Manusia 6.000.000 Dollar

film Indonesia tahun 1981
Revisi sejak 30 Juni 2021 14.38 oleh Samson sosiality (bicara | kontrib) (Pemeran: Perbaikan kesalahan ketik, Perbaikan tata bahasa, Penambahan pranala)

Manusia 6.000.000 Dollar adalah film Indonesia yang dirilis pada tahun 1981 yang disutradarai oleh Ali Shahab. Film ini sendiri dibintangi oleh Warkop DKI, A. Hamid Arief, Eva Arnaz, Dorman Borisman, Eddy Gombloh, Jack John, Don Nasco, A. Khalik Noor Nasution, dan Wolly Sutinah. Film ini merupakan parodi dari serial AS "The Six Million Dollar Man".

Manusia 6.000.000 Dollar
SutradaraAli Shahab
ProduserJiwat
PemeranWarkop DKI
A. Hamid Arief
Eva Arnaz
Dorman Borisman
Eddy Gombloh
Jack John
Don Nasco
Jaja Mihardja
Wolly Sutinah
Mamat Tuyul.
DistributorPT. Bola Dunia Film
Tanggal rilis
1981
Durasi... menit
NegaraIndonesia

Sinopsis

Film ini berkisah tentang Dono, Kasino, Indro, dan Dorman Borisman yang berperan sebagai anggota kepolisian. Dono yang seorang anggota kepolisian mengalami kecelakaan yang diubah menjadi manusia robot dengan biaya $6.000.000. Sebagai anggota kepolisian mereka bertugas untuk mengusut kejahatan yang terjadi di masyarakat, seperti pornografi dan penculikan anak. Cerita kemudian berkutat pada sindikat penculikan profesional yang menculik anak dan seorang penyanyi bernama Rita Aduhai Merdubanget.

Pemeran

kritikan

keadaan sosial

Uang berjumlah enam juta dollar akan terus terbilang mahal di Indonesia, apalagi jika dikonversikan dengan kurs terbaru. Namun pada tahun 1981, sutradara-penulis skenario Ali Shahab dan Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro) sudah berani mengubah jumlah uang segitu besar menjadi banyolan-banyolan lewat remake kisah serial televisi legendaris The Six Million Dollar Man. Dalam Manusia 6.000.000 Dollar, Warkop tak terlalu peduli dengan kekuatan super dari organ tangan dan kaki bionic (biology electronic) yang mahal dan berdesain rumit tersebut. Mereka lebih bersemangat untuk bercanda ria seperti yang selama ini mereka lakukan.

Dalam Manusia 6.000.000 Dollar, Ali Shahab dan Warkop sebenarnya hanya menerjemahkan mentah-mentah dari judul serial yang populer di dekade 1970-an ini. Tidak mengherankan apabila terasa ada niatan ambisius untuk menerapkan ulang elemen-elemen yang unggul dari The Six Million Dollar Man pada masanya, seperti kisah spionase, aksi kekuatan super, efek spesial, slow-motion, sampai musik latar yang sama.

Ambisius sendiri adalah kata yang terlalu berat untuk disematkan kepada Warkop. Pembuat film ini pun menyadari bahwa kisah bergenre fiksi-ilmiah dalam The Six Million Dollar Man bukanlah area bermain-main yang cocok bagi Warkop. Makanya humor dengan materi lokal gaya Warkop DKI disebar sepanjang film untuk dipadu-padankan dengan elemen-elemen unggul tadi. Ada kalanya berhasil, tapi sayang lebih sering gagalnya.

Padu-padan materi humor lokal dengan elemen-elemen unggul yang berhasil di film ini terdapat pada awal kisah, ketika Dono ditimpa kecelakaan hebat yang membuat kaki dan tangannya diamputasi lalu diganti dengan organ bionic. Jika astronot Steve Austin akhirnya menjadi manusia 6.000.000 dollar versi asli karena mengalami kecelakaan pesawat, maka latar belakang peristiwa tersebut terlalu canggih untuk diterapkan kepada Dono—yang dalam film-film Warkop sebelumnya kerap dicela berwajah serupa bemo oleh Kasino dan Indro.

