Suku Cirebon

kelompok etnik Jawa yang berasal dari wilayah pesisir utara Cirebon di pulau Jawa

Suku Cirebon adalah kelompok etnis yang tersebar di sekitar Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka sebelah utara atau biasa disebut sebagai Wilayah "Pakaleran", Kabupaten Kuningan sebelah utara, Kabupaten Subang sebelah utara mulai dari Blanakan, Pamanukan, hingga Pusakanagara dan sebagian Pesisir utara Kabupaten Karawang mulai dari Pesisir Pedes hingga Pesisir Cilamaya di Provinsi Jawa Barat dan di sekitar Kec. Losari di Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah[1]. Selain itu, Suku Cirebon tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Pada sensus penduduk 2010 Suku Cirebon berjumlah 1.877.514 jiwa, dengan 961.406 laki-laki dan 916.108 perempuan[2]. Rasionya yaitu sekitar 0,79% dari jumlah penduduk seluruh Indonesia pada tahun 2010 dan menempati peringkat 24 dari semua suku di Indonesia. Provinsi terbanyak yang terdapat suku Cirebon adalah Provinsi Jawa Barat (1.812.842 jiwa), Banten (41.645 jiwa), dan Lampung (8.406 jiwa). Sebanyak 1.425.272 jiwa (75,91%) bermukim di perkotaan dan 452.242 jiwa (25,09%) bermukim di pedesaan[2]. Masyarakat Suku Cirebon memeluk agama Islam. Bahasa yang dituturkan oleh orang Cirebon adalah gabungan dari Bahasa Jawa, Sunda, Arab dan China yang mereka sebut sebagai Bahasa Cirebon.[butuh rujukan] Mereka juga memiliki dialek Bahasa Sunda tersendiri yang disebut Bahasa Sunda Cirebon.

Suku Cirebon
Daerah dengan populasi signifikan
Jawa Barat
(Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu)
Bahasa
Bahasa Cirebon, Bahasa Sunda, Bahasa Indonesia
Agama
Islam
Kelompok etnik terkait
Suku Sunda
Banyumasan

Pengakuan Suku Bangsa Tersendiri

Pada mulanya keberadaan Etnis atau Orang Cirebon selalu dikaitkan dengan keberadaan Suku Sunda dan Jawa, tetapi kemudian eksistensinya mengarah pada pembentukan budaya tersendiri, mulai dari ragam batik pesisir yang tidak terlalu mengikuti pakem keraton jawa atau biasa disebut batik pedalaman hingga timbulnya tradisi-tradisi bercorak islam sesuai dengan dibangunnya keraton cirebon pada abad ke 15 yang berlandaskan islam 100%. eksistensi dari keberadaan suku atau orang cirebon yang menyebut dirinya bukan suku sunda ataupun suku jawa akhirnya mendapat jawaban dari sensus penduduk tahun 2010 di mana pada sensus penduduk tersebut tersedia kolom khusus bagi Suku bangsa Cirebon, hal ini berarti keberadaan suku bangsa cirebon telah diakui secara nasional sebagai sebuah suku tersendiri, menurut Erna Tresna Prihatin

Indikator itu (Suku Bangsa Cirebon) dilihat dari bahasa daerah yang digunakan warga Cirebon tidak sama seperti bahasa Jawa atau Sunda. Masyarakat Cirebon juga punya identitas khusus yang membuat mereka merasa sebagai suku bangsa sendiri. Penunjuk lainnya yang mencirikan seseorang sebagai suku bangsa Cirebon adalah dari nama-namanya yang tidak seperti orang Jawa ataupun Sunda. Namun, belum ada penelitian lebih lanjut yang bisa menjelaskan tentang karakteristik identik tentang suku bangsa Cirebon. Untuk menelusuri kesukuan seseorang, hal itu bisa dilakukan dengan garis keturunan ayah kandungnya. Selain itu, jika orang itu sudah merasa memiliki jiwa dan spirit daerah itu (daerah suku bangsa cirebon) maka dia berhak merasa sebagai suku yang dimaksud

.[3]

Jumlah Penduduk Suku Cirebon Berdasarkan Provinsi

Berikut merupakan jumlah penduduk Suku Cirebon di tiap provinsi di Indonesia berdasarkan Sensus Penduduk 2010[2].

No. Provinsi Jumlah Suku Cirebon
1. Aceh 45
2. Sumatera Utara 183
3. Sumatera Barat 16
4. Riau 284
5. Jambi 281
6. Sumatera Selatan 4.552
7. Bengkulu 43
8. Lampung 8.406
9. Bangka Belitung 90
10. Kepulauan Riau 45
11. DKI Jakarta 5.825
12. Jawa Barat 1.812.842
13. Jawa Tengah 582
14. D I Yogyakarta 29
15. Jawa Timur 1.637
16. Banten 41.645
17. Bali 15
18. NTB 7
19. NTT 29
20. Kalimantan Barat 225
21. Kalimantan Tengah 16
22. Kalimantan Selatan 126
23. Kalimantan Timur 221
24. Sulawesi Utara 13
25. Sulawesi Tengah 8
26. Sulawesi Selatan 27
27. Sulawesi Tenggara 22
28.
Gorontalo 3
29.
Sulawesi Barat 2
30. Maluku 19
31. Maluku Utara 16
32. Papua Barat 75
33. Papua 185

Pandangan Hidup Suku Cirebon

Pandangan hidup suku Cirebon didasari dari implementasi adat istiadat yang didasarkan pada penjabaran hadis dan al-qur'an, diantara pandangan-pandangan hidup yang dipegang erat oleh masyarakat adat suku Cirebon adalah "petatah-petitih" (bahasa Indonesia: Pesan) dari Syekh Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)[4] selain petatah-petitih titip tajug (mushala) dan fakir miskin (harus memakmurkan mushala dan merawat fakir miskin) yang sudah dikenal luas, masih ada beberapa petatah-petitih lainnya, diantaranya adalah lima pandangan hidup suku Cirebon yang memiliki kemiripan nilai dengan Pancasila, yaitu

  1. Wedia Ning Allah (Takutlah Kepada Allah)
  2. Gegunem Sifat Kang Pinuji (Mengusung sifat-sifat terpuji kemanusiaan)
  3. Den Welas Asih Ing Sapapada (Utamakan cinta kasih terhadap sesama)
  4. Angadahna Ing Pepadu (Jauhi Pertengkaran)
  5. Amapesa Ing Bina Batan (jangan serakah dalam hidup bersama)

Aksara Cirebon

Bahasa Cirebon dalam perjalanannya menggunakan aksara yang dikenal dengan nama Rikasara, Cacarakan Cirebon, aksara Arab Pegon serta aksara Jawi[5]. Aksara Cacarakan Cirebon merupakan jenis aksara yang bentuknya lebih dekat dengan aksara Bali ketimbang aksara Carakan Jawa.[butuh rujukan] Sementara Rikasara Cirebon[6] merupakan jenis aksara yang digunakan sebelum tahun 1650-an (abad 17) dimana para ahli berpendapat bahwa Rikasara tersebut memiliki keterkaitan dengan aksara Palawa.

