Genosida ialah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.[1]

Pengertian Genosida

Secara bahasa genosida berasal dari dua kata “geno” dan “cidium”. Kata geno berasal dari bahasa Yunani yang artinya “ras” sedangkan kata “cidium” asal kata dari bahasa latin yang artinya “membunuh”.[2] Suatu kejahatan yang dilakukan secara penyerangan terhadap orang lain akibat perselisihan dari etnis atau budaya sering disebut sebagai kejahatan manusia pada hukum internasional yang mengarah pada perbuatan dalam bentuk pembunuhan secara massal terhadap penyiksaan pada anggota tubuh manusia. Dalam hal ini perselisihan akan semakin meningkat dan mengarah pada suatu perbuatan yang lebih agresif dan orang yang melakukan hal tersebut akan semakin melakukannya di luar batas bahkan termasuk pada perbuatan yang berat. Golongan tindakan atau perbuatan yang berat ini merupakan pembantain besar-besaran terhadap suatu etnis tertentu yang mengakibatkan banyaknya korban dan kerugian materil ataupun immateril. Hal tersebut disebut sebagai kejahatan genosida. Kejahatan genosida yang berhubungan dengan pemusnahan etnis atau budaya dan juga termasuk pada kejahatan terhadap kelompok politik karena kelompok tersebut sulit diidentifikasi yang akan menyebabkan masalah internasional dalam suatu negara.

Pengertian genosida dalam konvensi genosida tahun 1948, diartikan sebagai suatu tindakan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis atau agama.[3] Pandangan lain terkait dengan konsep gross violations of human rights ini diutarakan juga oleh Thomas van Boven ketika perumusan Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law (Remedy Principles and Guidelines) di tahun 2005. Menurutnya, kejahatan internasional yang terdaftar dalam Statuta Roma, yakni kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi, patut pula untuk dikategorikan sebagai suatu bentuk pelanggaran berat HAM.[4] Sementara itu, menurut Dahniar, Adwani, Mujibus salim dan Mahfud, mereka menafsirkan istilah “gross violations of human rights and fundamental freedoms” dengan menggolongkan pelanggaran HAM ke dalam 2 (dua) kategori. Adapun kategori yang dimaksud ini adalah pelanggaran HAM biasa atau “simple” dan pelanggaran HAM berat atau “gross”. Penggolongan jenis-jenis pelanggaran HAM ini sepenuhnya bergantung pada jenis dan ruang lingkup pelanggaran itu sendiri.[5]

Pengertian genosida tersebut kemudian tertuang dalam statuta Internasional Criminal Court (ICC) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Kelompok bangsa dalam pengertian genosida merupakan kelompok yang mempunyai identitas yang berbeda tetapi dalam satu tanah air bersama sedangkan kelompok ras merupakan kelompok yang mempunyai ciri-ciri atau sifat-sifat secara turun temurun. Kelompok etnis sendiri merupakan kelompok yang mempunyai bahasa, kebudayaan serta tradisi yang sama secara turun temurun dan merupakan warisan bersama. Oleh karena itu dengan membunuh kelompok-kelompok tersebut termasuk dalam elemen-elemen dari kejahatan genosida. Kejahatan genosida sering dikaitkan dengan kejahatan terhadap manusia tetapi apabila dilihat secara mendalam kejahatan genosida berbeda dengan kejahatan terhadap manusia, di mana kejahatan genosida tertuju pada kelompok-kelompok seperti bangsa, ras, etnis ataupun agama sedangkan kejahatan terhadap manusia ditujukan pada warga negara dan penduduk sipil. Kemudian kejahatan genosida ini dapat melenyapkan sebagian atau keseluruhannya sedangkan kejahatan terhadap manusia tidak ada spesifikasi atau syarat dalam hal tersebut.[6]

Gambar. 1
Mass grave in Malang, July 1947 Bersiap Killings Chinese killed and burned by Indonesian soldiers (TNI).jpg

Tindak Kejahatan Genosida Ditinjau Dalam Hukum Internasional

Genosida merupakan Kejahatan Internasional (International Crimes) di mana merupakan suatu pelanggaran hukum yang berat. Pengertian genosida tersebut kemudian tertuang dalam statuta Internasional Criminal Court (ICC) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM).[6] Kejahatan ini merupakan kejahatan yang dinilai paling serius karena melibatkan masyarakat internasional secara keseluruhan yang telah diatur dalam Mahkamah Pidana Internasional (ICC):

  1. The jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious crimes of concern to the international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this Statute with respect to the following crimes: (a) The crime of genocide; (b) Crimes against humanity; (c) War crimes; (d) The crime of aggression.
  2. The Court shall exercise jurisdiction over the crime of aggression once a provision is adopted in accordance with articles 121 and 123 defining the crime and setting out the conditions under which the Court shall exercise jurisdiction with respect to this crime. Such a provision shall be consistent with the relevant provisions of the of tCharterhe United Nations.

