Komodo

spesies kadal terbesar di dunia yang hidup di Pulau Komodo

Komodo, atau juga disebut biawak komodo (Varanus komodoensis), adalah spesies biawak besar yang terdapat di Pulau Komodo, Rinca, Flores, Gili Motang, dan Gili Dasami di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.[1][2] Biawak ini oleh penduduk asli pulau Komodo juga disebut dengan nama setempat ora.[3]

Komodo
Varanus komodoensis Edit nilai pada Wikidata

Edit nilai pada Wikidata
Rekaman
Edit nilai pada Wikidata
Status konservasi
Taksonomi
Galat Lua: callParserFunction: function "Template" was not found.
SpesiesVaranus komodoensis Edit nilai pada Wikidata
Pieter Antonie Ouwens, 1912
Tata nama
Dinamakan berdasarkanPulau Komodo Edit nilai pada Wikidata
Distribusi

Edit nilai pada Wikidata
EndemikIndonesia Edit nilai pada Wikidata

Komodo merupakan spesies terbesar dari familia Varanidae, sekaligus kadal terbesar di dunia, dengan rata-rata panjang 2-3 meter dan beratnya bisa mencapai 100 kg. Komodo merupakan pemangsa puncak di habitatnya karena sejauh ini tidak diketahui adanya hewan karnivora besar lain selain biawak ini di sebarang geografisnya.[4][5][6]

Tubuhnya yang besar dan reputasinya yang mengerikan membuat mereka menjadi salah satu hewan paling terkenal di dunia. Sekarang, habitat komodo yang sesungguhnya telah menyusut akibat aktivitas manusia, sehingga lembaga IUCN memasukkan komodo sebagai spesies yang rentan terhadap kepunahan. Biawak komodo telah ditetapkan sebagai hewan yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia dan habitanya dijadikan taman nasional, yaitu Taman Nasional Komodo, yang tujuannya didirikan untuk melindungi mereka.

Anatomi dan morfologi

 
Kulit komodo.
 
Kaki dan ekor komodo.
 
Komodo yang berjemur.

Komodo liar dewasa biasanya memiliki berat sekitar 70 kg,[7] tetapi komodo yang dipelihara di penangkaran sering kali memiliki bobot yang lebih berat. Spesimen liar terbesar yang pernah ditemukan panjangnya mencapai 3.13 meter dengan berat sekitar 166 kg, termasuk berat makanan yang belum dicerna di dalam perutnya.[8] Komodo memiliki ekor yang sama panjang dengan tubuhnya. Meskipun komodo tercatat sebagai kadal terbesar di dunia, namun bukan spesies yang terpanjang. Reputasi panjang tubuh (tidak termasuk berat badan) dipegang oleh biawak Papua (Varanus salvadorii).[9] Komodo jantan lebih besar daripada komodo betina, dengan warna kulit dari abu-abu gelap sampai merah batu bata, sementara komodo betina biasanya berwarna hijau kecokelatan dan memiliki bercak kecil kuning pada tenggorokannya. Komodo muda lebih bervariasi warnanya, dengan warna kuning, hijau dan putih dengan latar belakang hitam.[10]

Di dalam mulut komodo dewasa, terdapat sekitar 60 buah gigi yang bergerigi tajam sepanjang sekitar 2.5 cm, yang sering terlepas atau ditanggalkan.[10][11] Komodo memiliki lidah yang panjang, berwarna kuning kecokelatan dan bercabang.[8] Air liur komodo merupakan salah satu hal yang sering dibicarakan banyak orang karena kebanyakan orang menganggapnya beracun seperti bisa ular atau kadal beracun, bahkan dianggap tidak ada obatnya, baik untuk mencegah maupun menetralkan racun tersebut. Walau begitu, hal ini menjadi perdepatan panjang diantara para ahli hewan di dunia.[12]

Fisiologi

 
Komodo di Rinca.
 
Komodo muda di Rinca yang makan bangkai kerbau.

Komodo mampu melihat hingga sejauh 300 m, namun karena retinanya hanya memiliki sel kerucut, hewan ini tidak dapat melihat dengan baik di kegelapan malam. Komodo mampu membedakan warna namun tidak begitu mampu membedakan objek yang tak bergerak.[13] Komodo tidak memiliki indera pendengaran, walaupun memiliki lubang telinga.[14]

Komodo menggunakan lidahnya untuk mencium bau mangsanya seperti halnya sebagian besar Squamata. Lidah komodo menangkap partikel bau di udara lalu menaruhnya ke organ di langit-langit mulutnya yang disebut organ Jacobson yang berfungsi untuk menganalisis tanda-tanda dari bau tersebut.[15] Dengan bantuan angin dan kebiasaannya menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri ketika berjalan, komodo dapat mendeteksi keberadaan daging bangkai sejauh 4—9.5 km.[10] Lubang hidung komodo hanya berfungsi untuk bernafas dan bukan mencium bau karena komodo tidak memiliki selaput penerima bau di hidungnya.[16] Komodo juga tidak memiliki organ perasa di lidahnya, hanya ada sedikit ujung-ujung saraf perasa di tenggorokan dalam.[15]

Komodo sempat dianggap tuli ketika penelitian mendapatkan bahwa bisikan, suara yang meningkat dan teriakan ternyata tidak memengaruhi komodo tersebut. Hal ini kemudian terbantahkan ketika karyawan Kebun Binatang London ZSL, Joan Proctor melatih biawak komodo untuk keluar makan dengan suaranya, bahkan juga ketika ia tidak terlihat oleh si biawak.[17]

Perilaku

 
Pada gambar ini, ekor dan cakar komodo dapat terlihat dengan jelas.
 