Aksara Rikasara Cirebon

Rikasara Cirebon yang oleh para ahli dikatakan memiliki keterkaitan dengan aksara Palawa [6] memiliki tiga cara penulisan dan beberapa gaya tulis (Samengan)

  • Sasandisara (cara menulis rahasia), tujuan cara penulisan ini adalah agar tulisannya tidak bisa diketahui oleh khalayak ramai, contoh cara penulisan ini dapat ditemui pada surat yang dibawa ke Banten untuk membantu pangeran Hasanuddin
  • Angarasara (cara menulis umum), cara penulisan yang biasa dilakukan oleh para Ajengan (kyai atau orang terhormat) dan bersifat umum (tidak rahasia0 sehingga bisa dibaca oleh siapa saja, pada Angarasara gaya tulis atau Samengan secara garis besar dibagi menjadi beberapa yaitu, Kawatu, Layus dan Halif
  • Bandasara (cara menulis rahasia dengan membalutnya dengan doa), tujuan penulisan ini sebenarnya sama dengan Sasandisara yaitu untuk hal-hal yang bersifat rahasia, hanya saja karena dibalut dengan doa pembawanya tidak sadar kalau dia sedang membawa surat penting, contohnya adalah surat yang dibawa oleh Anom Talibrata, banyak syarat-syarat yang dibalut dengan pembacaan ayat suci al-qur'an ketika membuat tulisan dengan cara Bandasara, rumitnya Polah Hikmah (aturan-aturan hikmah) yang diterapkan dalam penulisan Bandasara membuat tidak sembaragan orang dipercaya untuk menuliskannya.

Cacarakan Cirebon

Cacarakan Cirebon mencapai masa keemasannya pada periodisasi sastra sekitar abad ke 16 (tahun 1500-an) dimana sastra pesisiran berkembang pesat, seiring berpindahnya kekuasaan politik dari Majapahit ke kesultanan-kesultanan Muslim seperti Cirebon dan Demak pasca banyaknya ningrat-ningrat, sastrawan dan seniman Majaphit yang menyingkir ke Bali. Sastra Pesisiran yang berkembang pada periodisasi keemasan tersebut berusaha membalutkan nilai-nilai keislaman dengan elemen-elemen kuno dari kebudayaan Majapahit [7] Sastra Pesisiran yang turut membawa cacarakan Cirebon pada masa keemasannya dimulai ketika pengaruh Islam mulai memasuki pulau Jawa termasuk di wilayah Kesultanan Cirebon. ada setidaknya tiga pusat utama perkembangan sastra pesisiran yaitu di Gresik, Demak dan di wilayah kesultanan Cirebon yang meliputi Cirebon hingga Banten pada masa itu.

Berbeda dengan Demak yang pada masa itu menjadi rujukan bagi daerah pedalaman sekitarnya yang mayoritas dihuni oleh suku Jawa(cikal bakal daerah Mataram), perkembangan Cacarakan dan sastra pesisiran di wilayah kesultanan Cirebon tidak sehomogen dengan apa yang terjadi di Demak, heterogenitas antara pesisir Cirebon yang multi-etnis ditambah dengan pedalaman Cirebon yang juga dihuni oleh suku Sunda yang berbeda bahasa dan pola tulisan membuat Cacarakan dan sastra Cirebon mengakomodir pola-pola ucap dan kebiasaan-kebiasaan sastra dari wilayah sekitarnya sehingga menyebabkan teks-teks sastra yang berasal dari wilayah kesultanan Cirebon walau ditulis dengan pola aksara carakan yang tidak jauh berbeda (Cirebon menerapkan pola aksara cacarakan dengan gaya satu tembok sementara Jawa menerapkan pola carakan dengan gaya dua tembok) namun teks-teks tersebut tidak dimengerti oleh pembaca dari wilayah Jawa bagian tengah[7].

Cacarakan Cirebon menurut TD Sudjana pada awalnya berasal dari Pallawa yang menyebar di Nusantara, para aristokrat yang menggunakan Pallawa sebagai aksara ini kemudian mengembangkan pola-pola aksara di wilayah yang diperintahnya, dan kemudian menjadi aksara daerahnya masing seperti aksara Carakan Jawa, Sunda dan Aksara Cacarakan Cirebon, oleh karena itu Cacarakan Cirebon oleh budayawan Cirebon TD Sudjana dikiaskan sebagai sesuatu hal yang memiliki makna budi luhur sebagai penunjang tegaknya akhlak bangsa dan kepribadian bangsa.[7]

Bahasa

Dahulu Bahasa Cirebon ini digunakan dalam perdagangan di pesisir Jawa Barat mulai Cirebon yang merupakan salah satu pelabuhan utama, khususnya pada abad ke-15 sampai ke-17. Bahasa Cirebon dipengaruhi pula oleh budaya Sunda karena keberadaannya yang berbatasan langsung dengan wilayah kultural Sunda, khususnya Sunda Kuningan dan Sunda Majalengka dan juga dipengaruhi oleh Budaya China, Arab dan Eropa hal ini dibuktikan dengan adanya kata "Taocang (Kuncir)" yang merupakan serapan China, kata "Bakda (Setelah)" yang merupakan serapan Bahasa Arab dan kemudian kata "Sonder (Tanpa)"[8] yang merupakan serapan bahasa eropa (Belanda). Bahasa Cirebon mempertahankan bentuk-bentuk kuno bahasa Jawa seperti kalimat-kalimat dan pengucapan, misalnya ingsun (saya) dan sira (kamu) yang sudah tak digunakan lagi oleh bahasa Jawa Baku.

Perdebatan Bahasa Cirebon (Dialek Bahasa Jawa atau Bahasa Mandiri)

 
Aksara Carakan Cirebon gaya Gamel pada proposal dewan adat Gamel, dibagian atas tertulis dengan Carakan Cirebon gaya Gamel yang bunyinya "waringin rungkad" artinya secara harafiah adalah

Wari Ngin Rug Kad

Wari (air) pada masa lalu air itu bening = Kalam = Elmu
Ngin = Angin = Nafas = Kehidupan

Rungkad (Ru' Kad)

Ru' = Jiwa
Kad = Pekerja (Badaniya)

"Ilmu Kehidupan yang mengisi Jiwa dan Raga" yang merupakan salah satu nilai pegangan masyarakat desa Gamel, kecamatan Plered, kabupaten Cirebon

Perdebatan tentang Bahasa Cirebon sebagai Sebuah Bahasa yang Mandiri terlepas dari Bahasa Sunda dan Jawa telah menjadi perdebatan yang cukup Panjang, serta melibatkan faktor Politik Pemerintahan, Budaya serta Ilmu Kebahasaan.

