Cho Man-sik
Cho Man-sik (bahasa Korea: 조만식, nama pena Kodang) (1 Februari 1883 - Oktober? 1950) adalah seorang pegiat nasionalisme dan gerakan kemerdekaan Korea. Ia terlibat dalam perebutan kekuasaan yang melanda Korea Utara beberapa bulan setelah menyerahnya Jepang usai Perang Dunia II. Awalnya, Cho mendapat dukungan dari Uni Soviet untuk memimpin Korea Utara. Namun, penentangannya terhadap Dewan Perwalian PBB membuat Cho kehilangan dukungan Soviet dan disingkirkan oleh kaum komunis yang didukung Soviet.[1] Memperoleh status tahanan rumah pada Januari 1946, Cho tiba-tiba menghilang, dan diyakini telah dieksekusi di penjara Korea Utara tak lama setelah dimulainya Perang Korea.
Cho Man-sik | |
---|---|
조만식 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Kangsŏ-gun, Dinasti Joseon | 1 Februari 1883
Meninggal | Oktober 1950 (aged 67) Pyongyang, Korea Utara |
Sebab kematian | Eksekusi |
Nama Korea | |
Josŏn-gŭl | |
Hanja | |
Alih Aksara | Jo Man-sik |
McCune–Reischauer | Cho Man-sik |
Nama pena | |
Josŏn-gŭl | |
Hanja | |
Alih Aksara | Godang |
McCune–Reischauer | Kodang |
Sunting kotak info • L • B |
Masa muda
Cho lahir di Kangsŏ-gun, Provinsi P'yŏngan Selatan, sekarang di Korea Utara pada tanggal 1 Februari 1883. Ia dibesarkan dan dididik dalam tradisi Konfusianisme[2] namun kemudian beralih ke Kristen Protestan dan menjadi seorang penatua.[3] Dari Juni 1908 hingga 1913, Cho menetap di Jepang untuk belajar hukum di Tokyo di Universitas Meiji.[4] Selama tinggal di Tokyo itulah Cho berkenalan dengan gagasan antikekerasan dan swasembada ala Mahatma Gandhi.[5] Cho kemudian menggunakan strategi tanpa kekerasan guna melawan penjajah Jepang.
Gerakan kemerdekaan
Setelah pencaplokan Korea oleh Jepang pada tahun 1910, Cho semakin terlibat dengan gerakan kemerdekaan negaranya. Keterlibatannya dalam Gerakan 1 Maret menyebabkan ia ditahan bersama puluhan ribu warga Korea lainnya. Dia juga terkenal karena secara terbuka menolak kebijakan pemerintah Jepang yang memaksa rakyat Korea untuk mengadopsi nama-nama Jepang.[6] Pada tahun 1922, Cho mendirikan Masyarakat Promosi Produk Korea dengan tujuan menciptakan kemandirian ekonomi[7] dan agar orang Korea hanya menggunakan produk dalam negeri. Cho berharap agar gerakan itu menjadi gerakan berskala nasional yang didukung oleh semua organisasi keagamaan dan kelompok sosial, termasuk oleh rakyat jelata di Korea.[8] Berkat gerakan Masyarakat Promosi Produk Korea, perlawanan tanpa kekerasan, dan memimpin dengan memberi teladan alih-alih berpolitik, Cho dihormati bahkan oleh para kritikus, dan membuatnya meraih gelar "Gandhi dari Korea".[9] Namun, ia juga mendorong agar pelajar Korea ikut mendaftar di tentara Jepang, sehingga membuatnya mendapat reputasi yang beragam di kalangan rekan-rekan nasionalisnya.[10]
Aktivisme Pasca Perang Dunia II
Pada bulan Agustus 1945, menjelang penyerahan Jepang, Cho didekati oleh gubernur Jepang di Pyongyang dan diminta untuk mengatur sebuah komite untuk mengambil kendali dan menjaga stabilitas selama periode kekosongan kekuasaan yang pasti akan datang.[11] Ia setuju untuk bekerja sama, dan pada 17 Agustus 1945 dibentuklah Panitia Rakyat Sementara untuk Lima Provinsi. Panitia tersebut berfungsi untuk menentukan jumlah anggota, tugas, dan proses pemilihan untuk pembentukan Panitia Rakyat di tingkat provinsi, kota, negara, kotapraja, dan desa di Korea.[12] Cho juga ikut menggabungkan komite ini dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Korea (CPKI). Komite Rakyat Sementara untuk Lima Provinsi umumnya berisi tokoh-tokoh nasionalis sayap kanan yang menentang komunisme.[13]