Sesuai dalam jurisdiksi tersebut genosida masuk dalam Kejahatan Internasional. Kejahatan Internasional yang sesuai dalam jurisdisi ini, di antaranya:

  1. Kejahatan genosida;
  2. Kejahatan terhadap kemanusiaan;
  3. Kejahatan perang;
  4. Kejahatan agresi.[7]

Hukum pidana internasional sebagai cabang ilmu baru dalam sejarah perkembangannya tidak terlepas dan bahkan berkaitan erat dengan sejarah perkembangan hak asasi manusia.[8] Kondisi penegakan HAM dari tahun ke tahun masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah, terutama menyangkut kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan. Tegaknya hak asasi manusia tidak dapat dilepaskan dari komitmen dan militansi sejumlah individu dan kelompok yang mendedikasikan hidupnya untuk menyadarkan orang lain akan hak-haknya. Sejauh ini, ketidakberdayaan negara menawarkan jaminan yang efektif terhadap pelanggaran hak asasi manusia telah memberi pelajaran kritis bahwa perjuangan tersebut tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri.[9] Hak asasi manusia, yakni hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya. Jadi hak-hak yang dimiliki sebagai manusia dan HAM harus dipahami dan dimengerti secara universal. Memerangi atau menentang keuniversalan HAM berarti memerangi dan menentang HAM.[10] Instrument internasional dikenal sebagai Undang-undang HAM (International Bill of Human Rights) yang diyakini sebagai standard dan menjadi parameter penegakan hukum HAM di dunia. Hukum HAM internasional terdiri dari kumpulan aturan, prosedur dan lembaga-lembaga internasional yang dikembangkan untuk melaksanakan konsep ini dan memajukan penghormatan terhadap HAM di semua negara di seluruh dunia. Sekalipun hukum HAM internasional memusatkan perhatian pada aturan, prosedur dan lembaga, hukum itu secara khas juga mewajibkan sekurang-kurangnya sedikit pengetahuan dan kepekaan terhadap hukum dalam negara yang terkait dengan negara-negara di mana praktisi hukum mempunyai kepentingan khususnya, hukum nasional mengenai pelaksanaan perjanjian dan kewajiban internasional lain, perilaku hubungan internasional dan perlindungan yang diberikan oleh hukum domestik kepada HAM. Tentunya, sadar dengan eksistensi instrument internasional HAM, maka keterjaminan dan perlindungan HAM bagi masyarakat internasional menjadi agenda bersama, bukan justru didominasi oleh kepentingan sekelompok negara tertentu. Hal inilah yang belum menjelma kuat dalam kebijakan-kebijakan PBB. Peran strategis PBB dalam menciptakan keseimbangan kepentingan hidup dalam lalu lintas kepentingan masyarakat internasional. Penegakan HAM internasional diperankan oleh lembaga-lembaga internasional dan PBB masih menyisakan masalah implementatif yang signifikan.[11] Dalam kerangka hukum HAM internasional, khususnya pendekatan secara tradisional, negara masih merupakan komponen utama yang terlibat dalam proses ratifikasi dan/ atau adopsi terhadap perjanjian-perjanjian HAM internasional. Oleh karenanya melekat tanggungjawab di dalamnya, bahwa negara adalah subyek yang harus memastikan pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap warga negara. Dalam konteks ini, UN Treaty Bodies melalui beragam perjanjian internasional yang mengikat negara-negara pihak, telah mengadopsi tiga kewajiban negara, yakni: pertama, kewajiban untuk melindungi (obligation to protect), kedua, kewajiban untuk memajukan (obligation to promote), dan ketiga, kewajiban untuk memenuhi (obligation to fulfill).