Bahasa Cirebon Sebagai Sebuah Dialek Bahasa Jawa

Penelitian menggunakan kuesioner sebagai indikator pembanding kosakata anggota tubuh dan budaya dasar (makan, minum, dan sebagainya) berlandaskan metode Guiter menunjukkan perbedaan kosakata bahasa Cirebon dengan bahasa Jawa di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 75 persen, sementara perbedaannya dengan dialek di Jawa Timur mencapai 76 persen.[9] Untuk diakui sebagai sebuah bahasa tersendiri, suatu bahasa setidaknya membutuhkan sekitar 80% perbedaan dengan bahasa terdekatnya.[9]

Meski kajian Linguistik sampai saat ini menyatakan bahasa Cirebon ”hanyalah” dialek (Karena Penelitian Guiter mengatakan harus berbeda sebanyak 80% dari Bahasa terdekatnya), tetapi sampai saat ini Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 masih tetap mengakui Cirebon sebagai bahasa dan bukan sebagai sebuah dialek. Dengan kata lain, belum ada revisi terhadap perda tersebut. Menurut Kepala Balai Bahasa Bandung Muh. Abdul Khak, hal itu sah-sah saja karena perda adalah kajian politik. Dalam dunia kebahasaan menurut dia, satu bahasa bisa diakui atas dasar tiga hal. Pertama, bahasa atas dasar pengakuan oleh penuturnya, kedua atas dasar politik, dan ketiga atas dasar Linguistik.

Bahasa atas dasar politik, contoh lainnya bisa dilihat dari sejarah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang sebenarnya berakar dari bahasa Melayu, seharusnya dinamakan bahasa Melayu dialek Indonesia. Namun, atas dasar kepentingan politik, akhirnya bahasa Melayu yang berkembang di negara Indonesia –oleh pemerintah Indonesia– dinamakan dan diklaim sebagai bahasa Indonesia. Selain alasan politik, pengakuan Cirebon sebagai bahasa juga bisa ditinjau dari batasan wilayah geografis dalam perda itu. Abdul Khak mengatakan, Cirebon disebut sebagai dialek jika dilihat secara nasional dengan melibatkan bahasa Jawa.

Artinya, ketika perda dibuat hanya dalam lingkup wilayah Jabar, Cirebon tidak memiliki pembanding kuat yaitu bahasa Jawa. Apalagi, dibandingkan dengan bahasa Melayu Betawi dan Sunda, Cirebon memang berbeda.[10]

Bahasa Cirebon sebagai Bahasa Mandiri

Revisi Perda, sebenarnya memungkinkan dengan berbagai argumen linguistik. Namun, kepentingan terbesar yang dipertimbangkan dari sisi politik bisa jadi adalah penutur bahasa Cirebon, yang tidak mau disebut orang Jawa maupun orang Sunda. Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon Nurdin M. Noer mengatakan, bahasa Cirebon adalah persilangan bahasa Jawa dan Sunda. Meskipun dalam percakapan orang Cirebon masih bisa memahami sebagian bahasa Jawa, dia mengatakan kosakata bahasa Cirebon terus berkembang tidak hanya ”mengandalkan” kosakata dari bahasa Jawa maupun Sunda.

”Selain itu, bahasa Cirebon sudah punya banyak dialek. Contohnya saja dialek Plered, Jaware, dan Dermayon,” ujarnya. Jika akan dilakukan revisi atas perda tadi, kemungkinan besar masyarakat bahasa Cirebon akan memprotes.

Pakar Linguistik Chaedar Al Wasilah pun menilai, dengan melihat kondisi penutur yang demikian kuat, revisi tidak harus dilakukan. justru yang perlu dilakukan adalah melindungi bahasa Cirebon dari kepunahan..[10]

Pendekatan Lauder dalam dialektometri

Selama ini bahasa Cirebon dianggap sebagai dialek dari bahasa Jawa dikarenakan beberapa pihak yang menginginkan Cirebon tetap menjadi bagian dari budaya Jawa hanya berpegang pada penelitian model Guiter saja yang mengharuskan perbedaan antar kedua subjek bahasa sebesar 80%, tetapi jika menggunakan pendekatan Lauder, pendekatan ini mengkritisi jumlah persentase yang diajukan guiter yaitu sebesar 80% karena menurut Lauder, cukup 70% saja dalam kajian dialektometri bagi sesuatu untuk dikatakan sebagai "bahasa" yang Mandiri. . Lauder, sudah menggunakan metode yang lazim dan umum dilakukan dalam kajian dialektologi terhadap bahasa-bahasa di Indonesia, yaitu metode dialektometri, hanya yang menarik dari pandangannya itu ialah usulannya tentang modifikasi kategori persentase perbedaan unsur kebahasaan untuk menyebutkan suatu isolek sebagai bahasa atau dialek yang diajukan oleh Guiter, Guiter menitik beratkan perbedaan kebahasaan harus sekitar 80%. Menurutnya, persentase untuk dianggap beberapa isolek sebagai bahasa yang berbeda, jika perbedannya di atas 80% tterlalu tinggi untuk bahasa-bahasa di Indonesia. Karena kategori kajian guiter itu dibangun di atas data bahasa-bahasa Barat (eropa dan sejenisnya), karena itu perlu dimodifikasi. Kenyatan lain, menurutnya, ialah berdasarkan hasil penelitian berbagai bahasa daerah di Indonesia memperlihatkan perbedaan antara bahasa yang satu dengan yang lainnya hanya sekitar 65%–70% saja, dimana perbedaan kosakata antara Bahasa Cirebon dengan Bahasa Jawa adalah 75-76% yang dalam pendekatan Lauder dianggap sempurna menjadi sebuah bahasa mandiri dikarenakan menurut Lauder hanya butuh 70%[11] perbedaan saja.

Kosakata

Sebagian besar kosakata asli dari bahasa ini tidak memiliki kesamaan dengan bahasa Jawa standar (Surakarta/Yogyakarta) baik secara morfologi maupun fonetik. Memang bahasa Cirebon yang dipergunakan di Cirebon dengan di Indramayu itu meskipun termasuk bahasa Jawa, mempunyai perbedaan cukup besar dengan “bahasa Jawa baku”, yaitu bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah yang berpegang kepada bahasa Jawa Solo. Dengan demikian, sebelum 1970-an, buku-buku pelajaran dari Solo tak dapat digunakan karena terlalu sukar bagi para murid (dan mungkin juga gurunya). Oleh karena itu, pada 1970-an, buku pelajaran itu diganti dengan buku pelajaran bahasa Sunda yang dianggap akan lebih mudah dimengerti karena para pemakai bahasa Sunda “lebih dekat”. Akan tetapi, ternyata kebijaksanaan itu pun tidak tepat sehingga muncul gerakan untuk menggantinya dengan buku dalam bahasa yang digunakan di wilayahnya, yaitu Bahasa Jawa dialek Cirebon.[12] namun penerbitan buku penujang pelajaran bahasa daerah yang terjadi tahun selanjutnya tidak mencantumkan kata "Bahasa Jawa dialek Cirebon" lagi, akan tetapi hanya menggunakan kata "Bahasa Cirebon" hal ini seperti yang telah dilakukan pada penerbitan buku penunjang pelajaran bahasa cirebon pada tahun 2001 dan 2002. "Kamus Bahasa Cirebon" yang ditulis oleh almarhum bapak Sudjana sudah tidak mencantumkan Kata "Bahasa Jawa dialek Cirebon" namun hanya "Kamus Bahasa Cirebon" begitu juga penerbitan "Wyakarana - Tata Bahasa Cirebon" pada tahun 2002 yang tidak mununjukan lagi keberadaan Bahasa Cirebon sebagai bagian dari Bahasa Jawa, tetapi menunjukan eksistensi Bahasa Cirebon sebagai bahasa yang mandiri.