Komodo yang tidur. Perhatikan kukunya yang besar. Kukunya digunakan untuk bertempur dan makan.
 
Koin Rupiah Indonesia yang bergambar komodo.
 
Dua ekor komodo di Pulau Komodo.

Komodo liar hanya terdapat dan hanya bisa ditemukan di Indonesia di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di pulau Komodo, Rinca dan beberapa pulau kecil di sekitarnya serta di pesisir barat pulau Flores.[18] Habitat komodo adalah padang rumput terbuka (sabana) dan hutan belukar, terkadang juga di pesisir pantai. Komodo beraktivitas pada siang hingga sore hari, tetapi tetap berteduh ketika suhu udara sangat panas.[19][20]

Komodo adalah binatang yang penyendiri dan hanya berkumpul bersama pada saat makan atau berkembang biak. Biawak ini dapat berlari cepat hingga 20 km/jam pada jarak yang pendek. Komodo juga pandai berenang dan mampu menyelam sedalam 4.5 meter[21] serta pandai memanjat pohon menggunakan cakar mereka yang kuat.[7] Untuk menangkap mangsa yang berada di luar jangkauannya, komodo dapat berdiri dengan kaki belakangnya dan menggunakan ekornya sebagai penunjang.[17] Seiring bertambahnya umur dan ukuran badan, komodo lebih sering menggunakan cakarnya sebagai senjata, karena ukuran tubuh yang besar menyulitkannya memanjat pohon.

Untuk tempat berlindung, komodo mampu menggali lubang selebar 1–3 meter dengan tungkai depan dan cakarnya yang kuat.[22] Karena ukuran tubuhnya dan kebiasaan tidur di dalam lubang, komodo dapat menjaga panas tubuhnya selama malam hari dan mengurangi waktu berjemur pada pagi hari selanjutnya.[23]

Makanan

Komodo adalah hewan pemakan hewan lain (karnivora). Akan tetapi, biawak ini lebih sering memakan daging bangkai.[4] Penelitian yang ada menunjukkan bahwa biawak komodo berburu mangsa hidup dengan cara mengendap-endap diikuti dengan serangan tiba-tiba terhadap korbannya. Ketika mangsa itu sudah dalam jangkauannya, komodo segera menyerangnya dengan menggigit pada sisi bawah tubuh atau tenggorokan.[10] Komodo menemukan mangsanya dengan menggunakan lidahnya yang dapat merasakan bau mangsa, binatang mati atau sekarat pada jarak hingga 9,5 kilometer.[10]

Komodo memakan buruannya dengan cara mencabik potongan besar dari daging, lalu menelannya bulat-bulat, sementara tungkai depannya menahan tubuh mangsanya. Untuk mangsa berukuran kecil hingga sebesar kambing, terkadang komodo langsung menghabiskannya sekali telan.[20] Air liur pada mulut komodo membantunya menelan mangsanya. Meskipun begitu, proses menelan tetap memerlukan waktu yang panjang, biasanya 15–20 menit diperlukan untuk menelan seekor kambing. Komodo kadang-kadang berusaha mempercepat proses menelan itu dengan menekan daging mangsanya ke pohon atau batu, untuk memaksa daging "masuk" melewati kerongkongannya.[20] Untuk menghindari penyumbatan udara ketika menelan, komodo bernapas melalui sebuah saluran kecil di bawah lidah, yang berhubungan langsung dengan paru-parunya.[10] Rahangnya komodo dapat dibuka dengan leluasa karena otot tengkoraknya yang lentur, memungkinkan komodo dapat melahap mangsa yang besar hingga sebesar 80% bobot tubuhnya sendiri dalam sekali makan.[6][24] Mangsa komodo dewasa di antaranya reptilia kecil (termasuk jenisnya sendiri), babi hutan, kambing, rusa, kuda, dan kerbau. Sedangkan komodo muda memangsa serangga, telur, mamalia dan reptilia kecil.[4][24]

