Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim yang disebabkan melahirkan atau setelah melahirkan.[1] Pada umumnya darah nifas keluar selama 40 hari setelah melahirkan.[1] Selama masa nifas, seorang perempuan dilarang untuk salat, puasa, dan berhubungan intim dengan suaminya.[1]
Definisi
Nifas dari segi bahasa berasal dari kata “na fi sa” yang bermaksud melahirkan.[2] Nifas adalah darah yang keluar dari rahim yang disebabkan melahirkan atau setelah melahirkan.[1] Darah nifas merupakan darah yang tertahan dan tidak bisa keluar dari rahim selama hamil.[1] Ketika melahirkan, darah tersebut keluar sedikit demi sedikit.[1] Darah yang keluar sebelum melahirkan, disertai tanda-tanda kelahiran yang disebut juga sebagai darah nifas. Dalam hal ini, para fuqaha membatasi dua atau tiga hari sebelum melahirkan.[1] Menurut Imam Asy-Syafi'i, darah nifas adalah darah yang keluar dari rahimnya wanita yang sebelumnya mengalami kehamilan, meskipun darah yang keluar hanya berwujud segumpal darah.[1]
Masa nifas
Masa nifas yang paling sedikit adalah beberapa saat setelah proses bersalin.[3] Sedangkan, masa nifas yang paling lama adalah enam puluh hari, jika masa nifas lebih dari enam puluh hari maka darah tersebut adalah istihadhah (penyakit). Hukum wanita yang sedang nifas sama dengan hukum wanita yang sedang haid.Kesalahan pengutipan: Parameter dalam tag <ref>
tidak sah;
Hal-hal yang tidak boleh dilakukan selama nifas
Semua yang tidak boleh dilakukan selama haid, maka tidak boleh dilakukan juga saat nifas,yaitu salat, puasa, menyentuh dan membaca Al Qur'an, thawaf dan bersetubuh.[4] Beberapa penjelasan berikut:
1. Salat Nabi Muhammad saw bersabda “Ketika mulai menstruasi, tinggalkan salat”.[5]
2. Tawaf Nabi Muhammad saw bersabda “Lakukan semua apa yang perlu dilakukan ketika sedang menunaikan ibadah haji, tapi jangan melakukan tawaf mengelilingi ka’bah sebelum kamu suci kembali”.[5]
3.Melakukan hubungan suami istri Seperti firman Allah pada QS Al-Baqarah:222 yang artinya “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu, hendakla kamu menjauhkan diri (tidak menyetubuhi) dari wanita diwaktu haid; dan jangan kamu mendekati ereka sebeum suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah padamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-rang yang bertaubat dan yang menyucikan diri.[5]
4. Membaca Al-Quran Sangat dianjurkan bagi wanita yang sedang tidak suci, haid atau nifas, untuk tidak membaca Al-Quran secara lisan, kecuali dibutuhkan. Berdzikir, atau mengucapkan Allahu Akbar, Alhamdulillah, Subhanallah, Bismillah, mendengarkan orang membaca Al-Qur’an, berdoa, atau mengucapkan Amin atas doa orang lain, semua itu tidak dilarang.[5]
Nifas bagi wanita yang keguguran
Darah yang keluar dari wanita hamil karena keguguran ada dua macam.[1] Pertama, dikatakan darah nifas apabila yang keluar telah berbentuk manusia.[1] Maka wanita wajib meninggalkan salat, tidak boleh puasa, dan tidak boleh berhubungan intim dengan suami.[1] Kedua, dikatakan darah rusak (fasad) jika yang keluar tidak berbentuk manusia.[1] Dalam hal ini, darah yang keluar tidak dikatakan sebagai darah nifas, tetapi darah istihadah (penyakit).[1] “Apabila nutfah (zigot) telah lewat empat puluh dua malam (dalam riwayat lain; empat puluh malam), maka Allah Swt.[1] Mengutus seorang malaikat kepadanya, lalu ia membentuk nutfah tersebut.[1] Dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya dan tulang belulangnya. Lalu, malaikat itu bertanya (kepada Allah SWT), “Ya Tuhanku, apakah ia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan?’ maka Allah kemudian memberi keputusan“. (HR. Muslim).[1]
