Mahrus Amin
Drs. K.H. Mahrus Amin (14 Februari 1940 – 7 Agustus 2021)[1][2] adalah Pendiri dan Pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah serta Pondok Pesantren Madinatunnajah.
Drs. K.H. Mahrus Amin | |
---|---|
Berkas:KHmahrusamin2.jpg | |
Lahir | 14 Februari 2021 Cirebon |
Dikenal atas | Pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta |
Jabatan | Pondok Pesantren Darunnajah |
Pendahulu | Abdul Manaf Mukhayyar Kamaruzzaman Muslim |
Suami/istri | Suniyati Manaf |
Anak | Emah Maziyah Nana Rusydiana Diah Nadiah Ahmad Najih |
Situs web | http://www.darunnajah.com/ |
Awal Kehidupan
Mahrus Amin lahir di desa Kalibuntu, Ciledug (sekarang Kalimukti, Pebadilan) Cirebon pada 14 Februari 1940. Kedua orangtuanya asli Cirebon dan Brebes. Ayahnya, Casim Amin merupakan warga asli Kalimukti yang keturunan kuwu (setingkat lurah) dan masih memiliki hubungan darah dengan Wirasuta, salasatu anak cucu waliyullah Syarief Hidayatullah. Sementara ibunya, Hj. Jamilah berasal dari Losari. Beliau adalah cucu dari Kiai Idris, pemimpin Ponpes Lumpur, di Desa Lumpur, Losari, Brebes.
Nama Mahrus sendiri diambil dari nama guru sang ayah, Kiai Mahrus Ali asal Gedongan, Cirebon. Kekaguman sang ayah pada gurunya tersebut, membuatnya bertekad, bila suatu ketika dikaruniai seorang anak laki-laki, maka dia akan memberinya nama Mahrus agar kelak menjadi orang yang bermanfaat dan memiliki pesantren seperti Kiai Mahrus Ali Gedongan.
Mahrus kecil hidup dalam kondisi yang amat sederhana. Orangtuanya memiliki usaha persewaan delman, namun begitu memasuki masa penjajahan jepang, ekonomi keluarga menjadi lebih sulit. Masih diingat oleh Mahrus betapa tidak mudahnya memperoleh sandang dan pangan. Ia sering mengenakan pakaian yang dihinggapi kutu busuk, tak pelak rasa gatal menemani hari-harinya.
Usia penjajahan Jepang, Mahrus kecil kembali merasakan kecaman perang di masa revolusi kemerdekaan. Masa ini begitu membekas di benaknya. Di usia 8 tahun, sewaktu duduk di bangku kelas 3 Sekolah Rakyat Islam, ia terpaksa berhenti sekolah demi hidup di pengungsian. Bersama keluarganya, ia berpindah-pindah tempat, masuk-keluar hutan, bergaul dengan pejuang dan melihat mayat korban perang.
Sang ayah bergabung dalam Laskar Hizbullah yang membuatnya menjadi target pencarian Belanda. Meski demikian, hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk membela Tanah Air. Oleh ayahnya, Mahrus diberi misi khusus untuk menjadi mata-mata bagi pasukan Indonesia.
Bersama teman-teman sepermainannya, Mahrus membaur di tengah masyarakat dan menyusup ke wilayah manapun tanpa diperiksa tantara Belanda. Saat berhasil masuk ke suatu wilayah, ia diminta untuk menghitung korban dari rakyat dan para pejuang. Karena sering berpindah-pindah, ia kerap dicari ayah-ibunya yang khawatir akan keselamatannya.
Posisi daerah tempat pengungsia Mahrus yang diapit dua bukit, membuat Belanda kesulitan untuk masuk ke wilayah tersebut. Namun Belanda tak kehabisan akal, dikirimnya bom-bom berdaya ledak tinggi dari Cileduk untuk menghancurkannya. Alhasil, berlindung dari hujanan bom dengan berpindah-pindah tempat dan bersembunyi di kolong jembatan adalah hal biasa.
Masih jelas dalam ingatan Mahrus, suatu ketika saat ia sedang bersembunyi bersama ibunya, di salahsatu rumah di Cikansas, tiba-tiba saja Kiai Haji Mansyur meminta Mahrus segera keluar dan mengungsi ke tempat lain. Benar saja, hanya berselang 5 menit, bom meledakkan rumah tersebut.
Setelah Belanda ditarik mundur, Mahrus dan keluarga kembali ke Kalibuntu. Perang membuat perekonomian terpuruk. Usaha persewaan delman orangtuanya sudah tak ada, karena delmannya direlakan untuk membawa keperluan mengangkut senjata dan logistik bagi para pejuang saat revolusi kemerdekaan.
Mahrus kembali bersekolah. Oleh kedua orangtuanya, ia dimasukkan ke Madrasah Ibtidaiyyah di Losari, Brebes. Untuk mencapai sekolahnya, setiap hari ia berjalan kaki sejauh 7 kilometer, melintasi perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Madrasah tempat Mahrus menimba ilmu menerapkan sistem klasikal dengan menggabungkan pelajaran umum dan pelajaran agama. Pengajarnya merupakan alumni dari perguruan tinggi di Mesir yang mendopsi sistem pendidikan di negara tersebut. Tahun 1953, Mahrus lulus dari madrasah. Ia diminta orangtuanya untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi untuk meneruskan tradisi keluarga, menjadi guru dan panutan bagi masyarakat.
