Tionghoa Padang
Tionghoa Padang atau Cina Padang adalah masyarakat keturunan Tionghoa yang tinggal di Kota Padang, Sumatra Barat, Indonesia. Tionghoa Padang merupakan salah satu dari berbagai etnis yang menghuni Padang selain orang Minangkabau, Jawa, Batak, Nias, Melayu, Sunda, dan Mentawai.[1] Mereka setidaknya telah tinggal selama delapan generasi di Padang.[3] Kebanyakan mereka bekerja sebagai pedagang. Permukiman orang Tionghoa Padang terkonsentrasi di daerah Pondok dan sekitarnya di wilayah Kecamatan Padang Selatan yang dikenal sebagai Kampuang Cino (bahasa Indonesia: Kampung Cina).[4][5]
Jumlah populasi | |
---|---|
9.498 (Sensus 2010)[1] ±12.000 (2016)[2] | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
Kecamatan Padang Selatan | |
Bahasa | |
Bahasa Minang Pondok | |
Agama | |
Agama tradisional Tionghoa, Kristen, Islam |
Tidak ada catatan pasti kapan orang Tionghoa pertama tiba ke Padang. Diperkirakan orang Tionghoa mulai datang sejak perusahaan dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mendirikan markasnya di Padang pada abad ke-17.[6][7] Pada tahun 2000, populasi orang Tionghoa Padang pernah menjadi nomor tiga terbesar sesudah Minang dan Jawa dengan presentasi 1,90% dari populasi kota. Namun, sesudah gempa bumi pada 2009, banyak dari mereka yang meninggalkan Padang dan pindah ke luar wilayah Sumatra Barat.[8] Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010, persentasi orang Tionghoa Padang tinggal 1,1% dari populasi kota atau sebanyak 9.498 jiwa, nomor empat sesudah Minang, Jawa, dan Batak.[1] Pada 2016, populasi Tionghoa Padang sekitar 12.000 orang.[2]
Orang Tionghoa Padang mampu beradaptasi dengan budaya Minangkabau. Bahkan, generasi orang Tionghoa Padang kini banyak yang tidak bisa bercakap dalam rumpun bahasa Tionghoa karena mereka telah berasimilasi dengan masyarakat Minangkabau. Bahasa yang mereka pertuturkan dikenal sebagai Bahasa Minang Pondok.[9] Meskipun demikian, mereka tidak meninggalkan adat dan tradisi mereka. Lewat perkumpulan sosial, budaya, dan kematian Himpunan Tjinta Teman (HTT) dan Himpunan Bersatu Teguh (HBT) yang sudah berdiri sejak abad ke-19, eksistensi adat dan tradisi orang Tionghoa tetap terjaga di tengah masyarakat Kota Padang hingga kini.[10][11][12]
Sejarah
Seperti di daerah lainnya di Nusantara, keberadaan orang Tionghoa di Padang tidak lepas dari fenomena diaspora atau keluarnya orang Tionghoa dari tanah kelahiran mereka untuk tujuan perdagangan. Walaupun tidak ada catatan pasti kapan orang Tionghoa pertama tiba di Padang, mereka diperkirakan telah tiba di pantai barat Sumatra pada abad ke-17, mendahului kedatangan bangsa Belanda dan Inggris. Mereka datang dari Banten, yang kala itu menjadi pusat perdagangan di Nusantara.[13] Pada tahun 1630-an, diketahui telah banyak bersandar kapal-kapal Tionghoa di sekitar perairan pantai barat Sumatra. Di antara kota yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal Tionghoa adalah Pariaman. Di daerah tersebut, orang Tionghoa menjual kebutuhan-kebutuhan pokok, terutama garam. Namun, kebanyakan mereka hanyalah agen dari pedagang Tionghoa yang ada di Banten.[14] Pada tahun 1633, dilaporkan telah ada orang Tionghoa yang menetap di Pariaman.[15]