Setelah makan, komodo berjalan menyeret tubuhnya yang kekenyangan mencari tempat terbuka untuk berjemur dan mempercepat proses pencernaan. Kalau tidak, makanan itu dapat membusuk dalam perutnya dan meracuni tubuhnya sendiri. Dikarenakan metabolismenya yang lamban, komodo besar dapat bertahan dengan hanya makan kira-kira 12 kali setahun atau sekali sebulan.[10] Setelah daging mangsanya tercerna, komodo memuntahkan sisa-sisa tanduk, rambut dan gigi mangsanya, dalam gumpalan-gumpalan bercampur dengan lendir berbau busuk. Kemudian, komodo menyapukan wajahnya ke tanah atau ke semak-semak untuk membersihkan sisa-sisa lendir yang masih menempel di mulutnya.[10]

Ketika makan secara berkelompok, komodo yang berukuran paling besar biasanya makan terlebih dahulu, diikuti dengan komodo lain yang berukuran lebih kecil. Jantan terbesar menunjukkan dominasinya melalui bahasa tubuh dan desisannya, yang kemudian disambut dengan bahasa yang sama oleh jantan-jantan lain yang lebih kecil untuk memperlihatkan pengakuan mereka atas kekuasaan komodo besar itu. Komodo-komodo yang berukuran sama mungkin akan berkelahi mengadu kekuatan, dengan cara berdiri pada dua kaki belakang, lalu saling memukul dan mendorong dengan kaki depan, hingga salah satu mengaku kalah dan mundur walau kadang yang kalah dapat terbunuh dalam perkelahian dan dimangsa oleh si pemenang.[10]

Kadang-kadang komodo juga memangsa manusia dan mayat yang digali dari lubang makam yang dangkal.[17] Kebiasaan ini menyebabkan penduduk pulau Komodo menghindari tanah berpasir dan memilih mengubur jenazah di tanah liat, serta menutupi atasnya dengan batu-batu agar tidak dapat digali oleh komodo.[20] Ada pula yang menduga bahwa komodo berevolusi untuk memangsa gajah kerdil Stegodon yang pernah hidup di Flores.[25] Komodo diketahui juga pernah mengejutkan dan menakut-nakuti rusa-rusa betina yang tengah hamil, dengan harapan agar keguguran dan bangkai janinnya dapat dimangsa, suatu perilaku yang juga didapati pada hewan-hewan pemangsa besar di Afrika.[25]

Bisa dan bakteri

Pada akhir 2005, peneliti dari Universitas Melbourne, Australia, menyimpulkan bahwa biawak Perentie (Varanus giganteus) dan biawak-biawak lainnya, serta kadal-kadal dari suku Agamidae, kemungkinan memiliki semacam bisa. Selama ini, diketahui bahwa luka-luka akibat gigitan hewan-hewan ini sangat rawan infeksi karena adanya bakteria yang hidup di mulut kadal-kadal ini, akan tetapi para peneliti ini menunjukkan bahwa efek langsung yang muncul pada luka-luka gigitan itu disebabkan oleh masuknya bisa berkekuatan menengah. Para peneliti ini telah mengamati luka-luka di tangan manusia akibat gigitan biawak Varanus varius, V. scalaris dan komodo, dan semuanya memperlihatkan reaksi yang serupa: bengkak secara cepat dalam beberapa menit, gangguan pembekuan darah, rasa sakit hingga ke siku, disertai dengan beberapa gejala yang bertahan hingga beberapa jam kemudian.[26]

Sebuah kelenjar yang berisi bisa yang sangat beracun telah berhasil diambil dari mulut seekor komodo di Kebun Binatang Singapura, dan meyakinkan para peneliti akan kandungan bisa yang dipunyai komodo[27]. Bakteri yang paling mematikan di air liur komodo diperkirakan adalah bakteri Pasteurella multocida.[28]

Di samping mengandung bisa, air liur komodo juga memiliki aneka bakteri mematikan di dalamnya; lebih dari 28 bakteri Gram-negatif dan 29 Gram-positif telah diisolasi dari air liur ini.[29] Bakteri-bakteri tersebut menyebabkan septikemia pada korbannya. Jika gigitan komodo tidak langsung membunuh mangsa dan mangsa itu dapat melarikan diri, umumnya mangsa yang tidak beruntung ini akan mati dalam waktu sehari atau seminggu akibat infeksi, karena komodo kemungkinan kebal terhadap mikrobanya sendiri, banyak penelitian dilakukan untuk mencari molekul antibakteri dengan harapan dapat digunakan untuk pengobatan manusia.[30]

Reproduksi

Musim kawin komodo biasanya berlangsung antara bulan Mei hingga Agustus.[21] Selama periode ini, komodo jantan sering berkelahi dengan pejantan lain untuk memperebutkan betina dan wilayah kekuasaannya. Dua pejantan "bergulat" dengan jantan lainnya sambil berdiri menggunakan kaki belakang lalu saling mendorong dan memukul dengan kaki depan. Komodo yang kalah akan terjatuh dan "terkunci" ke tanah. Kedua komodo jantan itu dapat muntah atau buang air besar ketika bersiap untuk berkelahi.[17]