Walhasil, demi komedi di film ini, Dono pun lagi-lagi harus sial. Ia dihantam puluhan bemo sewaktu sedang mengejar pencopet. Menonton adegan tersebut memang tak sampai membuat tawa terbahak-bahak. Namun karena unsur humor yang terkandung di adegan ini ditorehkan dengan cara yang agak subtil, bolehlah adegan ini dibilang jenaka dan cerdas.

Selanjutnya tentu sudah bisa ditebak. Dono direparasi atas permintaan Kasino, pimpinan kelompok detektif. Bagi sang bos, Dono adalah anggota tim yang paling berharga. Absennya Dono akan membuat tim detektif pincang dan sulit menangkap bandit-bandit di ibukota. Dalam ansambel detektif ini, strata Dono memang ditaruh di paling atas, istimewa, dan punya jalan pikiran paling tokcer. Sebutannya saja Spion 6.000.000. Bandingkan dengan Indro yang disebut Spion 6.000 dan Dorman (Dorman Borisman) menjadi Spion 600.

Memang, dalam filmnya yang lain, Warkop kerap melemparkan lawakan ke sana-sini tanpa ingin diikat oleh satu tema atau wacana. Lawakan-lawakan itu disebar tanpa punya satu benang merah yang jelas dengan cerita. Tak utuh, yang penting lucu. Efeknya, plot pun selalu dikorbankan. Begitu pula yang terjadi dalam Manusia 6.000.000 Dollar. Hanya saja kali ini Ali Shahab dan Warkop tampak kadung terbebani dengan kisah fiksi-ilmiah The Six Million Dollar Man. Hasilnya: komedi yang lemah dibandingkan film Warkop lainnya akibat penuturan humor yang bertele-tele, ritme lambat, dan karakter komikal yang gagal.

Selama tumbuh-kembangnya, Warkop DKI dapat tenar di masyarakat karena dibesarkan di panggung. Dan sebagai pelawak panggung, mereka mempunyai ciri-ciri khas yang kemudian berkembang lagi ketika melawak di film: materi humor cerdas yang disampaikan lewat celaan, slapstick (humor fisik) dan komedi situasi, serta mampu menyambungkannya dengan kondisi atau masalah sosial. Sedangkan yang muncul dalam grup pelawak sekarang, mulai dari Extravaganza sampai Opera Van Java, hanyalah menjual celaan dan slapstick belaka.

Keadaan Sosial

Dalam Manusia 6.000.000 Dollar, Ali Shahab dan Warkop tetap berusaha menyentil keadaan sosial dengan subtil dan bijak. Salah satunya, yaitu saat justru kelompok detektif ini yang dipilih oleh Don Showbiz untuk menyelamatkan Rita. Padahal di sepanjang film tak ada keterangan yang menyebutkan bahwa kelompok detektif ini terafiliasi dengan kepolisian. Terlepas dari ancaman komplotan penculik maupun kehadiran Dono yang punya kekuatan super dalam kelompok detektif itu, muncul pertanyaan mengapa Don Showbiz tak langsung meminta bantuan kepada polisi? Toh, polisi mempunyai kesatuan reserse sendiri. Bagian cerita ini bisa saja dimaknai tentang lemahnya tingkat kepercayaan kepada aparat keamanan yang resmi.

Sindiran halus sekaligus jenaka dari Ali Shahab dan Warkop bukan cuma itu. Pada sebuah adegan di ujung film, dengan masih bernada bijak, Kasino menolak menerima uang sebagai tanda terima kasih dari Don Showbiz. Ia malah menyarankan uang itu disumbangkan kepada Tuyul (bocah yang membantu mengungkap kasus penculikan Rita) dan adik-adiknya yang berjumlah belasan untuk biaya sekolah. Ada sampiran tentang persoalan kemiskinan di sini. Masalah sosial ini memang selalu hidup di setiap zaman Indonesia.