Perbandingan Bahasa Cirebon Bagongan (Bahasa Rakyat)

Berikut merupakan perbandingan antara bahasa Cirebon dengan bahasa lainnya yang dianggap serumpun, yaitu bahasa Jawa Serang (Jawa Banten), Bahasa Jawa dialek Tegal dan Pemalangan serta Bahasa Jawa Baku (dialek Surakarta - Yogyakarta) dalam level Bagongan atau Bahasa Rakyat.

Banten Utara Cirebonan & Dermayon[13] Banyumasan Tegal, Brebes Pemalang Kedu (wilayah Karanganyar) Solo/Jogja Surabaya Indonesia
kyta kita/reang/isun inyong/nyong inyong/nyong nyong nyong/kulo aku aku aku/saya
sire Sira rika koen koe kowe kowe koen kamu
pisan pisan banget nemen/temen nemen/temen/teo temen tenan men sangat
keprimen kepriben/keprywe kepriwe kepriben/priben/pribe keprimen/kepriben/primen/prime/priben/pribe Kepriye piye/kepriye yaopo bagaimana
ore ora/beli ora ora/belih ora ora ora gak tidak
rabi rabi kawin kawin kawin kawin kawin kawin kawin/nikah
manjing manjing mlebu manjing/mlebu manjing/mlebu mlebu mlebu mlebu masuk
arep arep/pan arep pan pan/pen/ape/pak arep arep katene akan
sake sing sekang sing kadi/kading seko seko teko dari

Dialek Bahasa Cirebon

Menurut Bapak Nurdin M. Noer Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon, Bahasa Cirebon memiliki setidaknya ada beberapa dialek, yakni Bahasa Cirebon dialek Dermayon atau yang dikenal sebagai Bahasa Indramayuan, Bahasa Cirebon dialek Jawareh (Jawa Sawareh) atau Bahasa Jawa Separuh, Bahasa Cirebon dialek Plered dan dialek Gegesik (Cirebon Barat wilayah Utara).

Bahasa Cirebon dialek Jawareh (Jawa Sawareh)

Dialek Jawareh atau disebut juga sebagai Jawa Sawareh (separuh) merupakan dialek dari Bahasa Cirebon yang berada disekitar perbatasan Kabupaten Cirebon dengan Brebes, atau sekitar Perbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kuningan. Dialek Jawareh ini merupakan gabungan dari separuh Bahasa Jawa dan separuh bahasa Sunda.[14]

Bahasa Cirebon dialek Arjawinagun

Dialek Arjawinangun merupakan dialek yang dituturkan oleh masyarakat Cirebon di daerah sekitar Desa Arjawinangun, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon. Dialek ini cenderung masih asli dan tidak terpengaruh bahasa lain meskipun tidak bisa dikategorikan sebagai bahasa Cirebon yang baku. Dialek ini juga merupakan dialek yang paling banyak digunakan oleh masyarakat di Kota Cirebon[15].

Bahasa Cirebon dialek Dermayon

Dialek Dermayon merupakan dialek Bahasa Cirebon yang digunakan secara luas di wilayah Kabupaten Indramayu, menurut Metode Guiter, dialek Dermayon ini memiliki perbedaan sekitar 30% dengan Bahasa Cirebon sendiri. Ciri utama dari penutur dialek Dermayon adalah dengan menggunakan kata "Reang" sebagai sebutan untuk kata "Saya" dan bukannya menggunakan kata "Isun" seperti halnya yang digunakan oleh penutur Bahasa Cirebon.

Bahasa Cirebon dialek Plered dan Lor (Cirebon Barat dan Utara)

Dialek Plered dan Lor merupakan dialek Bahasa Cirebon yang digunakan di wilayah sebelah barat dan utara Kabupaten Cirebon, serta Krangkeng, Indramayu. Dialek ini dikenal dengan cirinya yaitu penggunaan huruf "o" yang kental, misalkan pada Bahasa Cirebon standar menggunakan kata "Sira", dialek Kabupaten Cirebon bagian Barat dan Utara (Kapetakan,Suranenggala) dan Krangkeng, Indramayu ini menggunakan kata "Siro" untuk mengartikan "Kamu", kata "Apa" menjadi "Apo", Ora menjadi "Oro", Gawa (membawa) menjadi "Gawo", Sapa menjadi "Sapo", dan Jendela menjadi "Jendelo". Penutur dialek yang menempati kawasan barat dan Utara Kabupaten Cirebon ini lebih mengekspresikan dirinya dengan sebutan "Wong Cirebon", berbeda dengan Penduduk Kota Cirebon yang menggunakan Bahasa Cirebon standar (Sira) yang menyebut diri mereka sebagai "Tiang Grage", walaupun antara "Wong Cirebon" dan "Tiang Grage" memiliki arti yang sama, yaitu "Orang Cirebon" [14]

Bahasa Cirebon dialek Gegesik (Cirebon Barat wilayah Utara)

Dialek Gegesik merupakan dialek yang digunakan di wilayah Cirebon Barat wilayah Utara disekitar Kecamatan Gegesik, Bahasa Cirebon dialek Gegesik sering digunakan dalam bahasa pengantar Pewayangan oleh Dalang dari Cirebon dan kemungkinan dialek ini lebih halus ketimbang dialeknya "wong cirebon" sendiri.[16]

Namun di Kecamatan Gegesik sendiri tiap Desa memiliki dialeknya masing-masing. Ada dialek Jagapura, Slendra, Bayalangu, Kaliwedi (sebelum pemekaran wilayah). Kata yang sama, diucapkan dengan intonasi yang berbeda. Contoh dialek Jagapura bisa disimak dalam lakon Baridin Ratminah karya Putra Sangkala Pimpinan H. Abdul Adjib. Pengaruh dialek ini luas hingga ke pesisir utara Cirebon & Indramayu serta sebagian Subang, Karawang hingga Bekasi. Dialek Jagapura bisa dicerna dengan mudah oleh masyarakat Indramayu, Subang, Karawang daripada oleh masyarakat Cirebonnya sendiri.