  1. Kewajiban untuk melindungi HAM: negara dalam hal ini pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan dan mencegah segala bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, baik yang dilakukan oleh negara maupun pelaku dari unsur non-negara, di antaranya massa intoleran, milisi dan / atau perusahaan. Contoh: negara melalui aparatur keamanan memberikan perlindungan terhadap setiap warga negara untuk tidak disiksa, tidak ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang, dll.
  2. Kewajiban untuk menghormati dan memajukan HAM: negara harus mengeluarkan regulasi, kebijakan ataupun peraturan yang tidak bertentangan dengan nilai, norma dan aturan hukum HAM. Contoh: negara tidak mengeluarkan atau memelihara kebijakan yang diskriminatif, semisal peraturan daerah yang melarang dan mengharamkan agama atau aliran tertentu, dll.
  3. Kewajiban untuk memenuhi HAM: negara harus melakukan tindakan nyata, yakni dengan mengalokasikan anggaran, menyusun program, dan membuat kebijakan-kebijakan dalam konteks menjamin pemenuhan hak asasi manusia setiap warga negara dapat berjalan dengan baik tanpa gangguan dan ancaman dari pihak manapun. Contoh: negara memberikan atau menyediakan pemulihan (reparasi) bagi setiap warga negara yang menjadi korban atau keluarga korban dari sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat.[12]

Hal yang membedakan genosida dari kejahatan berat lainnya adalah niat untuk memusnahkan (sebagian atau seluruhnya) kelompok ras, agama, nasional atau etnis. Hal yang membedakan kejahatan genosida adalah dolus specialis atau sebuah niat khusus untuk memusnahkan, secara keseluruhan ataupun sebagian, sebuah kelompok tertentu. Niat khusus ini yang menaikkan status kejahatan dari sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan menjadi kejahatan genosida, tanpa niat ini maka tidak ada genosida.[13]

Genosida mencakup aksi-aksi terlarang yang didaftar secara rinci (misalnya pembunuhan, kejahatan serius) dan bertujuan untuk menghancurkan, seluruh atau sebagian, bangsa, suku bangsa, ras atau kelompok agama. Kejahatan kemanusiaan mencakup aksi-aksi terlarang yang didaftar secara rinci, dilakukan sebagai bagian dari agresi menyeluruh atau sistematis terhadap setiap warga sipil. Aksi-aksi termasuk pembunuhan, pengusiran, pemerkosaan, perbudakan seksual, penghilangan paksa dan kejahatan apartheid.[14]

PBB akhirnya mengeluarkan sebuah perjanjian sebagai usaha untuk mencegah dan menghukum kejahatan ini. Konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genosida, dicetuskan pada tanggal 9 Desember 1948, menyatakan bahwa genosida adalah sebuah kejahatan internasional, yang wajib dicegah dan pelakunya wajib dihukum. Pengadilan bagi pelaku genosida dapat dilakukan di negara di mana genosida itu terjadi, atau dalam sebuah pengadilan internasional. Jadi disinilah pertama kali konsep sebuah pengadilan pidana internasional terbentuk. (Dibutuhkan waktu 50 tahun dan ratusan ribu korban kezaliman dan peperangan, sampai akhirnya sebuah kesepakatan tentang mahkamah pidana terbentuk di Roma pada tahun 1998) konvensi ini juga mengkriminalisasi konspirasi untuk melakukan genosida, langsung dan hasutan public untuk melakukan genosida, percobaan genosida, dan keterlibatan dalam genosida. Negara-negara penanda tangan dapat meminta wewenang dewan keamanan menggunakan kekuatan militer untuk menghentikan genosida yang terjadi di negara lain. Karena kebanyakan negara telah meratifikasi konvensi ini, dan hukumnya telah diterapkan di pengadilan internasional dan domestik, maka konvensi genosida sudah dianggap menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional.[13]

Teori Mengenai Kejahatan Genosida

Dalam pembahasan tindak kejahatan genosida ini dalam hukum Internasional menggunakan teori hak asasi manusia dan teori tanggungjawab negara karena genosida merupakan suatu pelanggaran HAM berat di mana negara-negara harus bertanggungjawab melindungi negaranya dari kejahatan tersebut:

  1. Teori Hak Asasi Manusia (HAM): Hak asasi manusia merupakan suatu tanggungjawab yang telah diserahkan dari negara berupa melindungi setiap hak asasi manusia dengan memperioritaskan kesamaan di depan hukum dan keadilan. Menurut Satjipto Raharjo mengatakan bahwa perlindungan hukum merupakan suatu pengayoman kepada HAM yang telah dirugikan oleh orang lain dan perlindungan tersebut diserahkan kepada masyarakat supaya bisa merasakan seluruh hak-haknya yang sudah diberikan oleh hukum.[15] Perlindungan ini berhubungan kuat dengan harkat dan martabat manusia berdasarkan pada ketentuan hukum suatu negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum merupakan hak mutlak yang dimiliki setiap manusia dan sebagai kewajiban bagi pemerintah untuk memenuhinya.
  2. Teori tanggung jawab negara: Hukum Internasional mengenai tanggungjawab negara merupakan hukum internasional yang berdasar pada hukum kebiasaan internasional.[16] Tanggung jawab negara mempunyai hak dan kewajiban dalam melindungi setiap warga negara yang ada di luar teritorial negaranya.[17] Secara universal, tanggungjawab negara ini muncul ketika suatu negara melaksanakan hal-hal berupa mengingkari perjanjian internasional, pelanggaran terhadap kedaulatan suatu wilayah negara lain, merusak hak milik atau wilayah negara lain, melakukan kekerasan dengan menggunakan senjata kepada negara lain, merugikan perwakilan diplomatik negara lain, atau melakukan kesalahan dalam memperlakukan warga negara asing.[18] Berkenaan dengan pelanggaran HAM, tanggung jawab negara pada hakikatnya diwujudkan dalam bentuk melakukan penuntutan secara hukum terhadap para pelaku (bringing to justice the perpetrators) dan memberikan kompensansi atau ganti rugi terhadap korban pelanggaran HAM. Pertanggung jawaban atas perbuatan yang dilakukan individu tanpa melihat jabatan dan kedudukan individu tersebut. Prinsip tanggung jawab negara dan prinsip tanggung jawab pidana secara individual, sekarang ini merupakan prinsip-prinsip yang telah diakui (recognized) dalam hukum internasional.

