Observatorium Bosscha

Observatorium di Bandung Barat, Jawa Barat, Indonesia
Revisi sejak 16 Mei 2021 08.58 oleh InternetArchiveBot (bicara | kontrib) (Rescuing 9 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8)

Observatorium Bosscha merupakan salah satu tempat peneropongan bintang tertua di Indonesia. Observatorium Bosscha (dahulu bernama Bosscha Sterrenwacht) dibangun oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda. Observatorium Bosscha berlokasi di Lembang, Jawa Barat, sekitar 15 km di bagian utara Kota Bandung dengan koordinat geografis 107° 36' Bujur Timur dan 6° 49' Lintang Selatan. Tempat ini berdiri di atas tanah seluas 6 hektare, dan berada pada ketinggian 1310 meter di atas permukaan laut atau pada ketinggian 630 m dari dataran tinggi Bandung. Kode observatorium Persatuan Astronomi Internasional untuk observatorium Bosscha adalah 299. Tahun 2004, Observatorium Bosscha dinyatakan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Pemerintah. Karena itu keberadaan Observatorium Bosscha dilindungi oleh UU Nomor 2/1992 tentang Benda Cagar Budaya. Selanjutnya, tahun 2008, Pemerintah menetapkan Observatorium Bosscha sebagai salah satu Objek Vital nasional yang harus diamankan.[1]

Observatorium Bosscha
Kubah teleskop Zeiss
Nama alternatif299 BOS Sunting ini di Wikidata
OrganisasiInstitut Teknologi Bandung
Kode observatorium 299 Sunting ini di Wikidata
LokasiLembang, Jawa Barat, Indonesia
Koordinat6°49′28″S 107°36′56″E / 6.82444°S 107.61556°E / -6.82444; 107.61556
Ketinggian1.310 m (4.296 kaki)
CuacaTropis
Didirikan1923
Situs webBosscha di ITB
Teleskop
Teleskop Refraktor Ganda ZeissRefraktor Ganda 600 mm
Teleskop Schmidt Bima SaktiKamera Schmidt 711,2 mm
Teleskop Refraktor BambergRefraktor 370 mm
Teleskop Cassegrain GOTOCassegrain
Teleskop Refraktor UnitronRefraktor
Observatorium Bosscha di Indonesia
Observatorium Bosscha
Location of Observatorium Bosscha
Commons page Media terkait dari Wikimedia Commons

Sejarah

Latar belakang pendirian

 
Observatorium Bosscha (1900-40)

Pada permulaan abad ke-20, para astronom mulai menyadari bahwa bintang-bintang terikat satu sama lain membentuk sistem galaksi. Keinginan untuk meneliti dan memahami struktur galaksi tersebut mendorong dibangunnya berbagai teleskop besar di Belahan Bumi Selatan karena sebelumnya teleskop berukuran besar hanya terkonsentrasi di Belahan Bumi Utara, terutama di Eropa dan Amerika Utara.

Ide pembangunan observatorium di Hindia Belanda dikemukakan oleh insinyur-astronom kelahiran Madiun, Joan George Erardus Gijsbertus Voûte. Dia melihat bahwa penelitian astronomi terhambat karena kurangnya jumlah observatorium dan pengamat di Belahan Bumi Selatan. Pada awalnya, Voûte meneliti di Cape Observatory, Afrika Selatan, namun kurangnya dukungan pemerintah setempat membuat Voûte kembali ke Batavia, Hindia Belanda. Voûte berusaha mempengaruhi beberapa astronom di Belanda untuk membangun Observatorium di Hindia Belanda. Persahabatan antara Voûte dengan pengusaha kaya Karel Albert Rudolf Bosscha dan Rudolf Albert Kerkhoven semakin memperkuat dukungan terhadap pembangunan Observatorium.[2]

Pembiayaan

Bosscha mengumpulkan pengusaha dan orang-orang terpelajar untuk membentuk organisasi Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV—Perkumpulan Astronom Hindia Belanda) untuk menyalurkan uang bagi pembangunan observatorium. Hingga tahun 1928, diperkirakan organisasi ini mampu menyumbangkan 1 juta Gulden untuk dana pendirian dan operasional harian observatorium. Sebidang tanah di Lembang telah disumbangkan oleh Ursone Bersaudara, pengusaha pemerahan sapi Baroe Adjak, dan hak kepemilikan tanahnya telah diserahkan kepada NISV.