Pemenang pertarungan akan menjulurkan lidah panjangnya pada tubuh si betina untuk melihat penerimaan sang betina.[6] Komodo betina bersifat antagonis dan melawan dengan gigi dan cakar mereka selama awal fase berpasangan. Selanjutnya, jantan harus sepenuhnya mengendalikan betina selama bersetubuh agar tidak terluka.Selama perkawinan, si jantan menggosokkan dagu mereka pada si betina, disertai garukan keras di atas punggung dan menjilat.[31] Kopulasi terjadi ketika jantan memasukan salah satu hemipenisnya ke kloaka betina.[13] Komodo bersifat monogamus dan membentuk "pasangan," suatu sifat yang langka untuk kadal.[17][24]

Komodo betina biasanya meletakkan telurnya di lubang tanah, cekungan di tebing bukit atau gundukan sarang burung gosong berkaki-jingga yang telah ditinggalkan. Akan tetapi, komodo lebih suka menyimpan telur-telurnya di sarang yang telah ditinggalkan.[32] Sarang komodo rata-rata berisi 20 telur.[17] Betina berbaring di atas telur-telur itu untuk mengerami dan melindunginya sampai menetas setelah dierami selama 7–8 bulan.[21]

Proses penetasan adalah usaha melelahkan untuk anak komodo, yang keluar dari cangkang telur setelah menyobeknya dengan gigi telur yang akan tanggal setelah pekerjaan berat ini selesai. Setelah berhasil menyobek kulit telur, bayi komodo dapat berbaring di cangkang telur mereka untuk beberapa jam sebelum mulai menggali keluar sarang mereka. Ketika menetas, bayi-bayi ini sangat rentan dimangsa oleh predator.[10]

Komodo muda menghabiskan tahun-tahun pertamanya di atas pohon, tempat mereka relatif aman dari predator, termasuk dari komodo dewasa yang kanibal, yang terkadang memangsa biawak-biawak muda yang berhasil diburu.[17][33] Komodo membutuhkan tiga sampai lima tahun untuk menjadi dewasa, dan dapat hidup lebih dari 50 tahun.[17][24] .[22]

Partenogenesis

 
Bayi komodo partenogenetik di Kebun Binatang Chester, Inggris.
 
Bayi komodo partenogenetik di Kebun Binatang Chester, Inggris.

Di samping proses reproduksi yang normal, terdapat beberapa contoh kasus komodo betina menghasilkan anak tanpa kehadiran pejantan (partenogenesis), fenomena yang juga diketahui muncul pada beberapa spesies reptil lainnya seperti pada Cnemidophorus.[7]

"Sungai", seekor komodo di Kebun Binatang London, bertelur pada awal tahun 2006 setelah dipisah dari jantan selama lebih dari dua tahun. Ilmuwan pada awalnya mengira bahwa komodo ini dapat menyimpan sperma beberapa lama dari hasil perkawinan dengan komodo jantan pada waktu sebelumnya, suatu adaptasi yang dikenal dengan istilah superfekundasi.[34]

Pada tanggal 20 Desember 2006, dilaporkan bahwa "Flora", komodo yang hidup di Kebun Binatang Chester, Inggris adalah komodo kedua yang diketahui menghasilkan telur tanpa fertilisasi (pembuahan dari perkawinan). Ia mengeluarkan 11 telur, dan 7 di antaranya berhasil menetas.[35]

Peneliti dari Universitas Liverpool di Inggris utara melakukan tes genetika pada tiga telur yang gagal menetas setelah dipindah ke inkubator, dan terbukti bahwa "Flora" tidak memiliki kontak fisik dengan komodo jantan. Setelah temuan yang mengejutkan ini, pengujian lalu dilakukan terhadap telur-telur "Sungai" dan diketahui bahwa telur-telur itupun dihasilkan tanpa pembuahan dari luar.[36]

Komodo memiliki sistem penentuan seks kromosomal ZW, bukan sistem penentuan seks XY. Keturunan "Flora" yang berkelamin jantan, menunjukkan terjadinya beberapa hal, bahwa telur "Flora" yang tidak dibuahi bersifat haploid pada mulanya, kemudian menggandakan kromosomnya sendiri menjadi diploid. Ini menunjukkan bahwa ia tidak menghasilkan telur diploid, sebagaimana terjadi jika salah satu proses pembelahan-reduksi meiosis pada ovariumnya gagal.

Ketika komodo betina (memiliki kromosom seks ZW) menghasilkan anak dengan cara ini, ia mewariskan hanya salah satu dari pasangan-pasangan kromosom yang dipunyainya, termasuk satu dari dua kromosom seksnya. Satu set kromosom tunggal ini kemudian diduplikasi dalam telur, yang berkembang secara partenogenetika. Telur yang menerima kromosom Z akan menjadi ZZ (jantan) dan yang menerima kromosom W akan menjadi WW dan gagal untuk berkembang.[37]

