Sumpah Satie Bukit Marapalam

Revisi sejak 6 Agustus 2021 02.57 oleh HsfBot (bicara | kontrib) (v2.04b - Fixed using Wikipedia:ProyekWiki Cek Wikipedia (Kesalahan pranala pipa))

Sebelum Islam masuk ke wilayah Sumatra Barat, mayarakat Minang mengambil pedoman dalam menjalani hidup dengan melihat alam sebagai guru. Mereka menggali nilai-nilai yang diberikan alam untuk dijadikan landasan hidup. Ketika agama Islam masuk, masyarakat Minang dapat dengan mudah menerimanya karena ajaran Islam sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah dianut oleh masyarakat Minang itu sendiri.

Monumen Perjanjian Sumpah Satiah Bukit Marapalam

Pada masa penjajahan Belanda, kolonial Belanda mengadu domba masyarakat Minang dengan memunculkan pertentangan dan perbedaan pendapat, yang melatar belakangi munculnya Perang Paderi. Untuk mengakiri pertentangan dan perbedaan pendapat ini, dilaksanakanlah Piagam Bukik Marapalam yang disebut juga Sumpah Sati Bukik Marapalam. Perjanjian ini merumuskan Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Rumusan ini adalah hasil kesepakatan antara pemuka agama dan pemuka adat Minang. Perjanjian ini dilaksanakan di puncak Bukit Pato, Tanah Datar, yang disebut juga bukit Marapalam. Daerah ini dipilih karena posisinya yang strategis karena terletak di wilayah perbukitan antara Kecamatan Lintau dengan kecamatan Sungayang. Piagam Bukik Marapalam ini melahirkan konsep ideologis masyarakat Minang, yang kemudian dijadikan landasan dalam menjalankan kehidupan sosial, budaya, dan politik.[1]

Referensi

  1. ^ Asnan, Gusti (2003). Kamus Sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangabau. hlm. 339. ISBN 979-97407-0-3. 

Pranala luar