Pengguna:Pradana26/Bak pasir

PENDAHULUAN


Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan berbagai macam komoditas untuk menunjang kehidupannya. Komoditas yang dibutuhkan oleh manusia tidak selalu tersedia di sekitar tempat tinggal dan aktivitasnya. Maka diperlukan mobilitas untuk menunjang hal tersebut. Transportasi adalah alat untuk menunjang mobilitas tersebut dengan mengangkut atau memindahkan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat yang lain.[1]

Untuk mendapatkan komoditas dari tempat yang jauh. Dibutuhkan usaha yang besar. Bangsa-bangsa Eropa sudah sejak berabad-abad memanfaatkan rute perdagangan darat yang melintasi Asia Tengah dan Barat, yaitu jalur sutra. Komoditas yang paling dicari dan laku saat itu adalah rempah-rempah. Kemudian jalur rempah juga diperpendek dengan adanya pedagang dari Timur Tengah yang mengangkut rempah dari Nusantara ke Jazirah Arab kemudian dilewatkan melalui Kesultanan Utsmaniyyah.

Ketergantungan Eropa terhadap jalur rempah itu terhenti ketika terjadi blokade ekonomi oleh Kesultanan Utsmaniyyah. Komoditas yang berasal dari Timur Tengah dan Timur Jauh tidak bisa masuk ke Eropa. Hal itulah yang melatar belakangi aktivitas pelayaran bangsa Eropa ke tempat yang mereka sebut sebagai Dunia Baru. Penjelajahan tersebut bertujuan untuk menemukan tempat baru untuk ekspansi dan sebagai tempat untuk berdagang berbagai komoditas utamanya rempah-rempah.

Dalam kajian yang dilakukan oleh Braudel (1988) tentang peradaban Eropa dan dunia, dijelaskan bahwa kesejahteraan masyarakat menjadi hal penting bagi perkembangan peradaban. Faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah tingkat pertumbuhan penduduk, perbedaan lingkungan geografis, dinamika ekonomi, perang, konflik dan kesehatan.[2] Penjelasan tersebut menyatakan bahwa pelayaran dan perdagangan rempah di Eropa sudah sangat bergantung dengan adanya Dunia Baru ini. Mereka mulai mempelajari ilmu pelayaran dan mempelajari adanya peta-peta yang menunjukkan tempat di mana rempah-rempah tersebut dapat ditemukan.

Pencarian rempah-rempah tercermin dalam usaha perlayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh Bangsa Barat. Dalam usaha pencarian tersebut, bangsa barat yang semakin terdesak oleh kebutuhan rempah-rempah akhirnya sampai di Nusantara. Bangsa Belanda yang menguasai perdagangan rempah-rempah melalui kongsi dagangnya, VOC, akan menguasai dan mengontrol segala jalur perdagangan dan hasil bumi yang ada di Nusantara. Dalam kurun waktu hampir sekitar dua abad, VOC mencengkram jalur pelayaran dan perdagangan, dan tidak mudah untuk menjaga hal tersebut dalam kurun waktu yang sangat lama.[3]

Sejak bubar dan bangkrutnya VOC pada akhir tahun 1799, penguasaan jalur perdagangan dan komoditas rempah-rempah kembali dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda. Warisan VOC terhadap pemerintah Hindia Belanda juga tidak hanya melulu mengenai masalah hutang-piutang. Warisan besar VOC dalam bidang perdagangan dan perlayaran adalah rute perdagangan yang dilengkapi dengan pelabuhan-pelabuhan yang telah dibangun sedemikian rupa.[4]

Jawa Timur sebagai salah satu wilayah di Nusantara misalnya menjadi salah satu wilayah tujuan yang menarik bagi bangsa Eropa. Selain sebagai transit, di sana juga terdapat pelabuhan yang ramai akan perdagangan rempahnya di masa silam. Surabaya sebagai ibu kota Jawa Timur merupakan kota dagang yang sudah eksis bahkan sejak ratusan tahun lamanya.

Surabaya sebagai kota Pelabuhan bahkan telah disebut dalam kitab Negarakertagama yang bertarikh abad XIV.[5] Penjelasan mengenai keberadaan Surabaya dalam kitab tersebut adalah perihal kunjungan Raja Hayam Wuruk, raja termashyur dalam perjalanan Kerajaan Majapahit. Surabaya saat itu merupakan ibukota dari Kadipaten Jenggala. Seiring berjalannya waktu, terjadi proses peralihan dari kerajaan Majapahit yang mengalami kemunduran menuju perkembangan periode Islam, Surabaya tetap berkembang menjadi kota pelabuhan dan perdagangan.

Masih berkembangnya Surabaya sebagai kota pelabuhan dan perdagangan yang kaya dan memiliki hubungan yang stabil dengan kota-kota sejenis lainnya membuat kerajaan Mataram yang sudah bercokol di Jawa memiliki keinginan untuk menguasai Surabaya. Hubungan dengan kota-kota sejenis di atas adalah Surabaya menciptakan ikatan politik dengan daerah-daerah seberang, seperti Sukadana, Landak, Banjarmasin, Maluku, dan sejenisnya.[6]

Surabaya pada akhirnya jatuh ke tangan Mataran pada Oktober 1625. Namun dikuasainya Surabaya oleh Mataram hanya sampai pada pertengahan abad XVIII. VOC dengan permainan diplomatik dan politiknya, kemudian berhasil menguasai Surabaya dan merebutnya dari tangan Mataram. Keberhasilan VOC menduduki Surabaya tersebut karena VOC membantu Mataram dalam menumpas pemberontakan oleh kaum Tionghoa dan berhasil disepakatinya perjanjian dengan Mataram pada tahun 1743 yang berisi bahwa VOC mendapatkan wilayah Rembang, Jepara, Madura, serta Jawa Timur termasuk Surabaya.[7]

Jatuhnya Surabaya ke tangan VOC dan perkembangannya sebagai kota pelabuhan dan perdagangan berkembang secara pesat daripada sebelumnya. Surabaya dijadikan sebagai pusat atau kedudukan VOC di Jawa bagian Timur atau Gezaghebber in den Oosthoek.[8] Dengan ditetapkannya Surabaya sebagai ibukota Jawa Timur waktu itu, jaringan perdagangan dan pelayaran yang sudah eksis dan terkenal sejak masa Majapahit kini semakin berkembang. Tidak hanya perdagangan dan pelayaran antar pulau di Nusantara saja tetapi juga perdagangan antar wilayah di Asia yang berhasil dikembangkan secara aktif. Bukti dari pernyataan tersebut tercermin dalam dokumen-dokumen kepunyaan VOC yang menyebutkan bahwa jaringan perdagangan dan pelayaran Surabaya telah meliputi pelabuhan-pelabuhan di Jawa, Bali, Bima, Banjarmasin, Pasir, Menpawah, Sambas, Palembang, Makasar, Riau, Malaka, Mandar, Johor, dan Trengganu.[9]

Sejak bangkrut dan bubarnya VOC pada akhir abad XVII, penguasaan daerah-daerah di Nusantara, termasuk Surabaya dipegang kembali oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Surabaya menjadi salah satu daerah dari sekian banyak daerah di pulau Jawa yang terkena dampak megaproyek Gubernur Jenderal H. W Daendels, yaitu pembangunan Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang menghubungkan daerah-daerah di Utara Jawa dari Anyer sampai Panarukan. Dengan dibangunnya jalan tersebut, Surabaya menjadi terhubung secara masif dengan daerah-daerah lainnya di sekitaran Pantai Utara Jawa.