Diduga bahwa adaptasi reproduktif semacam ini memungkinkan seekor hewan betina memasuki sebuah relung ekologi yang terisolasi (seperti halnya pulau) dan dengan cara partenogenesis kemudian menghasilkan keturunan jantan. Melalui perkawinan dengan anaknya itu pada saat yang berikutnya hewan-hewan ini dapat membentuk populasi yang bereproduksi secara seksual, karena dapat menghasilkan keturunan jantan dan betina.[37] Meskipun adaptasi ini bersifat menguntungkan, kebun binatang perlu waspada kerena partenogenesis mungkin dapat mengurangi keragaman genetika.[38]

Pada 31 Januari 2008, Kebun Binatang Sedgwick County di Wichita, Kansas menjadi kebun binatang yang pertama kali mendokumentasi partenogenesis pada komodo di Amerika. Kebun binatang ini memiliki dua komodo betina dewasa, yang salah satu di antaranya menghasilkan 17 butir telur pada 19-20 Mei 2007. Hanya dua telur yang diinkubasi dan ditetaskan karena persoalan ketersediaan ruang; yang pertama menetas pada 31 Januari 2008, diikuti oleh yang kedua pada 1 Februari 2008. Kedua anak komodo itu berkelamin jantan.[39][40]

Evolusi

Perkembangan evolusi komodo dimulai dengan marga Varanus, yang muncul di Asia sekitar 40 juta tahun yang lalu yang kemudian bermigrasi ke Australia. Sekitar 15 juta tahun yang lalu, pertemuan lempeng benua Australia dan Asia Tenggara memungkinkan para biawak bergerak menuju wilayah yang sekarang dikenal sebagai Nusantara. Komodo diyakini berevolusi dari nenek-moyang Australianya pada sekitar 4 juta tahun yang lalu, dan menyebar ke timur hingga sejauh Timor. Perubahan ketinggian permukaan laut semenjak zaman Es telah menyebabkan agihan komodo berkurang dan sekarang hanya ditemui di beberapa pulau saja.[41]

Komodo dan manusia

 
Komodo di Kebun Binatang Toronto.
 
Segerombolan komodo sedang makan seekor kambing di Kebun Binatang Surabaya.

Penemuan

Komodo pertama kali didokumentasikan oleh orang Eropa pada tahun 1910. Namanya meluas setelah tahun 1912, ketika Pieter Antonie Ouwens, direktur Museum Zoologi di Buitenzorg (kini Bogor), menerbitkan jurnal tentang komodo setelah menerima foto dan kulit reptil ini.[17][33] Selanjutnya, komodo adalah faktor pendorong dilakukannya ekspedisi ke pulau Komodo oleh W. Douglas Burden pada tahun 1926. Setelah kembali dengan 12 spesimen yang diawetkan dan 2 ekor komodo hidup, ekspedisi ini memberikan inspirasi untuk film King Kong tahun 1933.[42] W. Douglas Burden adalah orang yang pertama memberikan nama "Komodo dragon" kepada hewan ini.[19] Tiga dari spesimen komodo yang diperolehnya diawetkan menjadi hewan pajangan dan hingga kini masih disimpan di Museum Sejarah Alam Amerika.[43]

Penelitian

Karena menyadari berkurangnya jumlah hewan ini di alam bebas, para ilmuwan dan organisasi internasional melarang perburuan komodo dan membatasi jumlah hewan yang diambil untuk penelitian ilmiah. Ekspedisi komodo terhenti semasa Perang Dunia II, dan tak dilanjutkan sampai dengan tahun 1950an dan 1960an, saat dilakukan penelitian-penelitian terhadap perilaku makan, reproduksi, dan temperatur tubuh komodo. Pada tahun-tahun itu, sebuah ekspedisi yang lain dirancang untuk meneliti komodo dalam jangka panjang. Tugas ini jatuh ke tangan keluarga Auffenberg, yang kemudian tinggal selama 11 bulan di Pulau Komodo pada tahun 1969. Selama masa itu, Walter Auffenberg dan Putra Sastrawan sebagai asistennya, berhasil menangkap dan menandai lebih dari 50 ekor komodo.[30] Hasil ekspedisi ini ternyata sangat berpengaruh terhadap meningkatnya penangkaran komodo.[2] Penelitian-penelitian berikutnya kemudian memberikan gambaran yang lebih terang dan jelas mengenai sifat-sifat alami komodo, sehingga para biolog seperti halnya Claudio Ciofi dapat melanjutkan kajian yang lebih mendalam.[44]

Konservasi

Biawak komodo merupakan spesies yang rentan terhadap kepunahan, dan dikatagorikan sebagai spesies Rentan dalam daftar IUCN Red List.[45] Sekitar 4.000–5.000 ekor komodo diperkirakan masih hidup di alam liar. Populasi ini terbatas menyebar di pulau-pulau Rinca (1.300 ekor), Gili Motang (100), Gili Dasami (100), Komodo (1.700), dan Flores (mungkin sekitar 2.000 ekor).[2] Meski demikian, ada keprihatinan mengenai populasi ini karena diperkirakan dari semuanya itu hanya tinggal 350 ekor betina yang produktif dan dapat berbiak.[3] Karena kekhawatiran ini, pada tahun 1980 Pemerintah Indonesia menetapkan berdirinya Taman Nasional Komodo untuk melindungi populasi komodo dan ekosistemnya di beberapa pulau termasuk Komodo, Rinca, dan Padar.[46] Belakangan, ditetapkan pula Cagar Alam Wae Wuul dan Wolo Tado di Pulau Flores untuk membantu pelestarian komodo.[44] Namun di sisi lain, ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa komodo, setidaknya sebagian, telah terbiasa dengan kehadiran manusia. Komodo-komodo ini terbiasa diberi makan karkas hewan ternak, sebagai atraksi untuk menarik turis pada beberapa lokasi kunjungan.[4]