Perbandingan Dialek Bahasa Cirebon

Bahasa Cirebon Baku Dialek Arjawinangun Dialek Indramayu Dialek Plered Dialek Ciwaringin Indonesia
Ana (Bagongan) Ana Ana Ano Ana Ada
Apa (Bagongan) Apa Apa Apo Apa Apa
Bapak (Bagongan) Bapa / Mama Bapak Mama'/Bapa Bapa / Mama Bapak
Beli (Bagongan) Beli / Ora Ora Beli Bli / Ora Tidak
Dulung (Bagongan) Dulang Dulang Dulang Muluk Suap (Makan)
Elok (Bagongan) Lok Sokat Lok Sok Pernah
Isun (Bagongan) Isun / Kita Reang Isun Isun / Kita Saya
Kula (Bebasan) Kula Kula Kulo Kula Saya
Lagi apa? (Bagongan) Lagi apa? Lagi apa? lagi apo? Lagi Apa Sedang apa?
Laka (Bagongan) Laka / Langka Laka Lako/Langko Laka Tidak ada
Paman (Bagongan) Mamang Paman Paman Mang Paman
Salah (Bagongan) Salah Salah Salo Salah Salah
Sewang (Bagongan) Sewong Sewong Sawong - Seorang (Masing-masing)
Sokiki (Bagongan) Kiki / Sokiki Kiki / Sokiki Kiki / Sokiki Kiki / Sokiki Besok

Sistem Penanggalan

Sistem penanggalan yang ada di Cirebon mengadopsi sistem penanggalan Jawa[13] yang merupakan hasil pembicaraan antara Sultan Agung Mataram dengan para ulama Islam, Tanggalan Jawa (bahasa Indonesia: Kalender Jawa) yang digunakan di Cirebon tidak sama percis dengan yang ada di Jawa, tetapi memiliki beberapa perbedaan dari segi penamaannya yang disesuaikan dengan adat dan tradisi Cirebon.

- Kalender Hijriyah
(Arab)
Kalender Jawa Kalender Cirebon Kalender Cirebon
(Indramayu)
Kalender Cirebon
(Cilamaya)
1 Muharram Suro Sura Sura Sura
2 Safar Sapar Sapar Bala Sapar
3 Rabiul awal Mulud Mulud Mulud Mulud
4 Rabiul akhir Bakda Mulud Sawal Mulud Sawal Mulud Sili Mulud
5 Jumadil awal Jumadil Awal Jumadil Awal Jumadil Awal Jumadil Awal
6 Jumadil akhir Jumadil Akir Jumadil Akhir Jumadil Akir Jumadil Akhir
7 Rajab Rejeb Rejep Rajab Rejep
8 Sya'ban Ruwah Rowa Rowah Rowa
9 Ramadhan Pasa Puwasa Puwasa Puwasa
10 Syawal Sawal Sawal Sawal Sawal
11 Dzulkaidah Sela / Apit Kapit Kapit Hapit
12 Dzulhijjah Besar Raya Agung Rayagung Raya Agung

Tradisi yang bertepatan dengan Tanggalan

  • Bubur Sura, tradisi bubur sura dilakukan dilakukan diawal tahun baru Islam yaitu pada bulan Muharram yang dalam sistem penanggalan di Cirebon disebut bulan Sura, dalam persfektif Cirebon, awal tahun haruslah digunakan untuk introspeksi diri (bahasa Arab: muhasabah), memperbanyak sedekah, berbagi dan mempererat tali silaturahmi, pada hari kesepuluh bulan Muharram atau yang dikenal sebagai hari As-Sura setelah selesai melaksanakan puasa sunah di bulan Muharram, masyarakat Cirebon membuat bubur Sura sebagai bentuk untuk memperbanyak sedekat, berbagi dan mempererat tali silaturahmi. Bubur Sura merupakan bubur yang dibuat dari tepung beras dengan santan yang berisi sayuran, daging dan telor, warna putih dari bubur Sura dalam persfektif Cirebon melambangkan kesucian sementara taburan lauk pauknya melambangkan kegembiraan masyarakat Cirebon dalam menyambut tahun yang baru dengan saling bersedekah, berbagi dan mempererat tali silaturahmi.[17]
  • Panjang Jimat, tradisi Panjang Jimat dalam persfektif Cirebon berasal kata panjang (bahasa Indonesia: terus menerus), siji (bahasa Indonesia: satu) dan rumat (bahasa Indonesia: pelihara) yang berarti "satu hal yang terus menerus harus dipelihara" dan bagi masyarakat Cirebon satu hal tersebut adalah Keislaman yang diwujudkan dari terus memegang teguh esensi dari dua kalimat syahadat. Disebabkan pusaka-pusaka yang ada di keraton-keraton Cirebon berkaitan dengan dakwah Islam maka pusaka-pusaka tersebut dibersihkan (bahasa Cirebon: angumbah gaman) pada bulan mulud karena pada bulan inilah rasul dilahirkan dan menjadi pembawa kesempurnaan bagi Islam, tradisi ini berbeda dengan tradisi di keraton-keraton Jawa di mana keraton Jawa biasa membersihkan pusakanya pada bulan Suro dan bukan pada bulan Mulud seperti yang dilakukan di Cirebon. Bagi kesultanan Kasepuhan misalnya, benda pusaka yang paling berharga bukanlah kereta kencana atau keris melainkan piring-piring yang bertahtakan kaligrafi arab yang dibawa oleh Sunan Gunung Jati langsung dari Mekah[18] Oleh sebab itu dalam bahasa Cirebon dikenal kata Panjang untuk menyebutkan piring dan Jimat untuk menyebutkan nasi berserta lauk pauknya.

Keluarga

Berikut penyebutan nama anggota keluaga dalam bahasa Cirebon

- Ayah Bunda Anak Laki-laki Kakak Laki-laki Adik Laki-laki Anak Perempuan Kakak Perempuan Adik Perempuan Kakek Nenek Kakak ayah dan ibu Orang tua nenek dan kakek
Cirebon (Bagongan) Mama Mimi Kacung Aang Ari Nok Yayu Nok Aki Nini Wa / Uwa Yut / Uyut
Cirebon (Bebasan) Rama Mimi Kacung Kakang / Raka (Raka diserap dari Jawa) Rayi Nok Yayu Yayi Ki Nini Wa / Uwa Yut / Uyut
dialek Dermayu Bapa Mak Senang / Enang Akang Adi Nok Yayu Nok Bapa tuwa Mak tuwa Wa / Uwa Yut / Uyut
dialek Plered sub-dialek Lor (Depok) Mama / Mamo Mimi Lanang Aang / Kakang lanang Kacung / Adi lanang Wadon Yayu / Kakang Wadon Nok / Adi Wadon Mama tuwa / Bapa tuwa / Bapo tuwo Mimi tuwa / Mbok tuwa / Mbok tuwo Uwa Buyut
dialek Plered sub-dialek Kidul (Plumbon) Mama / Mamo Mimi Lanang Aang / Kakang lanang Kacung / Adi lanang Wadon Yayu / Kakang Wadon Nok / Adi Wadon Mama gede / Mamo gede (Made) Mimi gede (Mide) Uwo / Uwa Buyut

Adat

Adat memasang Manggar

 
Kembang Manggar sebagai hiasan pernikahan adat masyarakat Cirebon

Adat memasang Manggar (bahasa Indonesia: bunga Kelapa) merupakan sebuah adat Cirebonan yang juga dilakukan oleh budaya-budaya lain di pesisir, seperti budaya di pesisir Demak dan Semarang serta budaya Betawi di mana Manggar menjadi bagian yang terpisahkan.