Pelabuhan Kalimas merupakan cikal-bakal dari berdirinya Pelabuhan Tanjung Perak di masa yang akan datang. Wilayah Pelabuhan Tanjung Perak, yang nantinya akan menjadi pelabuhan utama menggantikan Pelabuhan Kalimas, pada masa sekitar abad XVIII—XIX masih berupa kolam-kolam serta tambak-tambak.[10] Pelabuhan Kalimas menjadi salah satu jejak Jalur Rempah di Jawa Timur yang masih bisa kita saksikan hingga hari ini. Keberadaan Surabaya sebagai pusat dagang juga membawa dampak bagi kota yang berada di sekitarnya.

Pelabuhan Kalimas terletak di bantaran Sungai Kalimas, tepatnya dari muara sampai sekitar Willemstraat atau sekarang dikenal sebagai kawasan Jembatan Merah. Sebenarnya di kota Surabaya sendiri terdapat dua sungai besar yang mengelilingi, yaitu Sungai Wonokromo dan Sungai Kalimas. Kedua sungai yang bercabang ini kemudian memiliki bangunan pengatur aliran sungai atau bendungan bernama Jagir. Sungai Kalimas sendiri mengalir menuju arah timur laut, mengalir di sekitar kota Surabaya dan bermuara di Selat Madura.[11]

Surabaya memiliki peran penting dalam periode perdagangan rempah masa silam, terutama dengan adanya pelabuhan-pelabuhan yang menjadi tempat singgah kapal-kapal dalam perjalanan dari barat menuju ke timur maupun dari timur ke pusat pemerintahan di Batavia. Posisi geografis Jawa Timur mendorong Surabaya menjadi kota dagang yang ramai. Berkembangnya Surabaya sebagai salah satu kota maritim di wilayah timur Hindia Belanda diakibatkan oleh ramainya pelabuhan tersebut dan membuat Surabaya berkembang menjadi kota pelabuhan dan perdagangan yang maju pada abad XVIII—XIX.

Melalui rute-rute dagang tersebut, masyarakat Jawa Timur mulai mengenal beragam jenis rempah yang sebelumnya tidak dihasilkan sendiri. Jalinan dagang yang telah terjadi selama ratusan tahun lambat laun memunculkan interaksi budaya. Dalam hal ini, pengetahuan pemanfaatan rempah-rempah yang pada awalnya tidak dihasilkan di Jawa Timur, seperti cengkeh, pala, kayu manis, dan lada dengan pengetahuan masayarakat Jawa Timur dalam beragam tradisi secara turun-temurun.


METODE


Metode penelitian yang digunakan dalam makalah ini adalah metode penelitian sejarah. Metode tersebut terbagi atas beberapa tahap, yaitu pemilihan topik, heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi.[12] Pemilihan topik menjadi langkah awal yang penting karena menjadi inti pokok pembahasan makalah ini. Topik yang dipilih berdasarkan kedekatan intelektual.

Heuristik adalah proses pencarian dan pemilahan sumber-sumber sejarah yang nantinya dijadikan referensi dalam penulisan makalah. Pada rentang periode 1800—1830, sumber primer yang digunakan adalah koran dan arsip pemerintahan Hindia Belanda pasca VOC. Koran Java Gouvernment Gazette menjadi titik berat dalam sumber sejarah yang digunakan dalam tulisan ini. Berdasarkan klasifikasi dari Gotschalk, Java Gouvernment Gazette termasuk ke dalam jenis sumber primer, yaitu laporan-laporan umum.[13]

Verifikasi adalah tahapan untuk mengecek keaslian sumber sejarah yang telah ditemukan melalui proses heuristik. Verifikasi dibagi menjadi otentisitas atau kritik eksternal dan kredibilitas atau kritik internal.[14] Koran Java Gouvernment Gazette secara otentisitas dapat dikatakan asli karena tersimpan secara daring dalam basis data koran Delpher milik Belanda. Rekam jejak Delpher sebagai penyedia sumber heuristik secara daring sangat bisa dikatakan sebagai penyedia yang kredibel. Secara kredibilitas, koran tersebut memiliki tingkat kredibilitas tinggi karena diterbitkan oleh Pemerintahan Kolonial Inggris di Hindia Belanda.

Pada tahap interpretasi ini, fakta-fakta sejarah yang telah didapatkan disusun secara kronologis. Namun hal tersebut masih berupa kronik. Sehingga harus dirangkai fakta-fakta sejarah yang berceceran, berserakan, tidak teratur, dan lepas tersebut menjadi sebuah kesatuan yang harmonis dan logis. Dalam tahap ini turut pula periodisasi sejarah.[15]

Tahap terakhir adalah historiografi. Secara singkat historiografi adalah penulisan sejarah. Namun dalam tahap yang terakhir ini, sejarah ditulis bukan hanya sebagai rangkaian fakta-fakta saja, tetapi juga harus memiliki unsur narasi. Penulisan sejarah yang bersifat akademik harus juga berlandaskan pada teori dan metodologi sejarah, sehingga tulisan tersebut dapat diperdebatkan secara akademik. Juga perlu ditekankan bahwa penulisan sejarah seringkali memuat perspektif dan subjektivitas dari penulisnya seberapun kecilnya itu.[16]


PERDAGANGAN DAN AKTIVITAS PELABUHAN SURABAYA


Dari sebuah tempat yang tidak berarti di tepi sungai kecil, kelak menjadi Kalimas, Surabaya, yang terletak di pesisir pantai Utara Pulau Jawa, Kalimas menjadi pelabuhan penting di jaman Majapahit. Kemudian pada abad XIX karena letak geografisnya yang sangat strategis, Kalimas ditetapkan menjadi pelabuhan utama (sebagai collegting centers) dari rangkaian terakhir pengumpulan hasil bumi di ujung Timur Pulau Jawa, yang ada di daerah pedalaman untuk selanjutnya diekspor ke berbagai daerah di Nusantara khususnya ke Eropa.[17]