Hadits tersebut menjelaskan bahwa awal mula terciptanya janin dan penampakan anggota-anggota tubuhnya setelah melewati 40 hari dan janin tersebut sudah berbentuk manusia.[1] Imam Asy-Syafi'i menjelaskan darah nifas sebagai berikut: “Adapun darah nifas adalah darah yang keluar dari rahim wanita setelah melahirkan.[1] Sama saja apakah yang dilahirkan itu dalam keadaan hidup atau mati, dalam kondisi utuh atau kurang (cacat)“.[1]
Nifas pada kelahiran bedah (Caesar)
Beberapa ulama mengatakan bahwa nifas pada kelahiran bedah (caesar), sama dengan hukum wanita-wanita lain yang mengalami nifas karena persalinan normal.[1] Apabila ia melihat kemaluannya megeluarkan darah, ia wajib meninggalkan salat dan puasa sampai ia suci.[1] Akan tetapi, jika ia tidak melihat kemaluannya mengeluarkan darah, maka ia wajib mandi (bersuci), mengerjakan salat, dan puasa sebagaimana halnya wanita yang suci.[1]
Bersuci setelah nifas
Wanita yang sudah berhenti nifasnya, maka ia wajib bersuci.[1] Tata cara bersucinya sama saja dengan tata cara mandi haid.[1] Perbedaanya hanya di niatnya.[1]
نَوَيْتُ الغَسْلَ عَنِ النِفَاسِ لِلهِ تَعَالَىc
Maksudnya: “Sahaja aku mandi daripada nifas kerana Allah Taala”.[6]
Cara mandi wajib setelah nifas sama dengan mandi junub, namun ditambahkan dengan beberapa hal berikut ini: Pertama: Dianjurkan Menggunakan Sabun.[7] Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra., yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi wanita haid.[7] Dia menjelaskan:[7]
تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ. ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا
“Kalian hendaklah mengambil air dan daun bidara, lalu wudhu dengan sempurna. Kemudian menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya agak keras hingga mencapai akar rambut kepalanya. Kemudian menyiramkan air pada kepalanya. Kemudian engkau mengambil kapas bermisik, lalu bersuci dengannya.” (HR. Bukhari no. 314 & Muslim no. 332)[7]
Kedua: Melepas gelungan, sehingga air bisa sampai ke pangkal rambut.[7] Hadis di atas merupakan dalil dalam hal ini: “…lalu menggosok-gosoknya agak keras hingga mencapai akar rambut kepalanya..” Hadis ini menunjukkan tidak cukup dengan hanya mengalirkan air seperti halnya mandi junub, namun harus juga digosok, seperti orang keramas memakai sampo.[7]
Perbedaan haid, nifas, dan istihadah
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan "Tiga macam darah tersebut keluar dari satu jalan.[8] Namun namanya berbeda, begitu pula hukum-hukumnya, karena perbedaan sebab keluarnya.[8] Adapun darah nifas sebabnya jelas, yaitu darah yang keluar dari seorang wanita karena melahirkan.[8] Darah nifas ini merupakan sisa darah yang tertahan di dalam rahim sewaktu hamil.[8] Bila seorang wanita telah melahirkan kandungannya, darah itu pun keluar sedikit demi sedikit.[8]
Bisa jadi waktu keluarnya lama/panjang, dan terkadang singkat.[8] Tidak ada batasan minimal waktu nifas ini.[8] Adapun waktu maksimalnya menurut mazhab Hambali adalah 40 hari, dan bila lebih dari 40 hari darah masih keluar sementara tidak bertepatan dengan kebiasaan datangnya waktu haid maka darah tersebut adalah darah istihadhah.[8] Namun menurut pendapat yang shahih, tidak ada pula batasan waktu maksimal dari nifas ini.[8]
Darah yang keluar bukan karena sebab melahirkan adalah darah haid sebagai suatu ketetapan dan sunnatullah atas seorang wanita.[8] Di mana bila si wanita sudah dapat hamil dan melahirkan maka secara umum akan datang kepadanya haid di waktu-waktu tertentu, sesuai dengan keadaan dan kebiasaan si wanita.[8] Bila seorang wanita hamil umumnya ia tidak mengalami haid, karena janin yang dikandungnya beroleh sari-sari makanan dengan darah yang tertahan tersebut.[8]
