjata-senjata ini berasal dari Pulau Jawa.[12]
Nisan-nisan Kuno
Nisan-nisan kuno merupakan salah satu peninggalan Islam di Kesultanan Jailolo. Nisan-nisan ini ditemukan di Desa Galala, Desa Gam Ici, dan Desa Gam Lamo. Ketiga desa ini berada di dalam wilayah Kecamatan Jailolo. Nisan-nisan kuno ini berbentuk pipih dan balok serta memiliki ornamen dengan ukiran kaligrafi dan bunga yang bersulur.[13]
Rujukan
- ^ Jalil, Laila Abdul (2017), hlm. 197."Jailolo merupakan bagian dari 4 kesultanan yang ada di Maluku yang lahir karena adanya perjanjian Moti Verbond yang diprakarsai oleh Sultan Sida Arif Malamo."
- ^ Rahman, Fadly (2019), hlm. 353."Wilayah yang menjadi sumber tanaman cengkih (Eugenia aromatica) adalah lima pulau kecil di Maluku, yaitu Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan; selain juga Halmahera, terutama di Jailolo."
- ^ Handoko, Wuri 2014., hlm. 100."Kerajaan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan di Maluku Utara, dianggap sebagai pusat kekuasaan Islam, karena di wilayah inilah Islam pertama kali berkembang. (...). Jika kehadiran Islam dianggap sebagai kekuatan transformatif, telah memberdayakan masyarakat untuk keluar dari paham-paham primitif, serta dianggap mampu memberikan andil terhadap perubahan penting di bidang sosial dan struktur politi, maka di wilayah Maluku, wilayah-wilayah pusat kekuasaan Islam seperti yang disebutkan diawal, dapat dikatakan mewakili anggapan itu."
- ^ Junaidi, Muhammad (2009), hlm. 232."Sebagai kerajaan islam, maka kepada empat kerjaan Moloku Kie Raha masing-masing menjaga empat pilar dalam Islam yakni Jailolo menjaga syariat, Tidore menjaga tarekat, Bacan menjaga hakikat, Dalam praktek kehidupan masyarakat sehari-hari, hubungan sosial mengacu pada aturan adat yang mengatur kehidupan dikenal dengan Adat Se Atorang. Aturan adat bersumber dari falsafah leluhur dan Al-Qur'an."
- ^ Jalil, Laila Abdul (2017), hlm. 198."Pada masa lalu, Jailolo merupakan bagian dari Provinsi Maluku sebagai sebuah kota kabupaten. Maluku yang dikenal sebagai penghasil rempah-rempah (spice islands) banyak dikunjungi oleh pedagang asing. Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa, Kepulauan Maluku banyak disinggahi oleh pedagang Arab. Selain itu, Kepulauan Maluku juga disinggahi oleh pedagang dari daerah Jawa, Melayu, Makassar, Cina, dan Gujarat dengan tujuan untuk berdagang rempah-rempah terutama cengkeh (...)."
- ^ Mansyur, Syahruddin (2016), hlm. 142." Serangan Ternate terhadap Jailolo pada masa prakolonial telah terjadi sebanyak enam kali yang dimulai sejak tahun 1284. Konflik ini terjadi dalam rentang waktu ± 300 tahun dan serangan terakhir pada tahun 1551, berkat bantuan Portugis, Ternate berhasil menganeksasi dan menjadikan wilayah Jailolo sebagai bagian dari kekuasaan Ternate. Pascakekalahan ini, masyarakat Jailolo terutama suku Wayoli banyak yang keluar dari wilayah Jailolo. Daerah-daerah yang ditinggalkan kemudian diisi oleh eksodus besar-besaran masyarakat Ternate."
- ^ Mansyur, Syahruddin (2016), hlm. 134."Sejak saat itu pula, perjalanan sejarah Jailolo sering mendapat ancaman dan ekspansi terutama dari pihak Ternate hingga mengalami keruntuhan pada abad ke-17. Setidaknya terdapat dua serangan besar yang dilancarkan oleh pihak Ternate (dibantu oleh sekutu bangsa Eropa), yaitu tahun 1551 (bersama Portugis),dan tahun 1620 (bersama Belanda). Para ahli sejarah berpandangan bahwa dua serangan ini bahkan telah merusak struktur kekuasaan internal Kesultanan Jailolo dan pascakeruntuhan tersebut wilayah Kesultanan Jailolo mengalami pasang surut perebutan wilayah yang tidak hanya melibatkan penguasa lokal tetapi juga bangsa Eropa."
- ^ Mansur dan Said (2018), hlm. 137"Adapun Kesultanan Jailolo telah dianeksasi oleh Kesultanan Ternate sejak 1620."