Dalam artian, kota-kota pesisir khususnya pantai Utara Pulau Jawa, saat itu menjadi pusat pengumpulan produk-produk atau hasil bumi dari daerah-daerah pedalaman yang nantinya akan dikirim ke berbagai daerah di Jawa maupun luar wilayah Jawa. Kota-kota pesisir dekat pantai menjadi tumpuan perdagangan Hindia Belanda zaman dulu terbukti dengan adanya enam kerajaan di Hindia Belanda pada abad V dan VI yang terletak di selatan Selat Malaka dan di pantai Sumatera Tenggara serta di Jawa bagian utara.[18]

Kalimas merupakan sungai yang memecah kota Surabaya, keberadaannya sangat penting sebagai jalur transportasi air pada waktu itu. Sungai Brantas yang bermuara di Mojokerto dan berhulu di Selat Madura, menjadikannya sebagai jalur transportasi bagi daerah-daerah pedalaman yang hendak mengumpulkan komoditas seperti kopi dan rempah-rempah yang akan dikirim ke berbagai daerah-daerah Jawa maupun luar Jawa, karena pada waktu itu jalur sungai merupakan jalur yang dirasa cepat sehingga banyak dari masyarakat pedalaman memanfaatkan jalur sungai ketimbang jalur darat yang belum tertata dan lebih membuang waktu dikarenakan rute yang terlalu berliku-liku.

Sungai Kalimas yang dikenal sekarang, tidaklah sepenting dan seekonomis dulu ketika masyarakat pada masa itu bertumpu dan bergantung kehidupannya pada sungai sebagai sarana transportasi dan kebutuhan domestik sehari-hari. Pada waktu itu air minum untuk kebutuhan sehari-hari juga diambil dari sungai Kalimas yang tentunya sudah diolah menjadi air minum yang bersih.[19]

Sungai Kalimas yang sekarang sangat berbeda dengan Sungai Kalimas pada masa silam. Memang bila dibandingkan dengan pemanfaatan Sungai Kalimas tempo dulu, pemanfaatan sungai di era modern saat ini tidaklah semaksimal dulu. Sebagai sarana transportasi air, Sungai Kalimas benar-benar menjadi jalur utama yang menghubungkan perairan lepas dengan pedalaman pulau. Melalui sungai inilah transaksi perdagangan dan pertumbuhan ekonomi terdongkrak dan mengalami kemajuan dalam titik puncak perekonomian Surabaya.

Pada masa Hindia Belanda, Surabaya dijadikan sebagai daerah penopang kebutuhan ekonomi perdaganganya. Pada masa itu Belanda membangun kanal atau terusan yang langsung menghubungkan perairan laut dan pusat kota. Kalimas sungguh menjadi prasarana trasportasi air yang ramai digunakan. Hilir mudik sampan dan perahu kecil mengangkut barang komoditas berupa rempah-rempah dan ikan-ikan hasil tangkapan nelayan. Mereka membawa masuk komoditas tersebut ke daerah dalam kota, yang dikenal sebagai Kembang Jepun (pecinan) hingga ke daerah Kayon.[20]

Surabaya memiliki keuntungan alami dengan letaknya yang berada di tepi laut dan muara sungai yang besar dan dalam. Posisi ini memberi keuntungan dalam mempermudah akses lalu lintas menuju laut (pelabuhan). Pangkalan laut atau pelabuhan Surabaya memiliki letak yang sangat baik karena berada di dekat Pulau Madura yang secara sederhana membuat pelabuhan Surabaya terlindungi dari laut lepas, karena masih terhalangi oleh Pulau Madura, sehingga aman dari topan.[21] Kalimas sebagai salah satu cabang dari Sungai Brantas memberikan sumbangsih penting bagi lalu lintas menuju jantung kota.

Peranan Kalimas sebagai jalur perdagangan di Surabaya sangat tampak sekali pada jaman kolonial, pemanfaatan Sungai Kalimas yang dilakukan oleh Belanda sangat maksimal sehingga dapat mendongkrak nilai ekonomi pemerintah Surabaya. Ketika Surabaya menjadi daerah dagang yang sangat ramai, banyak sekali para pedagang-pedagang yang ingin melakukan transaksi di Surabaya, alhasil banyak kapal-kapal baik dari dalam maupun luar negeri datang ke Surabaya.

Jenis-jenis kapal yang singgah dan berdagang di Pelabuhan Kalimas sendiri bermacam-macam. Terdiri atas kapal-kapal kecil seperti kapal kayu, tongkang-tongkang, kapal layar, kapal sekuner, dan perahu-perahu lainnya. Kapal-kapal kecil tersebut yang membawa berbagai macam komoditas berupa rempah-rempah atau hasil bumi menyusuri sungai tersebut dan berlabuh di pelabuhan Kalimas atau juga singgah di Jembatan Merah. Perahu-perahu kecil tersebut datang dan berasal dari wilayah pedalaman-pedalaman di Pulau Jawa dan mengarah ke kota Surabaya untuk menjual berbagai barang bawaan yang mereka bawa. Komoditas-komoditas tersebut mereka jual kepada para pedagang-pedagang yang berjualan di pasar-pasar tradisional di sepanjang aliran Kalimas. Pasar-pasar tersebut antara lain adalah pasar Cantikan, Pabean Babakan, Pasar Besar, Genteng, Tunjungan, Keputran, Wonokromo, Kedurus, dan Karangpilang.[22]

Ukuran Kalimas yang tidak cukup lebar dan dalam membuat kapal-kapal besar tidak bisa masuk lebih dalam ke mulut sungai, sehingga kapal-kapal besar tersebut hanya bisa berlabuh di Selat Madura saja. Kapal kecil seperti sekunar dan tongkang digunakan untuk bongkar muat kargo dari kapal besar tersebut.[23]

Setelah bongkar muat dilakukan oleh kapal yang lebih kecil, maka akan diantar menelusuri Kalimas hingga mencapai Jembatan Merah. Lokasi tersebut adalah letak pelabuhan tua dan jantung Kota Surabaya. Semua kegiatan masyarakat, perdagangan, dan pemerintahan terpusat di sekitar Jembatan Merah.

Lokasi inilah yang pada waktu itu merupakan pelabuhan tua kota Surabaya serta lokasi tersebut kala itu merupakan jantung Kota Surabaya, di mana pusat kegiatan masyarakat baik itu pemerintahan maupun yang lain, terlebih kegiatan perdagangan berada di lokasi sekitar Jembatan Merah.