Kemiskinan jadi isu yang menarik pada tahun 1981, tahun film ini diproduksi, karena kota Jakarta memang sedang terbelah. Di satu sisi, ada wajah kota yang sangat modern dengan gedung-gedung pencakar langitnya. Di sisi yang bersebelahan langsung dengan kemodernan itu, ada wajah kampung yang masyarakatnya masih harus pinjam uang dari tetangganya demi menanak sebakul nasi. Kondisi kehidupan kota yang ironis tersebut sempat digambarkan dengan baik oleh Sjuman Djaya dalam Si Doel Anak Modern (1976).

Dalam ingatan dan catatan sejarah, Jakarta, terutama penduduk kalangan menengah atasnya, memang sedang menikmati kemakmuran berkat ledakan ekonomi yang berlangsung pada medio dekade 1970 hingga tahun 1980-an. Arus modal asing mulai menderas saat itu, apalagi kemudian diikuti oleh imbas positif dari kenaikan harga minyak dunia bagi perekonomian dalam negeri akibat akibat Perang Teluk pada tahun 1980-an. Lewat ludesnya tiket konser Rita Aduhai Merdu Banget, Manusia 6.000.000 Dollar juga tampak ingin menggambarkan kesejahteraan ekonomi dan euforia dari para penduduk kelas menengah di Jakarta. Kondisi ini sesungguhnya sekarang juga terjadi di kota-kota besar Indonesia, ketika tiket-tiket konser musisi asing laku dibeli masyarakat kelas menengah kita.

Pada akhirnya, akibat kemajuan ekonomi pada akhir dekade 1970-an dan 1980-an, pembangunan di Jakarta pun semakin pesat. Sayangnya, kemiskinan juga terus menghinggapi masyarakat yang tak mampu bersaing dan beradaptasi dengan perubahan zaman tersebut. Beriringan dengan langgengnya kemiskinan di kota besar yang modern, maka akan terus muncul juga tindak kejahatannya. Manusia 6.000.000 Dollar pun menampilkan kriminalitas tersebut dalam adegan-adegan di awal film dengan cara yang hiperbolis, tapi sekaligus juga sadar tentang isu kelas dan prasangka terhadap etnis tertentu. Ali Shahab menunjukkannya lewat dua adegan tindak kejahatan di awal film. Kedua korbannya adalah penduduk etnis Cina.

Ali Shahab dan Warkop DKI memang tak sekadar membanyol di film remake ini. Mereka juga telah menciptakan parodi yang sesuai dengan semangat zamannya. Di dalam parodi selalu memuat sindiran, plesetan, atau lelucon, dan memiliki tema percakapan yang bersifat otokritik maupun kritik dengan penuh canda untuk menertawakan diri sendiri. Parodi juga bisa dipandang sebagai laku yang subversif maupun konservatif. Kritikus sastra Linda Hutcheon bilang bahwa walaupun seringkali parodi memiliki implikasi ideologis dan sosial, tapi parodi juga tidak dituntut untuk mengusung masalah moral dan sosial serta bertujuan amelioratif (bersifat memperbaiki). Itulah sebabnya Indro dan Dorman akhirnya malah kecele akibat ditipu habis-habisan oleh penjual film dan buku porno di film ini.

Manusia 6.000.000 Dollar jelas tidak sampai pada level yang subversif, sehingga tak sampai menimbulkan implikasi ideologis maupun sosial. Parodi yang disuguhkan Ali Shahab dan Warkop DKI lewat lawakan cela-mencela maupun slapstick itu pada dasarnya untuk menertawakan diri sendiri dengan tujuan agar kita yang menonton ikut introspeksi. Dalam hal ini, meskipun dengan tutur lawakan yang bertele-tele, Warkop memang masih jagonya. Sampai sekarang, kita belum menemukan penerus mereka.