Tauhid (bahasa Arab: توحيد) merupakan dasar agama Islam yang secara persis diungkapkan dalam frasa “Lā ilāha illallāh” (Tidak ada yang berhak disembah selain Allah).[1] Menurut bahasa, tauhid adalah bentuk masdar dari fi'il wahhada-yuwahhidu yang artinya menjadikan sesuatu jadi satu saja. [2] Dalam konsep Islam tauhid adalah konsep dalam akidah Islam yang menyatakan keesaan Allah.[3] Tauhid dalam bahasa artinya menjadikan sesuatu esa. Yang dimaksud disini adalah mempercayai bahwa Allah itu esa. Sedangkan secara istilah ilmu Tauhid ialah ilmu yang membahas segala kepercayaan-kepercayaan yang diambil dari dalil dalil keyakinan dan hukum-hukum di dalam Islam termasuk hukum mempercayakan Allah itu esa. Seandainya ada orang tidak mempercayai keesaan Allah atau mengingkari perkara-perkara yang menjadi dasar ilmu tauhid, maka orang itu dikatagorikan bukan muslim dan digelari kafir. Begitu pula halnya, seandainya seorang muslim menukar kepercayaannya dari mempercayai keesaan Allah, maka kedudukannya juga sama adalah kafir. Perkara dasar yang wajib dipercayai dalam ilmu tauhid ialah perkara yang dalilnya atau buktinya cukup terang dan kuat yang terdapat di dalam Al Quran atau Hadis yang shahih. Perkara ini tidak boleh dita’wil atau ditukar maknanya yang asli dengan makna yang lain. Tujuan mempelajari ilmu tauhid adalah mengenal Allah dan rasul-Nya dengan dalil dalil yang pasti dan menetapkan sesuatu yang wajib bagi Allah dari sifat sifat yang sempurna dan mensucikan Allah dari tanda tanda kekurangan dan membenarkan semua rasul rasul Nya. Adapun perkara yang dibicarakan dalam ilmu tauhid adalah dzat Allah dan dzat para rasul Nya dilihat dari segi apa yang wajib (harus) bagi Allah dan Rasul Nya, apa yang mustahil dan apa yang jaiz (boleh atau tidak boleh) Jelasnya, ilmu Tauhid terbagi dalam tiga bagian: 1. Wajib 2. Mustahil 3. Jaiz (Mungkin)

Etimologi

Secara bahasa, tauhid berarti menyatukan, menjadikan satu, atau menyifati dengan kesatuan.[4]

Ilmu itu terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu ilmu syar’iy (ilmu keagamaan) dan ilmu ‘aqliy (ilmu rasionalitas). Ilmu syar’iy (keagamaan) kemudian terbagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu al-ushul (ilmu pokok-pokok keagamaan), dan ilmu al-furu’ (ilmu cabang-cabang keagamaan). Yang masuk kategori dalam ilmu al-ushul sebagai bagian dari ilmu syar’iy adalah ilmu tauhid, ilmu tafsir (ilmu yang mengkaji tentang Al-Quran dan penafsirannya), dan ilmu al-akhbar (ilmu yang mengkaji tentang hadits Rasulullah dan pemahamannya). Ilmu al-ushul terkategori sebagai ilmu teoritis (ilmiyyan). Ilmu al-furu’ (ilmu cabang-cabang keagamaan) sebagai bagian dari ilmu syar’iy itu terkategori ilmu aplikatif (‘amaliyy). Ilmu ini mencakup tiga hak. Pertama, hak Allah yang meliputi rukun-rukun ibadah semisal thaharah, shalat, zakat, haji, jihad, dzikir, dan lain-lain perkara yang wajib dan sunnah. Kedua, hak sebagai hamba Allah, yang mencakup interaksi bisnis, relasi sosial, dan transaksi antarmanusia. Jenis pertama dan kedua ini disebut sebagai ilmu fiqih. Ilmu ini mulia karena manusia tidak akan bisa terlepas darinya. Ketiga, hak diri, yang disebut juga sebagai ilmu akhlak. Akhlak itu ada yang tercela, dan manusia harus menghilangkannya; dan ada yang terpuji, yang mesti menjadi hiasan jiwa manusia. Ilmu ‘aqliyy (ilmu rasionalitas) termasuk ilmu yang rumit. Ilmu ini terbagi menjadi tiga tahapan. Pertama adalah ilmu ar-riyadhy (matematika, atau ilmu hitungan) dan ilmu mantiqiy (logika). Kedua adalah ilmu at-tabiiyy (ilmu alam atau biologi). Ketiga adalah ilmu nadhar fil mawjud (ilmu penelitian tentang segala hal yang ada).

Dalil Al-Qur'an tentang keutamaan dan keagungan tauhid

Berikut ini adalah dalil dari Qur'an mengenai keutamaan dan keagungan tauhid, di antaranya adalah:

...dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu. (An-Nahl 16:36)

Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (At-Taubah 9:31)

Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). (Az-Zumar 39:2-3)

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus. (Al-Bayyinah 98:5)

Perkataan ulama tentang tauhid

Syekh Al-Khatib al-Baghdady meriwayatkan bahwa Imam Junaid al-Baghdady berkata:

التَّوْحِيد إفْرَادُ القَدِيْمِ مِن المحدث

 “Tauhid adalah pengesaan Allah Yang Qadim dari menyerupai makhluk-Nya.”