Hindia Belanda juga banyak membangun jembatan untuk mempermudah proses penurunan barang ketika kapal-kapal kecil yang melintasi Kalimas berhenti di tempat yang dituju. Barang-barang yang diturunkan bisa langsung dimuat ke gudang-gudang yang berada di pinggiran sungai. Beberapa rumah bertingkat menghadap ke arah Kalimas dan pelataran yang luas di tepi sungai. Sementara itu juga dibangun menara pengawas yang juga menghadap ke arah sungai, sehingga segala aktivitas bongkar muat barang dapat dipantau dengan jelas. Peran sentral dari sungai ini mengharuskan pemerintahan Belanda untuk membangun beberapa sarana dan prasarana untuk menunjung serta mempermudah kegiatan di Kalimas.


PELABUHAN SURABAYA MASA HINDIA BELANDA DAN REPUBLIK BATAAFSCH


Sejak Desember 1794 hingga Januari 1795 Belanda telah berhasil diduduki oleh Prancis dan memulai sebuah rezim baru yang didominasi oleh kekuasaan Prancis. Di tahun berikutnya dewan yang memiliki otoritas tertinggi VOC di Nusantara, yaitu Heeren XVII atau Heeren Zeventien telah dibubarkan dan digantikan oleh komite yang baru. Pada 1 Januari 1800 secara resmi VOC dibubarkan dan segala hal yang menyangkut kekuasaan di Nusantara dialihkan kepada Hindia Belanda.[24] Hindia Belanda merupakan negara koloni yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda. Dengan adanya Hindia Belanda, Kerajaan Belanda mempunyai kekuasaan langsung terhadap Nusantara melalui perantara Hindia Belanda. Tidak seperti sebelumnya yang bersifat tidak langsung karena Nusantara dikuasai oleh VOC yang merupakan perusahaan dagang multinasional.

Untuk mengurusi masalah koloni-koloni Belanda dibentuk Bataafsche-Indië Republik. Kemudian Herman Willem Daendels menjadi gubernur jenderal untuk Hindia Belanda menggantikan Albertus H. Wiese pada 14 Januari 1808.[25] Daendels adalah seorang perwira tinggi militer. Sehingga ketika diamanahi tugas untuk memimpin Hindia Belanda. Opsi untuk meningkatkan kekuatan ofensif dan defensif militer di Hindia Belanda terutama Jawa jadi salah satu yang diprioritaskan.

Instruksi pertamanya adalah untuk membenahi masalah pertahanan, namun sebelumnya dia telah diarahkan untuk berfokus pada hal tersebut. Dia juga diharuskan untuk melakukan penyelidikan terhadap reformasi yang telah direkomendasikan pada 1803. Daendels tidak dapat melakukan perubahan tanpa izin dari tanah utama, meskipun telah mendapatkan kekuasaan untuk melakukan hal tersebut jika diperlukan, yaitu untuk tidak menghiraukan dewan.[26]

Di sisi lain, Daendels juga mengintervensi Vorstenlanden untuk memperkuat pertahanan Hindia Belanda di lini bawah atau lokal. Pada 1803 telah dibentuk Barisan Legiun Mangkunegara yang sebenarnya adalah kelanjutan dari Prajurit Mangkunegaran yang dibubarkan pada masa wafatnya Mangkunegara I. Secara tidak langsung pasukan lokal Jawa dengan beberapa sentuhan militerisme Eropa, ditempatkan sebagai pasukan tambahan untuk kepentingan militer Hindia Belanda dan untuk mengatasi pemberontakan di tingkat lokal ataupun nasional. Legiun Mangkunegara mendapatkan bantuan dana dari Hindia Belanda. Pada tahun 1808 jumlah pasukan dari Legiun Mangkunegara sejumlah 3 golongan barisan dengan kekuatan sekitar 1.150 orang.[27] Mangkunegara II yang menerima perintah tersebut langsung dari Daendels diberi pangkat Kolonel dan Legiun mendapatkan bantuan dana sebesar 10.000 rijkdaalders setiap tahunnya.[28]

Karena prioritas Daendels terhadap masalah militer. Banyak sekali tulisan dan penelitian yang membahas hal tersebut. Namun hal itu berakibat kepada sedikitnya tulisan dan penelitian yang membahas perkembangan ekonomi di masa Daendels. Terutama pada tingkat lokal seperti pelabuhan atau kota.


PELABUHAN SURABAYA DALAM GENGGAMAN INGGRIS


Kekuasaan Inggris mencengkeram Nusantara sebagai bentuk bantuan Inggris terhadap Belanda yang dikuasai oleh Prancis. Prancis juga mengincar koloni Belanda, salah satunya adalah Hindia Belanda. Untuk itulah, Inggris mulai menduduki koloni Belanda. Mulai dari Tanjung Harapan pada 1806, Maluku pada 1810, dan terakhir yang paling diincar adalah Jawa pada 1811.[29]

Pada masa pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Letnan di wilayah Hindia Belanda. Terdapat pajak-pajak yang diterapkan pada beberapa komoditas spesifik. Seperti rincian pajak impor (1) pajak 8% untuk komoditas dan barang dagangan yang diimpor lewat laut, tidak ditentukan dalam klausa selanjutnya mengandung pengecualian, (2) pajak 15% untuk kain dan barang dagangan yang diimpor dari Tiongkok, Kamboja, Thailand, dan Pelabuhan Bumiputra Bagian Timur (Native Eastern Port), (3) pajak 5% untuk kain dari pabrik di Jawa, (4) pajak 1,5 Rix Dollar[30] perak per koyang[31] garam, (5) pajak 2 Rix Dollar perak per pikul[32] pada Tembakau Tiongkok dari Batavia dan 10% tambahan dari tempat lain, (6) pajak 2,5 Dollar Rix perak per leaguer[33] Arak, (7) penarikan kembali sebesar 3% pada semua barang yang sebelumnya telah membayar bea masuk di Batavia, setelah sertifikat telah dibuat dari pemungut efek, (8) pajak 16% dari semua komoditas Eropa dan Tiongkok pada semua kapal, yang diimpor pada semua kapal Asia dan asing lainnya, dengan pengecualian kapal milik Pelabuhan Bumiputra Bagian Timur di Sungai Arakan (Native Ports Eastward of the Araccan River), (9) tambahan pajak 3% pada semua barang dagangan Tiongkok yang tidak dibawa langsung dari Tiongkok, dan (10) indulgensi diberikan kepada jung Tiongkok, berupa pembayaran sejumlah tetap di Batavia sebagai pengganti pajak, tidak mencakup Pelabuhan Timur (Eastern Port)—tetapi merka harus membayar pajak 5% ad valorem[34].[35]