Pada tahun 1664, Belanda melalui VOC menjadikan Padang sebagai markas besar mereka untuk wilayah pantai barat Sumatera yang ditandai dengan didirikannya sebuah benteng.[16] Belanda mencoba mengalihkan aktivitas perdagangan dari Pariaman ke Padang. Melihat kondisi tersebut, orang Tionghoa mulai berdatangan dan menetap di Padang untuk dapat ikut serta dalam aktivitas perdagangan.[17] Orang Tionghoa di Padang diperkirakan merupakan mereka yang sebelumnya menetap Pariaman. Pada tahun 1673, ada laporan tentang "Nahkoda Banten" Tionghoa yang memiliki rumah di Padang bersama beberapa orang Tionghoa lainnya.[7] Rumah yang mereka punya lebih bagus dibandingkan dengan rumah penduduk setempat.[18] Permukiman mereka mengelompok di kawasan di sekitar pinggir Batang Arau. Mereka dapat membeli tanah dari penguasa setempat yang bergelar "panglima raja". Pada tahun 1682, seiring banyaknya jumlah orang Tionghoa di Padang, seorang "Letnan Cina" diangkat untuk mengatur dan mengontrol sesama orang Tionghoa.[19]
Hubungan antaretnis
Ketika terjadinya kerusuhan Mei 1998, tidak pernah ada laporan mengenai tindak kekerasan dan kriminal di Padang yang menjadikan orang Tionghoa sebagai sasaran.[20] Di Padang, orang Tionghoa mendapat perlakuan yang sama dengan etnis lainnya. Pemerintah Kota Padang tidak memberi pembatasan dan pelarangan bagi orang Tionghoa Padang untuk melaksanakan kegiatan mereka baik itu bersifat keagamaan maupun tradisi. Sampai sekarang, Pemerintah Kota Padang terus melibatkan orang Tionghoa Padang untuk ikut serta dalam setiap perayaan ulang tahun kota. Bahkan, atraksi yang ditampilkan oleh orang Tionghoa seperti barongsai dan sipasan menjadi salah satu daya tarik wisata di Kota Padang.[21][22]
Orang Tionghoa Padang telah beradaptasi dengan masyarakat lokal tempat mereka berada, salah satunya ditandai dengan penggunaan bahasa Minangkabau sebagai bahasa sehari-hari. Hal ini berbeda dengan, sebagai contoh, orang Tionghoa di pantai Timur Sumatra.[23] Bahkan, mayoritas orang Tionghoa Padang tidak dapat lagi bercakap dalam bahasa asal mereka.[24] Bahasa Minang yang dipertuturkan oleh orang Tionghoa Padang dikenal sebagai bahasa Pondok atau bahasa Minang dialek Pondok, hasil percampuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa Minang tapi memakai logat Mandarin.[9] Bahasa tersebut membuat mereka bisa berbaur dengan masyarakat Minangkabau.[25]
Pemerintah Kota Padang secara rutin mendukung kegiatan yang menampilkan budaya Tionghoa Padang dan pembaurannya. Dalam setiap perayaan Imlek, ditampilkan atraksi budaya yang ada dari berbagai etnis yang menghuni Kota Padang. Di antara atraksi yang ditampilan oleh orang Tionghoa Padang adalah barongsai, arak-arakan kio, dan sipasan.[26] Pada 2013, atraksi sipasan yang dibawakan oleh perkumpulan HTT mencatat rekor dunia di Guinness World Records sebagai atraksi mengarak tandu terpanjang, yakni dengan panjang arak-arakan 243 meter dan jarak tempuh 1,9 km. Pencapaian ini mengalahan rekor sebelumnya untuk atraksi serupa yang ditampilkan di Kinmen, Taiwan.[27][28] Sejak 2018, perayaan Imlek telah masuk menjadi kalender wisata Kota Padang yang dikemas dalam Festival Multikultural.[29][30]
Pada 2019, untuk kali pertama diadakan Festival Bakcang Ayam dan Lamang Baluo. Dalam kegiatan ini, sebanyak 10.000 bakcang ayam dan lamang baluo dibagikan kepada masyarakat secara gratis. Kedua kuliner tersebut memiliki kesamaan dalam bahan yang digunakan dan pembuatannya, yakni ketan dengan isian dan dibungkus dengan daun.[31] Selain pembagian makanan, Festival Bakcang Ayam dan Lamang Balio dimeriahkan pulo dengan berbagai pertunjukan budaya Tionghoa Padang dan Minang.[32]
