Islam awalnya lebih dari sekadar gerakan religius dan juga merupakan gerakan ekonomi. Agama ini dengan kitab sucinya, Al-Quran, sangat menentang struktur sosial yang tidak adil dan menindas, yang secara umum melingkupi Makkah waktu itu sebagai tempat asal mula Islam. Agama yang dibawa oleh Muhammad tersebut lantas menyebar ke daerah-daerah lain yang dahulunya merupakan daerah penyebaran agama-agama Yahudi, tetapi Islam tidak merasa dibatasi olehnya. Bagi seseorang yang memperhatikan Al-Qur’an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran pokok Islam. Al-Qur’an mengajarkan kepada umat muslim untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan. Orang-orang yang beriman juga disebutkan dilarang berbuat tidak adil, meskipun kepada musuhnya. Islam di sinilah menempatkan keadilan sebagai bagian integral dari ketakwaan. Dengan kata lain, takwa di dalam Islam bukan hanya sebuah konsep ritual, tetapi secara integral juga terkait dengan keadilan sosial dan ekonomi.

Bagi seseorang yang memperhatikan Al-Qur’an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran pokok Islam (Engineer 1999, hlm. 57–58).

Etimologi

Kata kunci yang digunakan dalam Al-Qur’an mengenai masalah keadilan adalah 'adl dan qist. 'Adl dalam bahasa Arab bukan berarti keadilan, tetapi mengandung pengertian yang identik dengan sawiyyat.[1] Kata itu juga mengandung makna equalizing (penyamarataan) dan levelling (kesamaan). Penyamarataan dan kesamaan ini berlawanan dengan kata zulm dan jaur (kejahatan dan penindasan). Qist mengandung makna distribusi, angsuran, jarak yang merata, keadilan, kejujuran, dan kewajaran. Taqassata, salah satu kata turunannya, juga bermakna distribusi yang merata bagi masyarakat. Qistas, kata turunan lainnya, berarti keseimbangan berat.[2] Hal inilah yang menyebabkan kata di dalam Al-Qur’an yang digunakan untuk menyatakan keadilan adalah ‘adl dan qist, yang mengandung makna distribusi merata, termasuk distribusi materi dan penimbunan harta (dalam kasus tertentu diperbolehkan untuk kepentingan sosial).[3]

Ayat tersebut di atas juga didukung oleh ayat-ayat lainnya di dalam Al-Qur'an yang mempunyai pengertian sama, yaitu Surah Al-Hasyr ayat ke-7, Surah Al-Baqarah ayat ke-219, dan Surah Al-Isra' ayat ke-16. Al-Qur’an tidak saja menentang penimbunan harta (dalam arti tidak disumbangkan untuk fakir miskin, janda, dan anak yatim), tetapi juga menentang kemewahan dan tindakan menghambur-hamburkan uang (untuk kesenangan dan kemewahan diri sendiri, sedangkan banyak masyarakat miskin yang membutuhkannya). Keduanyan merupakan tindakan jahat dan mengganggu social balance (keseimbangan sosial). Keadilan di dalam Al-Qur’an bukan berarti hanya rule of law (norma hukum) saja, tetapi juga keadilan yang distributif – menurut Sokrates, hukum seringkali menguntungkan orang yang kaya dan kuat. Keseimbangan sosial hanya dapat dijaga apabila social wealth (kekayaan sosial) dimanfaatkan secara merata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan cara yang wajar. Penumpukan kekayaan dan penggunaannya yang tidak semestinya tidak akan dapat menjaga keseimbangan tersebut. Hal itu hanya akan mengarah kepada kehancuran masyarakat secara, sebagaimana telah disebutkan di dalam Al-Qur’an.

Jika orang mengkaji Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam dengan teliti, ia akan menjumpai banyak sekali ayat-ayat yang membahas keadilan dalam berbagai aspek yang berbeda. Menurut Al-Qur’an, hanya apa yang telah diusahakannya yang akan diperoleh manusia. “Dan manusia tidak akan mendapatkan kecuali yang diusahakannya,” kata Al-Qur’an dengan nada yang mantap. Dengan ungkapan yang pendek itu, seluruh model produksi yang kapitalistik menjadi tidak berlaku. Yang menjadi pemilik yang sebenarnya adalah produsen, bukan pemilik alat-alat produksi. Masalah ini akan dibahas secara singkat dalam kaitannya dengan kebijakan pertanahan Islam. Namun demikian, harus dipahami secara jelas bahwa Al-Qur’an bukanlah sebuah esai tentang ekonomiyang bersifat kesukuan, feodal atau kapitalistik. Al-Qur’an berikan pernyataan-pernyataan yang berorientasi nilai (value-oriented declarations). Al-Qur’an tidak menetapkan suatu dogma ekonomi. Apa yang menjadi maksudnya adalah membangun sebuah masyarakat yang didasarkan pada nilai-nilai keadilan dan kejujuran. Sedangkan untuk mencapainya dibutuhkan waktu dan cara tersendiri. Sehingga Al-Qur’an tidak membingkai kreatifitas manusia. Namun demikian, manusia diperingatkan agar jangan sampai memperkuat suatu struktur yang menindas dan mengeksploitasi.

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ Cowan (1976), hlm. 506
  2. ^ Cowan (1976), hlm. 628
  3. ^ Engineer (1999), hlm. 60

Daftar pustaka

  • Cowan, J. Milton (1976). A Dictionary of Modern Written Arabic. New York: Otto Harrassowitz Verlag. ISBN 978-344-7020-02-2. 
  • Engineer, Asghar Ali (1999). Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9289-01-8. 
  • Fuller, Graham E. (2010). Apa Jadinya Dunia Tanpa Islam? Sebuah Narasi Sejarah Alternatif. Bandung: Mizan. ISBN 978-979-4338-55-1. 
  • Garaudy, Roger, dkk (2008). Demi Kaum Tertindas: Akar Revolusi Islam di Iran. Yogyakarta: Citra Griya Aksara Hikmah. ISBN 978-979-2607-15-4. 
  • Nurcholish, Ahmad; Dja'far, Alamsyah Muhammad (2015). Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama. Jakarta: Elex Media Komputindo. ISBN 978-602-0265-30-8. 
  • Sarbini (2005). Islam di Tepian Revolusi: Ideologi, Pemikiran, dan Gerakan. Yogyakarta: Pilar Media. ISBN 979-979-3921-23-4. 
  • Situmorang, Abdul Wahib (2013). Gerakan Sosial: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-2292-30-2. 
  • Sujarwa (2001). Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9075-69-7. 

Pranala luar