Pada adat Semarang misalnya, dalam sebuah prosesi arak-arakan pengantin, mempelai prianya diarak dengan dengan diapit oleh hiasan kembang Manggar, dua orang pembawa hiasan kembang Manggar pada bagian paling depan arak-arakan dan dua orang lainnya tepat di belakang barisan pembawa payung pengantin, makna dari penggunaan kembang Manggar adalah pada masa dahulu, Pengantin Semarangan memakai kembang Manggar asli (bahasa Indonesia: bunga kelapa), maksudnya adalah agar kedua mempelai disenangi oleh masyarakat dikarenakan semua orang pasti senang dengan bunga. Manggar adalah bunga kelapa, seperti diketahui bahwa pohon kelapa disebut Glugu, maksudnya agar kedua mempelai berlaku lugu (bahasa Indonesia: jujur), batang pohon kelapa mesti lurus, tidak ada pohon kelapa yang bercabang. Kalau ada pohon kelapa bercabang dikatakan “ajaib”, maksudnya agar kedua mempelai hatinya tidak cabang kesana kemari. Tetap dan satu pendirian. Tidak menyembunyikan sesuatu masalah. Kalau ada masalah harus dipecahkan bersama antara suami dan isteri.[19]

Pendekatan filosofi yang sama juga diberlakukan di Cirebon, bagi Cirebon "kembang Manggar" adalah sebuah permulaan yang manis dari bentuknya yang sederhana, sebelum menjadi buah kelapa terlebih dahulu ada kembang Manggar, bahkan sebelum buah kelapa yang manis ada, kembang ini rasanya sudah manis jika disadap airnya, maka "nira" hasil sadapan Manggar bisa menghasilkan gula yang rasanya manis, sehingga dari awal hingga akhir, Manggar memberikan kenikmatan dari rasa manis kepada siapapun.

Pada budaya Cirebon, seperti halnya pada budaya Betawi dan Semarang, kembang Manggar diwujudkan dalam bentuk hiasan dari kertas warna-warni yang dililit pada lidi atau bilah bambu, warna-warni manggar melambangkan keceriaan, manggar yang penuh dengan warna dipasang di sebagai pembuka jalan arak-arakan atau sebagai hiasan pernikahan, filosofi "manggar sederhana, manis dan ceria" inilah yang dijadikan sebagai landasan budaya bagi masyarakat pesisir khususnya Cirebon. Sederhana dalam persfektif ini adalah tidak memaksakan untuk mengada-adakan sesuatu atau bahkan sampai berhutang dalam membuat acara seperti arak-arakan, pernikahan dan lainnya.

Adat menyiapkan Pandesan (gentong air wudhu)

 
Pandesan (gentong air wudhu) yang digunakan sebagai gerbang taman pada rumah orang tua dalang Ade Irfan (dalang tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) di jalan Pesantren gang Singalengan, blok lepet, desa Cikeduk, kecamatan Depok, kabupaten Cirebon yang dibuat oleh pengerajin anjun (membuat gerabah) di desa Siti Winangun, terdapat relif ayat kursi dan 5 ayat al baqarah yang ditunjukan agar masyarakat yang mendatanginya diberi keselamatan dan lindungan dari Allah swt

Pandesan atau gentong yang diperuntukan bagi air wudu merupakan bagian dari penerapan adat Cirebon yang bernafaskan Islam, sejarah masyarakat Cirebon sebelumnya pernah mencatat aktivitas berwudu pada babad desa Kali Wulu yang menceritakan kedatangan dua orang kerumah Ki Gede Silintang untuk meminta air untuk berwudu serta pada cerita turun temurun tentang Sindang Pancuran di desa Sindang Laut dimana pancuran digunakan untuk berwudu. Pembuatan pandesan pada masa lalu hampir dibuat di beberapa desa yang memiliki masjid-masjid besar misalnya di sekitar masjid Panjunan, kelurahan Panjunan, kota Cirebon yang dibangun pada 1480 oleh Pangeran Panjunan (Syarif Abdurrahman), tetapi sekarang masyarakat sekitar masjid Panjunan sudah tidak lagi memproduksi pandesan sehingga pandesan yang dijual disekitar masjid pada masa sekarang adalah buatan dari masyarakat desa Siti Winangun, kecamatan Jamblang, kabupaten Cirebon[20]

Adat Pernikahan Agung (Pelakrama Ageng)

Masyarakat Cirebon memiliki Adat Pernikahan Agung atau yang dalam Bahasa Cirebon disebut Pelakrama Ageng, Adat Pernikahan ini berusaha mengangkat tradisi lokal dengan mengutamakan Islam sebagai nafas utama dari pelaksanaan adat tersebut. Pernikahan Adat Cirebon ini memiliki nilai kearifan lokal akan kesederhanaan masyarakat cirebon dalam melaksanakan sebuah hajatan besar, sebagai contohnya adalah dalam seserahan pernikahan adat cirebon yang hanya mensyaratkan umbi-umbian, sayuran dan mas picis saja (maskawin berupa uang dan perhiasan semampu pihak calon mempelai pria) di mana dalam melaksanakan hajatan tersebut masyarakat cirebon lebih mengutamakan unsur agama islam diantaranya menghindari "ria (sikap ingin dipuji)" dibanding unsur lainnya. Berikut tahapan-tahapan:

Meminang (tetali)

Meminang atau dalam Bahasa Cirebon disebut tetali atau njegog merupakan sebuah prosesi awal dari tahapan Pernikahan Agung masyarakat Cirebon di mana utusan pihak pria datang ke rumah orang tua gadis dan menyampaikan maksud kedatangannya meminang anak gadis. Lalu ibu si gadis akan memanggil anaknya untuk dimintai persetujuan. Si gadis pun memberikan jawaban disaksikan utusan tersebut. Setelah mendapat jawaban, utusan dan orang tua si gadis langsung berembug menentukan hari pernikahan. Setelah ada kesepakatan, utusan mohon diri untuk menyampaikan kepada orang tua pihak pria.

Seserahan

Pada hari seserahan, orang tua gadis didampingi keluarga dekatnya menerima kedatangan utusan pihak pria yang disertai rombongan pembawa barang seserahan, antara lain:

  • Pembawa buah-buahan
  • Pembawa umbi-umbian
  • Pembawa sayur-mayur
  • Pembawa mas picis yaitu maskawin berupa perhiasan dan uang untuk diserahkan kepada orang tua gadis.

Siraman (Siram Tawandari)

Menurut Sultan Sepuh ke XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat, Siraman melambangkan kesucian, prosesi siraman merupakan tradisi memandikan calon pengantin dengan tata tradisi tertentu sebelum pelaksanaan akad nikah. Hal itu bertujuan untuk membersihkan jiwa dan raga calon pengantin sebelum melaksanakan akad nikah, yang menjadi pintu menuju hidup baru dengan pasangannya.