Ilmu tauhid adalah ilmu yang paling utama, karena yang dikaji adalah Allah, Sang Pencipta, Yang Maha Esa. Ilmu ini wajib dipelajari oleh setiap yang berakal. Ulama ilmu ini adalah ulama yang paling utama. Pembahasan ilmu tauhid menurut Ahlussunnah wal Jama'ah harus dilandasi dalil dan argumentasi yang definitif (qath'i) dari al-Qur'an, hadits, ijma' ulama, dan argumentasi akal yang sehat. Imam al-Ghazali dalam Ar-Risalah al-Laduniyyah mengatakan:

وَأَهْلُ النَّظَرِ فِيْ هَذَا الْعِلْمِ يَتَمَسَّكُوْنَ أَوَّلاً بِآيَاتِ اللهِ تَعَالَى مِنَ اْلقُرْآنِ، ثُمَّ بِأَخْبَارِ الرَّسُوْلِ، ثُمَّ بِالدَّلاَئِلِ الْعَقْلِيَّةِ وَالْبَرَاهِيْنِ الْقِيَاسِيَّةِ.

Ahli nadhar (nalar) dalam ilmu akidah ini pertama kali berpegangan pada ayat-ayat Al-Qur'an, kemudian dengan hadits-hadits Rasul, dan terakhir pada dalil-dalil rasional dan argumentasi-argumentasi analogis.

Dua puluh sifat

Sifat Wajib Tulisan Arab Maksud Sifat Sifat Mustahil Tulisan Arab Maksud
Wujud
ﻭُﺟُﻮْﺩ
Ada Nafsiah Adam
ﻋَﺪَﻡْ
Tiada
Qidam
ﻗِﺪَﻡْ
Terdahulu Salbiah Huduts
ﺣُﺪُﻭْﺙْ
Baru
Baqa
ﺑَﻘَﺎﺀِ
Kekal Salbiah Fana
ﻓَﻨَﺎﺀِ
Berubah-ubah (akan binasa)
Mukhalafatuhu lilhawadits
ﻣُﺨَﺎﻟَﻔَﺘُﻪُ ﻟِﻠْﺤَﻮَﺍﺩِﺙِ
Berbeda dengan makhluk-Nya Salbiah Mumatsalatuhu lilhawadits
ﻣُﻤَﺎﺛَﻠَﺘُﻪُ ﻟِﻠْﺤَﻮَﺍﺩِﺙِ
Sama dengan makhluk-Nya
Qiyamuhu binafsih
ﻗِﻴَﺎﻣُﻪُ ﺑِﻨَﻔْﺴِﻪِ
Berdiri sendiri Salbiah Qiamuhu bighairih
ﻗِﻴَﺎﻣُﻪُ ﺑِﻐَﻴْﺮِﻩِ
Berdiri-Nya dengan yang lain
Wahdaniyat
ﻭَﺣْﺪَﺍﻧِﻴَﺔِ
Esa (satu) Salbiah Ta'addud
ﺗَﻌَﺪُّﺩِ
Lebih dari satu (berbilang)
Qudrat
ﻗُﺪْﺭَﺓِ
Kuasa Ma'ani Ajzun
ﻋَﺟْﺰٌ
Lemah
Iradat
ﺇِﺭَﺍﺩَﺓِ
Berkehendak (berkemauan) Ma'ani Karahah
ﻛَﺮَﺍﻫَﻪْ
Tidak berkemauan (terpaksa)
Ilmun
ﻋِﻠْﻢٌ
Mengetahui Ma'ani Jahlun
ﺟَﻬْﻞٌ
Bodoh
Hayat
ﺣَﻴَﺎﺓْ
Hidup Ma'ani Al-Maut
ﺍَﻟْﻤَﻮْﺕ
Mati
Sama'
ﺳَﻤَﻊْ
Mendengar Ma'ani Shummum
ﺍﻟصُمُّمْ
Tuli
Basar
ﺑَﺼَﺮ
Melihat Ma'ani Al-Umyu
ﺍﻟْﻌُﻤْﻲُ
Buta
Kalam
ﻛَﻼَ ﻡْ
Berbicara Ma'ani Al-Bukmu
ُﺍﻟْﺑُﻜْﻢ
Bisu
qaadiran
ﻗَﺎﺩِﺭًﺍ
berkuasa Ma'nawiyah ajizan
ﻋَﺎﺟِﺰًﺍ
lemah
muriidan
ﻣُﺮِﻳْﺪًﺍ
berkehendak menentukan Ma'nawiyah mukrahan
مُكْرَهًا
tidak menentukan (terpaksa)
'aliman
ﻋَﺎﻟِﻤًﺎ
mengetahui Ma'nawiyah jahilan
ﺟَﺎﻫِﻼً
yang bodoh
hayyan
ﺣَﻴًّﺎ
hidup Ma'nawiyah mayitan
َََﻣَﻴِّتا
Keadaan-Nya yang mati
sami'an
ﺳَﻤِﻴْﻌًﺎ
mendengar Ma'nawiyah ashamma
ﺃَﺻَﻢَّ
tuli
bashiiran
ﺑَﺼِﻴْﺭًﺍ
melihat Ma'nawiyah a'maa
ﺃَﻋْﻤَﻰ
Keadaan-Nya yang buta
mutakalliman
ﻣُﺘَﻜَﻠِّﻤًﺎ
berbicara Ma'nawiyah abkam
ﺃَﺑْﻜَﻢْ
bisu

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Philips 2005, hlm. 11.
  2. ^ Yulian 2011.
  3. ^ Miswanto 2012, hlm. 49.
  4. ^ Philips 2005, hlm. 17; Al-Fauzan 2001, hlm. 9.

Daftar pustaka

Bacaan lanjut

  • Muqaddimah Fathul Majiid tahqiq DR Walid bin Abdurrahman bin Muhammad Ali Furayaan
  • Al Istighatsah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal 293, lihat Muqaddimah Fathul Majiid tahqiq DR Walid bin Abdurrahman bin Muhammad Ali Furayaan, hal 4.