Eksodus
Sesudah terjadinya gempa bumi yang mengguncang Sumatra Barat pada 30 September 2009, banyak orang Tionghoa Padang yang mengungsi keluar kota. Hal tersebut berakibat pada menurunnya populasi orang Tionghoa Padang. Hingga kini, belum semua orang Tionghoa yang meninggalkan Padang kembali, walaupun kondisi kota telah pulih. Mengingat Padang merupakan daerah rawan tsunami, orang Tionghoa banyak yang memutuskan pindah keluar kota, seperti Pekanbaru, Medan, dan Jambi.[8][32] Ketika dilakukan Sensus Penduduk pada tahun 2010, persentase orang Tionghoa Padang hanya tinggal 1,1% dari populasi kota atau berjumlah 9.498 jiwa.[1]
Dampak paling terasa dari gampa bumi 2009 adalah runtuhnya Kelenteng Se Hien Kiong. Akibatnya, aktivitas ritual orang Tionghoa Padang sempat terhambat. Selama beberapa waktu, orang Tionghoa Padang menyelanggarakan ibadahnya di bangunan sederhana yang bersifat sementara di depan bangunan kelenteng.[33][34] Pada Desember 2010, masyarakat Tionghoa Padang sepakat untuk mendirikan kelenteng baru. Rancangan bangunannya tidak jauh berbeda dengan kelenteng lama, tapi dengan lokasi baru. Kelenteng baru diresmikan pada Maret 2013. Pembangunannya menelan biaya sekitar Rp5 miliar.[35]
Sosial dan kemasyarakatan
Orang Tionghoa Padang berasal dari berbagai marga. Sistem marga dalam keluarga etnis Tionghoa didasarkan pada asal keturunan dari leluhur yang sama. Keberadaan sebuah marga biasanya ditandai dengan rumah marga. Aktivitas utama rumah marga adalah menyelenggarakan sembayang kepada leluhur dan dewa yang mereka diyakini. Selain itu, anggota rumah marga saling membantu dan memperhatikan antarsesama.[36] Namun, karena beberapa marga jumlahnya tidak banyak, hanya ada tujuh marga di Padang yang memiliki rumah marga sendiri, yakni marga Tan, marga Oei, marga Ong, marga Choa, marga Lie & Kwee, marga Gho, dan marga Lim.[37]
Kampung Cina
Orang Tionghoa di Padang tinggal mengelompok dan membentuk permukiman yang dikenal sebagai Kampung Cina.[4] Letak kawasan tersebut berada di sisi utara dekat muara Batang Arau, Kecamatan Padang Selatan. Dulunya, orang Tionghoa memilih tinggal dekat muara karena dekat dengan akses transportasi laut yang kala tu merupakan sarana utama dalam perdagangan ekspor dan impor. Mengelompoknya tempat tinggal orang Tionghoa tidak lepas pula dari adanya peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda, yaitu sistem sentralisasi permukiman pada satu kawasan bagi penduduk pendatang. Oleh Belanda, permukiman orang Tionghoa Padang dikonsentrasikan pada satu kawasan, yakni di daerah Pondok dan sekitarnya sehingga lama-kelamaan daerah itu menjadi permanen sebagai permukiman orang Tionghoa Padang sampai saat ini.[5]
Di Kampung Cina, terdapat sebuah kelenteng yang bernama Kelenteng See Hien Kiong. Letaknya berada dekat tepi Batang Arau, menghadap ke Bukit Gado-Gado di Subarang Palinggam. Meskipun tahun pambangunannya tidak diketahui pasti, kelenteng ini diperkirakan berdiri pada sekitar pertangahan abad ke-19, berdasarkan tinggalan berupa lonceng (genta) yang ada di dalam kelenteng yang bertarikh tahun 1841.