Bosscha dan Voûte kemudian memberikan mandat kepada Observatorium Leiden untuk mengawasi pembelian instrumen untuk observatorium. Bosscha meminta saran kepada direktur Observatorium Leiden, Ejnar Hertzsprung, mengenai pengadaan teleskop dan juga mengenai sistem pikul teleskop. Ia berharap untuk dapat memanfaatkan jatuhnya nilai tukar Mark Jerman pasca Perang Dunia I agar dapat memperoleh teleskop Jerman berkualitas baik dengan harga murah. Pada awal tahun 1921, Bosscha bersedia membayar sebuah teleskop dengan garis tengah 60 cm dan panjang fokus 10 meter. Teleskop ini kemudian dipesan dari perusahaan optik ternama Jerman, Carl Zeiss Jena. Sebagai penghargaan atas jasa K.A.R. Bosscha dalam pembangunan observatorium ini, maka nama Bosscha diabadikan sebagai nama observatorium ini.[3]

Pembangunan dan Kelembagaan

Konstruksi Observatorium Bosscha dimulai pada tahun 1923. Pada tahun 1925 program pengamatan sudah dimulai dengan instrumen yang ada. Carl Zeiss membutuhkan waktu tujuh tahun untuk membuat dan mengantarkan teleskop 60 cm, yang tiba pada tahun 1928. Voûte berkutat dengan kalibrasi teleskop besar tersebut selama dua tahun berikutnya hingga ia puas dengan kinerjanya. Semenjak tahun 1923, Voûte mulai mengundang astronom-astronom Belanda untuk bekerja di observatoriumnya.

Publikasi internasional pertama Observatorium Bosscha dilakukan pada tahun 1933. Namun kemudian observasi terpaksa dihentikan─begitu juga dengan lembaga ilmiah di Hindia Belanda lainnya─karena terjadi Perang Dunia II. Setelah perang usai, dilakukan renovasi besar-besaran pada observatorium ini karena kerusakan akibat perang hingga akhirnya observatorium dapat beroperasi dengan normal kembali.

Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda, jatuh ke tangan Kekaisaran Jepang sebagai dampak dari Perang Dunia II. Pada 1942 kekuatan militer mereka tiba di Jawa dan dengan cepat menggantikan pegawai pemerintahan kolonial dengan pejabat berkebangsaan Jepang atau Indonesia. Bosscha adalah salah satunya. Voûte pun kemudian bekerja di bawah kewenangan Masashi Miyaji ketika melakukan observasi bintang kembar. Dukungan kepada bidang astronomi dan biologi di Hindia Belanda mengacu pada ideologi politik Kekaisaran Jepang, yaitu Asia Raya. Ideologi ini bercita-cita menciptakan modernitas Asia dengan gaya Jepang sebagai tandingan dari modernitas Barat.[4]

Kemudian pada tanggal 17 Oktober 1951, NISV menyerahkan observatorium ini kepada pemerintah RI. Setelah Institut Teknologi Bandung (ITB) berdiri pada tahun 1959, Observatorium Bosscha kemudian menjadi bagian dari ITB. Dan sejak saat itu, Bosscha difungsikan sebagai lembaga penelitian dan pendidikan formal Astronomi di Indonesia.