Ketika pasukan Soviet tiba di Pyongyang setelah Jepang menyerah, mereka berharap dapat memengaruhi Cho Man-sik. Cho pada saat itu adalah tokoh paling populer di Pyongyang terutama karena perlawanannya yang konsisten terhadap Jepang dan pembentukan Masyarakat Promosi Produk Korea.[14][15] Perwira Soviet secara teratur bertemu dengan Cho dan mencoba meyakinkannya untuk memimpin pemerintahan Korea Utara yang akan dibentuk. Namun, Cho tidak menyukai komunisme dan tidak mempercayai iming-iming kekuatan asing.[16] Cho Man-sik setuju untuk bekerja sama dengan pihak berwenang Soviet dengan mengajukan beberapa syarat, seperti otonomi yang luas. Permintaan Cho tidak diterima oleh para pemimpin Soviet. Terlepas dari penolakannya terhadap permintaan Soviet, dia tetap menjabat sebagai ketua Komite Rakyat P'yŏngan Selatan.[17]
Pada 3 November 1945, Cho juga mendirikan partai politiknya sendiri: Partai Demokrat Korea. Pada awalnya, partai ini dimaksudkan untuk menjadi organisasi politik kaum nasionalis dengan tujuan untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis usai pendudukan Jepang. Namun, Soviet tidak senang dengan Partai Demokrat Korea dan karena tekanan pihak sosialis, Choi Yong-kun terpilih sebagai wakil ketua pertama partai tersebut. Choi Yong-kun adalah seorang gerilyawan yang bertugas di brigade 88 Uni Soviet, dan merupakan teman Kim Il-sung. Oleh karena itu, haluan partai tersebut mulai dipengaruhi oleh Soviet sejak awal pembentukannya.[18]
Harapan Soviet agar Cho Man-sik bisa menjadi pemimpin Korea Utara berangsur pudar dan mereka mulai mengalihkan perhatian pada tokoh komunis Korea Kim Il-sung. Kim Il-sung telah berlatih di Angkatan Darat Soviet selama sepuluh tahun, dan naik ke pangkat mayor. Di bawah tekanan Soviet, Cho diwajibkan untuk mengatur kembali Komite Rakyat Sementara untuk Lima Provinsi, dan menerima lebih banyak tokoh komunis ke dalam dewan.[19] Ideologi Kim dan Cho yang bertentangan membuat keduanya berselisih, dan pembagian kekuasaan gagal diterima dengan baik oleh salah satu dari mereka.
Konferensi Moskow 1945 antara Sekutu membahas status kenegaraan Korea, mengusulkan perwalian empat kekuatan untuk jangka waktu lima tahun, lalu setelah itu Korea akan menjadi negara merdeka. Bagi Cho, ini akan meningkatkan pengaruh asing, terutama komunisme atas negaranya, dan dia menolak untuk bekerja sama secara berlebihan.[20] Pada tanggal 1 Januari 1946, Andrey Alekseyevich Romanenko, seorang pemimpin Soviet, bertemu dengan Cho dan mencoba membujuknya untuk menandatangani dukungan terhadap perwalian.[21] Namun, Cho menolak untuk memberi dukungan. Setelah para pemimpin Soviet menyadari bahwa mereka tidak dapat membujuk Cho untuk mendukung perwalian, mereka benar-benar kehilangan harapan untuk menjadikan Cho sebagai pemimpin Korea Utara yang memajukan kepentingan Soviet.[22] Pada 5 Januari, Cho ditangkap oleh tentara Soviet dan ditahan di Hotel Koryo di Pyongyang.[23]
Selama beberapa waktu, ia ditahan dalam kenyamanan di Hotel Koryo, di mana dia terus menentang komunisme dengan gencar. Dia mencalonkan diri dalam pemilihan wakil presiden tahun 1948, tetapi pada saat itu pengaruh komunis dalam urusan negara sudah terlalu kuat, sehingga ia gagal, dan hanya menerima 10 suara di tingkat Majelis Nasional. Cho kemudian dipindahkan ke penjara di Pyongyang, di mana itu menjadi kabar terakhirnya. Dia diyakini telah dieksekusi bersama para tahanan politik lainnya selama permulaan Perang Korea, kemungkinan pada Oktober 1950.[24] Tersingkirnya Cho membuka jalan bagi Kim Il-sung untuk membentuk kekuasaannya di utara, posisi yang ia pertahankan selama 48 tahun sampai kematiannya pada tahun 1994.