- ^ Mansur dan Said (2018), hlm. 137—138."Setelah gerakan reformasi 1998, Kesultanan Tidore dan Kesultanan Bacan pun dihidupkan kembali, seolah memberi kesan bahwa reformasi telah memberikan ruang untuk tumbuh dan berkembangnya institusi-institusi adat termasuk institusi kesultanan. Ruang reformasi itu rupanya memungkinkan untuk menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo yang menjadi bagian dari pilar Moloku Kie Raha. Dengan semangat “Marimoi Ngone Futuru”, Jailolo sebagai bagian dari pilar Moloku Kie Raha akhirnya dihidupkan kembali pada 2002. Dengan hadirnya Kesultanan Jailolo, maka lengkaplah konfigurasi Moloku Kie Raha yang terdiri dari Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Akan tetapi, eksisnya kembali Kesultanan Jailolo melahirkan dinamika tersendiri terhadap perkembangan institusi dan masyarakatnya. Kondisi ini dapat diamati dari adanya kontroversi mengenai hubungan geneologis sultan, pengangkan dan pemberhentian sultan, dan perangkat kesultanan dari 2002 sampai 2017. Pada periode yang disebutkan di atas, setidaknya terdapat empat sultan di Jailolo dengan pendukungnya masing-masing. Keempat sultan itu adalah Abdullah Sjah, Ilham Dano Toka, Muhammad Siddik Kautjil Sjah, dan Ahmad Abdullah Sjah."
- ^ Pudjiastuti, Titik (2016), hlm. 2."...di daerah Maluku dikenal ungkapan tradisional yang disebut Moloku Kie Raha, yaitu istilah untuk menyebut empat penguasa daerah yang disebut kolano: Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Keempat kolano ini dianggap mempunyai hubungan darah, keturunan dari Jafar Shidik, ulama Jawa yang datang ke Ternate pada tahun 1250 M dan menikah dengan putri Ternate. Dari perkawinan itu lahirlah empat orang putra yang disebut kolano."
- ^ As'ad, Muhammad (2010), hlm. 176."(...), Jafar shadiq (juga disebut Jafar Nuh) yang tiba di Ternate pada hari Senin, 6 Muharram 643 H atau 1250 M. Jafar Shadiq kawin dengan seorang puteri setempat yang diberinya nama Nur Sifa dan melahirkan 4 orang putera dan 4 orang puteri. Keempat putera itulah yang menjadi raja pertama dari empat kerajaan di Maluku, yaitu pertama Buka di makian, kedua Daraji di Jailolo, ketiga Sahajat di Tidore, dan keempat Mansyur Malamo di Ternate."
- ^ Mansyur, Syahruddin (2016), hlm. 143."Selain pemimpin yang kuat, Kesultanan Jailolo pada saat itu juga memiliki benteng yang sulit ditembus hingga pada akhirnya pasukan gabungan Ternate-Portugis berhasil menaklukkan benteng ini. Menghadapi serangan besar ini, Katarabumi memperkuat benteng tersebut dengan membuat dinding luar yang terbuat dari tanah dan batu yang di atasnya berdiri tembok dengan dua kubu pertahanan (bulwark). Benteng ini juga dilengkapi dengan 100 pucuk senjata laras panjang, 18 pucuk meriam serta sebuah mortir, dan berbagai senjata yang didatangkan dari Pulau Jawa, berikut berbagai peralatan untuk mengatasi kepungan."
- ^ Jalil, Laila Abdul (2017), hlm. 199—200."Masuknya pengaruh Islam ke Kepulauan Maluku menyisakan data-data arkeologis berupa nisan-nisan kuno terutama di Jailolo yang tersebar di enam titik yang tersebar di Desa Galala, Desa Gam Ici, dan Desa Gam Lamo, Jailolo. Berdasarkan tipologi, nisan kuno di Jailolo berbentuk pipih dan balok. Ornamen pada nisan berupa kaligrafi dan flora berbentuk bunga serta suluran."
Daftar Pustaka
- As'ad, Muhammad (2010). "Tradisi Tlis Masyarakat Maluku Utara". Al-Qalam. 16 (26): 171—180.
- Handoko, Wuri (2014). "Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan Hoamoal di Seram Bagian Barat". Kapata Arkeologi. 10 (2): 99—112.
- Jalil, Laila Abdul (2017). "Nisan Kuno di Jailolo: Bukti Perkembangan Islam Abad Ke-18 di Maluku Utara". Berkala Arkeologi. 37 (2): 195—207.
- Junaidi, Muhammad (2009). "Sejarah Konflik dan Perdamaian di Maluku Utara (Refleksi Terhadap Sejarah Moloku Kie Raha)". Academica. 1 (2): 222—247.
- Mansur, Mustafa dan Said, Rusli M. (2018). "Dinamika Sosial-Politik Kesultanan Jailolo (2002—2017)". Etnohistori. V (2): 136—161.
- Mansyur, Syahruddin (2016). "Sebaran Benteng Kolonial Eropa di Pesisir Barat Pulau Halmahera: Jejak Arkeologis dan Sejarah Perebutan Wilayah di Kesultanan Jailolo". Purbawidya. 5 (2): 133—150.
- Pudjiastuti, Titik (2016). "Naskah-naskah Moloku Kie Raha: Suatu Tinjauan Umum". Manuskripta. 6 (1): 1—10. ISSN 2252-5343.