Keluarnya darah haid menunjukkan sehat dan normalnya si wanita.[8] Sebaliknya tidak keluarnya darah haid menunjukkan ketidaksehatan dan ketidaknormalan seorang wanita.[8] Makna ini disepakati oleh ahli ilmi syar’i dan ilmu kedokteran, bahkan dimaklumi oleh pengetahuan dan kebiasaan manusia.[8] Pengalaman mereka menunjukkan akan hal tersebut. Karena itulah ketika memberikan definisi haid, ulama berkata bahwa haid adalah darah alami yang keluar dari seorang wanita pada waktu-waktu yang dimaklumi.[8]
Menurut pendapat yang shahih, tidak ada batasan umur minimal seorang wanita mendapatkan haid.[8] Begitu pula batasan waktu minimal lamanya haid, sebagaimana tidak ada batasan maksimalnya.[8] Tidak ada pula batasan minimal masa suci di antara dua haid.[8] Bahkan yang disebut haid adalah adanya darah, dan yang disebut suci adalah tidak adanya darah.[8] Walaupun waktunya bertambah atau berkurang, mundur ataupun maju, berdasarkan zahir nash-nash syar’i yang ada, dan zahir dari amalan kaum muslimin.[8] Juga karena tidak melapangkan bagi wanita untuk mengamalkan selain pendapat ini.[8]
Adapun istihadhah adalah darah yang keluar dari seorang wanita di luar kebiasaan dan kewajaran, karena sakit atau semisalnya.[8] Bila seorang wanita terus menerus keluar darah dari kemaluannya, tanpa berhenti, maka untuk mengetahui apakah darah tersebut darah haid ataukah darah istihadhah bisa dengan tiga cara berikut ini secara berurutan.[8]
(1) Apabila ia memiliki kebiasaan haid dalam waktu yang tidak cukup lama. Sedangkan, jika waktu haid melebihi dari kebiasaannya, dipastikan bahwa darah tersebut ialah darah istihadhah.[1]
(2) Bila ternyata si wanita tidak memiliki ‘adah dan darahnya bisa dibedakan, di sebagian waktu darahnya pekat/kental dan di waktu lain tipis/encer, atau di sebagian waktu darahnya berwarna hitam, di waktu lain merah, atau di sebagian waktu darahnya berbau busuk/tidak sedap dan di waktu lain tidak busuk, maka darah yang pekat/kental, berwarna hitam, dan berbau busuk itu adalah darah haid.[1] Yang selainnya adalah darah istihadhah.[1]
(3) Apabila si wanita tidak memiliki ‘adah dan tidak dapat membedakan darah yang keluar dari kemaluannya, maka di setiap bulannya (pada masa-masa keluarnya darah) ia berhaid selama enam atau tujuh hari karena adanya hadits-hadits yang tsabit dalam hal ini.[8] Kemudian ia mandi setelah selesai enam atau tujuh hari tersebut walaupun darahnya masih terus keluar. Sedapat mungkin ia menyumpal tempat keluarnya darah (bila darah terus mengalir) dan berwudhu setiap kali ingin menunaikan salat.[8] ” (Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 23-26 sebagaimana dinukil dalam Fatwa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 263-265[8]
Referensi
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab Atiqah Hamid (2013). Buku Lengkap Fiqh Wanita. DIVA Press. hlm. 170–179. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "Atiqah" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ "Darah Nifas dan Hukum-Hukumnya". Telaga Biru. Diakses tanggal 2014-04-22.
- ^ Al Imam Ibnul Jauzi (translator: Farizal Tirmizi) (2001). 110 Hukum-Hukum Wanita (Ahkamun Nisa'). Darul Ma'rifah, Lebanon (indonesia= Pustaka Azzam). hlm. 45.
- ^ Anshori Umar Sitanggal (1986). Fiqih Wanita. CV. Asy-Syifa'. hlm. 55.
- ^ a b c d "Hal-Hal yang Dilarang Ketika Masa Nifas dalam Islam". Vemale.com. 2013-08-06. Diakses tanggal 2014-04-23.
- ^ "Cara Mandi Hadas (Mandi Wajib)". Ustaz Nor Amin. 2010-03-28. Diakses tanggal 2014-04-22.
- ^ a b c d e f "Tata Cara Mandi Wajib khusus Wanita". Konsultasi Syariah. 2012-09-19. Diakses tanggal 2014-04-22.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa "Perbedaan antara Darah Haid, Istihadhah, dan Darah Nifas". Asy Syariah. 2011-11-19. Diakses tanggal 2014-04-22.
Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "Asy Syariah" didefinisikan berulang dengan isi berbeda