[33] Kelenteng See Hien Kiong menjadi tempat sembahyang orang Tionghoa terhadap dewa atau leluhur yang mereka sembah. Peruntukan kelenteng ini adalah untuk orang Tionghoa di Padang pada umumnya. Keberadaan kelenteng di Kampung Cina yang hanya satu menunjukkan bahwa mayoritas orang Tionghoa Padang mempunyai leluhur yang sama. Hal ini membuatnya berbeda dengan orang Tionghoa yang tinggal di beberapa kota di Indonesia, misalnya orang Tionghoa di Jakarta dan Semarang yang punya banyak kelenteng masing-masing berdasarkan leluhur dan dewa yang disembah.[38] Kelenteng See Hien Kiong bahkan menjadi kelenteng satu-satunya di Sumatra Barat.[39]
Agama
Agama orang Tionghoa Padang meliputi agama tradisional Tionghoa, Katolik, Protestan, dan Islam. Saat ini, mayoritas orang Tionghoa Padang menganut Katolik. Hal ini disebabkan banyaknya anak-anak Tionghoa yang belajar di sekolah yang didirikan oleh misionaris Katolik pada masa kolonial Belanda di Padang.[2]
Pada 1993, Muslim Tionghoa Padang membentuk cabang Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI).[40] Pada 2016, terdapat sekitar 300 Muslim Tionghoa di Padang, tetapi sulit untuk mengidentifikasinya karena mereka cenderung menyembunyikan status mualaf mereka dari keluarga dan kerabat. Muslim Tionghoa biasanya mendapatkan diskriminasi atau dikucilkan dari lingkungan keluarga dan kerabatnya.[41][2]
Catatan kaki
Rujukan
- ^ a b c d Riniwaty Makmur (2018), hlm. 16.
- ^ a b c d Rusli & Rois 2020.
- ^ Rahmat Irfan Denas 11 Februari 2021.
- ^ a b Mardanas Safwan (1987), hlm. 15.
- ^ a b Riniwaty Makmur, dkk (2018), hlm. 135.
- ^ Freek Colombijn (1994), hlm. 55a: "Padang has an old Chinese community and Chinese were among the first permanent inhabitants of Padang, arriving soon after the establishment of the VOC trading post."
- ^ a b Christine Dobbin (2016), hlm. 135a: "Almost immediately after the establishment of the Dutch factory at Padang some Chinese must have settled there as agents for Batavian Chinese, possibly moving south from Pariaman. In 1673 there are reports of a Chinese 'Nakoda Banten' living at Padang in his own house, and other Chinese were also settled there performing services for company officials as they did at Batavia."
- ^ a b Rahmi Surya Dewi (2018), hlm. 28.
- ^ a b Riniwaty Makmur, dkk (2018), hlm. 138-139.
- ^ Erniwati (2007), hlm. 190: "Kedua perkumpulan ini berperan besar dalam menjaga budaya dan adat istiadat leluhur meskipun untuk saat ini genrasi muda kehilangan maknanya. Namun keberadaan kedua perkumpulan ini juga seakan-akan membagi etnis Cina Padang atas dua kelompok."
- ^ Riniwaty Makmur (2018), hlm. 56.
- ^ Kompas.com (5 Februari 2008).
- ^ Christine Dobbin (2016), hlm. 134: "Before the Dutch and the English came to Sumatra for pepper, Chinese pepper traders had been visiting west Sumatra from their commercial base at Banten."
- ^ Christine Dobbin (2016), hlm. 134–135: "Very few of these Chinese traded with their own capital, and they had meagre capital resources; they were generally agents for Banten Chinese, who in turn operated a commenda trade using money and goods supplied by merchants in China and, later on, by Europeans in Banten."
- ^ Christine Dobbin (2016), hlm. 134: "In the 1630s their vessels were reported to be swarming to the coast in search of pepper, and it seems likely that there were Chinese settled at Pariaman to act as agents for their compatriots; certainly they were reported to be established there in 1663."