Adapun rincian pajak ekspor antara lain (1) 5 Rix Dollar perak per koyang pada ekspor beras, (2) permen gula, 60 stivers[36] perak per pikul—gula, yang telah ditumbuk atau dihaluskan, sebesar 30 stivers perak per pikul, dan garam 1,5 Rix Dollar perak per koyang, (3) sarang burung[37] sebesar 16% dan seperti banyak yang diimpor di Batavia, penarikan kembali diperbolehkan sebesar 6%, (4) benang kapas sebesar 15%, tetapi pada impor ke Batavia, penarikan kembali sebesar 5% diperbolehkan, (5) arak sebesar 5 Rix Dollar perak per leaguer, dan (6) semua komoditas dan barang dagangan yang tidak dimaksud di atas dan tidak membayar pajak impor, dikenakan pajak ekspor sebesar 4%.[38]

Menurut Raffles sumber pendapatan utama untuk negara adalah pendapatan yang ditarik dari tanah atau lebih tepatnya sewa tanah. Sewa tersebut bernilai dalam bentuk tunai sejumlah 40% dari hasil kotor tanah. Menurut perkiraan Raffles, jumlah tersebut setara dengan semua pajak internal, kontribusi, pengiriman dengan tarif yang tidak sesuai, dan layanan paksa, baik kepada otoritas Eropa atau pribumi. Baik yang dulunya adalah penggarap maupun bukan. Bagi yang bukan penggarap maka dikenakan pajak kapitasi.[39]

Hal tersebut menunjukkan bahwa pada masa Raffles lebih bertumpu kepada pajak untuk memungut hak-hak pemerintahannya itu. Raffles yang seorang penentang perdagangan budak juga membuat peraturan untuk melarang perdagangan budak di wilayah yang ia kuasai. Tak terkecuali di Hindia Belanda pada 18 November 1812.[40]


Tabel 5.1 Rincian Harga Komoditas dan Barang Dagangan Surabaya pada Periode Tahun 1813—1814

Komoditas[41] 1813 1814
Feb Mei Des Feb Jul
Cengkeh 120 per pikul 120 per pikul 215 per pikul 215 per pikul 250 per pikul
Bunga Pala 4-8 lb. 4-5 per lb. 4-5 per lb. 4-5 per lb. 10 per lb.
Pala 1,5-1,75 per lb. 1,5-1,75 per lb. 1,5-2 per lb. 1,5-2 per lb. 4 per lb.
Lada Hitam 4-5 per pikul 4-5 per pikul 4 per pikul 4 per pikul 6 per pikul
Lada Putih 5-6 per pikul 5-6 per pikul 5-6 per pikul 5-6 per pikul 10 per pikul
Kayu Manis 2-2,5 per lb. 2-2,5 per lb. 2-2,5 per lb. 2-2,5 per lb. 4-5 per lb.
Gula 8 per pikul 8 per pikul 7 per pikul 6 per pikul 14 per pikul
Permen Gula (gula kasar) 9-11 per pikul 9-11 per pikul 10 per pikul 10 ­per pikul 20 per pikul
Kopi (Jawa) 3-4 per pikul 3-4 per pikul 3-4 per pikul 3-4 per pikul 6 per pikul
Opium (Benares) 800 per peti - 1.000 per peti 1.000 per peti 1.500 per peti
Opium (Patna) 850 per peti - 1.050 per peti 1.050 per peti 1.600 per peti
Tembakau (Jawa) - - 85 per pikul 85 per pikul 16 per pikul
Beras (Jawa) 32 per koyang - 20-25 per koyang 25-30 per koyang 50 per koyang
Beras (Bengal) - 3-4 per karung 3 per karung 3 per karung 6 per karung
Kayu Cendana (Merah) 8-12 per pikul 6-10 & 15-20 per pikul 15-20 per pikul 15-20 per pikul 12 per pikul
Arak 60-100 per leaguer 100 per leaguer 100 per leaguer 60-100 per leaguer 120-160 & 200 per leaguer
Garam 7 per koyang - 7 per koyang 7 per koyang 14 per koyang

Sumber: Java Gouvernment Gazette. 1813—1813.


Sistem pajak yang digunakan Raffles ini dirancang sedemikian rupa untuk menguntungkan perdagangan dan pelayaran dari kapal-kapal milik Inggris. Kapal dengan bendera Inggris dikenakan pajak sebesar 30% sedangkan dari kapal Belanda dan negara lain dikenakan sebesar 60%.[42] Jumlah tersebut 2 kali lipat dari pajak yang dikenakan untuk kapal Inggris. Hal ini pun mendorong banyak kapal-kapal Inggris untuk singgah ke Hindia Belanda, terutama di kota-kota pelabuhan besar, salah satunya Surabaya.


Tabel 5.2 Rincian Jumlah Kedatangan dan Keberangkatan Kapal di Kalimas pada Periode Tahun 1811—1816

Tahun Kedatangan Keberangkatan
1812 25 20
1813 23 6
1814 28 27
1815 10 5
1816 6 10

Sumber: Java Gouvernment Gazette. 1811—1816.[43]

Namun kekuasaan Inggris berlangsung relatif singkat di Hindia Belanda. Karena pergolakan politik yang panas di Eropa telah memadam. Raja Willem I dari Belanda berusaha untuk mendapatkan wilayah koloninya kembali dari Inggris yang telah mendudukinya. Inggris memberikan syarat perundingan kepada Belanda bahwa Belanda harus memberlakukan sistem perdagangan bebas. Perundingan tersebut menemui keberhasilan dan tertuang dalam Konvensi London pada 14 Agustus 1814.[44]


BERKUASANYA KEMBALI BELANDA


Hindia Belanda dalam urusan pajak kemudian meniru apa yang dilalukan Raffles. Kapal Belanda dikenakan pajak sebesar 6% sedangkan kapal Inggris dan negara lainnya dikenakan 12% pada tahun 1818. Pada tahun berikutnya, kebijakan ini direvisi dengan membebaskan pajak untuk produk impor Belanda dari kapal Belanda. Namun kelebihan ini tidak membuat Hindia Belanda mampu mengamankan sepertiga dari pengiriman. Dalam hal komoditas kebun, kopi bernilai 7,5 ƒ per pikul pada tahun 1816 meningkat menjadi 20 ƒ per pikul pada 1818. Sedangkan produksinya meningkat dari 50.000 pikul pada tahun 1816 menjadi hampir 300.000 pikul pada tahun 1823.[45]


Tabel 6.1 Rincian Jumlah Pendapatan dan Pengeluaran Tahun 1813—1823

Tahun Pendapatan (dalam jutaan) Pengeluaran (dalam jutaan)
Tanah Sumber lain Total
1814—1815 2,47 5,05 7,52 9,09
1818 3,25 20,20 23,45 19,80
1820 4,01 19,75 23,76 25,07
1823 5,41 16,47 21,88 22,65

Sumber: John Sydenham Furnivall. Netherlands India: A Study of Plural Economy. 2010.[46]


Dalam rentang tahun 2 tahun sejak tahun 1818 terjadi kenaikkan yang progresif. Namun 3 tahun setelah tahun 1820 tidak terjadi kenaikan yang baik pada pendapatan. Pendapatan turun sebesar ƒ 1,88 juta, namun penurunan pendapatan tersebut juga diiringi dengan penurunan pengeluaran sebesar ƒ 2,42 juta.