Aktivitas vulkanis, gempa bumi, kerusakan habitat, kebakaran (populasi komodo di Pulau Padar hampir punah karena kebakaran alami pernah terjadi di sana), berkurangnya mangsa, meningkatnya pariwisata, dan perburuan gelap, membuat komodo semakin rentan terhadap kepunahan. CITES (the Convention on International Trade in Endangered Species) telah menetapkan bahwa perdagangan komodo, baik kulitmaupun bagian-bagian lain dari hewan ini adalah ilegal.[10][16][44]

Meskipun jarang terjadi, komodo diketahui dapat membunuh manusia. Pada tanggal 4 Juni 2007, seekor komodo diketahui menyerang seorang anak laki-laki berumur delapan tahun. Anak ini kemudian meninggal karena perdarahan yang parah. Ini adalah catatan pertama mengenai serangan yang berakibat kematian pada 33 tahun terakhir.[47]

Penangkaran

Sudah lama komodo menjadi tontonan yang menarik di berbagai kebun binatang, terutama karena ukuran tubuh dan reputasinya, yang membuatnya begitu populer. Meskipun demikian, hewan ini jarang dipamerkan di kebun binatang, karena komodo rentan terhadap infeksi dan penyakit akibat parasit, serta tidak mudah berkembang biak.[3]

Komodo yang pertama dipamerkan adalah pada Kebun Binatang Smithsonian pada tahun 1934, namun hewan ini hanya bertahan hidup selama dua tahun. Upaya-upaya untuk memelihara reptil ini terus dilanjutkan, namun usia binatang ini dalam penangkaran tidak begitu panjang, rata-rata hanya 5 tahun di kebun binatang tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Walter Auffenberg di atas, yang hasilnya kemudian diterbitkan sebagai buku The Behavioral Ecology of the Komodo Monitor, pada akhirnya memungkinkan pemeliharaan dan pembiakan satwa langka ini di penangkaran.[2]

Telah diamati bahwa banyak spesimen komodo yang dipelihara memperlihatkan perilaku jinak untuk jangka waktu tertentu. Pada beberapa kejadian, dilaporkan bahwa para pawang berhasil membawa keluar komodo dari kandangnya untuk berinteraksi dengan pengunjung, termasuk anak-anak di antaranya, tanpa akibat yang membahayakan pengunjung.[48][49] Komodo kemungkinan dapat mengenali orang satu persatu. Ruston Hartdegen dari Kebun Binatang Dallas menyebutkan bahwa komodo-komodo yang dipeliharanya bereaksi berbeda apabila berhadapan dengan pawang yang biasa memeliharanya, dengan pawang lain yang kurang lebih sudah dikenal, atau dengan pawang yang sama sekali belum dikenal.[50]

Penelitian terhadap komodo peliharaan membuktikan bahwa hewan ini senang bermain. Suatu kajian mengenai komodo yang mau mendorong sekop yang ditinggalkan oleh pawangnya, nyata-nyata memperlihatkan bahwa hewan itu tertarik pada suara yang ditimbulkan sekop ketika menggeser sepanjang permukaan berbatu. Seekor komodo betina muda di Kebun Binatang Nasional di Washington, D.C. senang meraih dan mengguncangkan aneka benda termasuk patung-patung, kaleng-kaleng minuman, lingkaran plastik, dan selimut. Komodo ini pun senang memasuk-masukkan kepalanya ke dalam kotak, sepatu, dan aneka objek lainnya. Komodo tersebut bukan tak bisa membedakan benda-benda tadi dengan makanan; ia baru memakannya apabila benda-benda tadi dilumuri dengan darah tikus. Perilaku bermain-main ini dapat diperbandingkan dengan perilaku bermain mamalia.[6]

Catatan lain mengenai kesenangan bermain komodo didapatkan dari Universitas Tennessee. Seekor komodo muda yang diberi nama "Kraken" bermain dengan gelang-gelang plastik, sepatu, ember, dan kaleng, dengan cara mendorongnya, memukul-mukulnya, dan membawanya dengan menggigitnya di mulut. "Kraken" memperlakukan benda-benda itu berbeda dengan apa yang menjadi makanannya.[51]