Sesuai ajaran Islam, bahwa amal perbuatan harus didahului dengan membersihkan diri dari hadas, baik kecil maupun besar,

[21]

Dalam Islam, setiap kita hendak beribadah pasti diawali dengan membersihkan diri. Siraman juga merupakan cara membersihkan diri, dan menikah adalah bagian dari ibadah. Jadi, sebelum menikah digelar siraman terlebih dulu agar bersih jiwa dan raga,

[22]

Kedua calon pengantin oleh juru rias dibawa ke tempat siraman (cungkup) dengan didampingi orang tua dan sesepuh. Saat berjalan menuju tempat siraman dengan iringan gending nablong, calon pengantin memakai sarung batik khas Cirebonan yakni kain wadasan.

Biasanya berwarna hijau yang melambangkan kesuburan. Sebelum siraman, dada dan punggung calon pengantin diberi luluran lalu juru rias mempersilahkan orang tua dan sesepuh untuk bergantian menyirami. Setelah selesai, air bekas siraman diberikan kepada anak gadis dan jejaka yang hadir dengan maksud agar mereka dapat segera mengikuti jejak calon pengantin. Upacara ini dinamakan bendrong sirat yaitu air bekas siraman disirat-siratkan atau dipercik-percikan pada anak gadis dan jejaka yang datang ke acara ini.

Berhias (Parasan)

Berhias atau dalam Bahasa Cirebon disebut Parasan dilakukan oleh calon mempelai wanita setelah acara siraman, salah satu prosesi parasan adalah ngerik yaitu membuang rambut halus yang dilakukan juru rias seraya disaksikan oleh orang tua dan para kerabat. Acara ini diringi dengan musik karawitan moblong yang artinya murub mancur bagaikan bulan purnama.

Ziarah Kubur (Ziarah)

Ziarah makam adalah berdoa untuk leluhur yang telah tiada, apabila calon pengantin masih merupakan keturunan dari Keraton Cirebon biasanya sebelum acara pernikahan dilaksanakan, calon pengantin akan melakukan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati dan makam leluhur raja-raja Cirebon di Kompleks Pemakaman Raja-Raja Cirebon Astana Gunung Jati di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon untuk mendapatkan restu.

Ziarah di Kompeks Pemakaman Raja-Raja Cirebon Astana Gunung Jati dimulai dengan berdoa di depan pintu pasujudan. Pintu tersebut merupakan pintu ketiga dari sembilan pintu menuju makam Sunan Gunung Jati yang berada di puncak bukit.

Selain berdoa di depan pintu pasujudan, untuk Keraton Kasepuhan biasanya Sultan Sepuh dan calon mempelai juga nyekar di makam-makam sesepuh Keraton Kasepuhan diantaranya di cungkup Sultan Sepuh Raja Sulaiman, Sultan Sepuh PRA Maulana Pakuningrat. Ziarah pun berakhir sampai tiba waktu salat zuhur.[23]

Membawa Pengantin (Tenteng Pengantin)

Tiba hari pernikahan yang telah disepakati, pihak gadis mengirimkan utusannya untuk menjemput calon pengantin pria. Setiba di rumah keluarga pria dan utusan menyampaikan maksud kedatangannya untuk menenteng (membawa) calon pengantin pria ke tempat upacara pernikahan di rumah pihak gadis. Orangtua pengantin pria tidak ikut dalam upacara akad nikah dan dilarang untuk menyaksikan. Pada waktu ijab qabul, calon pengantin pria ditutup dengan kain milik ibu pengantin wanita.

Hal ini menandakan bahwa pria itu telah menjadi menantunya. Setelah selesai kain itu diambil kembali, yang menandakan bahwa pengantin sudah tidak lagi dalam perlindungan orang tua dan sekarang memiliki tanggung jawab sendiri.

Ijab Qabul dalam Pernikahan Agung atau Pelakrama Ageng Keraton Cirebon biasanya menggunakan ragam Bahasa Cirebon Bebasan[24]

Pertemuan Pengantin (Temon)

Selesai akad nikah dilakukan upacara pertemuan pengantin pria dengan pengantin wanita atau yang disebut dengan temon atau salam temon . Kedua pengantin dibawa ke teras rumah atau ambang pintu untuk melaksanakan acara injak telur. Telur yang terdiri dari kulit, cairan warna putih dan kuning di dalamnya mengandung makna:

kulit sebagai wadah/tempat, putih adalah suci/pengabdian seorang istri, kuning lambang keagungan. Dengan begitu segala kesucian dan keagungan sang istri sejak saat itu sudah menjadi milik suaminya. Alat yang digunakan antara lain pipisan atau sejenis batu persegi panjang/segi empat yang dibungkus dengan kain putih. Pengantin pria menginjak telur melambangkan perubahan statusnya dari jejaka menjadi suami dan ingin membina rumah tangga serta memiliki keturunan.

Pengantin wanita membasuh kaki suaminya yang melambangkan kesetiaan dan ingin bersama-sama membina rumah tangga yang bahagia. Sebelum membasuh kaki, pengantin wanita melakukan sungkem pada suaminya. Bila pengantin berasal dari keluarga yang cukup berada, biasanya saat acara salam temon ini diadakan acara gelondongan pangareng yaitu membawa upeti berupa barang (harta) yang lengkap.

Menebar Uang (Sawer / Surak)

Acara ini diadakan sebagai bentuk ungkapan rasa bahagia orang tua atas terlaksananya pernikahan anak-anak mereka. Uang receh yang dicampur dengan beras kuning dan kunyit ditaburkan atau dalam bahasa cirebon disebut sawer sebagai tanda agar kedua pengantin diberikan limpahan rezeki, dapat saling menghormati, hidup harmonis dan serasi, biasanya saat menaburkan atau menebar uang receh akan terdengar suara riuh kegembiraan mereka yang memperebutkan uang, beras kuning dan kunyit tersebut, suara riuh kegembiraan inilah yang disebut sebagai surak.

Menaburkan Pugpug (Pugpugan Tawur)

Dengan posisi jongkok, kepala pengantin ditaburi pugpugan oleh juru rias. Pugpugan ini terbuat dari welit yaitu ilalang atau daun kelapa yang sudah lapuk. Acara ini bertujuan agar pernikahan dapat awet bagaikan welit yang terikat erat sampai lapuk serta keduanya dapat memanfaatkan sebaik mungkin rezeki yang mereka dapatkan dengan baik. Selesai acara, oleh juru rias, pengantin dibawa ke pelaminan. Orangtua pengantin pria lalu dijemput oleh kerabat dari pengantin wanita untuk bersama-sama mendampingi pengantin di pelaminan.

Makan Nasi Ketan Kuning (Adep-adep Sekul)

Acara pengantin makan nasi ketan kuning ini dipimpin oleh juru rias. Nasi ketan kuning ini dibentuk seperti bulatan kecil berjumlah 13 butir. Pertama, orang tua pengantin wanita menyuapi pengantin sebanyak empat butir. Dilanjutkan dengan orang tua pihak pria memberi suapan sebanyak empat butir. Lalu empat butir lagi, kedua pengantin bergantian saling menyuapi. Sisanya satu butir untuk diperebutkan, siapa yang mendapatkan butiran nasi ketan kuning terakhir melambangkan bahwa dialah yang akan mendapatkan rezeki paling banyak .