- ^ Freek Colombijn (1994), hlm. 134: "In 1666 the Dutch made Padang their headquarters on Sumatra's west coast and built a fortress."
- ^ Freek Colombijn (1994), hlm. 55: "Padang has an old Chinese community and Chinese were among the first permanent inhabitants of Padang, arriving soon after the establishment of the VOC trading post."
- ^ Steven Adriaan Buddingh (1861), hlm. 161.
- ^ Christine Dobbin (2016), hlm. 135b: "In that year several Chinese bought land from the panglima raja to establish a brickworks, and by 1682 there were so meny Chinese at the entrepôt that a Lieuteyangt Chinese had to be appointed to regulate matters concerning them."
- ^ Erniwati (2007), hlm. 7a: "Pengalaman buruk bagi sebagian etnis Cina di beberapa kota di Indonesia tidak dialami oleh etnis Cina Padang, termasuk saat peristiwa Mei 1998. Sepanjang era Reformasi bahkan tidak ditemukan tidak kekerasan dan kriminal yang menjadikan etnis Cina Padang sebagai sasaran kekerasan, seperti yang terjadi di Jakarta, Solo, Surabaya, Medan, maupun kota lainnya. Fenomena nasional yang menjadikan etnis Cina sebagai sasaran untuk mengungkapkan kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap pemerintah, krisis ekonomi, dan kekacauan politik tidak dialami oleh etnis Cina Padang."
- ^ Nerosti (2002), hlm. 73.
- ^ Republika.co.id (10 Januari 2020).
- ^ Kantor Waligereja Indonesia 1974, hlm. 118.
- ^ Rahmi Surya Dewi (2018), hlm. 29.
- ^ Riniwaty Makmur (2018), hlm. 277.
- ^ Kompas.com (10 Pebruari 2009).
- ^ Tempo.co (25 Agustus 2013).
- ^ Taiwan Today (16 Mei 2011).
- ^ Harian Haluan (10 Pebruari 2020).
- ^ Posmetro Padang (7 Pebruari 2019).
- ^ Antara (6 Juni 2019).
- ^ a b Kompas.id (8 Juni 2019).
- ^ a b Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatra Barat (8 Juni 2017).
- ^ Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatra Barat (2018), hlm. 13.
- ^ Padang.go.id (23 September 2018).
- ^ Erniwati (2007), hlm. 63: "Rumah marga atau yang disebut kongsi oleh Cina Padang mengayomi etnis Cina berdasarkan suku yang sama, sehingga aktivitas utama rumah marga adalah membantu sesama anggota, menyelenggarakan sembahyang kepada leluhur dan dewa-dewa yang diyakini sebagai pelindung. Selain itu, rumah marga juga berperan dalam melestarikan kebudayaan dan tradisi leluhur, termasuk menyelenggarakan upacara-upacara yang bersifat kekeluargaan, seperti pesta perkawiyang, menyelenggarakan sembahyang kepada leluhur dan dewa-dewa yang diyakini sebagai pelindung, serta prosesi pemakaman secara tradisional."
- ^ Riniwaty Makmur (2018), hlm. 147.
- ^ Erniwati (2007), hlm. 53: "Klenteng See Hien Kiong merupakan tempat untuk melakukan sembahyang terhadap dewa atau leluhur yang mereka sembah menunjukkan bahwa mayoritas etnis Cina Padang memiliki leluhur yang sama. Berbeda halnya dengan etnis Cina yang tinggal di beberapa kota di Indonesia, misalnya di Jakarta dan Semarang ditemukan banyak klenteng yang masing-masing memiliki spesifik tersendiri dengan leluhur dan dewa yang berbeda pula."
- ^ Erniwati (2007), hlm. 52: "Klenteng See Hien Kiong merupakan satu-satunya yang terdapat di Sumatera Barat."
- ^ Doni & Arki 2019.
- ^ Nunu & Dodi 2020.
Daftar pustaka
|
|