Pada akhir tahun 1820 ekspor gula dan kopi telah tumbuh lebih dari 25.000 ton. Tingkat pertumbuhan rata-rata tahunan mencapai 3% untuk gula dan kopi pada 30 tahun awal abad XIX. Tetapi hasil ini bukan tandingan hasil produksi pada tahun-tahun setelah cultuurstelsel diterapkan oleh pemerintah.[47]


Tabel 6.2 Rincian Jumlah Ekspor Barang Dagangan Tahun 1825—1830

Tahun Rincian (dalam ribuan) Total Nilai Ekspor (dalam ribuan) Total Nilai Ekspor ke Belanda (dalam ribuan)
Kopi Gula Indigo
Pikul Nilai Pikul Nilai Pounds Nilai
1825 277 8.606 16 237 5 36 16.026 8.494
1826 340 6.791 19 312 9 44 12.791 6.506
1827 399 7.321 32 503 8 36 14.868 8.362
1828 416 8.024 25 456 23 94 16.299 9.118
1829 281 4.935 73 1.231 46 150 13.818 6.843
1830 288 4.577 108 1.558 - 48 12.753 6.586

Sumber: John Sydenham Furnivall. Netherlands India: A Study of Plural Economy. 2010.[48]


Dari tabel tersebut dapat terlihat bahwa pada periode 1825—1830, puncak jumlah dan nilai ekspor barang dagangan terjadi di tahun 1828. Peter Boomgaard berpendapat bahwa terdapat 6 fase antara rentang tahun 1800 hingga 1990, yaitu (1) 1800—1835: stagnan, (2) 1835—1875: berkembang, (3) 1875—1895: stagnan, (4) 1895—1925: berkembang, (5) 1925—1965: stagnan/merosot, dan (6) 1965—1990: berkembang.[49] Apabila dilihat kembali melalui data-data statistik, data tersebut memang membenarkan apa yang dikatakan oleh Boomgaard. Pertumbuhan sangat pesat terjadi karena cultuurstelsel yang diterapkan oleh pemerintah di Hindia Belanda.


PEMBANGUNAN TANJUNG PERAK DAN PEMINDAHAN KALIMAS


Dengan semakin ramainya Surabaya sebagai bandar dagang dan pelabuhan transit bagi pedagang-pedangan yang datang dengan menampung kapal-kapal yang tentunya lebih banyak dan besar, sarana pelabuhan yang telah ada dianggap kurang memadai lagi sehingga mengganggu kunjungan kapal-kapal pribumi dan Eropa. Hal ini berkaitan dengan kapal-kapal yang berlabuh di pangkalan laut, sedangkan bongkar muat barang dilakukan dengan menggunakan perahu-perahu kecil. Dengan kondisi seperti ini mulai ada pemikiran untuk perluasan dan pembangunan pelabuhan Surabaya yang memadai, karena fungsi pelabuhan Surabaya sebagai salah satu pelabuhan terbesar di Jawa yang seharusnya mampu memenuhi kebutuhan penggunanya.

Kalimas menjadi pelabuhan utama dan satu-satunya di Surabaya setidaknya hingga Tanjung Perak didirikan.[50] Kelemahan utama dari Kalimas adalah pusat bongkar muat kapal-kapal harus dilakukan oleh kapal kecil, perahu atau tongkang. Hal ini karena ukuran Kali Mas yang tidak terlalu lebar dan dalam. Sehingga sangat menyulitkan kapal berukuran besar untuk melakukan aktivitas bongkar muat langsung tanpa bantuan dari kapal berukuran lebih kecil.[51] Pembangunan Tanjung Perak dimaksudkan agar kapal-kapal besar bisa langsung bersandar pada dermaga. Sehingga aktivitas bongkar muat jadi lebih efisien.

Perahu-perahu besar yang berasal dari berbagai daerah dan wilayah pada saat itu hanya bisa berlabuh di Kalimas Ujung (Selat Madura), kemudian masuk kota dan berlabuh di beberapa tempat seperti di Peneleh, Gemblongan dan Gentengkali serta melewati Jembatan Pѐtѐkan.[52] Kalimas menjadi simbol sumber kehidupan, di pedalaman sungai mengairi lahan, menyuburkan sawah, menggenangi kolam ikan, menghasilkan panen, memakmurkan desa. Di samping itu airnya juga disedot oleh perusahaan air dan pabrik-pabrik lainnya, perahu-perahu pengangkut pasir juga menghilir dari Mojokerto ke Wonokromo dan menurunkan isi angkutan di ”galangan” penjual bahan bangunan sepanjang Gunungsari.[53] Peranannya tidak hanya dalam bidang perdagangan tapi lebih mendalam lagi menjadi peran sentral bagi kehidupan masyarakat Surabaya.

Pada abad XIX Surabaya berkembang menjadi pelabuhan pengekspor perkebunan di Jawa Timur. Gudang-gudang yang didirikan sepanjang sungai Kalimas berderet sampai ke daerah sekitar Jembatan Merah yang membuktikan pentingnya unsur sungai ini untuk pertumbuhan sektor perkebunan di zaman kolonial Belanda.[54]

Pelabuhan Tanjung Perak direncanakan pada tahun 1875, namun baru bisa direalisasikan pembangunannya pada 1907. Didatangkan arsitek dari Belanda dan pembangunan tersebut baru selesai pada 1921. Letak pelabuhan baru tersebut berada di sebelah barat muara Kalimas. Juga dibangun pangkalan militer untuk kepentingan angkatan laut dan marinir (marine establishment).[55] Dengan dibangunnya Tanjung Perak, kapal dengan ukuran besar tidak perlu dibantu oleh tongkang dan perahu kecil untuk melakukan aktivitas bongkar muat. Pusat pelabuhan Kalimas yang berada di jantung kota, tepatnya di sekitar Jembatan Merah. Lambat laun berpindah menuju muara dan berada satu kompleks dengan Tanjung Perak.