Namun rezeki ini tidak boleh dimakan sendiri dan harus dibagi pada pasangannya. Saat acara berlangsung, kedua pengantin duduk berhadapan yang melambangkan menyatunya hati suami-istri untuk membina rumah tangga bahagia. Selain itu, acara adep-adep sekul ini juga mengandung arti kerukunan dalam rumah tangga, yaitu terhadap pasangannya, orang tua, serta mertua.

Mohon Doa Restu Orang Tua (Sungkem)

Kedua pengantin melakukan sembah sungkem pada orang tua dengan cara mandap (berjongkok) yang merupakan cerminan rasa hormat dan terima kasih kepada orang tua atas segala kasih sayang dan bimbingan yang selama ini dicurahkan kepada anaknya. Kedua pengantin juga memohon doa restu untuk membina rumah tangga sendiri bersama pasangan. Setelah acara sungkem, dilagukan kidung Kinanti dengan harapan agar pengantin dapat menjalankan bahtera rumah tangganya seia, sekata, sehidup, semati.

Pemberian doa restu masyarakat, ucapan selamat, dan hiburan

Setelah memperoleh restu dari orang tua, pengantin mendapatkan ucapan selamat berbahagia dari sanak kerabat yang hadir. Biasanya juga diadakan acara hiburan seperti tari-tarian yaitu tari topeng cirebon, tari bedaya cirebon dan tari tayub.

Kebudayaan

Hubungan dengan Kebudayaan Sunda

Hubungan dengan Suku atau Kebudayaan Sunda ditandai dengan adanya Keraton Cirebon sebagai sebuah bentuk eksistensi adanya Suku Cirebon, di mana pendiri Keraton Cirebon yaitu Raden Walangsungsang dan Nyai rara santang serta Pangeran Surya yang merupakan Kuwu di Kaliwedi masih keturunan Kerajaan Pajajaran yang merupakan Kerajaan Sunda namun dalam perkembangan selanjutnya Keraton Cirebon yang merupakan lambang eksistensi keberadaan Suku Cirebon memilih jalannya sendiri yang kebanyakan bercorak islam.

Hubungan dengan Kebudayaan Jawa

Dalam kaitannya dengan Kebudayaan Jawa, keberadaan Bahasa Cirebon selalu dikaitkan dengan Bahasa Jawa dikarenakan adanya Tata Bahasa Cirebon yang mirip dengan Tata Bahasa Jawa, serta adanya beberapa kata dalam bahasa cirebon yang juga memiliki arti sama dalam Bahasa Jawa.

Isun arep lunga sing umah

Kalimat dalam bahasa cirebon di atas berarti "saya mau pergi dari rumah" di mana jika dialihkan dalam bahasa jawa kata ini menjadi "aku arep lungo sing umah" sehingga didapatkan kata yang hampir serupa akan tetapi ragam kalimat dalam bahasa cirebon tidak hanya terbatas dari serapan Bahasa Jawa, perhatikan ragam dialek dari bahasa cirebon berikut:

ari khaul mulae bakda magrib mah punten, isun beli bisa teka, ana janji sih karo adhine

[8],[13]

dalam kalimat di atas ditemukan kata "ari" yang merupakan serapan dari bahasa sunda dan kata "bakda" yang merupakan serapan dari bahasa arab. di mana jika dialihkan ke dalam bahasa sunda baku ataupun jawa baku akan ditemukan ragam kosakata yang berbeda dengan kalimat di atas.

Referensi

  1. ^ Netralnews.Com. "Netralnews.com - Ternyata Suku Cirebon Berbeda dengan Suku Jawa dan Suku Sunda". netralnews.com. Diakses tanggal 2020-01-20. 
  2. ^ a b c Na’im, Akhsan (Oktober 2011). "Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia". Badan Pusat Statistik. Diakses tanggal 20 Januari 2020. 
  3. ^ Harthana, Timbuktu dan Ignatius Sawabi 2010. "Suku Bangsa Ini Bernama Cirebon". Kompas
  4. ^ Prayitno, Panji. 2017. Kemiripan Lima Pesan Sunan Gunung Jati dengan Pancasila. Jakarta: Liputan 6
  5. ^ Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Gramedia
  6. ^ a b Prayitno, Panji. 2017. Makna Ukiran Unik di Tiang Masjid Keramat Cirebon. Jakarta: Liputan 6
  7. ^ a b c Rochkyatmo, Amir. 1996. Pelestarian dan Modernisasi Aksara Daerah: Perkembangan Metode dan Teknis Menulis Aksara Jawa. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan
  8. ^ a b Sudjana, TD. 2005. "Kamus Bahasa Cirebon". Bandung: Humaniora Utama Press
  9. ^ a b Menimbang-nimbang Bahasa Cirebon(Edisi Tahun 2009)
  10. ^ a b Amaliya. 2010. Alasan Politiklah Sebabnya. Bandung: Pikiran Rakyat
  11. ^ Kawi, Djantera. 2002. Peneltian,kekerabatan dan pemetaan bahasa-bahasa daerah di Indonesia: provinsi Kalimantan Timur. Jakarta:Departemen Penddikan Nasional
  12. ^ Rosidi, Ajip. 2010. "Bahasa Cirebon dan Bahasa Indramayu".: Pikiran Rakyat
  13. ^ a b c Salana. 2002. "Wyakarana: Tata Bahasa Cirebon". Bandung: Humaniora Utama Press
  14. ^ a b Nieza. "Jalan-Jalan Ke Cirebon Sega Jamblang Sampai Batik Trusmian": PT Gramedia Pustaka Utama
  15. ^ Diniyah, Dini Zahrotud (2016). "VISUALISASI SPASIAL BAHASA DAN DIALEK DI KOTA CIREBON JAWA BARAT". Jurnal Bumi Indonesia. 5 (4). 
  16. ^ Noer, Nurdin M. "Wayang Kulit Di Mata Matthew Isaac Cohen": Pikiran Rakyat
  17. ^ Sardiman. 2008. Sejarah 2 - Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta: Yudhistira Ghalia Indonesia
  18. ^ 2015. Inilah Benda Paling Pusaka di Keraton Kasepuhan Cirebon. Detik Travel
  19. ^ Pemerintah Daerah Kota Semarang - Sejarah Pakaian Adat
  20. ^ Nurdin. 2015. Cirebon Kuno dan Kini (73); Masjid Merah yang Tetap Merah. Cirebon: Cirebon Trust
  21. ^ [1]|2013 - Republika - Pagi ini Putra Mahkota Keraton Kasepuhan jalani siraman
  22. ^ [2]|2014 - Tribun News Jawa Barat - Seusai Siraman Putri Sultan Ziarah ke Astana Gunung Jati
  23. ^ [3]|2013 - Tribun News Jawa Barat - Usai Siraman, Sultan Sepuh dan Putra Mahkota Berziarah ke Gunung Jati
  24. ^ [4]| 2014 - JPPN - Putri Sultan Cirebon Nikahi Pemuda Biasa