Komodo yang tampak jinak sekalipun dapat berperilaku agresif secara tidak terduga, khususnya apabila teritorinya dimasuki oleh orang yang tidak dikenalnya. Pada bulan Juni 2001, serangan seekor komodo menimbulkan luka-luka serius pada Phil Bronstein—editor eksekutif harian San Francisco Chronicle dan bekas suami Sharon Stone, seorang aktris Amerika terkenal—ketika ia memasuki kandang binatang itu atas undangan pawangnya. Bronstein digigit komodo itu di kakinya yang telanjang, setelah si pawang menyarankannya agar membuka sepatu putihnya, yang dikhawatirkan bisa memancing perhatian si komodo.[52][53] Meski pria itu selamat, namun ia membutuhkan pembedahan untuk menyambung kembali tendon ototnya yang terluka.[54]

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ "Varanus komodoensis". Integrated Taxonomic Information System. 
  2. ^ a b c d Trooper Walsh; Murphy, James Jerome; Claudio Ciofi; Colomba De LA Panouse. Komodo Dragons: Biology and Conservation (Zoo and Aquarium Biology and Conservation Series). Washington, D.C: Smithsonian Books. ISBN 1-58834-073-2. 
  3. ^ a b c Endangered! Ora URL diakses pada 15 Januari 2007.
  4. ^ a b c d Chris Mattison, (1989 & 1992). Lizards of the World (Of the World). New York: Facts on File. hlm. pp. 16, 57, 99, 175. ISBN 0-8160-5716-8. 
  5. ^ Burness G, Diamond J, Flannery T (2001). "Dinosaurs, dragons, and dwarfs: the evolution of maximal body size". Proc Natl Acad Sci U S A. 98 (25): 14518–23. PMID 11724953. 
  6. ^ a b c d Tim Halliday (Editor), Kraig Adler (Editor). Firefly Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. Hove: Firefly Books Ltd. hlm. 112, 113, 144, 147, 168, 169. ISBN 1-55297-613-0. 
  7. ^ a b c Burnie, David (2001). Animal. New York, New York: DK Publishing, Inc. hlm. 417, 420. ISBN 0-7894-7764-5. 
  8. ^ a b Ciofi, Claudia. The Komodo Dragon. Scientific American, March 1999. URL diakses pada 21 Desember 2006
  9. ^ "Komodo Dragon - An Information Resource - Fact Sheet". Diakses tanggal 2008-03-13. 
  10. ^ a b c d e f g h i j k Tara Darling (Illustrator). Komodo Dragon: On Location (Darling, Kathy. on Location.). Lothrop, Lee and Shepard Books. ISBN 0-688-13777-6. 
  11. ^ Whozoo Komodo Dragon URL accessed December 21, 2006.
  12. ^ Komodo Dragon URL accessed December 21, 2006.
  13. ^ a b "Komodo Dragon Fact Sheet - National Zoo". Diakses tanggal 2007-11-25.  Teks " FONZ " akan diabaikan (bantuan)
  14. ^ "BBC - Science & Nature - Articles - The Komodo conundrum". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-12-23. Diakses tanggal 2007-11-25. 
  15. ^ a b Komodo Dragon - Background URL accessed April 13, 2007
  16. ^ a b Zipcodezoo.com - Varanus komodoensis URL accessed February 1, 2007.
  17. ^ a b c d e f g h i text by David Badger; photography by John Netherton (2002). Lizards: a natural history of some uncommon creatures, extraordinary chameleons, iguanas, geckos, and more. Stillwater, MN: Voyageur Press. hlm. 32, 52, 78, 81, 84, 140–145, 151. ISBN 0-89658-520-4. 
  18. ^ Sedgewick County Zoo information about Varanus Komodoensis Pranala diakses pada 21 Desember 2006.
  19. ^ a b "Komodo National Park". Diakses tanggal 2007-10-25.  Teks " Komodo Island " akan diabaikan (bantuan); Teks " Frequently Asked Questions " akan diabaikan (bantuan)
  20. ^ a b c d Alison Ballance; Morris, Rod. South Sea Islands: A Natural History. Hove: Firefly Books Ltd. ISBN 1-55297-609-2. 
  21. ^ a b c The Biogeography of the Komodo Dragon URL diakses pada 24 Februari 2007.
  22. ^ a b consultant editors, Harold G. Cogger & Richard G. Zweifel; illustrations by David Kirshner (1998). Encyclopedia of reptiles & amphibians. Boston: Academic Press. hlm. 132, 157–8. ISBN 0-12-178560-2. 
  23. ^ Eric R. Pianka and Laurie J. Vitt; with a foreword by Harry W. Greene (2003). Lizards: windows to the evolution of diversity. Berkeley: University of California Press. hlm. 244. ISBN 0-520-23401-4. 
  24. ^ a b c d The Reptipage: Komodo dragons URL accessed February 13, 2007.
  25. ^ a b Diamond, J (1987) "Did Komodo dragons evolve to eat pygmy elephants?" Nature 326(6116): 832-832
