Fitrah berasal dari akar kata f-t-r dalam bahasa Arab yang berarti membuka atau menguak. Fitrah sendiri mempunyai makna asal kejadian, keadaan yang suci dan kembali ke asal. Dari segi bahasa, kata fitrah terambil dari akar kata al-fathr yang berarti belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna lain, seperti "penciptaan" dan "kejadian".[1]

Fitrah sebagai landasan epistemologis

Menurut ajaran Islam, manusia terlahir dengan naluri yang sesuai dengan Islam dan meyakini keberadaan Tuhan.[2] Naluri ini disebut fitrah, yang didefinisikan sebagai keadaan asal yang murni dalam diri manusia yang mengarahkannya untuk mengakui kebenaran akan keberadaan Tuhan dan mengikuti petunjuk-Nya.[3] Jika keadaan asal ini kemudian tidak dirusak dengan keyakinan menyimpang dari lingkungannya, manusia bisa melihat kebenaran Islam dan memeluknya.[4] Fitrah manusia membenarkan keberadaan sesuatu yang menciptakannya dan seluruh alam semesta.[3]

(30) Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ  
Qur'an Ar-Rum:30

Manusia membawa potensi untuk beragama yang lurus, yaitu ajaran tauhid, keyakinan tentang keesaan Allah tanpa sekutu.[5] Maksud لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ “Tidak ada perubahan pada fitrah Allah” dari ayat di atas adalah bahwa fitrah itu melekat selamanya pada diri manusia bahkan jika dia mengabaikannya; dia akan terus membawa karakteristik ini.[5]

Bukti ilmiah

Keadaan asal manusia yang meyakini adanya entitas tinggi yang menciptakannya bisa dibuktikan melalui statistik. Mayoritas orang di dunia mengimani Tuhan dengan konsep tertentu (meskipun ketidakpercayaan dengan Tuhan tampak semakin populer).[6] Sebagian besar agama di dunia memiliki konsep 'wujud yang mahaagung' atau sadar akan keberadaan Tuhan.[6] Alquran menyebutkan hal ini.[6]

(87) Dan jika engkau bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab, Allah; jadi bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah), وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ  
Qur'an Az-Zukhruf:87
(38) Dan sungguh, jika engkau tanyakan kepada mereka, "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Niscaya mereka menjawab, "Allah." Katakanlah, "Kalau begitu tahukah kamu tentang apa yang kamu sembah selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan bencana kepadaku, apakah mereka mampu menghilangkan bencana itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat mencegah rahmat-Nya?" Katakanlah, "Cukuplah Allah bagiku. Kepada-Nyalah orang-orang yang bertawakal berserah diri." وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ قُلْ أَفَرَأَيْتُم مَّا تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ ۚ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ ۖ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ  
Qur'an Az-Zumar:38

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Miswanto 2012, hlm. 11.
  2. ^ Ibn Taymiyyah 2000, hlm. 3; Utz 2011, hlm. 47.
  3. ^ a b Utz 2011, hlm. 47.
  4. ^ Ibn Taymiyyah 2000, hlm. 3.
  5. ^ a b Miswanto 2012, hlm. 11; Utz 2011, hlm. 47.
  6. ^ a b c Utz 2011, hlm. 48.

Daftar pustaka