Cara Penyelesaian Sengketa Tindak Kejahatan Genosida Secara Hukum Internasional

Metode Penyelesaian Kasus di Lingkup Hukum Internasional

Setiap sengketa internasional berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) harus diselesaikan secara damai. Penyelesaian sengketa secara damai tersebut berdasarkan Pasal 33 Piagam PBB dibedakan menjadi dua, yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan.[19] Istilah sengketa-sengketa internasional (international disputes) mencakup bukan saja sengketa-sengketa antara negara-negara, melainkan juga kasus-kasus lain yang berada dalam lingkup pengaturan hukum internasional yakni beberapa kategori sengketa tertentu antara negara di satu pihak dan individu-individu, badan-badan korporasi serta badan-badan bukan negara di lain pihak.[20] Peran yang dimainkan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa internasional adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional. Dalam perkembangan awalnya, hukum internasional mengenal dua cara penyelesaian yaitu cara penyelesaian secara damai dan perang (militer). Cara perang untuk menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah diakui dan dipraktekkan lama. Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai alat atau instrumen dan kebijakan luar negeri negara-negara di jaman dulu.[21]

Kasus Kejahatan Genosida Terhadap Etnis Rohingnya di Barat Myanmar

Myanmar yang letaknya di kawasan Asia Tenggara, dalam sejarah dinamai dengan Burma, terkhusus di kawasan Arakan secara objektif baru terjawab oleh para sejarawan. Banyaknya kontroversi yang ditimbulkan serta distorsi dikarenakan terdapatnya pengaruh kepentingan kelompok yang kuat. Pelanggaran HAM yang terjadi beberapa bulan yang lalu berkaitan dengan Burma menjadi tranding topik di mana perbuatan diskriminasi terhadap etnis muslim minoritas yang dikenal dengan etnis Rohingnya memiliki kesamaan juga dalam segi bahasa, agama serta etnis dari Bengali yang menetap di kawasan Chitaggong anggapan banyak yang menyatakan bahwa muslim Bengali yang terletak di Arakan bermukim pada abad-19 dan ke-20 berbarengan dengan datangnya kolonial Inggris. Dari sanalah kemudian sebutan imigran gelap disematkan pada etnis Rohingnya akibat dari perang kemerdekaan beserta bencana topan tahun 1978 dan 1991, ada yang beranggapan etnis Rohingnya ingin mengukuhkan status kewarganegaraan mereka sebagai etnis pribumi.

Adapun suku terbesar di antaranya Burma, Chin, Kachin, Arakan, Shan, Kayah, Mon, dan Karen di mana para akademisi dan juga pemerintah menetapkan ada 135 suku yang terdapat di Burma meski demikian tidak ada data yang menjelaskan suku minoritas terkait dengan batasan wilayah serta garis keturunannya, sedangkan presentase data kependudukan etnis di Burma, sebagai berikut:

  1. Etnis Burman sebanyak 50 juta orang atau 50-70% merupakan mayoritas;
  2. Etnis Shan 9%;
  3. Etnis Karen 7%;
  4. Serta Etnis Mon, Arakan, Chinn, Kachinn, Karenn, Rohingnya, Kayann, Cina, India, Danuu, Akhaa, Kokang, Lahuu, Nagaa, Palaung, Pao, Tavoyann, dan Waa sekitar 5%.