Karena bercita-cita menjadi guru, tentu saja SGB (Sekolah Guru Bantu) dan SGA (Sekolah Guru Atas) menjadi tujuan Mahrus. Namun saat Orde Baru, sekolah-sekolah ini dihapus. Orangtuanya pun menyarankan Mahrus agar mendaftar ke Pondok Modern Gontor di Ponorogo. Bersama 7 temannya Mahrus berangkat ke Gontor untuk mengikuti jenjang KMI (Kuliyatul Mualimin Al-Islamiyah) selama 6 tahun. KMI menggabungkan tingkat tsanawiyah dan Aliyah dalam 1 paket. Namun dari 7 orang, hanya Mahrus yang berhasil menyelesaikan jenjang KMI.
Kehidupan Semasa Mondok
Masa-masa Mahrus menjadi santri diwarnai oleh besarnya pengaruh PKI di Ponorogo. Stereotipe santi sebagai kaum sarungan bersama sentimen politik yang berkembang saat itu, membuat para santri acap “berhadap-hadapan” langsung dengan massa pendukung PKI (Partai Komunis Indonesia) melalui anak organisasinya BTI (Barisan Tani Indonesia).
Baik PKI maupun BTI kerap menunjukkan ketidaksukaannya terhadap kaum santri. Di antaranya dengan upaya pembakaran pagar Ponpes Gontor tahun 1956 dan upaya pembunuhan terhadap Kiai Zuhri, Kiai Ahmad Sahal dan Kiai Zarkasyi yang dapat digagalkan setelah kehadiran pasukan Siliwangi.
Saat menjadi santri, Mahrus memperoleh tugas mengurus penerangan listrik dan alat-alat pengeras suara yang masih mengandalkan aki (accu) sebagai sumber energi. Untuk mengisi ulang daya aki, Mahrus harus bersepeda ke Kota Ponorogo seorang diri. Kondisi yang mencekam, membuat Mahrus merasa kuatir akan keselamatan dirinya setiap kali melakukan hal ini. Bersyukur ia berhasil melalui masa-masa tersebut dengan selamat.
Di samping tugas tersebut, Mahrus juga memberi kursus Aljabar kepada putra Kiai Ahmad Sahal yang bernama Hasan. Juga dipercaya oleh Kiai Zarkasyi untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas administrasi, salahsatunya mengisi formulir bantuan dari Departemen Sosial.
Riwayat Pendidikan
Ia menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat Islam Losari Brebes pada tahun 1954, kemudian melanjutkan pendidikannya ke KMI Pondok Modern Darussalam Gontor dan lulus pada tahun 1961. Kemudian melanjutkan pendidikan Sarjana Jurusan Ilmu Dakwah di Fakultas Ushuluddin, IAIN Jakarta dan lulus pada tahun 1972.
Pengalaman Organisasi
- Merintis dan memimpin Pondok Pesantren Darunnajah
- Merintis dan memimpin Pondok Pesantren Madinatunnajah
- Pendiri dan Ketua I Yayasan Qolbun Salim Jakarta
- Anggota Dewan Penasehat Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta
- Ketua I DPP Forum Islamic Center Indonesia
- Ketua I DPP GUPPI (Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam)
- Ketua MSKP3I (Majelis Silaturahmi Kyai Pengasuh Pondok Pesantren Indonesia)
- Ketua Majelis Syuro Bakomubin (Badan Koordinasi Muballigh Indonesia) Periode 2017-2022
Karya Tulis
- Ibadah Amaliyah
- Dakwah Melalui Pesantren
Penghargaan
Sejumlah Penghargaan yang diraih oleh Drs. K.H. Mahrus Amin:
- Lencana Tunas Kencana dari Menteri Agama RI, Muhammad Maftuh Basyuni, 14 Agustus 2007
- Lencana Melati dan Dharma Bakti dari Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai tokoh kepanduan Asia-Pasifik, 14 Agustus 2008
- Penghargaan Ikhlas Bakti dari Menteri Agama RI, Suryadharma Ali, asat jasa dalam penguatan kelembagaan peningkatan mutu tata kelola dan peningkatan kualitas SDM di Pondok Pesantren, 2 Januari 2011
- Penganugerahan Bintang Semangat Rimba Perak dari Persekutuan Pengakap Malaysia oleh Seri Paduka Baginda yang di-Pertuan Agong Al-Wathiqu Billah Tuanku Mizan Zainal Abidin di Istana Melawati Putrajaya Malaysia, diberikan kepada tokoh-tokoh yang telah berbakti kepada pergerakan pengakap (Pramuka), 15 Maret 2011
Referensi
Pranala luar
https://darunnajah.com/drs-kh-mahrus-amin/drs-kh-mahrus-amin/