Fasilitas

 
Teleskop radio 2,3 m

Terdapat lima buah teleskop besar di Bosscha, yaitu:

Teleskop Refraktor Ganda Zeiss

Teleskop ini merupakan jenis refraktor (menggunakan lensa) dan terdiri dari 2 teleskop utama dan 1 teleskop pencari (finder). Diameter teleskop utama adalah 60 cm dengan panjang fokus hampir 11 m, dan teleskop pencari berdiameter 40 cm. Instrumen utama ini telah digunakan untuk berbagai penelitian astronomi, antara lain untuk pengamatan astrometri, khususnya untuk memperoleh orbit bintang ganda visual. Selain itu, teleskop ini juga digunakan untuk pengamatan gerak diri bintang dalam gugus bintang, pengukuran paralak bintang guna penentuan jarak bintang. Pencitraan dengan CCD juga digunakan untuk mengamati komet dan planet-planet, misalnya Mars, Jupiter, dan Saturnus. Dengan menggunakan spektrograf BCS (Bosscha Compact Spectrograph), teleskop ini secara kontinu melakukan pengamatan spektrum bintang-bintang Be.[5]

Teleskop Schmidt Bima Sakti

Teleskop Schmidt Bima Sakti mempunyai sistem optik Schmidt sehingga sering disebut Kamera Schmidt. Teropong ini mempunyai diameter lensa koreksi 51 cm, diameter cermin 71 cm, dan panjang fokus 127 cm. Teleskop ini biasa digunakan untuk mempelajari struktur galaksi Bima Sakti, mempelajari spektrum bintang, mengamati asteroid, supernova, Nova untuk ditentukan terang dan komposisi kimiawinya, dan untuk memotret objek langit. Diameter lensa 71,12 cm. Diameter lensa koreksi biconcaf-biconfex 50 cm. Titik api/fokus 2,5 meter. Juga dilengkapi dengan prisma pembias dengan sudut prima 6,10, untuk memperoleh spektrum bintang. Dispersi prisma ini pada H-gamma 312A tiap malam. Alat bantu extra-telescope adalah Wedge Sensitometer, untuk menera kehitaman skala terang bintang, dan alat perekam film.[6]

Teleskop Refraktor Bamberg

Teropong Bamberg juga termasuk jenis refraktor yang ada di Observatorium Bosscha, dengan diameter lensa 37 cm dan panjang fokus 7 m. Teropong ini berada pada sebuah gedung beratap setengah silinder dengan atap geser yang dapat bergerak maju-mundur untuk membuka atau menutup. Karena konstruksi bangunan, jangkauan teleskop ini hanya terbatas untuk pengamatan benda langit dengan jarak zenit 60 derajat, atau untuk benda langit yang lebih tinggi dari 30 derajat dan azimut dalam sektor Timur-Selatan-Barat. Untuk objek langit yang berada di langit utara atau azimut sektor Timur-Utara-Barat praktis tak dapat dijangkau oleh teleskop ini. Teleskop ini selesai diinstalasi awal tahun 1929 dan digerakkan dengan sistem bandul gravitasi, yang secara otomatis mengatur kecepatan teleskop bergerak ke arah barat mengikuti bintang yang ada di medan teleskop sesuai dengan kecepatan rotasi bumi. Teleskop ini juga telah dilengkapi dengan detektor modern, menggunakan kamera CCD.[7] Teleskop ini biasa digunakan untuk menera terang bintang, menentukan skala jarak, mengukur fotometri gerhana bintang, mengamati citra kawah bulan, pengamatan matahari, dan untuk mengamati benda langit lainnya. Dilengkapi dengan fotoelektrik-fotometer untuk mendapatkan skala terang bintang dari intensitas cahaya listrik yang di timbulkan. Diameter lensa 37 cm. Titik api atau fokus 7 meter.