Dimana etnis Rohingnya yang tinggal di Barat Myanmar tepatnya di kawasan Arakan merupakan orang muslim. PBB menjelaskan bahwa banyak etnis Rohingnya yang menerima kekerasan dan diskriminasi termasuk kelompok minoritas yang teraniaya di dunia, dan akhirnya banyak dari etnis ini yang pindah ke tempat lebih aman seperti di kawasan Bangladesh jiran dan juga Thai Myanmar. Terdapat beberapa reaksi yang timbul dari etnis Rohingnya yakni tetap menetap di kawasan Myanmar atau menjadi pengungsi di kawasan yang lebih aman, seperti juga telah diketahui bahwasannya kejahatan genosida ini merupakan kejahatan serius yang sifatnnya mendunia karena juga masuk ke lingkup ICC yang mana kejahatan genosida ini mengancam keberadaan suatu etnis bertujuan untuk memusnahkan etnis, agama dan juga ras pada suatu kelompok tertentu.

Efek dari diresmikannya UU tersebut salah satunya hilangnya hak belajar terhadap anak-anak keturunan Rohingnya, yang membuat banyak anak-anak etnis Rohingnya ini tidak lagi meneruskan pendidikannya dan juga dampak tekanan ekonomi seperti perampasan rumah, tanah, pemusnahan dan pelarangan untuk melakukan perbaikan masjid sebagai tempat peribadahan, mengalami berbagai penyiksaan seperti pembunuhan, pemerkosaan, penindasaan anak-anak, di batasinya perkawinan, serta penyiksaan tanpa bicara dan juga perampasan HAM seperti penghilangan kebebasan beragama dan beribadah dengan dilakukannya pemaksaan-pemaksaan seperti pemaksaan keluar dari agama Islam dan diharuskan menganut ajaran Buddha sampai dengan penggantian masjid dengan pagoda Buddha, hilangnya kebebasan beragama. Ini tentu merupakan perbuatan yang sangat kejam yang dilakukan negeri Myanmar terhadap etnis Rohingnya tidak hanya melakukan perbuatan yang tidak manusiawi tetapi juga menghilangkan hak asasi manusia, maka dari itu harus ada tindakan cepat oleh PBB untuk menangani persoalan-persoalan serius ini agar kasus-kasus demikian tidak terjadi kembali.[22]

Upaya Penyelesaian Sengketa Ditinjau dari Perspektif Hukum Pidana Internasional

Statuta Roma 1998 merupakan dasar bagi terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional yang bertujuan untuk dapat memberikan sebuah kepastian bagi para korban tindak pidana internasional berat, bahwa para pelaku tindak pidana tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya.[23] Upaya penyelesaian sengketa merupakan cara untuk suatu pengadilan dalam rangka menyelesaikan suatu sengketa yang bersengketa di suatu negeri. Di dalam proses ini yaitu upaya penyelesaian sengketa yang terjadi di negara Myanmar antara pemerintah Myanmar dengan etnis muslim Rohingnya. Dalam rangka menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pemerintah Myanmar dan etnis muslim Rohingnya, sesuai dengan Pasal 33 Piagam PBB terlebih dahulu sebaiknya menggunakan cara diplomasi, apabila tidak menemukan titik terang dalam permasalahan ini maka baru beralih dengan menggunakan cara hukum yakni melalui peradilan.[24]

Kasus konflik antar etnis yang terjadi di Kalimantan Barat

Kerusuhan dan pertikaian yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan antara lain kurangnya kemampuan pemerintah dalam mengatasi penyebab terjadinya konflik sosial antar masyarakat. Konflik muncul dengan menggunakan simbol-simbol etnis, agama, dan ras. Hal ini kemungkinan terjadi akibat adanya akumulasi "tekanan" secara mental, spiritual, politik sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat.

Seperti halnya konflik antar etnis yang terjadi di Kalimantan Barat, kesenjangan perlakuan aparat birokrasi dan aparat hukum terhadap suku asli Dayak dan Suku Madura menimbulkan kekecewaan yang mendalam yang meledak dalam bentuk konflik-konflik horizontal. Masyarakat Dayak yang termarjinalisasi semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang diskriminatif yang mengeksploitasi kekayaan alam mereka. Sementara penegakan hukum terhadap salah satu kelompok tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kasus yang terjadi ini menunjukkan sulitnya penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia.

Dalam berkomunikasi penduduk yang heterogen ini menggunakan bahasa Indonesia atau Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Tetapi karena tingkat pendidikan mereka rendah, kebanyakan mereka memakai bahasa daerahnya masing-masing. Dengan demikian seringkali ditemui kesalahpahaman di antara mereka. Terlebih jika umumnya orang Madura berbicara dengan orang Dayak, gaya komunikasi orang Madura yang keras ditangkap oleh orang Dayak sebagai kesombongan dan kekasaran.