Kemajuan kota Surabaya sebagai kota maritim terbesar dan memiliki sesuatu yang istimewa di dalamnya karena perkembangan kegiatan perdagangan dan pelayaran di pelabuhan Kalimas bukan hanya menjadikannya menjadi salah satu kota maritim di Hindia Belanda, namun sudah mencapai level regional atau salah satu yang terbesar di benua Asia. Howard Dick menulis bahwa perkembangan signifikan kota Surabaya tidak dapat ditandingi oleh kota-kota pelabuhan lainnya, seperti Kalkuta, Yangon, Singapura, Bangkok, dan Shanghai.[56]


KESIMPULAN


Pelabuhan Surabaya sejak masa Age of Commerce atau Era Perdagangan dalam istilah dari Anthony Reid, berpusat di sekitaran Sungai Kalimas. Kalimas sejak masa itu hingga masa modern di era 1900an, masih menjadi tempat yang penting bagi masyarakat sekitar, baik untuk perdagangan ataupun aktivitas harian yang berkenaan dengan penggunaan air.

Jason Sydenham Furnivall menggunakan istilah Years of Confusion atau Tahun Kebingungan untuk periode 1795—1815 dan Years of Uncertainty atau Tahun Ketidakpastian untuk periode 1815—1830. Istilah Tahun Kebingungan tersebut tersemat pada periode 1795—1815 karena Hindia Belanda berada di bawah kekuasaan Belanda, Prancis, dan Inggris pada era tersebut. Ketika Belanda berhasil dikuasai Prancis, Hindia Belanda yang jadi koloni Belanda belum mendapatkan pengaruh dari Prancis.

Hindia Belanda secara de facto dan de jure masih berada di bawah kekuasaan sebuah perusahaan multinasional Belanda, yaitu VOC. Pengaruh Prancis baru masuk ke Hindia Belanda secara de facto antara tahun 1803—1806 dan secara de jure pada tahun 1808. Kemudian kekuasaan Hindia Belanda beralih ke tangan Inggris pada 1811. Kemudian 5 tahun berikutnya beralih kembali ke Belanda yang telah lepas dari kekuasaan Prancis. Pergantian penguasaan atas Hindia Belanda tersebut berpengaruh terhadap kebijakan politik terutama yang mengatur tentang ekonomi di Hindia Belanda.

Kebijakan Daendels yang memimpin Hindia Belanda pada masa Republik Bataafsch cenderung militeristik, banyak sekali prioritas-prioritas dalam urusan militer ofensif dan defensif seperti pengembangan jumlah pasukan, pembangunan fasilitas jalan, pembangunan gudang militer, hingga pembangunan benteng. Berbeda dengan Daendels, Raffles tidak berfokus membangun kekuatan militer yang hebat di Hindia Belanda. Mungkin karena telah dilakukan oleh Daendels sebelumnya. Pajak adalah salah satu yang diprioritaskan oleh Raffles. Hal tersebut terbukti atas penarikan pajak pada barang-barang impor dan ekspor Hindia Belanda.

Selanjutnya istilah Tahun Ketidakpastian pada periode 1815—1830 mengacu terhadap peralihan kekuasaan atas Hindia Belanda dari Inggris ke Belanda. Kebijakan usang yang pernah dilakukan VOC berusaha diberlakukan kembali, namun Inggris menghalangi usaha tersebut. Pasca era Raffles, kekuasaan berpindah kembali ke tangan Belanda. Belanda pun terpaksa menandatangi Konvensi London 1814 agar memberlakukan sistem perdagangan bebas. Hindia Belanda juga meniru Raffles dalam menerapkan pajak-pajak untuk berbagai komoditas, barang dagangan, dan berbagai urusan lainnya. Jika pada era Raffles, dibuat menguntungkan Inggris, maka sebaliknya pasca era Raffles dibuat menguntungkan Hindia Belanda.

Rempah mulai mengalami penurunan pamor pada masa menjelang kejatuhan VOC dan terus mengalami penurunan yang signifikan pada 100 tahun ke depan. Meskipun demikian, komoditas lain seperti gula dan kopi menjadi sangat laku di pasaran. Terutama setelah cultuurstelsel diterapkan. Hindia Belanda salah satu eksportir kedua komoditas tersebut untuk pasar global.

Peter Boomgaard membagi periode ekonomi dari 1800 hingga 1990 ke dalam 6 fase. Tahun 1800—1830 termasuk ke dalam fase pertama, yaitu fase stagnan. Tidak ada pertumbuhan ekonomi yang berarti pada periode ini. Apalagi dalam istilah Furnivall terdapat periode Years of Confusion dan Years of Uncertainty dalam periode ini. Pertumbuhan ekonomi begitu stagnan karena kebijakan ekonomi yang mengalami perubahan cukup cepat dan ditambah dengan menurunnya pamor rempah di pasar global.


[1] Randolph W. Hall et al., Handbook of Transportation Science, 2nd ed. (New York: Kluwer Academic Publishers, 2003), hlm. 2.

[2] Muhammad Habiburrohman, “Pengaruh Fernand Braudel terhadap Kajian Sejarah Maritim di Indonesia,” Ijtimaiya: Journal of Social Science Teaching 5, no. 1 (2021): hlm. 59

[3] Lillyana Mulya, “Kebijakan Maritim di Hindia Belanda: Langkah Komersil Pemerintah Kolonial,” MOZAIK: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora 7, no. 1 (2014).

[4] Ibid.

[5] Singgih Tri Sulistiyono, “Peran Pantai Utara Jawa dalam Jaringan Perdagangan Rempah” (Makassar, 2017).

[6] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014).

[7] Tri Sulistiyono, op. cit.

[8] P. J. Veth, Java: Geographisch, Ethnologisch, Historisch (Haarlem: De Erven F. Bohn, 1882).

[9] F.A. Sutjipto Tjiptoatmodjo, “Kota-Kota Pantai di Sekitar Selat Madura (Abad ke-17 sampai Medio Abad ke-19)” (Universitas Gadjah Mada, 1983).

[10] Novi Indrianita Sari, “Pasang-Surut Aktivitas Pelabuhan Kalimas Surabaya Tahun 1870-1930” (Universitas Airlangga, 2007), 2.

[11] Tjiptoatmodjo, op. cit.

[12] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013).

[13] Wasino dan Endah Sri Hartatik, Metode Penelitian Sejarah: Dari Riset hingga Penulisan, ed. oleh Priyo Sudarmo (Magnum Pustaka Utama, 2020), hlm. 38-39.

[14] Kuntowijoyo, op. cit., hlm. 77.

[15] Wasino dan Hartatik, op. cit., hlm. 99-100.

[16] M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 230-231.

[17] Handinoto dan Samuel Hartono, “Surabaya Kota Pelabuhan (‘Surabaya Port City’) Studi Tentang Perkembangan ‘Bentuk dan Struktur’ Sebuah Kota Pelabuhan Ditinjau dari Perkembangan Transportasi, Akibat Situasi Politik dan Ekonomi dari Abad 13 sampai Awal Abad 21,” Dimensi Teknik Arsitektur 35, no. 1 (2007): hlm. 89.