  26. ^ Fry, Brian G.; et al. "Early evolution of the venom system in lizards and snakes" (PDF). Diakses tanggal 2008-03-13. 
  27. ^ Scientists discover deadly secret of Komodo's bite, Yahoo News diakses pada 20/05/2009
  28. ^ Feldman, Ruth Tenzer. "Dragon drool!(Animal Angles)(komodo dragons)(Brief article)." Odyssey 16.2 (Feb 2007): 49(1). Student Resource Center - Gold. Gale. 23 Oct. 2007 [1].
  29. ^ Montgomery JM, Gillespie D, Sastrawan P, Fredeking TM, Stewart GL (2002) "Aerobic salivary bacteria in wild and captive Komodo dragons" Journal of Wildlife Diseases 38 (3): 545-551
  30. ^ a b "Chasing the Magic Dragon - National Wildlife Magazine". Diakses tanggal 2007-11-06. 
  31. ^ Komodo Dragon: Varanus komodoensis 1998 URL accessed January 24, 2007.
  32. ^ Jessop TS, Sumner J, Rudiharto H, Purwandana D, Imansyah MJ, Phillips JA (2004) "Distribution, use and selection of nest type by Komodo Dragons" Biological Conservation 117 (5): 463-470
  33. ^ a b Facts and Data on the Komodo Dragon URL diakses pada 5 Januari 2006.
  34. ^ "Virgin Birth? No, Virgin Hatch". www.metafilter.com. 
  35. ^ Catatan kandangnya di Kebun Binatang Chester, Inggris
  36. ^ "Wise men testify to Dragon's virgin birth - Times Online". Diakses tanggal 2007-11-26. 
  37. ^ a b Virgin births for giant lizards
  38. ^ Watts PC, Buley KR, Sanderson S, Boardman W, Ciofi C, Gibson R (2006). "Parthenogenesis in Komodo Dragons". Nature. 444 (7122): 1021–2. doi:10.1038/4441021a. PMID 17183308. 
  39. ^ "Recent News - Sedgwick County Zoo". Diakses tanggal 2008-02-12. 
  40. ^ "Komodo dragons hatch with no male involved - Science - MSNBC.com". Diakses tanggal 2008-02-12. 
  41. ^ "Komodo Dragon - Evolution theory of the Komodo Dragon". Diakses tanggal 2008-03-13. 
  42. ^ The Virtual Exploration Society: the Burden Expedition to Komodo Island URL accessed March 18, 2007.
  43. ^ American Museum of Natural History: Komodo Dragons. Retrieved 7 June 2007.
  44. ^ a b c "Trapping Komodo Dragons for Conservation". Diakses tanggal 2007-11-08. 
  45. ^ World Conservation Monitoring Centre (1996). Varanus komodoensis. 2006 IUCN Red List of Threatened Species. IUCN 2006. Diakses 11 May 2006. Listed as Vulnerable (VU B1+2cde v2.3) URL accessed December 21, 2006
  46. ^ "The official website of Komodo National Park, Indonesia". Diakses tanggal 2007-02-02. 
  47. ^ "Komodo dragon kills boy in Indonesia - Asia-Pacific - MSNBC.com". Diakses tanggal 2007-06-07. 
  48. ^ Procter, J. B. 1928. On a living Komodo Dragon Varanus komodensis Ouwens, exhibited at the Scientific Meeting, October 23rd, 1928. Proc. Zool. Soc. London 1928:1017-1019.
  49. ^ Lederer, G. 1931. Erkennen wechselwarme Tiere ihren Pfleger? Wochenschr. Aquar.-Terrarienkunde 28: 636-638.
  50. ^ Murphy, J., and Walsh, T., 2006. Dragons and Humans. Herpetological Review, 37: 269-275.
  51. ^ "Such jokers, those Komodo dragons. (Reptiles)." Science News 162.5 (August 3, 2002): 78(1). Student Resource Center - Gold. Gale. 8 Oct. 2007 [2].
  52. ^ Transcript: Sharon Stone vs. the Komodo Dragon
  53. ^ Phillip T. Robinson (2004). Life at the zoo: behind the scenes with the animal doctors. New York: Columbia University Press. hlm. 79. ISBN 0-231-13248-4. 
  54. ^ "Tale of the Dragon. (World News)." National Geographic World (Nov 2001): 7(1). Student Resource Center - Gold. Gale. 23 Oct. 2007 <http://find.galegroup.com/ips/start.do?prodId=IPS>.

Daftar pustaka

  • Auffenberg, Walter (1981). The Behavioral Ecology of the Komodo Monitor. Gainesville: University Presses of Florida. ISBN 0-8130-0621-X. 
  • King, Dennis & Green, Brian. 1999. Goannas: The Biology of Varanid Lizards. University of New South Wales Press. ISBN 0-86840-456-X
  • Richard L. Lutz, Judy Marie Lutz,. Komodo, the Living Dragon: The Living Dragon. Salem, Or: DiMI Press. ISBN 0-931625-27-0. 
  • W. Douglas Burden,. Dragon Lizards of Komodo: An Expedition to the Lost World of the Dutch East Indies. Kessinger Publishing. ISBN 0-7661-6579-5. 

Pranala luar