Orang Dayak yang ramah dan lembut merasa tidak nyaman dengan karakter orang Madura yang tidak menghormati atau menghargai orang Dayak sebagai penduduk lokal yang menghargai hukum adatnya. Hukum adat memegang peranan penting bagi orang Dayak. Tanah yang mereka miliki adalah warisan leluhur yang harus mereka pertahankan. Seringkali mereka terkena tipu daya masyarakat pendatang yang akhirnya berhasil menguasai atau bahkan menyerobot tanah mereka. Perilaku dan tindakan masyarakat pendatang khususnya orang Madura menimbulkan sentimen sendiri bagi orang Dayak yang menganggap mereka sebagai penjarah tanah mereka. Ditambah lagi dengan keberhasilan dan kerja keras orang Madura mengelola tanah dan menjadikan mereka sukses dalam bisnis pertanian.

Ketidak cocokan di antara karakter mereka menjadikan hubungan kedua etnis ini mudah menjadi suatu konflik. Ditambah lagi dengan tidak adanya pemahaman dari kedua etnis terhadap latar belakang sosial budaya masing-masing etnis. Kecurigaan dan kebencian membuat hubungan keduanya menjadi tegang dan tidak harmonis.

Ketidak adilan juga dirasakan oleh masyarakat Dayak terhadap aparat keamanan yang tidak berlaku adil terhadap orang Madura yang melakukan pelanggaran hukum. Permintaan mereka untuk menghukum orang Madura yang melakukan pelanggaran hukum tidak diperhatikan oleh aparat penegak hukum. Hal ini pada akhirnya orang Dayak melakukan kekerasan langsung terhadap orang Madura, yaitu dengan penghancuran dan pembakaran pemukiman orang Madura.[25]

Kejahatan Genosida dalam RUU KUHP 2019

Aspek mendasar lain yang perlu ditelusuri dalam RUU KUHP 2019 adalah ketentuan kejahatan genosida yang tertuang pada Pasal 598. Untuk itu, bagian ini didedikasikan untuk menguji ketepatan rumusan redaksi yang telah disediakan dalam ketentuan tersebut. Berbeda halnya dengan awal kelahiran pelanggaran berat HAM lainnya, secara historis praktik kejahatan genosida telah ada bahkan sebelum istilah kejahatan genosida itu diciptakan. Hal ini kemudian mendorong Winston Churchill, mantan Perdana Menteri Britania Raya, mendeskripsikan kejahatan genosida sebagai suatu “kejahatan tanpa nama” atau dikenal dengan istilah “the crime without a name”.[26] Barulah melalui jerih payah advokasi yang dijalankan oleh Raphael Lemkin kepada perwakilan negara-negara anggota PBB terhadap kekejian yang dilakukan oleh rezim Nazi kepada penduduk Yahudi, kemudian melahirkan istilah yang saat ini dikenal dengan kejahatan genosida (crimes of genocide) melalui tulisannya berjudul Axis Rule in Occupied Europe pada tahun 1944.[27]

Kejahatan terhadap Kemanusiaan

Meskipun telah dikategorisasikan sebagai kejahatan yang paling mengancam umat manusia seperti genosida dan kejahatan perang, namun berdasarkan sejarah kelahirannya terdapat perbedaan mendasar antara kedua kejahatan tersebut dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida dan kejahatan perang telah terkodifikasikan dalam hukum internasional melalui suatu perjanjian internasional khusus, sementara kejahatan terhadap kemanusiaan tumbuh dan berkembang dari hukum kebiasaan internasional (customary international law).[28] Kejahatan yang disebutkan terakhir ini mempunyai sejarah yang panjang dalam peradaban umat manusia. Untuk pertama kalinya, istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan” (crimes against humanity) dikembangkan sejak Deklarasi St. Petersburg (St. Petersburg Declaration) 1868.[29] Pemahaman ini dilandaskan pada kenyataan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan ancaman terbesar bagi kesejahteraan dan keselamatan umat manusia.[28] Menyongsong abad XXI, konten kejahatan terhadap kemanusiaan telah berevolusi dari yang telah dirumuskan pasca Perang Dunia II melalui Statuta dan yurisprudensi yang dimiliki oleh badan-badan peradilan internasional seperti ICTY, ICTR dan ICC.[30] Sebagai contoh, Statuta ICTY menegaskan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan yang dapat diadili hanyalah terbatas kepada suatu serangan yang terjadi dalam konteks konflik bersenjata, terlepas dari pengaturan dalam hukum kebiasaan internasional yang mengafirmasi bahwa keterkaitan dengan suatu situasi konflik bersenjata tidak diperlukan dalam mendakwakan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.[31]

