Psikolog klinis

Tenaga Kesehatan

Psikolog klinis adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan psikologi klinis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan berhak memberikan pelayanan psikologi klinis kepada masyarakat. Kualifikasi pendidikan Psikolog Klinis paling rendah adalah lulusan pendidikan program profesi psikologi klinis yaitu Sarjana (S1) Psikologi yang telah mengikuti pendidikan profesi psikologi (kurikulum lama) dan telah dikukuhkan sebagai psikolog klinis oleh organisasi profesi, atau Magister (S2) Profesi Psikologi (kurikulum baru) di Bidang Minat/Kekhususan Psikologi Klinis anak dan/atau dewasa. Magister profesi psikologi menempuh masa studi selama 5 (lima) semester atau minimal 2,5 (dua setengah) tahun, serta paling lama 10 (sepuluh) semester atau 5 (lima) tahun [1].

Psikolog Klinis disebutkan sebagai bagian dari Tenaga Kesehatan[2] di bawah naungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sehingga wajib memiliki Surat Tanda Registrasi Psikolog Klinis (STR-PK) dan Surat Izin Praktik Psikolog Klinis (SIP-PK) untuk menjalankan praktik keprofesiannya[3]. Psikolog Klinis di Indonesia terhimpun dalam organisasi profesi yaitu Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK Indonesia)[4].

Psikolog klinis dapat menjalankan praktik keprofesiannya secara mandiri dan / atau bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan seperti klinik, puskesmas, rumah sakit. Selain itu Psikolog klinis dapat menjalankan praktik di instansi pemerintah maupun lembaga swasta yang bergerak di bidang sosial.

Beberapa masalah yang dapat ditangani oleh Psikolog Klinis yaitu kecemasan berlebihan, depresi, trauma psikologis, pikiran/perilaku yang menyakiti diri sendiri atau orang lain, perilaku kecanduan, masalah citra tubuh, gangguan makan, gangguan tidur, autis, ADHD, kesulitan belajar, masalah perilaku lainnya yang menganggu pengembangan diri.

Wewenang Psikolog Klinis

Wewenang Psikolog Klinis diatur dalam Pasal 17 Peraturan Menteri Kesehatan No. 45 Tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Psikolog Klinis adalah sebagai berikut[3]:

  1. pelaksanaan asesmen psikologi klinis;
  2. penegakan diagnosis dan prognosis psikologi klinis;
  3. penentuan dan pelaksanaan intervensi psikologi klinis;
  4. melakukan rujukan; dan
  5. pelaksanaan evaluasi proses asesmen dan intervensi psikologi klinis.

Pelaksanaan asesmen psikologi klinis mencangkup pemeriksaan yang berkenaan dengan kondisi psikologis; kondisi psikologis; permasalahan atau gangguan psikologis / kejiwaan yang terjadi; dinamika  psikologis, intrapsikis, dan sosial sebagai penyebab masalah atau gangguan psikologis;  kepribadian dan gangguan kepribadian; potensi kemampuan psikologis  dan manifestasinya; dan kepentingan hukum. Asesmen dapat dilakukan dengan cara wawancara klinis, observasi klinis, psikotes formal, dan informal.

Penegakan diagnosis dan prognosis psikologi klinis meliputi: evaluasi terhadap dinamika psikologis yang terjadi; menentukan diagnosis berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD) atau Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) yang berlaku; dan menyusun manifestasi fungsi psikologis dan perilaku.

Penentuan dan pelaksanaan intervensi psikologi klinis dapat dilaksanakan kepada individu, kelompok, komunitas maupun untuk kepentingan hukum sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan psikologis yang terjadi, dalam bentuk psikoedukasi, konseling, psikoterapi dengan pendekatan psikologi klinis, dan rekomendasi intervensi.

Rujukan dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis dari dan kepada psikolog lain, atau profesi lain yang memiliki kompetensi sesuai kebutuhan.

Pelaksanaan evaluasi proses asesmen dan intervensi psikologi klinis dilakukan dengan cara memantau efektivitas proses intervensi psikologis, memahami keterbatasan proses intervensi, menentukan terminasi layanan psikologis, dan memberikan rekomendasi langkah tindak lanjut.

Lihat pula

Referensi