[18] O. W. Woltres, Perdagangan Awal Indonesia: Satu Kajian Asal Usul Kerajaan Sriwijaya (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Malaysia, 1989), hlm. 264.

[19] “Penyediaan Air Minum di Surabaya pada Abad ke-XIX”, Jawa Pos, Rabu, 15 Desember 1982.

[20] Nanang Purwono, Sourabaya: Kampung Belanda di Bantaran Jalur Perdagangan Kali Mas (Surabaya: Badan Arsip & Perpustakaan Kota Surabaya, 2011), hlm. 86.

[21] Nugroho Kartiko Adi dan Artono, “Peranan Sungai Kalimas Sebagai Sarana Transportasi Sungai Kota Surabaya Tahun (1900-1952),” AVATARA , e-Journal Pendidikan Sejarah 7, no. 1 (2019).

[22] Sri Retna Astuti, Dwi Ratna Nurhajarini, dan Nurdiyanto, Pembangunan Pelabuhan Surabaya dan Kehidupan Sosial Ekonomi di Sekitarnya Pada Abad XX (Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, 2016).

[23] Dukut Imam Widodo, Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe (Surabaya: Dukut Publishing, 2013), hlm. 380.

[24] M C Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c . 1200, 3rd ed. (Houndmills: Palgrave, 2001), hlm. 144.

[25] Edward L. Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, ed. oleh Christina M. Udiani (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2016), hlm. 45.

[26] John Sydenham Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), hlm. 64.

[27] Wasino, Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944 (Jakarta: Buku Kompas, 2014), hlm. 29-30.

[28] Ricklefs, op. cit., hlm. 145.

[29] Poelinggomang, op. cit., hlm. 45.

[30] Rix Dollar adalah koin perak yang memiliki nilai setara dengan 75 stivers atau 2,5 ƒ. Furnivall, op. cit., hlm. xxiii.

[31] 1 koyang (coyang/coyan) setara dengan 19 pikul atau dalam banyak kasus sejumlah 20 pikul. Thomas Dalton Jr., “Observation of the Present Trade with Siam,” Hunt’s Merchant’s Magazine and Commercial Review (New York, Oktober 1859), hlm. 447.

[32] 1 pikul (Hindia Belanda) setara dengan 61,76 kg, atau 136,161 lb., atau 0,06 ton (Inggris). Furnivall, op. cit., hlm. xxiii.

[33] Leaguer adalah wadah untuk air atau minuman anggur yang berisi sekitar 6 bir Brandenburg atau 8 ember bir Silesia. O. F. Mentzel, A Geographical and Topographical Description of the Cape of Good Hope (Cape Town: Van Riebeeck Society, 1921), hlm. 172.

[34] Secara singkat berarti sesuai harga atau telah disesuaikan dengan nilai komoditas atau barang dagangan.

[35] “Samarang and Sourabaya”, Java Gouvernment Gazette, Vol. 1, No. 1, Saturday, 29 February 1812.

[36] Stivers adalah koin tembaga yang memiliki nilai setara dengan setengah penny. Furnivall, op. cit., hlm. xxiii.

[37] Kemungkinan besar yang dimaksud adalah sarang burung walet.

[38] “Samarang and Sourabaya”, Java Gouvernment Gazette, Vol. 1, No. 1, Saturday, 29 February 1812.

[39] Furnivall, op. cit., hlm. 72.

[40] Poelinggomang, op. cit., hlm. 46.

[41] Dalam Java Gouvernment Gazette terdapat rubrik khusus yang membahas daftar harga saat itu, pada bulan Mei 1813 bernama Price Current, for Sourabaya and Grissee, sedangkan pada Desember 1813, Februari dan Juli 1814 bernama Sourabaya Price Current. Mata uang yang digunakan, yaitu pada tahun 1813, bulan Februari, Mei, dan Desember menggunakan dollar yang setara dengan 60 stivers. Pada Februari 1814 terdapat keterangan penggunaan Spanish Dollar. Sedangkan pada Juli 1814 menggunakan Java Rupee.

[42] Furnivall, op. cit., hlm. 94.

[43] Java Gouvernment Gazette adalah koran yang diterbitkan oleh Pemerintah Kolonial Inggris di Hindia Belanda. Terdapat 5 Volume dan 233 Edisi yang diterbitkan secara mingguan mulai dari 29 Februari 1812 hingga 10 Agustus 1816. Terdapat rubrik khusus bernama Shipping Intelligence yang berisi rincian kedatangan dan keberangkatan kapal di Batavia. Namun, terdapat data kedatangan dan keberangkatan di Surabaya pada sub-rubrik Sourabaya atau Sourabaya Division. Namun, sub-rubrik tersebut tidak selalu tercantum dalam Shipping Intelligence. Beberapa edisi atau bahkan satu tahun periode penerbitan koran tidak terdapat sub-rubrik khusus tersebut. Untuk mendapatkan data kedatangan dan keberangkatan Surabaya yang kosong itu harus mencermati data kedatangan dari Surabaya dan keberangkatan ke Surabaya di Batavia. Sehingga terdapat kemungkinan data tidak akurat, khususnya di tahun 1815 dan 1816.

[44] Poelinggomang, op. cit., hlm. 47.

[45] Furnivall, op. cit., hlm. 94.

[46] Pada tahun 1814-1815 menggunakan rupee sedangkan 1818 hingga 1823 menggunakan florin. Ibid., hlm. 96.

[47] Anne Booth, The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries: A History of Missed Opportunities, ed. oleh Anthony Reid et al. (Houndsmills: Macmillan Press, 1998), hlm. 17.

[48] Barang swasta termasuk dalam barang kiriman pemerintah. Furnivall, op. cit., hlm. 104.

[49] Booth, op. cit., hlm. 15.

[50] Astuti, Nurhajarini, dan Nurdiyanto, op. cit., hlm. 38.

[51] Ibid., hlm. 52.

[52] Akhudiat, Masuk Kampung Keluar Kampung: Surabaya Kilas Balik, ed. oleh Mohamad D. (Surabaya: Henk Publica, 2008), hlm. 15.

[53] Ibid., hlm. 14.

[54] Lustrum Arsitektur ITS, Selayang Pandang Surabaya Tempo Doeloe, 1995, hlm. 83.

[55] Dedi Nur Cahyo, “Perkembangan Transportasi Kereta Api di Kabupaten Lamongan Tahun 1899-1932,” AVATARA , e-Journal Pendidikan Sejarah 5, no. 1 (2017): hlm. 46-47.

[56] Howard W. Dick, Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History, 1900-2000 (Athens: Ohio University Pres, 2002), 17.