Referensi

  1. ^ Widiadsih, Kezia Rahmameilani (2019-12-02). "Penuntasan Pelanggaran HAM Yang Terhambat Oleh UU Pengadilan HAM Yang Perlu Direvisi". dx.doi.org. Diakses tanggal 2021-07-13. 
  2. ^ Rivanie, Syarif Saddam (2020-09-28). "Pengadilan Internasional dalam Memberantas Tindak Pidana Terorisme: Tantangan Hukum dan Politik". Sovereign: Jurnal Ilmiah Hukum. 2 (3): 15–27. doi:10.37276/sjih.v2i3.36. ISSN 2721-8244. 
  3. ^ Ariati, Nova (2020-11-28). "KEBIJAKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEJAHATAN DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA". Jurnal Panji Keadilan : Jurnal Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum. 2 (2): 197–218. doi:10.36085/jpk.v2i2.1177. ISSN 2622-3724. 
  4. ^ Crawshaw, Ralph (9/10/2014). Essential Texts on Human Rights for the Police. Martinus Nijhoff Publishers. hlm. 497–506. ISBN 978-90-04-16481-9. 
  5. ^ Dahniar, Dahniar (2017-05). "Gross Violation of Human Rights in Aceh: Patterns of Violence through the Indonesian Government's Policy". IOSR Journal of Humanities and Social Science. 22 (05): 19–40. doi:10.9790/0837-2205011940. ISSN 2279-0845. 
  6. ^ a b Parthiana, Wayan (1981-08-02). "PERJANJIAN INTERNASIONAL TAK TERTULIS DALAM HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL". Jurnal Hukum & Pembangunan. 11 (4): 344. doi:10.21143/jhp.vol11.no4.858. ISSN 2503-1465. 
  7. ^ Prasetyo, Mujiono Hafidh (Oktober-November 2020). "Kejahatan Genosida Dalam Perspektif Hukum Pidana Internasional". https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/gk/article/view/9075/4630. Diakses tanggal 19/07/2021.  Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)
  8. ^ Riski Wahyudi, Anak Agung Ngurah (1 februari 2021). "Komparasi Penyelesaian Perkara Pidana Kejahatan Genosida yang Terjadi di Rwanda dan Myanmar Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana Internasional". https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh/article/view/31466/17391. Diakses tanggal 19/07/2021.  line feed character di |title= pada posisi 62 (bantuan); Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)
  9. ^ Nawawi, Asror (2018-08-20). "KOMNAS HAM: SUATU UPAYA PENEGAKAN HAM DI INDONESIA". PROGRESIF: Jurnal Hukum. 11 (1). doi:10.33019/progresif.v11i1.198. ISSN 2655-2094. 
  10. ^ Suryatni, Luh (2014-06-03). "PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM MENJAGA KEUTUHAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA". JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA. 5 (1). doi:10.35968/jh.v5i1.101. ISSN 2355-3278. 
  11. ^ Primawardani, Yuliana (2017-07-27). "Perlindungan Hak Masyarakat Adat dalam Melakukan Aktivitas Ekonomi, Sosial dan Budaya di Provinsi Maluku". Jurnal HAM. 8 (1): 1. doi:10.30641/ham.2017.8.1-11. ISSN 2579-8553. 
  12. ^ sitepu, Lopiga (2019-06-29). "KASUS PELANGGARAN HAM di INDONESIA YANG MERAJALELA". dx.doi.org. Diakses tanggal 2021-07-19. 
  13. ^ a b Sidarto, Linawati (2015-07-01). "Dewi Anggreini, Tragedi Mei 1998 dan lahirnya Komnas Perempuan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014, 214 pp. ISBN: 978-979-709-809-4. Price: IDR 63,000 (soft cover)". Wacana. 16 (2): 513. doi:10.17510/wacana.v16i2.389. ISSN 2407-6899. 
  14. ^ Aziz, Sari (2017-06-22). "KEDUDUKAN PRINSIP KOMPLEMENTARITAS MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL ATAS PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN INTERNASIONAL". Jurnal Hukum & Pembangunan. 34 (3): 230. doi:10.21143/jhp.vol34.no3.1439. ISSN 2503-1465. 
  15. ^ Sujatmoko, Andrey (2016-10-20). "Hak atas Pemulihan Korban Pelanggaran Berat HAM di Indonesia dan Kaitannya dengan Prinsip Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional". PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law). 3 (2). doi:10.22304/pjih.v3n2.a6. ISSN 2460-1543. 