Warisan
Pada tahun 1970, Cho memperoleh penghargaan secara anumerta dari pemerintah Korea Selatan, berupa penghargaan Order of the Republic of Korea in the Order of Merit for National Foundation. [25]
Catatan kaki
- ^ Lankov, "From Stalin to Kim Il Sung", p23
- ^ Lankov, "From Stalin to Kim Il Sung", p10
- ^ Wells, "New God, New Nation", p142
- ^ Wells, "New God, New Nation", p87
- ^ Eckert, "Korea, Old and New", p292
- ^ Lankov, "From Stalin to Kim Il Sung", p11
- ^ Wells, "New God, New Nation", p19
- ^ Wells, "New God, New Nation", p142
- ^ Wells, "New God, New Nation", p143
- ^ K., Armstrong, Charles (2003). The North Korean revolution, 1945-1950. Cornell University Press. ISBN 0801440149. OCLC 49891551.
- ^ Kim, The History of Korea, p142
- ^ Armstrong, "The North Korean Revolution", p68
- ^ Lee, The Partition of Korea, p133
- ^ Lankov, "From Stalin to Kim Il Sung", p14
- ^ Wells, "New God, New Nation", p137
- ^ Lankov, "From Stalin to Kim Il Sung", p14
- ^ Lankov, "From Stalin to Kim Il Sung", p14
- ^ Lankov, "From Stalin to Kim Il Sung", p22
- ^ Lee, The Partition of Korea, p135
- ^ Lee, The Partition of Korea, p145
- ^ Ree, "Socialism in One Zone", p143
- ^ Lankov, "From Stalin to Kim Il Sung", p24
- ^ Lankov, "From Stalin to Kim Il Sung", p23
- ^ Armstrong, "The North Korean Revolution", p123
- ^ Movement Activists, Independence Hall of Korea, diakses tanggal 14 November 2008
Daftar pustaka
- Armstrong, Charles; Post, Jerrold (2004), The North Korean Revolution, 1945-1950, Cornell University Press, ISBN 0-8014-8914-8
- Eckert, Carter (1990), Korea, Old and New: A History , Seoul: The Korea Institute, Harvard University, ISBN 0-9627713-0-9
- Kim, Chun-gil (2005), The History of Korea, London: Greenwood, ISBN 0-313-33296-7
- Lankov, Andrey (2002), From Stalin to Kim Il Song, Hurst & Co, ISBN 1-85065-563-4
- Lee, Jong-soo (2006), The Partition of Korea after World War II, Basingstoke: Palgrave Macmillan, ISBN 1-4039-6982-5
- Oliver, Robert (1989), Leadership in Asia: Persuasive Communication in the Making of Nations, 1850-1950 , University of Delaware Press, ISBN 0-87413-353-X
- Pratt, K.L.; Hoare, J.; Rutt, R. (1999), Korea: A Historical and Cultural Dictionary, Routledge, ISBN 978-0-7007-0464-4
- Ree, Erik (1989), Socialism in One Zone: Stalin's Policy in Korea, 1945-1947, Oxford: Berg, ISBN 0-85496-274-3
- Wells, Kenneth (1990), New God, New Nation: Protestants and Self-reconstruction Nationalism in Korea, 1896-1937, Honolulu: University of Hawaii Press, ISBN 0-8248-1338-3