Teleskop Cassegrain GOTO

Teleskop Goto berjenis reflektor Cassegrain dengan diameter cermin utama 45 cm. Cermin utama yang berbentuk parabola memiliki panjang fokus 1,8 m dan cermin sekunder yang berbentuk hiperbola memiliki panjang fokus 5,4 m. Teleskop ini merupakan bantuan dari kementrian luar negeri Jepang melalui program ODA (Overseas Development Agency), Ministry of Foreign Affairs, pada tahun 1989.[8] Dengan teleskop ini, objek dapat langsung diamati dengan memasukkan data posisi objek tersebut. Kemudian data hasil pengamatan akan dimasukkan ke media penyimpanan data secara langsung. Teropong ini juga dapat digunakan untuk mengukur kuat cahaya bintang serta pengamatan spektrum bintang. Dilengakapi dengan spektograf dan fotoelektrik-fotometer

Teleskop Refraktor Unitron

Teleskop Unitron adalah teropong refraktor dengan lensa objektif berdiameter 102 mm dan panjang fokus 1500 mm. Teropong ini diinstalasi pada mounting Zeiss yang masih asli dengan sistem penggerak bandul gravitasi, sama seperti pada teropong Bamberg. Dari segi ukuran, teropong ini baik untuk pengamatan matahari maupun bulan, dan banyak digunakan untuk praktikum mahasiswa. Dengan ukuran yang kecil dan ringan, teropong ini mudah dibawa dan telah beberapa kali digunakan dalam ekspedisi pengamatan gerhana matahari total, misalnya tahun 1983 di Cepu, Jawa Tengah, dan tahun 1995 di Sangihe Talaud, Sulawesi Utara.[9] Teleskop ini biasa digunakan untuk melakukan pengamatan hilal, pengamatan gerhana bulan dan gerhana matahari, dan pemotretan bintik matahari serta pengamatan benda-benda langit lain. Dengan Diameter lensa 13 cm, dan fokus 87 cm

Teleskop Surya

Teleskop ini merupakan teleskop Matahari yang terdiri dari 3 buah telekop Coronado dengan 3 filter yang berbeda, serta sebuah teleskop proyeksi citra Matahari yang sepenuhnya dibuat sendiri. Fasilitas ini merupakan sumbangan dari Kementerian Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan, Negeri Belanda, Leids Kerkhoven-Bosscha Fonds, Departemen Pendidikan Nasional, serta Kementerian Negara Riset dan Teknologi.[10]

Teleskop radio 2,3m

Teleskop radio Bosscha 2,3m adalah adalah instrumen radio jenis SRT (Small Radio Telescope) yang didesain oleh Observatorium MIT-Haystack dan dibuat oleh Cassi Corporation. Teleskop ini bekerja pada panjang gelombang 21 cm atau dalam rentang frekuensi 1400-1440 MHz. Dalam rentang frekluensi tersebut terdapat transisi garis hidrogen netral, sehingga teleskop ini sangat sesuai untuk pengamatan hidrogen netral, misalnya dalam galaksi kita, Bima Sakti. Selain itu, teleskop ini dapat digunakan untuk mengamati objek-objek jauh seperti ekstragalaksi dan kuasar. Matahari juga merupakan objek yang menarik untuk ditelaah dalam panjang gelombang radio ini. Objek eksotik, seperti pulsar, juga akan menjadi taget pengamatan dengan teleskop radio ini.[11]

Direktur/kepala

 
Petugas di observatorium Bosscha pada masa Hindia Belanda

Beberapa nama berikut pernah menjabat sebagai direktur/kepala:

  1. 1923 - 1940: Dr. Joan Voûte
  2. 1940 - 1942: Dr. Aernout de Sitter
  3. 1942 - 1946: Prof. Dr. Masashi Miyaji
  4. 1946 - 1949: Prof. Dr. J. Hins
  5. 1949 - 1958: Prof. Dr. Gale Bruno van Albada
  6. 1958 - 1959: Prof. Dr. O. P. Hok dan Santoso Nitisastro (pejabat sementara)
  7. 1959 - 1968: Prof. Dr. The Pik Sin
  8. 1968 - 1999: Prof. Dr. Bambang Hidayat
  9. 1999 - 2004: Dr. Moedji Raharto
  10. 2004 - 2006: Dr. Dhani Herdiwijaya
  11. 2006 - 2010: Dr. Taufiq Hidayat
  12. 2010 - 2012: Dr. Hakim Luthfi Malasan
  13. 2012 - 2018: Dr. Mahasena Putra
  14. 2018 - sekarang: Dr. Premana Premadi, Ph.D[12]