  16. ^ Priyatno, Dwidja; Aridhayandi, M. Rendi (2018-06-07). "Resensi Buku (Book Review) Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya, 2014". Jurnal Hukum Mimbar Justitia. 2 (2): 881. doi:10.35194/jhmj.v2i2.36. ISSN 2580-0906. 
  17. ^ Sefriani, Sefriani (2011). "KETAATAN MASYARAKAT INTERNASIONAL TERHADAP HUKUM INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTI FILSAFAT HUKUM". JURNAL HUKUM IUS QUIA IUSTUM. 18 (3): 405–427. doi:10.20885/iustum.vol18.iss3.art6. ISSN 0854-8498. 
  18. ^ Nugraha, Satria (2019-06-19). "Tanggung Jawab Negara dalam Penerapan Hukum Humaniter Internasional Studi Kasus Konflik Bersenjata Non-Internasional di Suriah dan Implikasinya Bagi Indonesia". Aktualita (Jurnal Hukum). 2 (1): 215–232. doi:10.29313/aktualita.v2i1.4683. ISSN 2620-9098. 
  19. ^ Gautama, Sudargo (1978-12-02). "HUKUM PERDATA INTERNASIONAL YANG HIDUP". Jurnal Hukum & Pembangunan. 8 (6): 629. doi:10.21143/jhp.vol8.no6.808. ISSN 2503-1465. 
  20. ^ Johnson, D. H. N. (1965-10). "Starke's Studies in International Law. By J. G. Starke. [London: Butterworths. 1965. 174 pp. £1 17s. 6d. net.]". International and Comparative Law Quarterly. 14 (4): 1430–1430. doi:10.1093/iclqaj/14.4.1430. ISSN 0020-5893. 
  21. ^ Puspita, Lona (2018-12-05). "MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA GATT DAN WTO DITINJAU DARI SEGI HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL". dx.doi.org. Diakses tanggal 2021-07-17. 
  22. ^ Alit Putra, Ketut; Rai Yuliartini, Ni Putu; Sudika Mangku, Dewa Gede (2020-09-21). "ANALISIS TINDAK KEJAHATAN GENOSIDA OLEH MYANMAR KEPADA ETNIS ROHINGNYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INTERNASIONAL". Jurnal Komunitas Yustisia. 1 (1): 66. doi:10.23887/jatayu.v1i1.28662. ISSN 2722-8312. 
  23. ^ Kania, Dede (2014-08-03). "PIDANA PENJARA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA". Yustisia Jurnal Hukum. 3 (2). doi:10.20961/yustisia.v3i2.11088. ISSN 2549-0907. 
  24. ^ Nugroho, Fahry (2021-06-07). "PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT TERHADAP ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL". dx.doi.org. Diakses tanggal 2021-07-13. 
  25. ^ Hadiyanto, Alwan (2018). "ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL DI KALIMANTAN BARAT". https://www.journal.unrika.ac.id/index.php/jurnaldms/article/download/79/77. Diakses tanggal 22/07/2021.  line feed character di |title= pada posisi 47 (bantuan); Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)
  26. ^ Melson, Robert (1983-03). "Genocide: Its Political Use in the Twentieth Century. By Leo Kuper. (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1981. Pp. 255. $15.00.)". American Political Science Review. 77 (1): 243–244. doi:10.2307/1956073. ISSN 0003-0554. 
  27. ^ Herz, John H. (1945-04). "Axis Rule in Occupied Europe; Laws of Occupation, Analysis of Government, Proposals for Redress. By Raphael Lemkin. (Washington: Carnegie Endowment for International Peace. 1944. Pp. xxxvii, 674.)". American Political Science Review. 39 (2): 366–367. doi:10.2307/1949196. ISSN 0003-0554. 
  28. ^ a b van Schaack, Beth (2012-03-23). "Crimes against Humanity". International Law. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-979695-3. 
  29. ^ Ford, Stuart (2007). "Crimes against Humanity at the Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia: Is a Connection with Armed Conflict Required?". UCLA Pacific Basin Law Journal. 24 (2). doi:10.5070/p8242022190. ISSN 2169-7728. 
  30. ^ Sadat, Leila Nadya (2013-04). "Crimes Against Humanity in the Modern Age". American Journal of International Law. 107 (2): 334–377. doi:10.5305/amerjintelaw.107.2.0334. ISSN 0002-9300. 
  31. ^ Provost, René (2009-05-05). "Amicus Curiae Brief on Joint Criminal Enterprise in the Matter of the Co-Prosecutors' Appeal of the Closing Order Against Kaing Guek Eav "Duch" Dated 8 August 2008". Criminal Law Forum. 20 (2-3): 331–351. doi:10.1007/s10609-009-9097-x. ISSN 1046-8374.