Kendala yang dihadapi Observatorium Bosscha

Saat ini, kondisi di sekitar Observatorium Bosscha dianggap tidak layak untuk mengadakan pengamatan. Hal ini diakibatkan oleh perkembangan pemukiman di daerah Lembang dan kawasan Bandung Utara yang tumbuh laju pesat sehingga banyak daerah atau kawasan yang dahulunya rimbun ataupun berupa hutan-hutan kecil dan area pepohonan tertutup menjadi area pemukiman, vila ataupun daerah pertanian yang bersifat komersial besar-besaran. Akibatnya banyak intensitas cahaya dari kawasan pemukiman yang menyebabkan terganggunya penelitian atau kegiatan peneropongan yang seharusnya membutuhkan intensitas cahaya lingkungan yang minimal. Sementara itu, kurang tegasnya dinas-dinas terkait seperti pertanahan, agraria dan pemukiman dikatakan cukup memberikan andil dalam hal ini. Dengan demikian observatorium yang pernah dikatakan sebagai observatorium satu-satunya di kawasan khatulistiwa ini menjadi terancam keberadaannya.[butuh rujukan]

Rencana penambahan Observatorium di Indonesia

Polusi cahaya yang semakin mengganggu akibat dari pemukiman penduduk dan pusat bisnis di sekitar Lembang, Bandung melatarbelakangi rencana penambahan observatorium baru yang jauh dari polusi cahaya di Indonesia, sehingga dapat mengompensasi kendala di Observatorium Bosscha. Tim riset astronomi Institut Teknologi Bandung memilih Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Alasan dipilihnya Kupang sebagai tempat observatorium yang baru adalah langit malam di sana jauh lebih gelap dibandingkan di Lembang sebagaimana dijelaskan oleh Kepala Observatorium Bosscha saat itu, Dr. Mahesana Putra (2012 - 2018).[13] Dengan rencana pemindahan ini juga diharapkan untuk lebih memajukan lagi bidang antariksa di Indonesia.

Pranala luar

Referensi

  • Sekilas Observatorium Bosscha ITB, Diterbitkan oleh Observatorium Bosscha Institute Teknologi Bandung, 1996.
  1. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-08-27. Diakses tanggal 2012-08-01. 
  2. ^ http://langitselatan.com/2011/10/17/permulaan-tradisi-independen-astronomi-di-indonesia-sejarah-observatorium-bosscha-1919-1939/
  3. ^ http://tri.astraatmadja.org/wp-content/uploads/2010/11/under_a_tropical_sky.pdf[pranala nonaktif permanen]
  4. ^ Gross, Andrew. Kegagalan ilmuan Hindia Belanda. Komunitas Bambu. ISBN 978-602-9402-32-2. OCLC 1027945445. 
  5. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-04-05. Diakses tanggal 2012-08-01. 
  6. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-12-01. Diakses tanggal 2012-08-01. 
  7. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-04-05. Diakses tanggal 2012-08-01. 
  8. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-04-05. Diakses tanggal 2012-08-01. 
  9. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-04-05. Diakses tanggal 2012-08-01. 
  10. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-04-05. Diakses tanggal 2012-08-01. 
  11. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-12-03. Diakses tanggal 2012-08-01. 
  12. ^ Bosscha, Observatorium. "Sejarah dan Perkembangan Terkini". Observatorium Bosscha. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-09-28. Diakses tanggal 2020-06-05. 
  13. ^ Polusi Cahaya Parah, Observatorium Bosscha akan Pindah ke NTT, di voaindonesia.com tanggal 30 April 2015